"Istri Sempurna" Gagal sebagai Cerpen Terbaik Kompas
Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023.
Oleh: Budi Hatees | Pembaca karya sastra
Selain kontinyu melahirkan cerpen baru yang
berkontribusi terhadap dunia cerpen kita, Kompas juga membawa pengaruh terhadap
dunia penulisan cerpen--melahirkan banyak generasi baru penulis cerpen
sekaligus membuat para penulis menjadikan cerpen sebagai pilihan utama dalam
berkreativitas.
Simpul ini tak perlu saya jelaskan secara statistik,
dan pasti Anda akan sulit menerima hal-hal yang tidak punya rujukan objektif
dan paradigmatik seperti ini, tapi saya tidak menolak bila Anda bisa
membalikkan simpulan saya, bahwa bukan Kompas yang memberi sumbangan terhadap
dunia penulisan cerpen, sebaliknya cerpen yang membuat Kompas menjadi media mainstream atau
berkembang sebagai industri pers seperti saat ini. Simpul seperti itu ada
benarnya jika kita ikuti fenomena Kompas sebagai satu-satunya media
koran yang masih mempertahankan rubrik sastra sementara koran-koran lain telah
gulung tikar, karena rubrik sastra itu membuat Kompas tetap memiliki
pembaca.
Soal siapa
yang memengaruhi antara Kompas dengan cerpen, atau adakah symbiosis
mutualisme di antara keduanya, atau hubungan lain di mana
yang satu menjadi semakin buruk sementara lainnya berperilaku seperti benalu
yang menjadi parasit pada tanaman inangnya, sudah sering dibicarakan para ahli
sebagai fenomena sastra koran.[1] Mahluk
bernama sastra koran ini mendapat perhatian khusus dari para ahli sastra di
negeri ini, dipuja-puji dengan pilihan diksi yang superlatif sebagai primadona karya
sastra, meskipun realitas menunjukkan kehadiran sastra sebagai dunia fiksional
di dalam internal dunia media yang mempertaruhkan faktual itu menjadi sebuah
paradoks.
Sastra pada hakikatnya mempertaruhkan pesan. Koran pada hakikatnya medium tempat pesan. Dalam kajian ilmu komunikasi, koran adalah barang poduksi yang dipersiapkan sebagai medium dari pesan berbentuk tulisan dan gambar. Koran hanya diperuntukkan bagi karya tulisan yang mensyaratkan isinya harus sesuai dengan fakta karena ada regulasi yang mengatur perihal itu. Koran tidak diperkenankan berisi imajinasi apalagi fiksi, tetapi cerpen merupakan karya fiksi. Jadi, kehadiran karya fiksi sebagai bagian dari koran sebuah paradoks.
Di negeri kita ada anggapan bahwa "koran tanpa sastra sama dengan tidak beradab", seperti disampaikan Marsus Banjarbarat dalam esainya "Koran Tanpa Sastra: Barbar" (disiarkan di Riau Pos edisi Minggu, 20 Januari 2013), seolah-olah karya jurnalistik tidak mampu membuat koran menjadi beradab. Bahkan, sastra koran yang fiksional itu didorong sebagai pilihan alternatif untuk mengungkapkan fakta aktual apabila jurnalisme tidak bisa menjalankan fungsinya di hadapan kekuasaan pemerintah yang kooptatif dan hegemonik.[2] Orang-orang memang sering terlalu pintar di negeri ini.
Meskipun begitu, kita tak bisa mengabaikan, bahwa cerpen bagi pengelola koran hanya alat untuk kepentingan profit bisnis dalam rangka menciptakan segmen pembaca yang lebih luas dan lebih beragam sehingga oplag bisa ditingkatkan, selain untuk menciptakan produk baru berupa buku cerpen untuk mendukung unit usaha dalam internal konglomerasi media. Sebagian besar pengelola koran tidak seberhasil Kompas dalam menggapai profit yang diangankan, kemudian mereka menghapuskan rubrik cerpen dan menggantinya dengan iklan yang jelas mendatangkan profit, meskipun kemudian koran yang tanpa rubrik cerpen kehilangan banyak pembaca dan akhirnya gulung tikar. [3]
Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. Terhadap pilihan Kompas itu, layak diajukan pertanyaan apakah cerpen “Istri Sempurna” jauh lebih bagus dibandingkan cerpen-cerpen yang sebelumnya terpilih dalam ajang yang sama, atau menjadi lebih buruk. Jika jawabannya cerpen karya Aveus Har jauh di bawah standar cerpen “Derabat” karya Budi Darma atau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, maka keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” merupakan penurunan mutu cerpen Kompas yang layak disayangkan.[4]
Kita diberi tahu, semua juri dalam Sayembara Cerpen Terbaik Kompas 2024 berasal dari lingkungan internal atau “orang dalam” Kompas. Sebelum menjadi juri, ada di antara para juri ini yang terlibat dalam memilih satu cerpen dari puluhan atau ratusan cerpen yang dikirimkan para penulis ke Kompas untuk disiarkan Kompas setiap pekan. Mereka adalah para pengelola rubrik cerpen Kompas; redaktur, wakil redaktur, maupun asisten redaktur.
