Cerpen: Rumapea

Semua orang memiliki ketakutan, kan? Gadis itu mengamati ketakutan orang-orang di sekitarnya. Ketakutan sudah seperti barang antik yang wajib ia koleksi. Tidak peduli orang menganggapnya aneh, tapi ia memang menyukainya. Ada banyak jenis ketakutan atau yang biasa dikenal dengan sebutan fobia di muka bumi ini. Ketakutan akan ketinggian, ular, kecoa, lift, dan beberapa lainnya termasuk membosakan. Gadis itu menyukai ketakutan yang bukan sekadar ketakutan.

Oleh: Eva Riyanty Lubis

Ibunya—Sanie—memiliki ketakutan teramat dalam ketika mendengar nama ayahnya—Lokot Lubis. Sebuah nama yang seterusnya mengingatkan ia akan kenangan-kenangan buruk kala mereka bersama. Sanie, perempuan berusia 47 tahun itu bisa menangis histeris dan meraung-raung, berubah 360 derajat dari Sanie sebelumnya. 

Tenggara, sahabat yang selalu ada untuknya. Pemuda berusia 21 tahun berambut gondrong itu merupakan mahasiswa populer di kampus. Memiliki wajah rupawan, hidung bangir, dan bibir tipis yang tidak pernah lelah untuk menampilkan senyum terbaiknya. Terutama bagi kaum hawa. Tenggara seharusnya tidak kuliah di jurusan film. Ia terlalu indah untuk bekerja di balik layar. Ia pantas menjadi bintang dan tidak seorang pun meragukan itu. Namun, pemuda itu terlalu takut. Ia bisa kelihangan kata—bahkan dirinya sendiri, ketika menjadi sorotan banyak orang. Sungguh terlalu! 

Aruni, sahabat kedua sekaligus terakhir yang ia miliki. Gadis bertubuh mungil dengan tinggi tak lebih dari 150cm. Dengan tubuh mungil itu, ia tampil menjadi gadis dengan selera fashion tinggi. Katanya hidup hanya satu kali dan tubuh mungilnya pantas memperoleh service terbaik, khususnya dalam hal fashion. Ia tahu trend fashion yang lagi hit di Korea Selatan, Jepang, New York, dan sebagainya. Tingkat percaya dirinya yang tinggi membuatnya bersinar di tengah gadis-gadis lain di kampus tersebut. Ia indah dengan segala keindahan yang ia miliki. Tapi jangan cerita cinta di hadapannya. Ia bisa lari dan menghilang dari pandanganmu. Ada banyak hal indah di muka bumi ini, tapi cinta bukan salah satunya. Ia terlampau takut untuk yang satu itu. 

Lantas bagaimana dengan gadis bermata elang itu? Tidak. Ia tidak takut pada apapun. Baginya ketidaktahuanlah yang membuat seseorang menjadi takut. Tidak ada ketakutan yang benar-benar nyata di muka bumi ini. Ia tidak mengarangnya, sebab itulah yang ia rasakan. Namun tanpa rasa takut, hidup tak akan indah. Ia butuh rasa takut dari orang-orang sekitarnya untuk membuat karya spektakuler. Kadangkala ia iri pada orang di sekitarnya akan ketakutan yang menyerang mereka. Sayangnya tombol ketakutan di otaknya telah mati. Jika tombol itu kembali bekerja, sungguh akan lebih baik. 

Ada banyak perbedaan yang mereka miliki. Tapi, perbedaan mampu membuat segalanya menjadi indah, kan? Mereka telah berbagi sukacita sejak duduk di awal bangku kuliah. Satu yang pasti, mereka bertiga tergila-gila pada film dan ingin menjadi sineas muda terbaik suatu waktu nanti. 

“Aku akan menjadi penulis skenario dan sutradara film anak-anak terbaik suatu hari nanti,” tukas Aruni mantap. 

“Nggak nyambung, kali! Harus suka anak-anak baru bisa buat film tentang mereka,” ujar Tenggara iseng. 

“Ihhh… tampilan boleh kaya gini. Tapi hatiku benar-benar mencintai bocah-bocah,” jawab Aruni penuh semangat. 

“Udah, ah! Jangan berantem! Lebih baik mikirin film buat tugas akhir. Sudah punya tema belum?” Ruma mengingatkan. 

