Aksara Batak Berawal dari Angkola

Makan Sutan Nasinok Harahap di Desa Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, setelah dipugar.  Di pemakaman ini jejak aksara Batak ditemukan. 

Salah satu bukti adanya peradaban manusia adalah aksara. Masyarakat Batak memiliki aksara yang disebut aksara Batak, atau aksara Tulak-Tulak.  Namun, akhir-akhir ini muncul pertanyaan tentang masyarakat Batak yang mana mengawali penggunaan aksara ini.


Oleh Ali Gusti Siregar

Sejarah peradaban manusia berdasarkan penggunaan aksara dibedakan menjadi dua, Zaman Pra-Sejarah dan Zaman Sejarah. Zaman Pra-sejarah adalah zaman ketika manusia hidup dan berkomunikasi belum mengenal tulisan (aksara), biasa dikenal dengan zaman batu (Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum). Sedangkan zaman sejarah adalah masa di mana manusia telah mengenal aksara dan menggunakannya sebagai alat berkomunikasi, di Indonesia zaman ini dikenal sebagai zaman awal masuknya agama Hindu-Budha.

Masuknya Hindu-Budha ke Indonesia datang langsung dari India, lewat jalur perdagangan. Indonesia pada zaman dahulu dikenal sebagai jalur perdagangan internasional, menghubungkan peradaban-peradaban besar di Asia via laut. Peradaban besar yang dimaksud adalah Arab, Persia, dan India di bagian Barat dan Cina di bagian Timur. Perdagangan berperan penting dalam menyebarnya manusia beserta budayanya, inilah sebabnya di Indonesia banyak pengaruh Hindu-Budha, salah satunya Aksara.

Aksara sendiri berasal dari Bahasa Sanseketa, yaitu bahasa yang berasal dari India dan bagian penting dalam peradaban Hindu-Budha di Indonesia. Menurut KBBI, aksara berarti sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. 

Sebelum aksara Latin dan Arab familiar di Nusantara terlebih dahulu masyarakat mengenal aksara Pallawa. Aksara Pallawa sendiri adalah aksara yang berasal dari India bagian Selatan, dan aksara yang menurunkan berbagi aksara di Nusantara seperti yang terdapat dalam prasasti Hindu-Budha:  Prasasti Mulawarman di Kutai sebagai prasasti tertua di Indonesia berasal dari abad 5 Masehi.

Perkembangan aksara Pallawa di Nusantara mengalami perubahan-perubahan menjadi banyak ragam aksara turunannya. Salah satunya Aksara Batak/Tulak-tulak. Terjadinya perubahan-perubahan aksara Pallawa menjadi aksara-aksara baru di Nusantara disebabkan, masyarakat penggunanya menyesuaikan dengan karkteristiknya dan kondisi lingkungannya.


Aksara Batak (Surat Batak)  adalah sebutan untuk aksara yang digunakan semua sub-etnis Batak di Sumatera Utara, sedangkan aksara Tulak-tulak adalah sebutan khusus bagi aksara yang digunakan masyarakat Angkola dan Mandailing. Dikatakan aksara Tulak-tulak karena metode penulisannya di media batu dengan cara diukir menggunakan alat pengukir yang ditulak atau didorong. 


Kata “tulak” dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti dorong. Diukir disamakan artinya dengan mendorong, karena teknik mengukir menggunakan alat yang cara pengunaannya didorong.  Kemudian aksara Tulak-tulak menggunakan media lak-lak yaitu kulit kayu ulim yang diolah membentuk kertas yang berlipat-lipat dengan tinta khusus. 

Kata “laklak”  dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti kulit kayu. Selain pada media Batu dan Laklak, aksara Tulak-tulak juga digunakan di media bambu yang dikenal dengan istilah Pustaha Bulu. Cara penulisan pada Pusataha Bulu yaitu dengan mengukir menggunakan pisau khusus kemudian diberikan warna pada ukiran aksara tersebut. 

Aksara Batak/Tulak-tulak terdiri dua bagian, yaitu “Ina ni surat” dan “Anak ni surat”. “Ina ni surat” merupakan huruf yang menjadi dasar penulisan dan semua berbunyi “A”, kecuali  huruf “I” dan “U”. “I” dan “U” dalam “Ina ni surat” sebagai huruf besar atau huruf awal kata, misal “Ina” dan “Umak”.  Sedangkan “Anak ni surat” sebagai tanda tambahan yang mengubah bunyi dari “Ina ni surat” dan berfungsi sebagai vocal Seperti “u”, “e”, “o”, dan “ng”.  