Ketika mereka ditetapkan sebagai juri, mereka harus memilih satu cerpen yang terbaik dari ratusan cerpen yang pernah disiarkan Kompas selama tahun 2023, dan mereka juga terlibat dalam memilih ratusan cerpen yang disiarkan Kompas selama 2023. Jika mereka memilih satu cerpen saja sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024, laku memilih itu sekaligus menegaskan bahwa tidak semua cerpen yang disiarkan Kompas layak mendapat predikat sebagai cerpen terbaik.[5] Pasalnya, “orang dalam Kompas” sudah pernah menjadi juri serupa, dan ternyata mereka memilih tanpa kriteria. Dalam prakata buku Cerpen Terbaik Kompas 1993 disebutkan: “Kami percaya bahwa setiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana, karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tetapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.
Hakikatnya
para juri dalam sayembara sastra, termasuk juri Cerpen Terbaik
Kompas 2024, semestinya dibekali indikator dan variabel penilaian sebelum
bekerja sebagai juri. Variabel dengan indikator biasanya hasil kesepakatan dari
pihak-pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam kepanitiaan sayembara. Jauh-jauh
hari mereka bekerja merumuskan variabel dengan indikator itu, dan perumusan ini
paralel dengan visi dan misi penyelenggara sayembara.
Penyelenggara pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2024 adalah Kompas. Kompas adalah media cetak, produk dari industri pers yang tergabung dalam Grup Kompas. Anggota-anggota grup perusahaan ini memiliki bisnis yang saling mendukung antara satu dengan lainnya seperti bisnis penerbitan buku. Isi koran Kompas, termasuk cerpen yang muncul pada edisi hari Minggu, bisa mendongkrak pengembangan sektor bisnis penerbitan buku.
Setiap kali cerpen terbaik sudah dipilih, Kompas akan menerbitkannya menjadi buku. Buku berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik yang pernah disiarkan Kompas dalam setahun, menjadi buku yang diminati pembaca. Dengan kata lain, tradisi memilih cerpen terbaik Kompas mempunyai output berupa satu buku kumpulan cerpen terbaik Kompas yang kehadirannya selalu ditunggu pembaca.
Itu salah satu penyebab kenapa tradisi memilih cerpen terbaik tiap tahun, yang dimulai Kompas sejak 1992, tetap terjaga selama 31 tahun. Dalam kurun 31 tahun, setiap tahun ada satu buku kumpulan Cerpen Terbaik Kompas, mulai dari Kado Istimewa (yang memposisikan karya Jujur Prananto sebagai cerpen terbaik Kompas). Dan paling mutakhir, di tahun 2024, terpilih cerpen Aveus Har berjudul "Istri Sempurna".
Sejak 1992 hingga 2004, pemilihan cerpen terbaik dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra. Mulai 2005, Kompas memberikan otoritas pemilihan kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik. Tapi tahun 2024, Kompas kembali menunjuk "orang dalam" sebagai juri, yang kemudian memilih cerpen "Istri Sempurna". Bagi Kompas, tradisi pemilihan cerpen terbaik merupakan wujud komitmen Kompas dalam merawat dan memperkuat sastra Indonesia. Sastra, khususnya cerpen, telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Kompas. Kehadiran Cerpen Pilihan Kompas menjadi wujud komitmen merawat sastra Indonesia.
