Kau Bisa Mengubur Kesombongan
Aku tak bersandar pada kesementaraan.
Kau Bisa Mengubur Kesombongan
Bagaimana cara keluar?! Ia telah mencoba, usahanya gagal meyakinkan orang-orang bahwa ia tidak layak berada di tempat itu. Dan orang-orang itu, para petugas yang menjemput ke rumahnya, mengakui kalau ia memang tak layak diisolasi. Cuma, kata para petugas, ia memenuhi semua syarat untuk diisolasi.
Ia baru datang dari Jakarta, kota yang terkontaminasi virus, dan tak melaporkan kedatangannya. Ia pun tak punya surat-surat yang menyatakan dirinya sudah mendapat vaksin, sehinga kepulangannya dicurigai kalau ia salah satu pasien yang berhasil melarikan diri dari Jakarta.
Selain itu, dan ini yang sangat penting, para petugas akan mendapat banyak keuntungan dengan menetap seseorang sebagai pasien terpapar virus Covid-19. Negara mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk mengatasi bertambahnya korban, dan negara akan memberi dana kepada daerah yang warganya banyak terpapar virus.
"Kau akan bebas asal kau sediakan uang!" kata salah seorang petugas, "kau punya keluarga yang bisa dihubungi?"
Ia menatap petugas itu. Geliginya gemeletuk menahan geram. Kalau saja tangannya tak terikat... ah, betapa konyolnya, kedua tangannya terikat ke sisi sisi ranjang rumah sakit. Tapi ia tetap membayangkan meninju petugas itu. tepat di hidungnya, dan ia tertawa melihat darah segar mengucur dari hidung itu.
"Sinting!" kata petugas, "malah tertawa."
*
Uang!? pikirnya. Itulah yang tidak dimilikinya. Hidup di Tangerang Selatan mendadak begitu mahal. Tabungan selama tiga tahun bekerja di pabrik, terkuras dengan cepat, tak sampai hitungan sebulan. Semua karena harga segala sesuatu melonjak tinggi, naik berkali-kali lipat.
Papi Liong, satu-satunya warung yang tetap bersedia buka dari puluhan warung di komleks tempat tinggal Ahmad Dhani, mengatakan harga naik sesuai hukum ekonomi; supplay berkurang akibat banyak pabrik yang tutup sementara perminta tinggi.
Ahmad Dhani sudah mencoba berutang, tapi Papi Liong menolak. "Elu siapa?!" ketus Papi Liong, "kalau elu mau, ambil. Kalau gak, elu bisa pergi!"
Papi Liong, laki-laki 54 tahun, tak pernah seketus itu menghadapi pembeli. Jangankan minta harga dikurangi, bayar nyicil pun ia ladeni. Ia, bahkan, suka mencandai pembeli dengan humor-humor yang terdengar lucu hanya karena lidahnya cadel saat bicara.
Ia berubah 380 derajat setelah istrinya yang menderita diabetes, divonis dokter terpapar virus Covid-19. Perempuan yang selalu duduk di kursi roda dan setiap hari menemani Papi Liong menjaga warung, dibawa paksa pakai ambulance dan diisolasi di sebuah gedung yang tak boleh dikunjungi siapa pun. Beberapa hari berselang, istrinya dikabarkan telah meninggal.
Papi Liong meraung-raung, minta tolong kepada setiap orang agar bersedia membantunya meminta jenazah istrinya. Ia bilang, arwah istrinya tidak akan bisa bereinkarnasi jika tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya. Leluhurnya di Tionghoa juga tak akan menerima perlakuan itu.
Tapi, jangankan menolong, orang-orang lebih memilih mengunci pintu dan jendela. Orang-orang mendengar ketika petugas datang dan mengancam akan membawa Papi Liong kalau masih saja protes.
Papi Liong akhirnya menyerah. Sejak itu, hampir tiap hari ia terdengar meraung-raung. Rauangannya menandai periode menyedihkan di perkampungan tempat Ahmad Dhani mengontrak. Para petugas datang dan mewajibkan siapa saja di perkampungan itu agar mengikuti uji laboratorium. Jika menolak, petugas akan memberi hukuman di tempat, menggeret yang bersangkutan dengan perlakuan sebagai pasien Covid-19.
Situasi semakin parah ketika koran memberitakan, setelah semua warga menjalani swap dan uji laboratorium, tujuh di antara warga ternyata terpapar virus Covid-19. Dua di antara warga itu tinggal di rumah petak, sekitar dua rumah petak dari tempat Ahmad Dhani mengontrak. Akibatnya, semua penghuni komplek rumah petak itu dilarang keluar rumah, dan ini membuat Ahmad Dhani sangat tersiksa. Tambah sengsara ketika Ahmad Dhani dapat kabar kalau perusahaan tempat ia bekerja sebagai buruh dipksa tutup setelah salah seorang buruh divonis terpapar virus Covid-19.
*
Suatu malam Ahmad Dhani kabur dari rumah kontrakannya. Jalanan sepi. Kota seperti baru ditinggalkan penghuninya. Sekali-sekali melintas ambulance, meraung-raung memecahkan kesunyian. Sekali-sekali mobil patroli polisi, berjalan lambat.
Semua orang tidak bebas keluar rumah. Hubungan sosial dibatasi. Tak ada yang boleh melawan, polisi dan kekuatan militer akan datang. Mereka bisa mendakwa siapa pun telah terpapar virus. Tak akan ada pengacara di dunia ini yang mau membela. Hukumnya jelas, diisolasi, terputus dari segala kehidupan sosialnya.
Bertahan tanpa bisa melakukan apa pun sama saja dengan hidup dalam isolasi. Ahmad Dhani putuskan meninggalkan Tangerang Selatan, kota tempat ia tinggal selama tiga tahun terakhir. Ia pulang ke kampungnya di Padangsidimpuan, kota kecil di Provinsi Sumatra Utara.
Menumpangi bus yang berjalan selama dua hari satu malam dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra adalah siksaan dalam hidupnya. Lima belas penumpang di dalam bus, semua menjadi orang asing antara satu dengan lainnya. Tidak ada tegur sapa. Hening. Kaku. Setiap orang berusaha menghindar untuk bersitatap dengan orang lain.
Ia merasa seperti berada di dalam sebuah dunia asing yang bergerak dengan orang-orang di sekitarnya yang dapat berubah menjadi menakutkan. Seperti situasi dalam dunia fiksi, hidup di tengah-tengah zombi dan tidak diketahui zombi yang mana yang akan menyengsarakannya.
Salah seorang penumpang, seorang perempuan muda, duduk di belakangnya, menjelma mimpi buruk. Sejak awal perempuan muda itu memakai masker, sama seperti penumpang lainnya, tapi ia berbeda, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Begitu naik, perempuan muda itu langsung berlipat di kursinya.
Ketika bus menyeberangi Selat Sunda, lalu berada di sebuah kapal rool on rool of, perempuan muda itu mendadak histeris. Lantai bus dipenuhi darah, juga jari jemarinya. Ia baru saja menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya.
Orang-orang panik, menghambur keluar bus. Ahmad Dhani sedang tertidur, sontak bangun, dan melihat perempuan muda itu menggelupur. Darah menggenangi lantai bus.
Ia meloncat dari bangkunya. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba sudah berada di luar bus. Bus dikosongkan.
Perempuan muda itu tiba-tiba keluar dari pintu belakang. Seluruh tubuhnya merah darah. Pakaiannya, tangannya.... Langkahnya gemetar. Ia minta tolong. Orang-orang panik, berhamburan menjauh.
Seseorang, laki-laki bertubuh tegap, tiba-tiba maju dan menerjang perempuan muda itu. Perempuan muda itu terhempas dan menghantam sebuah mobil. Alarm mobil itu meraung, menyita perhatian orang-orang. Perempuan muda itu masih bergerak, terlihat sangat kesakitan.
