Bagaimana cara keluar?! Ia telah mencoba, usahanya gagal meyakinkan orang-orang bahwa ia tidak layak berada di tempat itu. Dan orang-orang itu, para petugas yang menjemput ke rumahnya, mengakui kalau ia memang tak layak diisolasi. Cuma, kata para petugas, ia memenuhi semua syarat untuk diisolasi.
Ia baru datang dari Jakarta, kota yang terkontaminasi virus, dan tak melaporkan kedatangannya. Ia pun tak punya surat-surat yang menyatakan dirinya sudah mendapat vaksin, sehinga kepulangannya dicurigai kalau ia salah satu pasien yang berhasil melarikan diri dari Jakarta.
Selain itu, dan ini yang sangat penting, para petugas akan mendapat banyak keuntungan dengan menetap seseorang sebagai pasien terpapar virus Covid-19. Negara mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk mengatasi bertambahnya korban, dan negara akan memberi dana kepada daerah yang warganya banyak terpapar virus.
"Kau akan bebas asal kau sediakan uang!" kata salah seorang petugas, "kau punya keluarga yang bisa dihubungi?"
Ia menatap petugas itu. Geliginya gemeletuk menahan geram. Kalau saja tangannya tak terikat... ah, betapa konyolnya, kedua tangannya terikat ke sisi sisi ranjang rumah sakit. Tapi ia tetap membayangkan meninju petugas itu. tepat di hidungnya, dan ia tertawa melihat darah segar mengucur dari hidung itu.
"Sinting!" kata petugas, "malah tertawa."
*
Uang!? pikirnya. Itulah yang tidak dimilikinya. Hidup di Tangerang Selatan mendadak begitu mahal. Tabungan selama tiga tahun bekerja di pabrik, terkuras dengan cepat, tak sampai hitungan sebulan. Semua karena harga segala sesuatu melonjak tinggi, naik berkali-kali lipat.
Papi Liong, satu-satunya warung yang tetap bersedia buka dari puluhan warung di komleks tempat tinggal Ahmad Dhani, mengatakan harga naik sesuai hukum ekonomi; supplay berkurang akibat banyak pabrik yang tutup sementara perminta tinggi.
Ahmad Dhani sudah mencoba berutang, tapi Papi Liong menolak. "Elu siapa?!" ketus Papi Liong, "kalau elu mau, ambil. Kalau gak, elu bisa pergi!"
Papi Liong, laki-laki 54 tahun, tak pernah seketus itu menghadapi pembeli. Jangankan minta harga dikurangi, bayar nyicil pun ia ladeni. Ia, bahkan, suka mencandai pembeli dengan humor-humor yang terdengar lucu hanya karena lidahnya cadel saat bicara.
Ia berubah 380 derajat setelah istrinya yang menderita diabetes, divonis dokter terpapar virus Covid-19. Perempuan yang selalu duduk di kursi roda dan setiap hari menemani Papi Liong menjaga warung, dibawa paksa pakai ambulance dan diisolasi di sebuah gedung yang tak boleh dikunjungi siapa pun. Beberapa hari berselang, istrinya dikabarkan telah meninggal.
Papi Liong meraung-raung, minta tolong kepada setiap orang agar bersedia membantunya meminta jenazah istrinya. Ia bilang, arwah istrinya tidak akan bisa bereinkarnasi jika tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya. Leluhurnya di Tionghoa juga tak akan menerima perlakuan itu.
Tapi, jangankan menolong, orang-orang lebih memilih mengunci pintu dan jendela. Orang-orang mendengar ketika petugas datang dan mengancam akan membawa Papi Liong kalau masih saja protes.
Papi Liong akhirnya menyerah. Sejak itu, hampir tiap hari ia terdengar meraung-raung. Rauangannya menandai periode menyedihkan di perkampungan tempat Ahmad Dhani mengontrak. Para petugas datang dan mewajibkan siapa saja di perkampungan itu agar mengikuti uji laboratorium. Jika menolak, petugas akan memberi hukuman di tempat, menggeret yang bersangkutan dengan perlakuan sebagai pasien Covid-19.
Situasi semakin parah ketika koran memberitakan, setelah semua warga menjalani swap dan uji laboratorium, tujuh di antara warga ternyata terpapar virus Covid-19. Dua di antara warga itu tinggal di rumah petak, sekitar dua rumah petak dari tempat Ahmad Dhani mengontrak. Akibatnya, semua penghuni komplek rumah petak itu dilarang keluar rumah, dan ini membuat Ahmad Dhani sangat tersiksa. Tambah sengsara ketika Ahmad Dhani dapat kabar kalau perusahaan tempat ia bekerja sebagai buruh dipksa tutup setelah salah seorang buruh divonis terpapar virus Covid-19.