Jadi, untuk
sementara, predikat “terbaik” cerpen “Istri Sempurna” karya Aveus Har kita
terima dulu karena pikirkan-pikiran positif diperlukan untuk
mempersiapkan diri melakukan penilaian-penilaian yang tidak dipengaruhi oleh
subyektivitas, dan di dunia ini hanya sedikit orang yang akan terus-terang
menyatakan penolakan terhadap pikiran positif. Orang-orang sangat menyukai
hal-hal positif dan menyebutnya bermoral, tetapi orang-orang tidak akan pernah
sanggup menunjukkan jenis kelamin dari moral yang dipahaminya, kecuali ia akan
mengulang-ulang hal-hal yang menjadi pendapat umum di lingkungannya, bahwa
kata-kata makian itu tidak layak disampaikan di depan umum.
Di lingkungan kita, orang-orang yang sudah belajar ilmu pengetahuan maupun yang belum pernah bersekolah, lebih menyukai apa yang sudah menjadi pendapat umum sebagai pengetahuan umum tanpa mengujinya lebih dahulu – karena tidak punya kapasitas dan kecakapan untuk melakukan pengujian-- apalagi bila pendapat umum itu sudah diturunkan dari leluhurnya, dan itu menjadi kebenaran mutlak baginya. Konsepsi mereka tentang mentalitas, termasuk mentalitas budaya, berasal bukan dari akses langsung ke cara kerja batin pikiran sendiri, tetapi dari kerangka teori primitif yang kita warisi dari budaya kita.
Mereka akan menolak segala gagasan yang menyebut pendapat umum itu sebagai kekeliruan, dan menuduh orang-orang yang memiliki gagasan itu sebagai tidak menghormati leluhur, dan karenanya harus dikecam apalagi bila cara penyampaiannya cenderung vulgar dan terbuka. Kebenaran di lingkungan masyarakat kita tidak boleh disampaikan secara vulgar dan terbuka, harus dikemas dalam eufemisme demi menjaga harmoni, dan hal seperti ini terjadi juga di dunia politik sehingga demokrasi di Indonesia menolak oposisi atas nama menjaga harmoni. Padahal, seperti disampaikan Hume, bahwa tidak ada yang pernah hadir dalam pikiran kecuali persepsinya; dan bahwa semua tindakan melihat, mendengar, menilai, mencintai, membenci, dan berpikir, termasuk dalam denominasi ini.[6]
Seandainya orang-orang di lingkungan kita selalu mempertanyakan segala sesuatu agar tidak membeku menjadi batu dan karenanya menjadi “dewa’ dalam kehidupan, tetapi kita hidup di dalam masyarakat budaya yang tidak pernah mengkaji kebudayaannya sendiri secara esensial karena terlanjur bangga terhadap kebudayaan Eropa yang didukung para intelektual budaya seperti Sutan Takdir Alisjahbana,[7] sehingga masyarakat kita pasti akan tersentak bila membaca Paradise Lost dari John Milton yang bicara tentang setan akan menaklukkan Tuhan, atau menemukan fakta dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri yang menyebut surga akan berada di bawah lantai neraka.
Hidup di tengah-tengah manusia seperti itu, kritik tidak akan pernah tumbuh sebagaimana seharusnya, termasuk kritik terhadap karya seni (sastra) karena orang-orang menganggap kritik itu akan meruntuhkan harmoni sementara harmoni sangat dipercayai oleh para elite di negeri ini sebagai modal dasar dan esensial untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang memiliki beragam-ragam kultur. Bangsa kita dipasung oleh harmoni. Bangsa kita dijajah oleh harmoni. Kita menikmati situasi itu, karena hanya dalam situasi seperti itu kita bisa melakukan puja-puji, dan kita bisa hidup di dalam kondisi yang dipenuhi puja-puji.
Saya tidak ada dalam kelompok orang-orang yang hidup dalam samudra puja-puji, dan saya tidak suka memuja-puji, maka saya pilih membaca ulang cerpen “Istri Sempurna” sambil membayangkan keutamaan sastra adalah bahwa ia dapat memperdalam kesadaran kita dan memperluas persepsi kita tentang kehidupan.
Di dalam kehidupan ini, peran terbesar ada di tangan manusia. Dari sekian banyak mahluk ciptaan Tuhan, manusia itu paling sempurna di mana mahluk lain harus tunduk kepada manusia dan hal ini membuat setan dan meludahi adonan manusia yang sedang dibuat Tuhan. Setiap masyarakat agama mengakui manusia sebagai mahluk sempurna jika dibandingkan dengan mahluk lain, sehingga manusia dibekali kemampuan untuk memanfaatkan mahluk lain di sekitarnya bagi keberlangungan hidupnya.