Laki-laki yang menerjangnya memasang kuda-kuda, siapa menghantam kali kedua. Ketika perempuan muda itu mencoba bangkit, laki-laki bertubuh tegap itu meloncat. Kakinya yang kokoh menghantam perempuan muda, tubuh perempuan muda itu terjungkal dan berguling-guling sampai ke pagar pembatas kapal.
Seorang perempuan gendut dekat pagar pembatas, menyepakkan perempuan muda itu keluar dari kapal.
Kepanikan berhenti. Orang-orang menatap ke laut. Perempuan muda itu mengapung-apung dipermainkan ombak.
Ahmad Dhani menoleh ke penumpang bus yang berdiri di sampingnya. Mereka saling pandang. Mata mereka berbicara tentang hal-hal yang mereka khawatirkan.
*
Ahmad Dhani tiba di rumahnya di Padangsidimpuan. Azan Magrib baru selesai. Rumah sunyi. Bau debu menyeruak. Ayah dan ibunya tak bangkit dari kursi, hanya menatap dingin ke arahnya. Tidak ada pelukan. Sorot mata mereka jelas mencurigainya.
Ia tidak perduli, membawa tasnya, masuk ke kamar. Di kamar itu, ada adiknya, Sultoni, sedang rebahan. Anak 15 tahun itu bangkit begitu melihatnya. Ketika adiknya hendak memeluk, ia memberi isyarat agar menjauh.
Sultoni terduduk lesuh di pinggir tempat tidur. "Kenapa semua orang saling memusuhi," kata adiknya, lalu menatapnya, tampak serius. "Kita ini saudara kandung... Kenapa seperti orang asing."
Ia merasa dadanya dihantam. Tapi ucapan itu tidak mengubah situasi. Ia menatap adiknya. "Mana Husin dan Yanti?" ia sebut nama dua adiknya yang lain.
Sultoni meraung. "Husin meninggal karena Covid, ia dibawa petugas dan dikubur entah di mana. Yanti sedang diisolasi. Kita juga dilarang keluar rumah."
"Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" Ahmad Dhani kesal. Ia membayangkan dirinya akan ikut diisolasi di dalam rumah. Ia tidak akan bisa keluar, dan hal ini membuatnya marah. "Kalau tahu begini, aku tak akan masuk ke rumah ini."
"Bagaimana mau mengabari, kami tidak bisa ke mana-mana."
Ahmad Dhani mengangkat tasnya, keluar kamar, dan mencoba keluar rumah. Ayah memberi isyarat agar ia jangan keluar. Ibu menangis. Ia bergeming, membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, di luar sudah ramai. Lima petugas, masing-masing memakai seragam pelindung berwarna putih, sudah menunggunya. Ia diseret ke mobil ambulance. Ia berteriak-teriak. Ia berusaha melawan.
Seorang petugas menghantam kepalanya. Ia pingsan dan tubuhnya dileparkan ke dalam mobil ambulance.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di dalam ruangan isolasi: sebuah ruang berbentuk kubus berdinding transparan. Ia mencoba bangkit, memijiti tengkuknya yang terasa nyeri.
Ia tebar tatapan, tak ada siapa pun. Ia menyentuh dinding. Aliran listrik menyengatnya. Ia berteriak-teriak memanggil orang-orang.
Ia dengar suara pintu dibuka. Dua orang memakai perlengkapan pelindung muncul di sampingnya. Melihat kedua orang itu, ia bertanya kenapa mereka membawanya.
"Kami menjalankan aturan," kata salah seorang. "Kau baru saja datang dari daerah yang terpapar Covid."
"Aku tak terpapar."
"Semua orang yang datang dari daerah pandemi Covid selalu berkata hal yang sama seperti yang kau ucapkan," kata petugas yang satunya. "Kalian melarikan diri dan bermaksud menyebarkan virus itu ke daerah ini."
"Itu tidak benar."
"Kami yang menentukan sesuatu itu benar atau tidak," kata petugas. "Cara kami ilmiah. Kami punya laboratorium."
"Saya sudah disuntik anti virus."
"Kami tak percaya begitu saja," petugas bersikap tegas. "Kami tahu semua serum anti-virus yang dipakai di daerah pandemi itu palsu karena para pejabatnya ingin mendapat keuntungan. Itu yang menyebabkan banyak yang terpapar virus."
"Kalian bisa periksa saya! Saya sehat. "
"Itu butuh proses."
"Berapa lama?!"
"Jangan mendikte kami. Kami paham dengan apa yang kami kerjakan."
Dua petugas lagi masuk, membawa nampan berisi peralatan medis. Dua petugas pertama membuka kotak isolasi, menyuruh Ahmad Dhani tenang. "Jangan konyol! Kami hanya mau memberimu vaksin," kata salah seorang petugas.
"Tidak!" Ahmad Dhani berteriak. "Aku tak mau. Aku tak percaya."
"Kami tak membutuhkan apapun darimu," ketus petugas. "Kami hanya perlu memastikan semua orang yang dibawa ke mari sudah divaksin."
*
Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, tapi ia yakin hal itu akan menimpa dirinya. ia harus bisa meloloskan diri. Harus....!?
Bulan purnama terang benderang di atas Jakarta. Cahaya itu tak berarti apa-apa di mulut sebuah gang kecil; itu satu-satunya jalan menuju perkampungan kumuh di dalam gang kecil itu, kampung yang menyempil di antara gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi sebagai sisi gelap kehidupan dari gemerlap metropolitan.
Ke mulut gang itulah Lala masuk, melangkah pelan dan pasti. Gadis
itu mengenakan gamis hitam, sewarna dengan kerudungnya, tas bermerek di bahu
kirinya. Ia memakai masker warna hijau pupus.
Suara langkahnya bergema, dipantulkan tembok-tembok tinggi
di kiri dan kanan gang. Tembok-tembok itu memisahkan kehidupan manusia secara
kontras antara mereka yang tinggal di gedung-gedung bertingkat di balik tembok
dengan perkampungan kumuh.
Bau pesing menyeruak dari tembok-tembok itu, masker
menyelamatkan hidungnya dari hantaman aroma asam amoniak itu. Ia terus melangkah,
melewati tembok-tembok yang dipenuhi coretan kata-kata kotor, makian-makian
dalam Bahasa Inggris, dan gambar-gambar yang memperkuat kesan bahwa
perkampungan di dalam gang kecil itu bukan tempat yang bagus untuk dikunjungi.
Ya, sudah santer ke mana-mana di Jakarta, kampung kumuh itu lebih tepat sebagai sarang ketimbang sebagai perkampungan. Di dalamnya, hidup orang-orang yang hanya bisa bernafas pada malam hari, hidup dari kehidupan yang justru kematian bagi orang lain. Mulai dari pencopet, penipu, pemabuk, pedagang narkoba, dan para pelacur.
Semua membentuk komunitas, sebuah masyarakat dengan
sistem sosial yang khas, tetapi menjadi hantu yang menakut bagi orang-orang di
luar komunitas. Dan, pernah, beberapa tahun lalu, puluhan polisi menyerbu perkampungan
itu, menyisiri tiap sudut dari 15 rumah yang ada di dalamnya untuk mencari narkoba.
Tentu saja polisi tak menemukan apapun, dan polisi merasa
intel yang dikirim sudah dikadali, maka secara membabibuta tujuh orang
ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba di Jakarta.
Tuduhan itu tak berhasil karena tak ada
barang bukti. Ketujuh orang itu seharusnya dibebaskan tanpa syarat, tapi polisi
hanya bersedia mengeluarkan jika ada uang tebusan. Laku rampok polisi,
peristiwa yang teramat biasa, hal konyol yang selalu menyasar orang-orang miskin
Jakarta.
