Bulan purnama terang benderang di atas Jakarta. Cahaya itu tak berarti apa-apa di mulut sebuah gang kecil; itu satu-satunya jalan menuju perkampungan kumuh di dalam gang kecil itu, kampung yang menyempil di antara gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi sebagai sisi gelap kehidupan dari gemerlap metropolitan.
Ke mulut gang itulah Lala masuk, melangkah pelan dan pasti. Gadis
itu mengenakan gamis hitam, sewarna dengan kerudungnya, tas bermerek di bahu
kirinya. Ia memakai masker warna hijau pupus.
Suara langkahnya bergema, dipantulkan tembok-tembok tinggi
di kiri dan kanan gang. Tembok-tembok itu memisahkan kehidupan manusia secara
kontras antara mereka yang tinggal di gedung-gedung bertingkat di balik tembok
dengan perkampungan kumuh.
Bau pesing menyeruak dari tembok-tembok itu, masker
menyelamatkan hidungnya dari hantaman aroma asam amoniak itu. Ia terus melangkah,
melewati tembok-tembok yang dipenuhi coretan kata-kata kotor, makian-makian
dalam Bahasa Inggris, dan gambar-gambar yang memperkuat kesan bahwa
perkampungan di dalam gang kecil itu bukan tempat yang bagus untuk dikunjungi.
Ya, sudah santer ke mana-mana di Jakarta, kampung kumuh itu lebih tepat sebagai sarang ketimbang sebagai perkampungan. Di dalamnya, hidup orang-orang yang hanya bisa bernafas pada malam hari, hidup dari kehidupan yang justru kematian bagi orang lain. Mulai dari pencopet, penipu, pemabuk, pedagang narkoba, dan para pelacur.
Semua membentuk komunitas, sebuah masyarakat dengan
sistem sosial yang khas, tetapi menjadi hantu yang menakut bagi orang-orang di
luar komunitas. Dan, pernah, beberapa tahun lalu, puluhan polisi menyerbu perkampungan
itu, menyisiri tiap sudut dari 15 rumah yang ada di dalamnya untuk mencari narkoba.
Tentu saja polisi tak menemukan apapun, dan polisi merasa
intel yang dikirim sudah dikadali, maka secara membabibuta tujuh orang
ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba di Jakarta.
Tuduhan itu tak berhasil karena tak ada
barang bukti. Ketujuh orang itu seharusnya dibebaskan tanpa syarat, tapi polisi
hanya bersedia mengeluarkan jika ada uang tebusan. Laku rampok polisi,
peristiwa yang teramat biasa, hal konyol yang selalu menyasar orang-orang miskin
Jakarta.
Lala hanya dengar cerita itu dari orang-orang perkampungan,
dan dampak penggerebakan itu membuat perkampungan senyap selama dua hari. Tidak
ada kehidupan, mirip perkampungan hantu yang ditinggal penghuninya lantaran teror
wabah penyakit. Memasuki hari ketiga, segalanya kembali pada kondisi semula. Kehidupan
menggeliat lebih ramai dari pasar malam. Selalu, seusai jam Isya, perkampungan
itu bergaira dengan orang-orang yang keluar masuk gang untuk menikmati
kehidupan malam.
Kehidupan malam dengan para pemabuk yang marah karena
pemilik warung menolak mengutangkan sebotol minuman, pelacur yang merepet
kepada laki-laki hidung belang yang terlalu rendah menawar harga, sekelompok preman
yang memata-matai seseorang yang diduga sebagai intel, atau anak-anak remaja yang
berlari-lari di gang untuk menghindari mucikari yang memergoki mereka mengintip
dari cecelah dinding ke dalam sebuah kamar pelacuran.