Umumnya Aksara Batak/Tulak-tulak digunakan mencatat ramuan-ramuan obat, mantra-mantra (tabar) oleh datu (sebutan masyarakat untuk orang yang memiliki kesaktian), nasehat (sipangingot),  mencatat silsilah (tarombo), juga peristiwa-peristiwa penting yang dikemas sebagai cerita lisan (turi-turian) tentang pemimpin marga atau raja adat.

Prof. Uli Kuzok dalam bukunya Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII  berpendapat aksara Batak tersebut berawal dari Selatan yang disebutnya Mandailing, kemudian masuk ke utara (Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo) dengan membandingkan susunan aksaranya dan bahasanya. 

Aksara Batak pada umumnya sama, tetapi terdapat perbedaan kecil. Aksara Tulak-tulak dinilai lebih awal karena variasi-variasi pada Aksara Tulak-tulak lebih besar dibandingkan lainya. 

Aksara Batak diklasifikasi menjadi lima varian: Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Angkola sendiri tidak dijadikan varian, karena varian Aksara Batak yang digunakan masyarakat Angkola tidak berbeda dengan aksara yang digunakan masyarakat Mandailing. 

Jika dilihat peta persebaran Aksara Batak yang dibuat Uli  Kozok, arah persebaran Aksara Batak memang dari Selatan, tetapi Selatan yang dimaksud terletak di Padang Lawas. Daerah ini  merupakan ulayat masyarakat Angkola. 

Di Padang Lawas terdapat banyak peninggalan Hindu-Budha, puluhan situs Hindu-Budha masih bisa kita saksikan: Candi Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sipamutung, Tandihat, Sangkilon, dan lainnya. Selain peninggalan berupa bangunan, peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas juga meninggalkan prasasti: Prasasti Sitopayan I dan II, Prasasti Gunung Tua, Prasasti Candi Manggis, dan lainnya. 

Dugaan awal, aksara Batak/Tulak-tulak berasal dari peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas. Lokasi Padang Lawas yang berada berdekatan dengan masyarakat pengguna aksara Batak. 

Aksara Batak adalah turunan dari Aksara Pallawa, sedangkan Aksara Pallawa banyak terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Padang Lawas.

Menurut Nasoichah, Churmatin, dan Andhifani, Wahyu Rizki,  terdapat prasasti-prasasti di Padang Lawas menggunakan aksara Sumatera Kuno dan aksara Batak. Prasasti yang beraksaras Sumatera Kuno diperkirakan berasal pada abad 11-14 Masehi   seperti Prasasti Gunung Tua (Lokanātha), Prasasti Sitopayan I dan II, dan Prasasti Bahagas.  Prasasti Gunung Tua  menggunakan dua bahasa, Sansekerta dan Melayu.  Selain itu, terdapat juga inkripsi penanggalan pada Prasasti Gunung Tua, yaitu 946 Saka. 

Prasasti Sitopayan I dan II ditemukan di Candi Sitopayan di Desa Sitopayan, Portibi, Padang Lawas Utara. Pada Prasasti Sitopayan I menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Batak Angkola maupun Mandailing, yaitu pada kata "bakas" yang diartikan rumah (bagas). Sedangkan Prasasti Sitopayan II hanya menggunakan Bahasa Melayu. 

Kata "bhagas" ada pada Prasasti Bahagas, yang ditemukan di Desa Binanga, Barumun Tengah, Padang Lawas.  Prasasti ini dijadikan sebagai batu nisan makam kuno, Sutan Bangun Hasibuan, pendiri huta (kampung) tersebut. Sama seperti Prasasti Sitopayan, Prasasti Bahagas juga menggunakan Aksara Sumatera Kuno dan Batak Angkola yaitu pada kata "Bahagas" yang berarti rumah.