Lala hanya dengar cerita itu dari orang-orang perkampungan,
dan dampak penggerebakan itu membuat perkampungan senyap selama dua hari. Tidak
ada kehidupan, mirip perkampungan hantu yang ditinggal penghuninya lantaran teror
wabah penyakit. Memasuki hari ketiga, segalanya kembali pada kondisi semula. Kehidupan
menggeliat lebih ramai dari pasar malam. Selalu, seusai jam Isya, perkampungan
itu bergaira dengan orang-orang yang keluar masuk gang untuk menikmati
kehidupan malam.
Kehidupan malam dengan para pemabuk yang marah karena
pemilik warung menolak mengutangkan sebotol minuman, pelacur yang merepet
kepada laki-laki hidung belang yang terlalu rendah menawar harga, sekelompok preman
yang memata-matai seseorang yang diduga sebagai intel, atau anak-anak remaja yang
berlari-lari di gang untuk menghindari mucikari yang memergoki mereka mengintip
dari cecelah dinding ke dalam sebuah kamar pelacuran.
Anak-anak yang malang?! Generasi muda bangsa yang
perkembangannya mengkhawatirkan? Itu kesan pertama Lala begitu tahu kondisi
mereka. Tak bisa tidak, kesan itu streotife. Tapi kesan itu buyar begitu ia
dekat dengan anak-anak itu, bermain bersama mereka, mendengarkan cerita mereka,
dan…
Minimal sekali dalam sepekan, selalu malam hari, Lala datang
untuk menemui anak-anak itu. Pernah ia dating siang, tapi perkampungan itu
seperti tanpa penghuni. Semua orang keluar, juga anak-anak remaja itu, entah ke
mana. Belakangan Lala tahu, ada dari mereka yang menjadi pengemis, pengamen,
pedagang asongan, dan ada yang terjerembab lebih dalam ke ceruk kehidupan
sebagai bagian pencopet yang acap beraksi di angkutan kota. Begitu tahu sisi
lain dari anak-anak remaja itu, Lala tak memarahi mereka.
Lala hanya tersenyum.
Dan malam ini, ia melangkah dengan niat yang sama; menemui anak-anak itu. Ia
lihat bayangan kelam menggeliat di kejauhan,
seseorang dalam gelap berlipat di tengah-tengah gang, menceracau dengan
suara serak, dan botol minuman keras menggelinding di sampingnya. Lala mengenal
pemabuk itu sebagai Kapto, pengangguran yang menganggap hidup hanya untuk
meminum alkohol, dan ia menyapanya sambil terus melangkah. Tergeragap, Kapto
menyahut, lalu muntah.
Seekor tikus got menyeberang di hadapan Lala, gesit dan
tampak ketakutan, menghilang di tumpukan sampah. Lala mempercepat langkah, mulai memasuki
perkampungan, lalu mengedarkan tatapan ke setiap sudut. Rumah-rumah kayu
berdiri tumpang-tindih dan kumuh, remang
dan suram. Orang-orang meriung di depan rumah,
suara mereka tertawa lepas. Ada anak kecil merengek, ibu-ibu
berteriak-teriak, musik remix, lagu dangdut. Semua biasa dan teramat biasa.
Lala berhenti sebentar di bawah sinar lampu gang yang redup,
tak jauh dari tiga laki-laki yang sedang berjoget di depan rumah. Nazhar
menyanyi di Youtube yang dibuka di telepon genggam. Lala memperbaiki letak tali
tasnya yang mau jatuh, lalu kembali melangkah.
"Cewek...!" Seseorang dari balkon sebuah rumah
menyuitinya.
Lala hanya tersenyum. Seperti sudah ia duga, detik
berikutnya ia dengar suara lain, seseorang membentak orang yang baru
menyuitinya. "Sinting kau Barno! Itu Lala. Jangan kau ganggu dia!"
Lala kenal pemilik suara itu, Rahman Picak, salah seorang
yang paling ditakuti di perkampungan itu.
Pertama kali bertemu Rahman Picak, itu hampir setahun lalu, hari pertama
ia harus mengunjungi perkampungan. Saat
ia sedang mengamati anak-anak di perkampungan, Rahman Picak menghampirinya dan
menggertaknya.
"Kau siapa? Mau memata-matai kami ya!?" Rahman
Picak mengancam akan menyakitinya, dan ia tidak akan mampu berbuat
apa-apa.
Lala menatap Rahman Picak, lalu mencoba tersenyum. Ia merasa pernah lihat wajah Rahman Picak,
entah di mana, tapi mungkin di televisi, atau di koran, tapi entahlah. Dan mata itu...ya..ya..... Ia ingat mata itu
terkena lemparan batu ketika polisi menyerbu perkampungan untuk menangkapi para
bandar narkoba. Ia mencoba tersenyum.
"Pak Rahman...?" sapanya.
"Bilang saja Rahman Picak... Kenapa?!"
"Rahman Picak!" Ia tersenyum. "Bapak yang
dulu kena batu saat polisi menggerebek perkampungan ini."
"Kau menontonnya...?" Tiba-tiba suara Rahman Picak
melembut. "Bagaimana.... Bagaimana penampilan aku?"
Lala cepat menjadi akrab dengan siapa pun. Itu kelebihannya.
Ia baru tahu kelebihannya setelah Bambang Suranto, direktur di perusahaan,
memanggilnya untuk mengerjakan project CSR (corporate social responsibility)
perusahan di kampung kumuh. "Kami
tahu kau mampu mengerjakannya," kata Bambang Suranto.
Lala tak percaya dirinya mendapat kepercayaan begitu besar
dari direktur perusahaan. Baru dua tahun
ia bekerja sebagai staff di bagian CSR, dan hampir tak pernah dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan perusahaan di luar. Ia hanya karyawan administrasi, berkutat
dengan tumpukan berkas yang sebagian besar proposal permintaan sumbangan dari
pihak luar. Pernah terpikir olehnya
untuk keluar, mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dengan karakternya. Tapi pikirkan
itu segera disingkirkannya mengingat betapa sulit mendapatkan pekerjaan baru di
Jakarta sementara ia sudah memilikinya.
Mendapat tanggung jawab baru, Lala berjanji kepada dirinya tak
akan mengecewakan direktur. Tapi
rekan-rekan di kantor mewanti-wanti agar ia lebih hati-hati. Mereka mencoba
menakut-nakuti agar menolak project itu, tapi Lala tak bergeming. Ia tahu,
rekan-rekan hanya iri karena proyek yang ditanganinya, dan mereka mendambakan
memegang proyek itu.
Langkah Lala berhenti di depan sebuah warung, rumah kecil
yang remang-remang, dengan sepotong papan bertuliskan "Mekmeah"
terpampang di depannya. Melihat Lala
muncul, seseorang bertubuh gemuk, keluar menyambut. "Aihh, ibu Lala sudah datang.
Masuk, Bu!” kata Uti.
Lala hanya senyum. Ia hafal betul siapa Uti, pemilik warung yang menguasai laci tempat uang, seseorang yang tahu persis bahwa senyum ramah membuat siapa saja akan dengan senang hati untuk singgah. Warung yang menjual minuman dan rokok hanya kedok bagi Uti untuk menyembunyikan bisnis lendir yang dikelolanya bertahan-tahun.
Di dalam warung,
ada kamar-kamar ukuran 2x3 meter, hanya muat selembar kasus dengan dua bantal
lapuk dan bau apak, tempat di mana pelacur dan laki-laki hidung belang
melayang-layang. Kamar-kamar itu disewakan Uti untuk short time, tak
lebih 30 menit. Jika dalam 30 menit penyewanya tak keluar, karakter asli Uti
akan muncul dengan mulut kasar yang jorok, lebih jorok dari tempat pembuangan sampah.
Saat Lala berjalan mengikuti Uti memasuki sebuah lorong kecil
antara kamar-kamar short time di dalam rumah, mereka berpapasan dengan seorang
laki-laki betubuh kurus yang baru keluar dari salah satu kamar. Matanya liar
dan genit mengikuti Lala, lalu berbisik pada Uti. “Barang baru ya! Bagus juga!”