Universitas Merdeka jurusan film merupakan kampus idaman calon sineas muda. Setiap tahunnya ada banyak siswa yang mendaftar untuk memperebutkan satu kursi. Tapi hal ini tidak mudah, kawan! Kampus ini memiliki ideologi tinggi dan tidak sembarangan dalam menerima mahasiswa. Beruntunglah bagi mereka yang berhasil menjadi bagian dari kampus ini. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk menjadi calon sineas di Universitas Merdeka adalah dengan mengirimkan video pendek buatanmu sendiri. Jadi, karyamulah yang akan berbicara akan pantas tidaknya kamu menjadi seorang sineas.

***

Rumapea Lubis, gadis berusia dua puluh dua tahun sedang duduk manis di depan televisi berukuran 36 inchi seorang diri. Malam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Baginya, masih terlalu dini untuk tidur. Queen Woo menjadi pilihannya malam ini. Sebagai calon sineas muda, ia wajib melahap banyak tontonan dengan berbagai genre. Bukan suatu masalah sebab ia mencintai film sejak kecil. Lokot—ia lebih senang memanggilnya dengan sebutan Bapak—yang mengenalkanya pada dunia ini. 

“Ruma… kamu begadang lagi?” terdengar suara Sanie yang berjalan menghampiri anak gadis semata wayangnya. 

“Biasalah, Bu,” jawab gadis berambut sebahu itu, pendek. 

“Jangan terlalu memporsir diri. Tidurlah, ini sudah larut,” ada rasa kesal pada suara wanita paruh baya itu. 

“Sebentar lagi, Bu. Ibu tidur duluan ya. Nanti Ruma nyusul.” 

“Huh! Kamu selalu seperti itu,” rungut Sanie lelah. 

Rumapea hanya seorang gadis biasa. Ia tidak memiliki banyak minat, kecuali dalam membuat film. Meskipun hingga kini belum ada film pendeknya yang berhasil meraih decak kagum dari dosen atau teman-temannya. Bagi mereka ia terlalu idealis namun tidak mampu menyampaikan keidealisan itu dengan benar. Bukan Rumapea namanya bila harus down mendengar apa kata orang di sekitarnya. Ia butuh orang lain dalam hidupnya namun ia tak harus menggantungkan diri pada mereka. Bahkan pada ibunya sekalipun. Ia telah lama belajar cara bertahan hidup dari kerasnya kehidupan. 

Sejak kecil, Rumapea hidup bergelimang harta. Semua keinginannya terpenuhi. Wajar saja, sebab Lokot merupakan sineas terbaik dengan bayaran paling mahal di Indonesia kala itu. Semua film yang ia garap berhasil box office dan memenangkan banyak penghargaan. Lokot sukses dalam karirnya. Ia menjadi sutradara dan penulis skenario populer yang selalu diagungkan namanya dalam dunia perfilman. Fokusnya adalah film tertema cinta dan keluarga. Ia mampu menulis skenario kuat, sudut pandang di luar sutradara kebanyakan, alur tak terduga, dan pemilihan aktor serta aktris terbaik yang mampu memainkan peran dengan sempurna. 

Lokot kecil adalah pemuda desa yang lahir dan dibesarkan di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Keluarganya sangat sederhana, namun ia memiliki mimpi untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. Ia harus sukses dan membuat keluarganya bangga. Sebagai putra sulung dan satu-satunya anak lelaki dari lima bersaudara, ia memikiki tanggung jawab besar untuk memberikan kesuksesan bagi keluarganya. Pertemuan dengan Sanie membuka jalannya dalam meraih mimpi. 

Sukses tidak selamanya membuatmu menjadi manusia seutuhnya. Kesuksesan itu berhasil merenggut Lokot dari istri dan putrinya. Ia lupa siapa dirinya. Ia lupa dari mana ia berasal. Ia lupa dan yang tersisa hanyalah bagaimana cara membuat film box office serta memperoleh pundi-pundi keuangan lebih banyak lagi. 

Rumah mewah, beberapa mobil berjejer rapi diparkiran, perabot yang dibeli dari luar negeri, dan segala kebutuhan duniawi dipenuhi hanya untuk menuntaskan hasratanya. Sanie mencoba mengembalikan suaminya seperti semula—sia-sia. Lokot tak lagi mengenalnya. Ia menganggap Sanie layaknya perempuan yang hanya bertugas menjaga barang-barang mahal yang telah susah payah ia dapatkan. Sanie tak bisa berkomentar apapun, apalagi mengeluarkan segala keluh di hatinya. Ia terpenjara, dikurung dalam gelimangan harta yang tidak membuatnya bahagia.             