Anak-anak yang malang?! Generasi muda bangsa yang
perkembangannya mengkhawatirkan? Itu kesan pertama Lala begitu tahu kondisi
mereka. Tak bisa tidak, kesan itu streotife. Tapi kesan itu buyar begitu ia
dekat dengan anak-anak itu, bermain bersama mereka, mendengarkan cerita mereka,
dan…
Minimal sekali dalam sepekan, selalu malam hari, Lala datang
untuk menemui anak-anak itu. Pernah ia dating siang, tapi perkampungan itu
seperti tanpa penghuni. Semua orang keluar, juga anak-anak remaja itu, entah ke
mana. Belakangan Lala tahu, ada dari mereka yang menjadi pengemis, pengamen,
pedagang asongan, dan ada yang terjerembab lebih dalam ke ceruk kehidupan
sebagai bagian pencopet yang acap beraksi di angkutan kota. Begitu tahu sisi
lain dari anak-anak remaja itu, Lala tak memarahi mereka.
Lala hanya tersenyum.
Dan malam ini, ia melangkah dengan niat yang sama; menemui anak-anak itu. Ia
lihat bayangan kelam menggeliat di kejauhan,
seseorang dalam gelap berlipat di tengah-tengah gang, menceracau dengan
suara serak, dan botol minuman keras menggelinding di sampingnya. Lala mengenal
pemabuk itu sebagai Kapto, pengangguran yang menganggap hidup hanya untuk
meminum alkohol, dan ia menyapanya sambil terus melangkah. Tergeragap, Kapto
menyahut, lalu muntah.
Seekor tikus got menyeberang di hadapan Lala, gesit dan
tampak ketakutan, menghilang di tumpukan sampah. Lala mempercepat langkah, mulai memasuki
perkampungan, lalu mengedarkan tatapan ke setiap sudut. Rumah-rumah kayu
berdiri tumpang-tindih dan kumuh, remang
dan suram. Orang-orang meriung di depan rumah,
suara mereka tertawa lepas. Ada anak kecil merengek, ibu-ibu
berteriak-teriak, musik remix, lagu dangdut. Semua biasa dan teramat biasa.
Lala berhenti sebentar di bawah sinar lampu gang yang redup,
tak jauh dari tiga laki-laki yang sedang berjoget di depan rumah. Nazhar
menyanyi di Youtube yang dibuka di telepon genggam. Lala memperbaiki letak tali
tasnya yang mau jatuh, lalu kembali melangkah.
"Cewek...!" Seseorang dari balkon sebuah rumah
menyuitinya.
Lala hanya tersenyum. Seperti sudah ia duga, detik
berikutnya ia dengar suara lain, seseorang membentak orang yang baru
menyuitinya. "Sinting kau Barno! Itu Lala. Jangan kau ganggu dia!"
Lala kenal pemilik suara itu, Rahman Picak, salah seorang
yang paling ditakuti di perkampungan itu.
Pertama kali bertemu Rahman Picak, itu hampir setahun lalu, hari pertama
ia harus mengunjungi perkampungan. Saat
ia sedang mengamati anak-anak di perkampungan, Rahman Picak menghampirinya dan
menggertaknya.
"Kau siapa? Mau memata-matai kami ya!?" Rahman
Picak mengancam akan menyakitinya, dan ia tidak akan mampu berbuat
apa-apa.
Lala menatap Rahman Picak, lalu mencoba tersenyum. Ia merasa pernah lihat wajah Rahman Picak,
entah di mana, tapi mungkin di televisi, atau di koran, tapi entahlah. Dan mata itu...ya..ya..... Ia ingat mata itu
terkena lemparan batu ketika polisi menyerbu perkampungan untuk menangkapi para
bandar narkoba. Ia mencoba tersenyum.
"Pak Rahman...?" sapanya.
"Bilang saja Rahman Picak... Kenapa?!"
"Rahman Picak!" Ia tersenyum. "Bapak yang
dulu kena batu saat polisi menggerebek perkampungan ini."
"Kau menontonnya...?" Tiba-tiba suara Rahman Picak
melembut. "Bagaimana.... Bagaimana penampilan aku?"