Refleks, tangan Uti yang
gempal mendarat di pipi laki-laki itu. “Kurang hajar! Jaga mulut kau ya.”
Lala kaget.
Laki-laki kurus itu merasa telah dihinakan dengan tamparan
itu. Emosinya hendak meledak, tapi ia urungkan ketika Rahman Picak muncul di
depan warung. Laki-laki kurus itu tahu Rahman Picak, dan nama itu santer
sebagai centeng yang memegang semua perkampungan karena punya ilmu kebal.
Uti membawa Lala masuk lebih ke dalam Lorong, lalu mereka keluar
dan sudah berada di bagian belakang rumah, di hadapan sebuah bangunan. Ke dalam
bangunan itulah Lala masuk, tempat yang selalu ia kunjungi, ruang 4x12 cm yang
pengab tanpa ventilasi. Itu Ruang Syalala. Di dalamnya sudah ada puluhan
anak-anak remajadan mereka sontak berdiri begitu Lala masuk.
Riuh suara mereka, riang dan penuh semangat. Dua belas
jumlah mereka, anak-anak yang lahir dan tumbuh di perkampungan kumuh. Mereka tak
pernah sempat menjadi anak-anak, dipaksa oleh keadaan untuk cepat dewasa. Hidup
sebagai tulang panggung keluar, menjadi pengamen, pedagang asongan, dan apa saja yang membuat mereka bisa pulang
membawa uang. Seluruh waktu mereka lunas bukan sebagai anak-anak, tetapi orang
dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.
Lala mengumpulkan mereka sebagai bagian dari proyek CSR dari
perusahaan, membuka wawasan mereka dengan memberi bacaan, pendidikan, mengajarkan
mereka tentang makna hidup. Sekali-sekali, Lala membawa mereka ke Dupan, Taman
Mini Indonesia Indah, atau ke mal.
Awalnya Lala hanya ingin berbagi sesuatu yang bisa jadi
spirit bagi anak-anak, tapi segalanya kemudian berbalik, sebab ia yang justru
mendapatkan hal yang luar biasa dari anak-anak itu.
Sekalipun orang-orang di Jakarta memandang mereka secara
streotif sebagai sisi gelap dari kehidupan metropolitan yang harus dijauhi bila
bertemu, ternyata mereka sangat memanusiakan
manusia. Tak ada seorang pun yang ingin mereka jauhi, sebaliknya mereka ingin
dekat dengan siapa pun, tapi penampilan fisik mereka yang jauh dari predikat
higenis, membuat orang-orang menghindar.
Pernah, seseorang yang mengaku konglomerat dan memiliki
gedung apartemen di balik tembok, mengirim empat anak buahnya untuk
menyingkirkan perkampungan kumuh karena di atas lahannya akan dibangun gedung
apartemen 50 lantai. Mereka membawa
koper berisi uang dan setumpuk surat, meminta siapa saja yang punya rumah untuk
menandatangi surat dan mereka akan mendapatkan ganti rugi. Tapi, tidak ada yang
mempercayai empat suruhan itu,dan orang-orang memaksa mereka angkat kaki.
Jalan yang ditawarkan tak diperdulikan, konglomerat itu merasa diremehkan. Ia cari alternatif lain, dan tumpukan uangnya bicara di kantor pemerintah dan kantor polisi, mengubah isi kepala dan isi hati semua elite agar berpihak kepadanya dengan alasan Jakarta harus tertata rapih.
Selang sepekan, puluhan orang yang mengaku rekanan dari konglomerat, dating membawa alat-alat berat dan siap meratakan lahan. Puluhan petugas dengan petungan dan tameng, mengawal para pekerja. Mimpi buruk warga perkampungan kumuh segera tiba, tapi segalanya berhenti ketika anak-anak dari Rumah Syalala maju ke depan dan menantang.
Lala ada bersama
mereka, berpidato tentang hak asasi manusia, masa depan generasi bangsa, dan
nilai-nilai kemanusiaan. Adegan yang heroic itu, disiarkan secara langsung oleh
stasiun-stasiun televisi, dan Bambang Suranto menonton aksi itu lewat layer televisi
di ruang rapat pemegang saham.
“Anak buah siapa yang mau merubuhkan kampung kumuh itu?”
teriak Bambang Suranto.
Seseorang angkat tangan, bicara dengan nada suara yang
lemah. “Maaf, Pak, itu proyek baru kita.”
“Kita!?” Bambang Suranto mengernyitkan kening. “Kenapa saya
tidak diberi tahu?”
“Ini kebijakan anak perusahaan kita.”
“Batalkah!” teriak Bambang Suranto. “Perempuan yang aksi itu anakku. Jangan ada yang mengganggunya. Aku sengaja mengirimnya ke sana untuk mengubah perkampungan itu….”
Bambang Surantyo tersenyum. Licik.
*
Sejak dulu, ayah dan ibu acap perang mulut, tapi selalu berakhir dengan kehangatan. Beberapa bulan terakhir, perang mulut telah menjelma medan pertempuran yang dasyat. Akhirnya selalu sama: ibu menangis.
“Dulu ayah gak seperti itu,” kata ibu kepada Erisha.
Erisha hanya diam.
Sejak rumah menjelma medan pertempuran, Erisha banyak berubah. Teman-teman kehilangan Erisha yang dulu. Mereka menanyakan Kenapa Erisha berubah, tapi gadis 14 tahun itu tak menjawab apapun.
Erisha bukan tipe orang yang suka bercerita. Ia lebih suka menyimpan masalah, menanggungnya sendiri, dan menangis. Hampi tiap malam sebelum tidur air matanya tumpah.
*
Sepulang sekolah, Erisha mendengar suara tangisan dari arah dapur. Mengira telah terjadi sesuatu dan mengkhawatirkan hal itu, ia berlari ke arah asal suara. Ibu sedang menangis sambil memegang selembar kertas.
“Ada apa, Bu?” tanya Erisha, “apa yang terjadi?”.
“Ayahmu…!” Ibu mengisak. “Ayah menceraikan ibu.” Ibu menatap Erisha, matanya basah. “Ibu harus baggimana Erisha?”
Erisha memeluk ibu. Gadis remaja itu menangis.
Terdengar suara pintu dibuka, menyusul suara langkah kaki. Ayah muncul, langsung menghampiri ibu.
“Kamu mau cerai kan? Tanda tangani surat ini!.” Ayah ketus sambil menyodorkan pulpen.
“Sampai kapanpun kamu tetap akan menjadi pembunuh ayahku, Adrian.” Ibu mengambil pulpen dari tangan ayah, langsung menanda tangani surat di hadapannya.
“Ayah! Ibu! Ada apa?” Erisha buka mulut. “Setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi.” Erisha menangis.
“Ibu enggak mau hidup sama pembunuh yang tak tahu diri.”
“Diam kamu, Anjani!” Ayah menampar ibu.
Erisha berteriak. Ibu hanya diam memegangi pipinya yang baru saja ditampar.
“Erisha!” Ayah membentak dia menamparnya.
Ayah yang selalu lembut, tiba-tiba menamparnya. Erisha menangis, langsung memeluk ibunya.
“Kamu mau iku Ayah atau Ibu?” teriak ayah.
“Erisha sama aku. Kamu ga akan bisa ngurus dia.” Ibu semakin kuat memeluk Erisha.
“Aku enggak bertanya sama kamu, Anjani. Aku bertanya ke Erisha.”
“Aku… Aku mau sama mama.” Erisha menjawab, tapi ayah langsung pergi.
*
Setelah kejadian itu, Erisha memutuskan tidak bersekolah selama beberapa hari. Ia ingin menenangkan diri, juga harus menjaga ibunya akan pergi ke Pengadilan Agama untuk menjalankan sidang perceraian.
Ibu menangis setiap hari. Saat Erisha ikut menangis, ibunya panik dan langsung menenangkan Erisha.