Ruma kecil kehilangan rasa. Pertengkaran orang tua membuatnya lupa cara tertawa dan menangis. Ketika tahun terus berganti nama, pertengkaran berubah menjadi senyap. Ia antara ada dan tiada di tengah mereka. Bapak sibuk dengan karirnya, ibu sibuk dengan hatinya. Ruma membenci keduanya dan berharap ia dapat hidup normal seperti gadis seusianya—meski ia tak tahu kapan itu akan terjadi. 

Aku ingin salah satu dari mereka menghilang dari pandanganku… selamanya. 

Kalimat yang sering ia lontarkan dalam hati itu berubah nyata. Tepat pada usia Ruma yang ke-15, Lokot menghilang. Pembuatan film terbaru di salah satu pelosok di Papua berhasil membuat raga Lokot tak lagi ada. Puluhan orang telah dikerahkan, namun Lokot tak jua ditemukan. Ia hilang ditelan bumi. 

Sanie menangis sejadi-jadinya. Bukan karena ia sedih ditinggal pergi, bukan. Ia sedih karena tidak bisa mengeluarkan isi hatinya kepada lelaki itu. Ia tidak seharusnya menyimpan kesedihan seorang diri. Ia seharusnya marah, membela diri, menunjukkan kekecewaan, dan segala emosi pada Lokot. 

Sanie menangis setiap mendengar nama Lokot, bahkan ketika memikirkannya. Tentu tidak mudah menghilangkan kenangan demi kenangan di antara mereka. Ruma tahu itu. Tapi ia membenci ibunya. Mengapa harus sekarang? Mengapa ketika sosok itu telah lenyap dari pandangan? 

Menghilangnya Lokot membuat Ruma mencari tahu segala tentang ayahnya. Ia tidak mencintai lelaki itu—seperti gadis lain yang menjadikan ayahnya sebagai cinta pertama. Ia hanya ingin tahu mengapa ayahnya berubah. Mengapa film membuat ayahnya lupa pada dirinya sendiri? Adakah yang membuat ayahnya takut? Ia harus menemukan jawaban. Salah satunya dengan menjadi penerus sang ayah. Menjadi seorang sineas. 

“Tidak, Ruma! Kamu tidak boleh kuliah di sana!” pekik Sanie ketika tahu Ruma mendaftar kuliah jurusan film di Universitas Merdeka. 

“Aku ingin buat film, Bu,” jawab Ruma cepat. 

“Kamu bercanda, kan?” tanya perempuan itu sabil menyilangkan tangan di dada. Ia menatap Ruma lekat. 

“Sama sekali tidak!” 

“Oh, ayolah,” perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Wajahnya pucat seketika. 

Ruma menaikkan aslinya, “Aku tidak akan berubah seperti Bapak, kalau itu yang Ibu takutkan.” 

“Rumaa…” Sanie mulai terlihat kacau. 

“Aku akan melakukan apa yang kuinginkan, Bu. Aku tidak ingin seperti ibu yang memilih untuk berhenti acting hanya karena permintaan bapak. Itu tidak keren sama sekali. Tentu ibu juga menyesal berhenti dari dunia yang telah membesarkan nama ibu, kan?” jelas Ruma cepat lalu berlalu meninggalkan ibunya. 

Sanie histeris. Ia berteriak sekencang yang ia mampu. Kemudian dua orang perempuan berbaju putih berlari cepat menghampirinya. Salah satu dari mereka menyuntikkan cairan yang berhasil membuat Sanie lemah hingga tertidur seketika.

Padangsidimpuan, 22 Februari 2024


Eva Riyanty Lubis lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Saat ini, ia merupakan mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di UIN Syahada Padangsidimpuan, sekaligus ibu dari dua anak, Az Zuhrah Ramadhani dan Azira Henna Fatimah.  Aktif menulis sejak tahun 2012. Eva telah menghasilkan lebih dari 50 karya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Eva dapat dihubungi melalui Instagram @evariyantylubis.

 

Posting Komentar