*
Suatu malam Ahmad Dhani kabur dari rumah kontrakannya. Jalanan sepi. Kota seperti baru ditinggalkan penghuninya. Sekali-sekali melintas ambulance, meraung-raung memecahkan kesunyian. Sekali-sekali mobil patroli polisi, berjalan lambat.
Semua orang tidak bebas keluar rumah. Hubungan sosial dibatasi. Tak ada yang boleh melawan, polisi dan kekuatan militer akan datang. Mereka bisa mendakwa siapa pun telah terpapar virus. Tak akan ada pengacara di dunia ini yang mau membela. Hukumnya jelas, diisolasi, terputus dari segala kehidupan sosialnya.
Bertahan tanpa bisa melakukan apa pun sama saja dengan hidup dalam isolasi. Ahmad Dhani putuskan meninggalkan Tangerang Selatan, kota tempat ia tinggal selama tiga tahun terakhir. Ia pulang ke kampungnya di Padangsidimpuan, kota kecil di Provinsi Sumatra Utara.
Menumpangi bus yang berjalan selama dua hari satu malam dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra adalah siksaan dalam hidupnya. Lima belas penumpang di dalam bus, semua menjadi orang asing antara satu dengan lainnya. Tidak ada tegur sapa. Hening. Kaku. Setiap orang berusaha menghindar untuk bersitatap dengan orang lain.
Ia merasa seperti berada di dalam sebuah dunia asing yang bergerak dengan orang-orang di sekitarnya yang dapat berubah menjadi menakutkan. Seperti situasi dalam dunia fiksi, hidup di tengah-tengah zombi dan tidak diketahui zombi yang mana yang akan menyengsarakannya.
Salah seorang penumpang, seorang perempuan muda, duduk di belakangnya, menjelma mimpi buruk. Sejak awal perempuan muda itu memakai masker, sama seperti penumpang lainnya, tapi ia berbeda, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Begitu naik, perempuan muda itu langsung berlipat di kursinya.
Ketika bus menyeberangi Selat Sunda, lalu berada di sebuah kapal rool on rool of, perempuan muda itu mendadak histeris. Lantai bus dipenuhi darah, juga jari jemarinya. Ia baru saja menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya.
Orang-orang panik, menghambur keluar bus. Ahmad Dhani sedang tertidur, sontak bangun, dan melihat perempuan muda itu menggelupur. Darah menggenangi lantai bus.
Ia meloncat dari bangkunya. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba sudah berada di luar bus. Bus dikosongkan.
Perempuan muda itu tiba-tiba keluar dari pintu belakang. Seluruh tubuhnya merah darah. Pakaiannya, tangannya.... Langkahnya gemetar. Ia minta tolong. Orang-orang panik, berhamburan menjauh.
Seseorang, laki-laki bertubuh tegap, tiba-tiba maju dan menerjang perempuan muda itu. Perempuan muda itu terhempas dan menghantam sebuah mobil. Alarm mobil itu meraung, menyita perhatian orang-orang. Perempuan muda itu masih bergerak, terlihat sangat kesakitan.
Laki-laki yang menerjangnya memasang kuda-kuda, siapa menghantam kali kedua. Ketika perempuan muda itu mencoba bangkit, laki-laki bertubuh tegap itu meloncat. Kakinya yang kokoh menghantam perempuan muda, tubuh perempuan muda itu terjungkal dan berguling-guling sampai ke pagar pembatas kapal.
Seorang perempuan gendut dekat pagar pembatas, menyepakkan perempuan muda itu keluar dari kapal.
Kepanikan berhenti. Orang-orang menatap ke laut. Perempuan muda itu mengapung-apung dipermainkan ombak.
Ahmad Dhani menoleh ke penumpang bus yang berdiri di sampingnya. Mereka saling pandang. Mata mereka berbicara tentang hal-hal yang mereka khawatirkan.
*
Ahmad Dhani tiba di rumahnya di Padangsidimpuan. Azan Magrib baru selesai. Rumah sunyi. Bau debu menyeruak. Ayah dan ibunya tak bangkit dari kursi, hanya menatap dingin ke arahnya. Tidak ada pelukan. Sorot mata mereka jelas mencurigainya.