Saat hari sidang perceraian tiba, Erisha memilih berada di rumah. Ibu tampak baik-baik saja. Saat Ibu melangkah keluar rumah, telepon ibu meandering. Salah seorang teman ayah menelepon ibu.
Saat bicara, tiba-tiba ibu berteriak dan mulai menangis. Erisha panik. Ia menanyakan apa yang terjadi.
“Ayah! Ayah kecelakaan.”
Erisha terhenyak.
Telepon ibu kembali mendering. Erisha merebutnya dari tangan ibu. Orang yang menghubungi ini memastikan kalau ayah meninggal karena kecelakaan saat ingin pergi ke pengadilan. Mereka meminta Erisha dan ibu ke rumah sakit untuk melihat jenazah ayah.
Dunia Erisha serasa runtuh. Ia dan ibu menangis. Beberapa saudara dating, memeluk Erisha dan ibu. Erisha menangis sesegukan. Tubuhnya melemah. Pandangannya mengabur. Segala sesuatu tiba-tiba gelap. Ia merasakan dunia berputar-putar.
Entah berapa lama, Erisha bangun dan mendapati dirinya sedang berada di sebuah restoran. Ia memperhatikan sekeliling. Ada banyak orang di sekitarnya, sedang menikmati makanan. Seorang pelayan menghampirinya, menghidangkan makanan di hadapannya. Erisha tidak mengerti apa yang terjadi. Ia bermaksud hendak bertanya kepada pelayan itu, tapi laki-laki itu pergi.
Erisha mengernyitkan dahinya. Ia tatap pesanan yang baru dihidangkan pelayan.
*
Selesai makan, Erisha meninggalkan restoran. Di luar gedung restoran, ia berpikir untuk pulang. Ia bermaksud ke pangkalan ojek. Saat ia melangkah, tiba-tiba seorang laki-laki menabraknya.
“Maaf, Mbak!” kata laki-laki itu, “aku terburu-buru mau bertemu Anjani.” Setelah meminta maaf, laki-laki itu kembali berlari seperti mengejar sesuatu.
Erisha tertawa kecil, menduga laki-laki itu terlambat dan pacarnya yang bernama Anjani sudah menunggu. Ia memperhatikan laki-laki itu berlari dan tiba-tiba Erisha merasa bahwa wajah laki-laki tersebut familiar. Tapi ia tidak terlalu memikirkannya.
Tiba di pangkalan ojek, ia minta tukang ojek mengantarkannya ke rumah sambil memberikan alamat. Tukang ojek sigap. Sepeda motor digeber. Dalam hitungan menit, mereka sampai di depan sebuah rumah.
Erisha kenal posisi rumah, tapi ia tak pernah tahu penampakan rumah begitu berbeda. Rumah yang ada di hadapannya seperti rumah mereka dulu sebelum direnovasi. Tiba-tiba Erisha tersadar akan sesuatu, lalu bertanya kepada tukang ojeknya.
“Maaf, Bang, ini tahun berapa?”
“2008…” Tukang ojek menatap heran kepada Erisha. “Hari ini tanggal 10 bulan November.”
“2008!” teriak Erisha.
“Kenapa, Neng?”
Erisha menggeleng. Ia menebar tatapan, lalu menatap tukang ojek. “Berapa, Bang?”
“Delapan ribu rupiah.”
Erisha mencari uangnya. Tidak. Ia tidak membawa uang. Erisha pucat. Ia pandangi tukang ojek, lalu menatap rumah di hadapannya. “Sebentar ya, Bang, ternyata aku gak bawa uang.” Erisha mengetuk pintu rumah.
Beberapa detik berselang, pintu rumah dibuka. Seorang laki-laki tua muncul. “Ada apa?!” tanya laki-laki tua itu. “Mau cari siapa?”
Ditanya seperti itu, Erisha tergeragap. Ia baru menyadari, laki-laki tua adalah kakeknya, ayah dari ibu. Erisha tidak pernah bertemu kakek, karena kakek meninggal sebelum Erisha dilahirkan. Tapi, tentu, ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah Erisha, putri dari Anjani. Itu jelas tidak masuk akal. Dan, tiba-tiba, Erisha menangis.
“Pak!” teriak tukang ojek. “Ia belum membayar ongkos ojeknya. Apakah Bapak yang akan membayar?”
Laki-laki tua itu menatap Erisha, lalu menatap tukang ojek: “Ya! Berapa?”
“Delapan ribu, Pak.”
Laki-laki tua itu memberikan uang kepada tukang ojek. Setelah tukang ojek pergi, laki-laki trua itu menghampiri Erisha. “Kamu siapa? Ada apa ke sini? Kenapa menangis?”
“Anu….” Erisha berusaha mengarang cerita. “Begini, Pak, aku kawan Anjani. Aku mau bertemu dia.”
“O, kawan Anjani. Kenapa gak bilang dari tadi.” Laki-laki tua itu mengajak Erisha masuk. “Tapi Anjani sedang di luar.”
“Maaf, Pak, aku sudah merepotkan. Aku sudah lama enggak ketemu Anjani. Waktu aku sampai, aku baru sadar ternyata dompetku jatuh entah di mana, jadi aku nangis, Pak.”
“Enggak apa-apa. Tapi Anjani gak ada di rumah. Dia lagi pergi sama pacarnya.”
“Pacarnya?! Apakah Adrian?” Erisha menyebut nama ayah.
“Iya . Nak Adrian itu orangnya baik sekali.”
Erisha tersenyum mendengar ucapan itu.
“Apa Bapak mau pergi?” tanya Erisha. “Kalau tidak keberatan, aku akan menunggu Anjani di sini.”
“Rencananya saya memang mau keluar, tapi … karena kau ada, mana mungkin saya membiarkanmyu sendirian di sini.”
“Saya bisa menunggu Anjani di luar.”
“Ah, tidak. Saya tidak jadi pergi. Tidak lama lagi Anjani akan kembali. Kita sama-sama menunggunya.”
Dan benar, beberapa menit kemudian telepon lakiu-laki tua itu meandering.
“Tuh kan, Anjani menelepon,” katanya.
Laki-laki
tua menjawab telepon, ternyata dari Andrian. Ia menanyakan apakah laki-laki tua
itu berencana hendak pergi dengan mobilnya. “Kalau bisa, jangan dulu pakai
mobil itu, Pak,” kata Andrian, “saya lupa memberi tahu kalau rem mobil Bapak
rusak.”
“Rusak!?”
“Ya. Saya akan ke sana bersama Anjani untuk memperbaiki mobil itu.”
Mobil!? pikir Erisha. Ia ingat, ibu pernah cerita tentang kecelakaan yang merengut nyawa kakek karena rem mobil yang rusak. Tiba-tiba kepala Erisha terasa pusing. Dunia berputar-putar. Segala sesuatu kemudian gelap. Erisha tidak tahu apa yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, Erisha membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Ia bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar di sisi tempat tidur.
Erisha mendengar suara riuh di luar kamar seperti ada orang yang menggelar pesta. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
“Hei, cucuku!” teriak laki-laki tua. “Bangunnya kok kesiangan?”
Erisha kaget. Ia melihat kakek, ayah, dan ibu. Ayah bangkit dan menghampiri Erisha ke pintu kamarnya, lalu membawa Erisha menghampiri kakek.
“Sudah dari tadi kakek dating untuk bertemu Erisha. Kakek melarang ayah membangunkan Erisha,” kata ayah.
“Apa yang terjadi?” tanya Erisha.
Ditanya Seperti itu, ayah dan ibu saling pandang. Kakek bangkit dari kursi, memeluk Erisha. “Kakek kangen, itu yang terjadi,” kata kakek.
Erisha menatap ayah dan ibu, lalu memmpererat pelukannya pada tubuh kakek.
“Erisha juga kangen sama kakek,” kata Erisha.
Qhesyila Eina Davinadzra lahir di Padangsidimpuan, 26 September 2010. Siswi kelas IX di SMP Negeri 1 Padangsidimpuan. Hobi membaca. Cita-cita adalah menjadi seorang dokter.