Kita melihat manusia menunggangi kuda, manusia membongkar bumi hingga ke dasar paling dalam hanya untuk mengumpulkan mineral, manusia menciptakan robot dari mineral yang dikumpulkan itu untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan manusia. Lantaran semua kelebihan itu, manusia menjadi pardoks, menyakiti dirinya sendiri (dalam bekerja) hanya untuk menggapai kebahagiaannya. Hakikat manusia adalah paradoks.
Salah satu robot yang diciptakan manusia itulah yang dikisahkan sebagai tokoh dalam cerpen “Istri Sempurna”. Cerpen adalah karya seni, prosa yang paling diminati para penulis di Indonesia. Menerima karya seni atau suatu bentuk seni tidak akan bermanfaat bagi pengetahuan manusia, sebaliknya segala bentuk penerimaan terhadap karya seni itu justru menyesatkan bagi pengetahuan manusia. Penerimaan kita terhadap karya seni tidak selalu menerima karya seni itu apa adanya, melainkan mengandaikan bahwa karya seni itu representasi dari kehidupan manusia atau produk manusia yang memimesis kehidupan manusia. Kita menerima cerpen “Istri Sempurna” karena mengandaikan keberadaan dan hakikat manusia di dalamnya. Dengan kata lain, cerpen “Istri Sempurna” mengandaikan keberadaan fisik dan mental manusia.
Sebelum memutuskan menerima atau menolak cerpen “Istri Sempurna”, saya mengucapkan kepada Aveus Har bahwa tahun 2024 adalah tahun keberuntungan bagi kreativitasnya dalam menghasilkan karya sastra, dan siapa pun tidak salah jika ingin mengangkat gelas untuknya. Aveus Har sendiri dalam media sosial bicara tentang keberuntungannya:
“Aku tidak ingin merasa menang. Aku tidak ingin merasa telah mengalahkan. Aku hanya beruntung. Aku mensyukuri keberuntungan sebagai sebuah anugerah. Pada akhirnya, aku adalah aku. Orang yang membaca karena rasa ingin tahu. Orang yang membaca karena menyukai kegiatan itu. Dan, menulis hanya efek mengalirkan kegelisahan dan gema dalam pikiran.“ [8]
Cerpen "Istri Sempurna" mencoba
mengikuti tradisi fiksi distopia, fiksi
tentang masa depan manusia, yang dikenal luas di Indonesia lewat karya George
Orwell, Nineteen Eighty-Four, meskipun penulis novel ini ternyata banyak
belajar dari Aldous Huxley, penulis novel distopia, Brave New World
(1932).
Pada tahun 1949, Huxley menyurati Orwell yang baru saja menerbitkan Nineteen Eighty-Four dan karya itu mendapat ulasan positif dari berbagai negara. Huxley adalah mantan guru Orwell dalam bahasa Prancis saat di sekolah menengah atas di Eton. Saat itu, Hukley dikenal sebagai pengarang dengan mahakarya, Brave New World.
Brave New World bercerita tentang masa depan manusia ketika teknologi berkembang pesat. Saat itu, manusia dibiakkan secara genetis, diindoktrinasi secara sosial, dan dibius secara farmasi untuk secara pasif menegakkan tatanan penguasa yang otoriter. Untuk itu, manusia mengorbankan kebebasan, kemanusiaan, dan hidup dalam tekanan.
Huxley mengawali suratnya dengan memuji buku Orwell, dan menggambarkannya sebagai "sangat penting." Ia melanjutkan, "Filsafat kaum minoritas yang berkuasa dalam Nineteen Eighty-Four adalah sadisme yang telah dibawa ke kesimpulan logisnya dengan melampaui seks dan menyangkalnya."
Kemudian Huxley mengubah topik dan mengkritik buku tersebut, dengan menulis, "Apakah kebijakan menjepit muka dapat terus berlanjut tampaknya diragukan. Keyakinan saya sendiri adalah bahwa oligarki yang berkuasa akan menemukan cara-cara yang tidak terlalu sulit dan boros untuk memerintah dan memuaskan nafsunya akan kekuasaan, dan cara-cara ini akan menyerupai cara-cara yang saya uraikan dalam Brave New World ."