Lala cepat menjadi akrab dengan siapa pun. Itu kelebihannya.
Ia baru tahu kelebihannya setelah Bambang Suranto, direktur di perusahaan,
memanggilnya untuk mengerjakan project CSR (corporate social responsibility)
perusahan di kampung kumuh. "Kami
tahu kau mampu mengerjakannya," kata Bambang Suranto.
Lala tak percaya dirinya mendapat kepercayaan begitu besar
dari direktur perusahaan. Baru dua tahun
ia bekerja sebagai staff di bagian CSR, dan hampir tak pernah dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan perusahaan di luar. Ia hanya karyawan administrasi, berkutat
dengan tumpukan berkas yang sebagian besar proposal permintaan sumbangan dari
pihak luar. Pernah terpikir olehnya
untuk keluar, mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dengan karakternya. Tapi pikirkan
itu segera disingkirkannya mengingat betapa sulit mendapatkan pekerjaan baru di
Jakarta sementara ia sudah memilikinya.
Mendapat tanggung jawab baru, Lala berjanji kepada dirinya tak
akan mengecewakan direktur. Tapi
rekan-rekan di kantor mewanti-wanti agar ia lebih hati-hati. Mereka mencoba
menakut-nakuti agar menolak project itu, tapi Lala tak bergeming. Ia tahu,
rekan-rekan hanya iri karena proyek yang ditanganinya, dan mereka mendambakan
memegang proyek itu.
Langkah Lala berhenti di depan sebuah warung, rumah kecil
yang remang-remang, dengan sepotong papan bertuliskan "Mekmeah"
terpampang di depannya. Melihat Lala
muncul, seseorang bertubuh gemuk, keluar menyambut. "Aihh, ibu Lala sudah datang.
Masuk, Bu!” kata Uti.
Lala hanya senyum. Ia hafal betul siapa Uti, pemilik warung yang menguasai laci tempat uang, seseorang yang tahu persis bahwa senyum ramah membuat siapa saja akan dengan senang hati untuk singgah. Warung yang menjual minuman dan rokok hanya kedok bagi Uti untuk menyembunyikan bisnis lendir yang dikelolanya bertahan-tahun.
Di dalam warung,
ada kamar-kamar ukuran 2x3 meter, hanya muat selembar kasus dengan dua bantal
lapuk dan bau apak, tempat di mana pelacur dan laki-laki hidung belang
melayang-layang. Kamar-kamar itu disewakan Uti untuk short time, tak
lebih 30 menit. Jika dalam 30 menit penyewanya tak keluar, karakter asli Uti
akan muncul dengan mulut kasar yang jorok, lebih jorok dari tempat pembuangan sampah.
Saat Lala berjalan mengikuti Uti memasuki sebuah lorong kecil
antara kamar-kamar short time di dalam rumah, mereka berpapasan dengan seorang
laki-laki betubuh kurus yang baru keluar dari salah satu kamar. Matanya liar
dan genit mengikuti Lala, lalu berbisik pada Uti. “Barang baru ya! Bagus juga!”
Refleks, tangan Uti yang
gempal mendarat di pipi laki-laki itu. “Kurang hajar! Jaga mulut kau ya.”
Lala kaget.
Laki-laki kurus itu merasa telah dihinakan dengan tamparan
itu. Emosinya hendak meledak, tapi ia urungkan ketika Rahman Picak muncul di
depan warung. Laki-laki kurus itu tahu Rahman Picak, dan nama itu santer
sebagai centeng yang memegang semua perkampungan karena punya ilmu kebal.
Uti membawa Lala masuk lebih ke dalam Lorong, lalu mereka keluar
dan sudah berada di bagian belakang rumah, di hadapan sebuah bangunan. Ke dalam
bangunan itulah Lala masuk, tempat yang selalu ia kunjungi, ruang 4x12 cm yang
pengab tanpa ventilasi. Itu Ruang Syalala. Di dalamnya sudah ada puluhan
anak-anak remajadan mereka sontak berdiri begitu Lala masuk.