Raudal Tanjung Banua, salah satu penyair Indonesia yang kerap melakukan perjalanan, baik karena kepentingan untuk memenuhi undangan sebagai pembicara dalam aktivitas berkesenian di berbagai daerah maupun sebagai seorang yang selalu terobsesi untuk tahu lebih banyak tahu tentang semua tempat yang ada di Indonesia. Setiap kali usai melakukan perjalanan, ia akan merekam apa yang ia lihat dalam karyanya, baik puisi, cerpen, maupun esai catatan perjalanan.
Oleh Budi Hatees
Baru-baru
ini buku puisi terbarunya, Jejak Lintasan, diterbitkan Penerbit Akar Indonesia
pada bulan Oktober 2024. Buku dengan sampul yang dirancang Nur Wahida Idris ini
menampilkan gambar seekor harimau berjalan pada sebuah garis berwarna hitam.
Dalam pengantar buku, Raudal Tanjung Banua berkisah tentang kebiasaan harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di kampung halamannya, di sebuah desa
dalam kawasan hutan hujan tropika Sumatra, habitat hewan langka yang oleh
masyarakat lokal di Minangkabau disebut inyeak balang.
Harimau Sumatra jantan memiliki daya jelajah 50 km per segi dalam sehari. Ia berjalan mencari mangsa, pada tiap tempat ia menandai titik-titik tertentu dengan air kencingnya. Sekali-sekali ia meninggalkan bekas cakaran pada batang phon atau tempat-tempat tertentu. Ia tidak sedang mengasah cakarnya, tapi itu penanda bagi harimau lain, bahwa daerah tersebut sudah ada penguasanya. Seakan-akan sudah ada kesepakatan, tidak ada dua harimau dalam satu areal berdiameter 50 km per segi.
Jalur yang dilalui harimau selalu pada titik yang sama. Jejak kakinya penuh di jalur itu. Jika ditelusuri, jalur itu membentuk siklus yang melingkar. Lingkaran itu menjadi semacam pagar, tanda daerah yang dilingkari ada penguasanya.
Di dalam lingkaran yang terbangun, segala sesuatu berada dalam kekuasaan harimau. Terutama hewan-hewan calon mangsanya. Tidak ada mahluk lain yang boleh mengambil hewan-hewan buruannya itu. Tidak terkecuali manusia, atau para pemburu.
Jika siklus itu terganggu, seperti yang dilakukan Wak Katok dalam novel Harimau Harimau karya Mochtar Lubis, yang membunuh rusa di dalam siklus jelajah wilayah harimau, maka berakibat mengubah harimau itu jadi mimpi buruk bagi para pencari getah damar tersebut.
Raudal Tanjung Banua jelas bukan harimau, meskipun ia melakukan perjalanan dalam proses kreatifnya, sama seperti harimau selalu menjelajah dalam siklus 50 km per segi per hari. Proses berjalan yang dilakukan harimau mengguatkan eksistensi dirinya sebagai si raja hutan. Sementara Raudal Tanjung Banua menjadikan proses berjalan atau berkunjung ke berbagai tempat yang ada di Indonesia untuk menguatkan eksistensinya sebagai penyair dengan menghasilkan puisi-puisi baru tentang tempat yang baru dikunjunginya.
Suatu hari, beberapa tahun lalu, Raudal Tanjung Banua berkunjung ke Sumatra Utara, melintasi jalur lintas Barat di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra. Ketika ia berada di Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara, ia menghubungi saya lewat telepon genggam dan bertanya di mana posisi saya.
Saya tinggal di Kota Padangsidimpuan, 120 km dari Kecamatan Natal ke arah Utara, tepatnya di luar wilayah Kabupaten Mandailing Natal. “Saya sedang di Natal,” kata Raudal.
Saya minta Raudal singgah ke Kota Padangsidimpuan. Raudal mengaku belum bisa membagi waktu, lalu berjanji suatu hari ia akan sampai di Kota Padangsidimpuan. Selesai Raudal menutup telepon, saya dihubungi penyair May Moon Nasution, penduduk asli di Kecamatan Natal, dan ia memberitahu kalau Raudal Tanjung banua sedang berada di Kecamatan Natal dan berencana hendak ke Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Natal dan Barus berada dalam satu garis pantai Barat Pulau Sumatra. Saya tak perlu bertanya apa tujuan Raudal melintasi jalur itu, karena saya mengenal betul bagaimana ia berproses kreatif dalam menghasilkan karya sastra. Ia membutuhkan perjalanan, memperluas wawasan, dan mencerap lebih banyak hal dari apa yang ia lihat dibandingkan apa yang mampu diserap penduduk yang ada di daerah itu.
Sebagaimana saya bayangkan, Raudal akan menghasilkan puisi tentang perjalanannya melintasi pantai Barat Pulau Sumatra, dan, benar, sebuah puisinya berjudul “Natal Raya” muncul di Kalam Sastra (https://kalamsastra.id/dwimingguan/natal-raya): Arus Batang Angkola dan Batang Toru terus mengalir berliku/mencari muara dan samudra biru,/sebagian melimpah penuh haru/di danau dan rawa-rawa Siais./Tapi di pesisir juga semuanya berakhir,/di bandar-bandar pelabuhan lama/yang perlahan telah melipat benderanya:/o, Natal Raya, Ranah Nan Data!
Puisi berjudul “Natal Raya” ini tidak ditemukan dalam buku puisi terbaru Raudal. Namun, proses kelahiran puisi “Natal Raya” yang diawali dengan perjalanan Raudal melintasi di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra, juga dilakoninya dalam menulis delapan puluhan puisi dalam buku Jejak Lintasan ini.
Ide puisi-puisi dalam buku ini sudah ia miliki pada 2004 sampai 2018, terlihat pada titimangsa setiap puisi. Sebelum menulis sebuah puisi, Raudal mengawali dengan ide dasar, lalu melakukan kunjungan ke subjek yang ingin digarap dalam puisi. Kemudian ia melakukan pematangan, menambah referensi lewat literatur, dan terus berkarya menghasilkan puisi dari subjek yang digarapnya.
Menulis puisi menjadi proyek yang serius bagi Raudal—semestinya seorang penyair seperti itu – dan ia membutuhkan satu sampai dua tahun untuk mematangkan ide awalnya menjadi sebuah puisi. Proses pematangan ini tentunya bukan proses yang mudah. Ia tidak langsung jadi tetapi harus jadi sebagai puisi.
Dan, mungkin, ada banyak ide menulis puisi yang akhirnya tidak jadi apapun. Pasalnya, subjek yang dibicarakan dalam puisi berada di tempat yang jauh, dan Raudal tidak punya kebiasaan menulis sesuatu tak pernah didatanginya. Ia bisa saja mencari referensi tambahan dari literatur tentang subjek puisinya, tapi Raudal bukan penyair yang banyak mengandalkan imajinasi.
Raudal sorang realis, seperti seorang fotografer dengan kamera di tangan, ia memindahkan subjek ke dalam puisinya, tetapi ia tidak bicara tentang apa yang ia lihat melainkan apa yang ia serap.
Apa yang dilakukan Raudal dalam proses kreatifnya, mengandung resiko yang fatal. Ada kalanya, Raudal hanya menyerap pada tingkat permukaan, apa yang hanya ia lihat sekilas dalam perjalanannya. Misalnya dalam puisi “Dolok Sanggul, Malam” (Hal.105), yang menceritakan subjek Kota Dolok Sanggul, ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
Kota Dolok Sanggul berada di kabupaten yang melahirkan penyair Sitor Situmorang dan Saut Situmorang, juga menjadi daerah awal peradaban manusia setelah Gunung Toba Meletus dan menjelma Danau Toba. Dari pantai-pantai Danau Toba, Sitor Situmorang melahirkan banyak puisi yang mensejajarkannya ke dalam deretan penyair kuat di Indonesia.