Pada dasarnya, sambil memuji Nineteen Eighty-Four, Huxley berpendapat bahwa versinya di dalam Brave New World tentang masa depan lebih mungkin terjadi. Di dalam novel ini, manusia dikendalikan dengan cara memaksa mereka terhibur dengan obat bius yang disebut soma dan pesta seks bebas yang tak ada habisnya. Dengan begitu, manusia akan terus-menerus mencari kesenangan, ketergantungan terhadap soma, dan tak menyadari dirinya dalam pengendalian.
Masa depan seperti itu ada dalam kehidupan kita di negeri ini ketika narkoba terus-menerus diproduksi dan tiba-tiba seorang Kapolda di Provinsi Sumatra Barat tertangkap karena menikmati uang hasil narkoba. Uang itu diperoleh dari para pedagang narkoba, dan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menghapuskan peredaran narkoba karena dapat merusak generasi muda.
Di sisi lain, manusia dalam Nineteen Eighty-Four karya Orwell, tetap terkendali dengan rasa takut berkat perang yang tak berkesudahan dan negara pengawas yang sangat kompeten. Namun, kedua pengarang ini sama-sama memposisikan negara (pemerintah) sebagai pihak yang menakutkan.
Sementara cerpen "Istri Sempurna" bercerita tentang aku, seorang karyawan di Departemen Talenta yang bekerja sebagai analis data. Pembaca tidak dikasih tahu di mana si aku tinggal dan apa kewarganegaraannya. Si aku ini pergi ke sebuah institusi yang mengurusi masalah perceraian dan bermaksud mendaftarkan gugatan perceraian atas istrinya yang sudah tiga tahun dinikahinya.
Si aku beralasan, perceraian itu disebabkan istrinya terlalu sempurna, meskipun sesungguhnya karena ia bangkrut secara ekonomi selama tiga tahun menikahi istrinya. Kebangkrutannya disebabkan oleh istrinya, yang ternyata hanya sebuah alat bagi vendor untuk menguras isi tabungan para pelanggannya.
Istrinya ternyata bukan hanya seorang robot, melainkan juga Sebuah teknologi yang dipakai produsennya untuk mengurus harta konsumen. Tapi si aku sendiri yang memilih robot itu menjadi istrinya setelah melihat sebuah katalog. Ia menikahi robot itu, dan hidupnya menjadi lebih baik setelah itu. Ia bercinta ribuan kali dengan robot itu. Ia berbahagia, tapi kemudian ia memutuskan menceraikannya. Pabrik yang memproduksi robot yang menjadi istrinya itu akhirnya menjemput barang produksi mereka.
Hidup dan kehidupan seperti apa yang dijalani si aku? Kenapa ia harus memilih robot untuk dinikahi? Kenapa bukan memilih manusia (perempuan) sebagaimana seharusnya?
Cerpen yang berhasrat distopia ini tidak memiliki dasar-dasar esensial untuk menampilkan karakter si aku yang lebih memilih menikah dengan robot ketimbang manusia. Pembaca dipaksa membayangkan, mungkin si aku tak punya cukup waktu mencari perempuan untuk dinikahi karena kesibukannya dalam bekerja?
Semua bayangan itu sia-sia, karena hanya si aku yang memilih robot sebagai istri. Orang lain, kawan sekantornya atau orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya, tidak diceritakan sebagai orang yang memilih robot sebagai istri. Apakah si aku ini memiliki kelainan seks?
Cerpen "Istri Sempurna" tidak bisa disebut fiksi distopia sebagaimana seharusnya fiksi distopia ditulis. Ia tidak menceritakan realitas dunia masa depan dan perjuangan manusia di dalamnya sebagaimana kita menemukan dunia yang penuh pertarungan dalam The Hunger Games karya Suzanne Collins, Battle Royale karya Koushun Takami, atau The Running Man karya Stephen King (yang menulis sebagai Richard Bachman).
The Hunger Games bercerita tentang orang-orang (sekelompok pemuda) dimasukkan ke dalam labirin yang dipenuhi mahluk mengerikan dan mereka harus bertarung demi memperebutkan makanan, dan pertarungan mereka disiarkan secara langsung di televisi sebagai tontonan atau hiburan yang bertujuan menenangkan orang-orang. Mereka bagian dari eksperimen dalam menguji bagaimana manusia bertahan dalam tekanan karena semesta sedang hancur akibat wabah penyakit.