Ia tidak perduli, membawa tasnya, masuk ke kamar. Di kamar itu, ada adiknya, Sultoni, sedang rebahan. Anak 15 tahun itu bangkit begitu melihatnya. Ketika adiknya hendak memeluk, ia memberi isyarat agar menjauh.
Sultoni terduduk lesuh di pinggir tempat tidur. "Kenapa semua orang saling memusuhi," kata adiknya, lalu menatapnya, tampak serius. "Kita ini saudara kandung... Kenapa seperti orang asing."
Ia merasa dadanya dihantam. Tapi ucapan itu tidak mengubah situasi. Ia menatap adiknya. "Mana Husin dan Yanti?" ia sebut nama dua adiknya yang lain.
Sultoni meraung. "Husin meninggal karena Covid, ia dibawa petugas dan dikubur entah di mana. Yanti sedang diisolasi. Kita juga dilarang keluar rumah."
"Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" Ahmad Dhani kesal. Ia membayangkan dirinya akan ikut diisolasi di dalam rumah. Ia tidak akan bisa keluar, dan hal ini membuatnya marah. "Kalau tahu begini, aku tak akan masuk ke rumah ini."
"Bagaimana mau mengabari, kami tidak bisa ke mana-mana."
Ahmad Dhani mengangkat tasnya, keluar kamar, dan mencoba keluar rumah. Ayah memberi isyarat agar ia jangan keluar. Ibu menangis. Ia bergeming, membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, di luar sudah ramai. Lima petugas, masing-masing memakai seragam pelindung berwarna putih, sudah menunggunya. Ia diseret ke mobil ambulance. Ia berteriak-teriak. Ia berusaha melawan.
Seorang petugas menghantam kepalanya. Ia pingsan dan tubuhnya dileparkan ke dalam mobil ambulance.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di dalam ruangan isolasi: sebuah ruang berbentuk kubus berdinding transparan. Ia mencoba bangkit, memijiti tengkuknya yang terasa nyeri.
Ia tebar tatapan, tak ada siapa pun. Ia menyentuh dinding. Aliran listrik menyengatnya. Ia berteriak-teriak memanggil orang-orang.
Ia dengar suara pintu dibuka. Dua orang memakai perlengkapan pelindung muncul di sampingnya. Melihat kedua orang itu, ia bertanya kenapa mereka membawanya.
"Kami menjalankan aturan," kata salah seorang. "Kau baru saja datang dari daerah yang terpapar Covid."
"Aku tak terpapar."
"Semua orang yang datang dari daerah pandemi Covid selalu berkata hal yang sama seperti yang kau ucapkan," kata petugas yang satunya. "Kalian melarikan diri dan bermaksud menyebarkan virus itu ke daerah ini."
"Itu tidak benar."
"Kami yang menentukan sesuatu itu benar atau tidak," kata petugas. "Cara kami ilmiah. Kami punya laboratorium."
"Saya sudah disuntik anti virus."
"Kami tak percaya begitu saja," petugas bersikap tegas. "Kami tahu semua serum anti-virus yang dipakai di daerah pandemi itu palsu karena para pejabatnya ingin mendapat keuntungan. Itu yang menyebabkan banyak yang terpapar virus."
"Kalian bisa periksa saya! Saya sehat. "
"Itu butuh proses."
"Berapa lama?!"
"Jangan mendikte kami. Kami paham dengan apa yang kami kerjakan."
Dua petugas lagi masuk, membawa nampan berisi peralatan medis. Dua petugas pertama membuka kotak isolasi, menyuruh Ahmad Dhani tenang. "Jangan konyol! Kami hanya mau memberimu vaksin," kata salah seorang petugas.
"Tidak!" Ahmad Dhani berteriak. "Aku tak mau. Aku tak percaya."
"Kami tak membutuhkan apapun darimu," ketus petugas. "Kami hanya perlu memastikan semua orang yang dibawa ke mari sudah divaksin."
*
Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, tapi ia yakin hal itu akan menimpa dirinya. ia harus bisa meloloskan diri. Harus....!?
Budi Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, dengan nama Budi Hutasuhut. Menulis sejak masih SMP berupa cerpen dan puisi di sejumlah media terbitan Medan dan Jakarta. Tahun 1990 menjadi mahasiswa di Jakarta, tapi lebih banyak terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan kesenian ketimbang berkuliah. Telah menjadi jurnalis sejak 1991, bekerja lepas di Suara Pembaruan, Jayakarta, Mutiara, dan lain sebagainya. Telah menulis banyak buku, terutama biografi para tokoh, hasil kajian budaya dan sejarah, kumpulan esai, dan lain sebagainya.
Posting Komentar