Raudal hanya memotret Kota Dolok Sanggul, yang, mungkin, kebetulan sedang singgah di sana, pada suatu malam, di sebuah rumah makan. Adegan di rumah makan itu, ketika sopir angkutan umum bercerita dipalak (dimintai uang) oleh orang lain, bukan sesuatu yang hanya ada di Dolok Sanggul. Pemalakan terhadap sopir, ada di mana-mana di negeri ini.
Di Dolok Sanggul, ada banyak hal yang tidak ada di mana-mana. Kota ini, pada masa kolonialisme, menjadi daerah alternatif pemasok budak (kuli) ke perkebunan tembakau di Deliserdang ketika kuli dari Tionghoa, India, dan Jawa sering berulah dan tidak patuh pada mandor. Literatur tentang Dolok Sanggul memang sangat minim. Raudal tidak bersentuhan dengan referensi yang minim itu, maka ia hanya memotret apa yang ia lihat saja di Dolok Sanggul.
Pada
dasarnya, sebagian besar puisi Raudal dalam buku ini, memainkan fungsi
fotografis dari kata. Raudal memotret tempat-tempat yang dikunjunginya, dan
kita yang membaca menjadi tahu, tempat yang kita anggap sangat biasa di daerah
kita karena terlalu sering melihatnya, ternyata memiliki khazanah sejarah yang
luar biasa. Raudal memberitahu pembaca, bahwa semua tempat punya cerita yang
luar biasa. *
“Luna! Selesaikan! Jangan hanya melongo di depan papan tulis. Hayo! Berapa jawabannya? Hanya tinggal sedikit saja, kau tidak bisa? -7 + 12 berapa?” Bu Rini mencecarku.
“Negatif sembilan belas, Bu!” aku menjawab lirih.
“Luna! Kau benar-benar murid payah! Tidak tahu apa-apa! Sudah berulang kali Ibu bilang kalau positifnya lebih besar daripada negatifnya. Dikurangkan saja! Jangan kau tambahkan! Pakai tanda negatif lagi! Iya kau memang sudah negatif, gila!”
Aku hampir menangis di depan kelas. Kata-kata Bu Rini menyayatku, meninggalkan bekas yang perih di hati. Mata seisi kelas tertuju padaku. Aku merasa sedang diadili dan tak bisa membela diri. Sebagian dari mereka tertawa, lainnya melihatku dengan sorot mata iba.
Aku hanya mampu menunduk.
“Duduk!” Bu Rini Beliau memerintah.
Pelipis dan tanganku basah. Aku merasakan ketegangan luar biasa. Aku benci Bu Rini. Aku tidak akan pernah melupakan kata-katanya.
***
Bu Rini adalah wali kelas kami. Beliau tinggi, berkacamata, dan kurus. Beliau mengajarkan matematika. Beliau sangat suka mengatur dan mempermalukan muridnya di depan murid-murid lain. Mengatakan muridnya bodoh, gila, atau payah, sudah biasa baginya. Mulutnya tajam.
Daripada berurusan dengan Beliau, lebih baik menjadi murid biasa-biasa saja dan tidak menonjol. Kalau kau menonjol, kau akan selalu diperintah untuk membantunya seperti mengoreksi hasil ujian, mendekorasi kelas jika ada acara, bahkan, jika ada hajatan di rumahnya, Beliau tidak segan-segan meminta siswa -siswi baik budi dan berprestasi untuk membantu di rumahnya.
Namun, bila kau tidak berprestasi, kau akan sering dijadikan sasaran emosinya. Kau akan dikatakan bodoh, gila, atau payah. Semua kata yang membuat hatimu sakit. Seperti yang aku alami. Aku selalu jadi sasaran Beliau untuk diajari di depan kelas, dan itu membuatku malu luar biasa.
“Luna! Kau piket hari ini?” kata Bu Rini ketika aku lewat di depan Beliau yang sedang memarkirkan sepeda motornya.
“Iya, Bu!” jawabku.
Aku ingin segera berlari ke kelas.
“Kau, hari ini bersihkan WC guru yah!”
“Ba... baik, Bu!" Aku tidak bisa menolak. Dalam hati menggerutu. Kamar mandi guru memang tidak bau seperti kamar mandi siswa, tapi tetap saja menyikat kamar mandi itu pekerjaan yang paling dihindari siswa.
Aku menyikat lantai keramiknya dengan wajah berkerut. Berharap pekerjaan ini cepat selesai. Setelah kusikat, kusiram bersih.
“Luna! Udah siap?”
“Iya, Bu!”
“Ok! Sekarang kamu mencabut rumput di taman depan kantor guru ya, Luna! Mari ikut Ibu!”
Lagi-lagi aku tidak bisa menolak. Aku ingin ke kelas saja menyapu. Aku menjerit dalam hati.
Seusai menyelesaikan semua perintah Bu Rini, aku bermaksud ke ruang guru untuk mengembalikan peralatan yang aku pakai. Saat itulah aku mendengar para guru sedang membicarakanku. Aku urungkan masuk, berdiri di depan ruang guru.
“Luna anak yang rumit dalam belajar. Dia tidak tahu apa-apa. Berulang kali dia tidak lulus pelajaran Bahasa Inggris,” kata Bu Sarah, guru Bahasa Inggris
“Dia itu siswa yang payah! Pelajaran IPA juga dia tidak lulus. Saya tidak bisa memberikan lulus padanya Bu.” Suara Pak Yanto, guru IPA.
“Pelajaran Pkn juga dia gagal. Berat rasanya membuat anak ini lulus!” suara Pak Ryan, guru Pkn.
“Dia pintar menari kok, Bu. Dalam pelajaran seni tari, dia aktif berpartisipasi.” Aku dengar suara Bu Maya, guru kesenian.
Aku terpaku mendengar semua pembicaraan itu dan aku merasa diriku sangat buruk
Bu Rini diam. Aku menunggu kalimat berikutnya.
"Saya harap itu tidak batas lulus, setidaknya satu atau dua di atas batas lulus. Bisakah? Saya sangat berharap kebijakan Bapak dan Ibu untuk memberi anak itu kesempatan. Jangan langsung kita hakimi?”
Aku berlari dari pintu kantor guru. Aku menuju kamar mandi. Air mataku menetes. Bu Rini, guru yang kubenci setengah mati karena selalu memarahiku, ternyata membelaku.
“Tok tok tok! Ada orang di kamar mandi?” suara seorang siswi terdengar di luar.
Aku segera menyeka air mataku dan keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba aku mendengar suara Bu Rini memanggilku yang hendak kembali ke kantor guru mengembalikan cangkul dan gunting rumput yang baru aku pakai.
“Luna! Kau di mana dari tadi? Jam sudah masuk, ke mana kau bawa-bawa gunting rumput dan cangkul itu? Masukkan ke tempatnya dan masuk ke kelas secepatnya!”
“Baik, Bu!” Kali ini tidak ada rasa keberatan terhadap apa yang diperintah Bu Rini. Walaupun nadanya kasar, aku sama sekali tidak tersinggung.
***
“Anak-anak, sebentar lagi ujian semester di depan mata, Ibu harap Kalian dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tingkatkan nilai Kalian. Jangan jadi orang bodoh selamanya. Jangan gila dan jangan payah. Masih ada kesempatan. Meskipun berulang kali gagal, akan selalu ada harapan untuk bernilai lebih baik lagi. Bagi yang sudah bagus nilainya, jangan lengah dan jangan sombong. Tetaplah rendah hati dan terus belajar. Bersifatlah seperti ilmu padi yang semakin berisi semakin merunduk.”
Semua murid mengangguk atas nasihat Bu Rini. Aku terdiam. Aku yang biasanya di awal pelajaran saja sudah seperti cacing kepanasan, kali ini melihat, memperhatikan, dan mendengar apa kata Bu Rini dengan seksama.
“Baiklah!" pikirku. "Jangan bodoh, payah, atau gila!” Tiga kata ini kucamkan dalam benakku baik-baik.