Logika yang dipakai dalam karya ini seperti ucapan Juvenal: "cara termudah untuk memenangkan hati orang dalam politik adalah melalui cara yang agak kasar: makanan murah dan banyak permainan." Ini seperti kondisi negeri kita, di mana rakyat merasa tenang dan memilih presiden yang menjanjikan makanan bergizi gratis, serta judi online dibebaskan agar rakyat merasa terhibur. Tapi kita tidak menemukan fakta apapaun dalam cerpen "Istri Sempurna", yang justru terkesan sebagai fiksi yang tanpa dasar pijakan.
Keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 menunjukkan kejatuhan dari mitos antologi cerpen terbaik Kompas yang dikembangkan Kompas selama ini. Cerpen-cerpen yang pernah mendapat predikat terbaik dan menjadi judul buku-buku antologi Cerpen Terbaik Kompas sejak 1992, menjadi sejajar dengan cerpen “Istri Sempurna” sekalipun fiksi karya Aveus Har ini gagal sebagai karya sastra.
Nilai sastra dalam cerpen ini tidak mendekati nilai sastra “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarman, “Derabat” karya Budi Darma, “Jejak Tanah” karya Danarto, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar Panca Dahana, “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo, “Kado Istimewa” karya Jujur Prananto, atau “Lampor” karya Joni Ariadinata.
Referensi
[1] Saut Situmorang dalam esainya “Cerpeni(s) Pilihan Kompas,
Siapa Takut?” membicarakan perihal relasi intertekstual antara sastra dan media
massa cetak koran. Adakah hubungan dialektis saling mempengaruhi-mempengaruhi
antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang
menguntungkan keduanya, ataukah hubungan intertekstual itu hanya merupakan sebuah
hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara
hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Lihat majalah Horison
edisi November 2002.
[2] Seno
Gumira Ajidarma, seorang jurnalis yang juga penulis cerpen, membela
proses kreatifnya dalam menulis buku Saksi Mata menulis “ketika jurnalisme
dibungkam, sastra harus bicara karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta,
sastra bicara dengan kebenaran”. Lihat “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah, Sebuah
Koreksi Diri” dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus
Bicara (2005). Jakarta: Bentang Budaya. Hal:389
[3] Beberapa
koran yang pernah menjadi bacaan masyarakat karena memiliki rubrik cerpen
seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Jayakarta, Republika, Seputar
Indonesia, Media Indonesia, dan lain sebagainya, mengalami kemunduran setelah
menghapus rubrik sastra dan ada yang akhirnya harus gulung tikar.
[4] Cerpen
“Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan Cerpen Pilihan
Kompas 1993, dan cerpen “Derabat” karya Budi Darma terpilih sebagai Cerpen
Pilihan Kompas 1999. Keterpilihan cerpen “Derabat” sebagai cerpen terbaik
Kompas menunjukkan bahwa Kompas menjaga kualitas cerpen-cerpen pilihannya untuk
tidak lebih buruk setiap tahun.
[5] Bagi
banyak ahli, cerpen yang disiarkan Kompas dipuja-puji sebagai cerpen terbaik.
Nirwan Dewanto dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 1993,
menulis: “Harus kita akui, cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun
terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di
(majalah sastra) Horison.” Penilai itu berkaitan dengan kegagalan
Nirwan Dewanto bersama gank menjadi pengelola majalah Horison.
[6] Dalam esainya, “Moral Distinctions
not derived from Reason” David Hume menyebut persepsi terbagi
menjadi dua jenis: kesan dan ide. Dua hal ini dipergunakan Hume untuk
mempertanyakan apakah melalui ide atau kesan kita membedakan antara kejahatan
dan kebaikan, dan menyatakan suatu tindakan tercela atau terpuji? Lihat The
Philosophical Work of David Hume Volumen II dan bisa diakses di
Gutenberg.org https://www.gutenberg.org/cache/epub/53792/pg53792-images.html#SECTION_I_aIII.
[7] Lihat polemik kebudayaan antara
Sutan takdir Alisjahbana versus Sanusi Pane yang terjadi pada decade 1930-an.
[8] Aveus Har dalam status Facebook
tanggal 23 Desember 2024.
Tidak ada komentar