Adapun prasasti beraksara Batak menurut Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki (2020) seperti Prasasti Sutan Nasinok Harahap, Prasasti Raja Soritaon, dan Prasasti Tua Sohatembalon Siregar. Ketiga prasasti tersebut terdapat pada situs makam kuno tokoh masyarakat setempat dan berbahasa Batak Angkola. Ketiga makam tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-16 Masehi. 

Selain yang diutarakan Nasoichah dan Adhifani, Daniel Perret dalam bukunya, History of Padang Lawas 2 menjelaskan, terdapat prasasti beraksara Batak lainnya di Candi Manggis, Sosa, Padang Lawas, dan hal yang mengejutkan ternyata prasasti beraksara Batak juga ditemukan di Candi Muara Takus, Riau.

Di Mandailing sendiri terdapat beberapa jejak peradaban Hindu-Budha seperti Candi Simangambat, Situs Saba Uduk di Kecamatan Siabu, Biara Dagang, Saba Biara di Pidoli Lombang, dan Situs Padang Mardia, Huta Siantar,  Panyabungan.  Tapi hanya ditemukan satu prasasti pada masa Hindu-Budha, yaitu Prasasti Sorikmarapi. Sedangkan Prasasti beraksara Batak atau Tulak-tulak sejauh ini belum ditemukan. 


Prasasti tersebut ditemukan pada Tahun 1891 Masehi di Desa Maga. Prasasti Sorikmarapi menggunakan aksara Jawa Kuno yang merupakan salah satu turunan Aksara Pallawa dan menggunakan Bahasa Melayu. Terdapat penanggalan pada prasasti tersebut yaitu 1162 Saka atau 1242 Masehi. Lokasi penemuan Prasasti Sorikmarapi tidaklah dalam kawasan percandian, tidak ditemukan di sekitarnya ada reruntuhan Candi. 


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka pendapat Prof. Uli Kuzok bahwa aksara Batak berawal dari Selatan dan posisinya Mandailing, kurang tepat. Yang lebih tepat  berawal dari peradaban Hindu-Budha di kawasan situs Padang Lawas yang tersebar di Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. 

Wilayah Mandailing menurut Pandapotan Nasution memiliki perbatasan di sebelah Utara dengan Angkola, pesisir di Barat, Minangkabau di Selatan, dan Padang Lawas di sebelah Timur.  Begitu juga Mangaraja Ihutan mengatakan, Mandailing memiliki perbatasan dengan Tanah Rao di Sibadur, Angkola di Simarongit, Natal di Linggabayu, dan Padang Bolak di Rudang Sinabur. 

Menurut Sufrin Efendi Lubis, wilayah Selatan dari Sumatera Utara meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua suku Batak: Batak Mandailing yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal dan Batak Angkola mendiami Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, dan Kota Padang Sidimpuan. 

Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, asal aksara Batak, bukanlah bagian dari Mandailing. Jadi, aksara Batak tidaklah dari Mandailing, tetapi dari Angkola. 

Referensi:

Kozok, Uli. (2009). Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki. (2020). Prasasti-Prasasti Beraksara Pasca-Pallawa: Bukti Keberagaman Di Kawasan Kepurbakalaan Padang Lawas, Sumatera Utara.  Siddhayatra Jurnal Arkeologi. Vol. 25 (1), 1-14.

Nasoichah, Churmatin. (2019). Keberadaan Prasasti Dalam Konteks Kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas, Sumatera Utara. Berkala Arkeologi Sangkhakala. Vol.21 (2), 101-115.

Perret, Daniel dan Surachman, Heddy. (2014). History of Padang Lawas II. Association Archipel.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui https://kbbi.web.id/aksara, 1 September 2020.

Nasution, Pandapotan. (2005). Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. FORKALA.

Ihutan, Mangaraja. (1926). Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing. Pewarta Deli: Medan.

Lubis, Sufrin Efendi. (2022). Agama dan Budaya: Dinamika pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Angkola di Kota Padangsidimpuan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Bandung.


Ali Gusti Siregar  lahir 30 Agustus 1996, tinggal di Kabupaten Mandailing Natal, seorang pemerhati kebudayaan yang memiliki minat terhadap sejarah budaya. Acap melakukan napaktilas ke situs-situs budaya di wilayah Kabupaten Mandailing Natal , dan merangkum perjalanannya dalam catatan-catatan yang sering disampaikan dalam diskusi-diskusi budaya. 

Posting Komentar