Malam sebelum ujian aku benar-benar membaca, belajar, meskipun sulit aku memahaminya dan otakku hampir gila malam itu. Aku usahakan memahami yang kutulis, membaca buku paket yang diberikan sekolah yang dipinjam dari perpustakaan, ditambah membahas soal-soal dari aplikasi di gawaiku.
Aku berharap akan lebih mudah untuk ujian semester. Meskipun aku dikatakan Pak Yanto tidak pernah lulus dalam ujian harian IPA, kali ini aku harus lulus. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin dengan kemampuanku. Tapi, aku harus berusaha. Jangan sampai aku menyia-nyiakan usaha Bu Rini dalam membelaku di hadapan para guru.
Jujur, yang dikatakan hampir semua guru mengenaiku, memukul batinku dengan telak. Apa yang dikatakan Bu Rini, perkataan kasar itu memang menyakitkan. Tapi, kalau selamanya bodoh, payah, atau gila dalam belajar, hal itu ternyata lebih menyakitkan. Jadi, aku putuskan untuk keluar dari tiga kata mengerikan itu. Aku harus keluar dari kata bodoh, payah, atau gila.
“Rika, minjam buku catatan Bahasa Inggris dong! Aku beberapa hari tidak mencatat, aku ingin mempelajarinya., atau aku fotokan saja yah!”
“Baiklah! Ini, Lun! Kau sepertinya peduli kali ini yah?”
Aku hanya bisa tersenyum tipis dan menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Oh, jadi selama ini aku tidak peduli yah? kataku dalam hati. Dan, siang itu aku juga mendekati Arif. Dia siswa yang paling pintar matematik di kelas kami.
“Rif, aku mau minta tolong. Boleh tidak?”
Arif menatapku, aku tahu dia berpikir aku tidak seperti biasanya.
“Apa itu, Lun? Selagi mampu aku bantu....” Arif mengambil botol minumnya dan perlahan meminumnya.
“Aku ingin diajari matematika sepulang sekolah, aku boleh ke rumahmu atau kita ambil waktu ke cafĂ© sebelum pulang sekolah. Aku yang traktir bagaimana?”
Hampir saja Arif tersedak. Dia menghentikan minumnya dan menatap ke arahku.
“Maaf, sepertinya aku tidak punya waktu mengajarimu.” Dia bergegas menyusun bukunya hendak pulang.
“Tolonglah, Rif, aku minta tolong?” Aku bersikeras menghalangi jalannya.
Dia tidak menjawab dan berlalu. Tapi aku tidak kehabisan akal. Aku harus bisa lulus. Dalam waktu dua setengah bulan setelah mid semester.
Malam hari, aku menghubungi Arif lewat pesan chat: “Rif, please bantulah untuk menjawab soal matematika ini.” Aku memotokan soal itu dan mengirimkannya.
Lama tidak dibaca, aku memutuskan mempelajari materi persamaan kuadrat. Materi ini membuatku setengah mati dan hampir gila memikirkannya. Dibaca berapa kalipun aku tetap tidak paham. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka you tube, menonton video pembelajaran mengenai materi ini.
Jelas-jelas Arif beberapa kali menolakku saat kukirimkan beberapa soal yang tidak aku mengerti dan telah kucari lewat google juga penjelasannya belum membuatku paham. Aku hampir saja putus asa, saat aku mndapat balasan dari Arif. Dia menjawab segala permasalahan yang kutanyakan mengenai pengurangan bilangan bulat positif dan negative. Aku senang sekali. Aku berulang kali mengucapkan terimakasih padanya.
“Iya, sama-sama, Lun. Mudah-mudahan nilaimu naik. Entah angin apa yang membuatmu berubah, Lun. Biasanya kau tidak peduli.”
Kata-kata Arif terakhir cukup menusukku. Persis seperti yang dikatakan Rika, si ahli Bahasa Inggris di kelas IX-1 .
Ujian pun tiba. Aku bersemangat dan juga gugup kali ini. Aku tidak pernah segugup ini dalam ujian. Namun, aku sangat berharap, nilaiku naik. Tidak seperti bulan-bulan sebelum ujian. Tidak seperti yang dikatakan guru-guru di ruang guru itu.
Saat ujian berlangsung, hari pertama hingga hari terakhir, aku mencoba mengerjakannya dengan tenang. Berharap hal yang kupelajari dalam waktu singkat itu akan berguna. Berharap aku tidak bodoh, gila, atau payah.
Pagi itu setelah selesai ujian, Bu Rini memasuki ruangan kelas. Ada yang berbeda dengan Beliau. Ada senyuman di wajah Bu Rini.
“Anak-anak, Ibu sangat bangga pada Kalian. Nilai Kalian meningkat jauh dibandingkan saat ujian sebelumnya." Bu Rini diam, mengembangkan senyum. "Ada seseorang di antara Kalian yang perubahannya cukup drastis untuk pelajaran matematika.”
Bu Rini kemudian membagikan lembar jawaban matematika yang sudah dinilai. Arif tetap mendapatkan nilai tertinggi di kelas untuk matematika. Dia memang dewanya di matematika. Dia begitu sumringah dan senang melihat nilainya dan aku masih harap-harap cemas menanti namaku dipanggil Bu Rini.
“Luna Cecilia!”
“Anak-anak, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Meskipun sulit, jika punya tekat, kamu pasti bisa. Untuk ujian kali ini, Ibu sangat bangga terhadap seorang siswi Ibu. Dua setengah bulan lalu, Ibu masih mengatakan dia payah, bodoh, atau gila. Kali ini, saat Ibu memeriksa kertas ulangannya. Ibu berulang kali kagum. Dia pasti telah belajar sungguh-sungguh selama dua setengah bulan terakhir ini. Selamat untuk Luna Cecilia. Peraih nilai tertinggi kedua matematika. Dengan nilai 99.”
Aku terkesiap mendengar apa yang baru saja dikatakan Bu Rini. Semua mata tertuju padaku. Aku menangis. Aku dapat nilai 99!? Hanya satu poin di bawah Arif? Aku mendapat peringkat kedua tertinggi? Itu seperti mimpi.
Satu-per satu nilai ujian mata pelajaranku keluar: IPA, Bahasa Inggris, kesenian, PKn, olahraga, agama, dan nilai muatan lokal.
“Peraih nilai tertinggi IPA diraih Luna Cecilia.” Pak Yanto mengumumkan itu di kelas. Lagi-lagi, semua mata tertuju padaku. Aku menyadari tatapan Pak Yanto padaku kini berubah. Aku bukan siswa yang payah lagi dan membuat Beliau hampir gila karena aku.
“Nak! Bapak bangga padamu.” kata Pak Yanto.
“Inilah contoh siswi yang baik anak-anak. Kalian tahu Luna saat Ujian Tengah Semester tidak lulus pelajaran apapun kecuali kesenian. Sekarang ia banyak perubahan. Itu hal yang luar biasa. Jika Kalian sungguh-sungguh, pasti mendapat. Contohlah Luna Cecilia yang dapat berubah ke arah yang lebih baik.”
Untuk sekejap, aku kembali mengingat kata-kata yang kudengar di ruang guru dari Pak Yanto mengenai diriku. Kali ini, dia berbalik memujiku. Ternyata pintar itu melegakan.
BIODATA PENULIS
Rizki Muliani Nasution lahir di Kota Padangsidimpuan, 16 September 1992. Ia seorang pengajar bimbel dan seorang ibu rumah tangga. Ia sangat menyukai dunia fiksi dan nonfiksi.
Penyuka drama Korea ini telah menulis novel Cinta Untuk Ayah dan Menikahlah dan Menjadi Pasangan yang Berbahagia.
Ia dapat diajak untuk diskusi dan dihubungi di Istagram: @rmuliani, Facebook : rizki muliani.
Copyright © Flashnews Theme. Designed by OddThemes