Riuh suara mereka, riang dan penuh semangat. Dua belas
jumlah mereka, anak-anak yang lahir dan tumbuh di perkampungan kumuh. Mereka tak
pernah sempat menjadi anak-anak, dipaksa oleh keadaan untuk cepat dewasa. Hidup
sebagai tulang panggung keluar, menjadi pengamen, pedagang asongan, dan apa saja yang membuat mereka bisa pulang
membawa uang. Seluruh waktu mereka lunas bukan sebagai anak-anak, tetapi orang
dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.
Lala mengumpulkan mereka sebagai bagian dari proyek CSR dari
perusahaan, membuka wawasan mereka dengan memberi bacaan, pendidikan, mengajarkan
mereka tentang makna hidup. Sekali-sekali, Lala membawa mereka ke Dupan, Taman
Mini Indonesia Indah, atau ke mal.
Awalnya Lala hanya ingin berbagi sesuatu yang bisa jadi
spirit bagi anak-anak, tapi segalanya kemudian berbalik, sebab ia yang justru
mendapatkan hal yang luar biasa dari anak-anak itu.
Sekalipun orang-orang di Jakarta memandang mereka secara
streotif sebagai sisi gelap dari kehidupan metropolitan yang harus dijauhi bila
bertemu, ternyata mereka sangat memanusiakan
manusia. Tak ada seorang pun yang ingin mereka jauhi, sebaliknya mereka ingin
dekat dengan siapa pun, tapi penampilan fisik mereka yang jauh dari predikat
higenis, membuat orang-orang menghindar.
Pernah, seseorang yang mengaku konglomerat dan memiliki
gedung apartemen di balik tembok, mengirim empat anak buahnya untuk
menyingkirkan perkampungan kumuh karena di atas lahannya akan dibangun gedung
apartemen 50 lantai. Mereka membawa
koper berisi uang dan setumpuk surat, meminta siapa saja yang punya rumah untuk
menandatangi surat dan mereka akan mendapatkan ganti rugi. Tapi, tidak ada yang
mempercayai empat suruhan itu,dan orang-orang memaksa mereka angkat kaki.
Jalan yang ditawarkan tak diperdulikan, konglomerat itu merasa diremehkan. Ia cari alternatif lain, dan tumpukan uangnya bicara di kantor pemerintah dan kantor polisi, mengubah isi kepala dan isi hati semua elite agar berpihak kepadanya dengan alasan Jakarta harus tertata rapih.
Selang sepekan, puluhan orang yang mengaku rekanan dari konglomerat, dating membawa alat-alat berat dan siap meratakan lahan. Puluhan petugas dengan petungan dan tameng, mengawal para pekerja. Mimpi buruk warga perkampungan kumuh segera tiba, tapi segalanya berhenti ketika anak-anak dari Rumah Syalala maju ke depan dan menantang.
Lala ada bersama
mereka, berpidato tentang hak asasi manusia, masa depan generasi bangsa, dan
nilai-nilai kemanusiaan. Adegan yang heroic itu, disiarkan secara langsung oleh
stasiun-stasiun televisi, dan Bambang Suranto menonton aksi itu lewat layer televisi
di ruang rapat pemegang saham.
“Anak buah siapa yang mau merubuhkan kampung kumuh itu?”
teriak Bambang Suranto.
Seseorang angkat tangan, bicara dengan nada suara yang
lemah. “Maaf, Pak, itu proyek baru kita.”
“Kita!?” Bambang Suranto mengernyitkan kening. “Kenapa saya
tidak diberi tahu?”
“Ini kebijakan anak perusahaan kita.”
“Batalkah!” teriak Bambang Suranto. “Perempuan yang aksi itu anakku. Jangan ada yang mengganggunya. Aku sengaja mengirimnya ke sana untuk mengubah perkampungan itu….”
Bambang Surantyo tersenyum. Licik.
*
Posting Komentar