Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023.
Oleh: Budi Hatees | Pembaca karya sastra
Selain kontinyu melahirkan cerpen baru yang
berkontribusi terhadap dunia cerpen kita, Kompas juga membawa pengaruh terhadap
dunia penulisan cerpen--melahirkan banyak generasi baru penulis cerpen
sekaligus membuat para penulis menjadikan cerpen sebagai pilihan utama dalam
berkreativitas.
Simpul ini tak perlu saya jelaskan secara statistik,
dan pasti Anda akan sulit menerima hal-hal yang tidak punya rujukan objektif
dan paradigmatik seperti ini, tapi saya tidak menolak bila Anda bisa
membalikkan simpulan saya, bahwa bukan Kompas yang memberi sumbangan terhadap
dunia penulisan cerpen, sebaliknya cerpen yang membuat Kompas menjadi media mainstream atau
berkembang sebagai industri pers seperti saat ini. Simpul seperti itu ada
benarnya jika kita ikuti fenomena Kompas sebagai satu-satunya media
koran yang masih mempertahankan rubrik sastra sementara koran-koran lain telah
gulung tikar, karena rubrik sastra itu membuat Kompas tetap memiliki
pembaca.
Soal siapa
yang memengaruhi antara Kompas dengan cerpen, atau adakah symbiosis
mutualisme di antara keduanya, atau hubungan lain di mana
yang satu menjadi semakin buruk sementara lainnya berperilaku seperti benalu
yang menjadi parasit pada tanaman inangnya, sudah sering dibicarakan para ahli
sebagai fenomena sastra koran. Mahluk
bernama sastra koran ini mendapat perhatian khusus dari para ahli sastra di
negeri ini, dipuja-puji dengan pilihan diksi yang superlatif sebagai primadona karya
sastra, meskipun realitas menunjukkan kehadiran sastra sebagai dunia fiksional
di dalam internal dunia media yang mempertaruhkan faktual itu menjadi sebuah
paradoks.
Sastra pada hakikatnya mempertaruhkan pesan. Koran pada hakikatnya
medium tempat pesan. Dalam kajian ilmu komunikasi, koran adalah barang poduksi
yang dipersiapkan sebagai medium dari pesan berbentuk tulisan dan gambar.
Koran hanya diperuntukkan bagi karya tulisan yang mensyaratkan isinya harus
sesuai dengan fakta karena ada regulasi yang mengatur perihal itu. Koran tidak
diperkenankan berisi imajinasi apalagi fiksi, tetapi cerpen merupakan karya
fiksi. Jadi, kehadiran karya fiksi sebagai bagian dari koran sebuah paradoks.
Di negeri kita ada anggapan bahwa
"koran tanpa sastra sama dengan tidak beradab", seperti
disampaikan Marsus Banjarbarat dalam esainya "Koran Tanpa Sastra: Barbar"
(disiarkan di Riau Pos edisi Minggu, 20 Januari 2013), seolah-olah
karya jurnalistik tidak mampu membuat koran menjadi beradab. Bahkan,
sastra koran yang fiksional itu didorong sebagai pilihan alternatif untuk
mengungkapkan fakta aktual apabila jurnalisme tidak bisa menjalankan
fungsinya di hadapan kekuasaan pemerintah yang kooptatif dan hegemonik. Orang-orang memang sering terlalu
pintar di negeri ini.
Meskipun begitu, kita tak bisa mengabaikan, bahwa cerpen bagi
pengelola koran hanya alat untuk kepentingan profit bisnis dalam rangka
menciptakan segmen pembaca yang lebih luas dan lebih beragam sehingga oplag
bisa ditingkatkan, selain untuk menciptakan produk baru berupa buku cerpen
untuk mendukung unit usaha dalam internal konglomerasi media. Sebagian besar
pengelola koran tidak seberhasil Kompas dalam menggapai profit yang diangankan,
kemudian mereka menghapuskan rubrik cerpen dan menggantinya dengan iklan yang
jelas mendatangkan profit, meskipun kemudian koran yang tanpa rubrik cerpen
kehilangan banyak pembaca dan akhirnya gulung tikar.
Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah
Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya
Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah
dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. Terhadap pilihan Kompas itu, layak diajukan pertanyaan apakah
cerpen “Istri Sempurna” jauh lebih bagus dibandingkan cerpen-cerpen yang
sebelumnya terpilih dalam ajang yang sama, atau menjadi lebih buruk. Jika
jawabannya cerpen karya Aveus Har jauh di bawah standar cerpen “Derabat” karya
Budi Darma atau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cerpen “Pelajaran
Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, maka keterpilihan cerpen “Istri Sempurna”
merupakan penurunan mutu cerpen Kompas yang layak disayangkan.
Kita diberi tahu, semua juri dalam Sayembara Cerpen Terbaik Kompas
2024 berasal dari lingkungan internal atau “orang dalam” Kompas. Sebelum
menjadi juri, ada di antara para juri ini yang terlibat dalam memilih
satu cerpen dari puluhan atau ratusan cerpen yang dikirimkan para penulis ke
Kompas untuk disiarkan Kompas setiap pekan. Mereka adalah para
pengelola rubrik cerpen Kompas; redaktur, wakil redaktur, maupun asisten
redaktur.
Ketika mereka ditetapkan sebagai juri, mereka harus memilih satu
cerpen yang terbaik dari ratusan cerpen yang pernah disiarkan Kompas selama
tahun 2023, dan mereka juga terlibat dalam memilih ratusan cerpen yang
disiarkan Kompas selama 2023. Jika mereka memilih satu cerpen saja sebagai
Cerpen Terbaik Kompas 2024, laku memilih itu sekaligus menegaskan bahwa tidak
semua cerpen yang disiarkan Kompas layak mendapat predikat sebagai cerpen
terbaik. Pasalnya, “orang dalam Kompas” sudah pernah menjadi
juri serupa, dan ternyata mereka memilih tanpa kriteria. Dalam prakata buku
Cerpen Terbaik Kompas 1993 disebutkan: “Kami percaya bahwa setiap manusia
memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana, karena itu kami
tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tetapi membenturkan
estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.
Hakikatnya
para juri dalam sayembara sastra, termasuk juri Cerpen Terbaik
Kompas 2024, semestinya dibekali indikator dan variabel penilaian sebelum
bekerja sebagai juri. Variabel dengan indikator biasanya hasil kesepakatan dari
pihak-pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam kepanitiaan sayembara. Jauh-jauh
hari mereka bekerja merumuskan variabel dengan indikator itu, dan perumusan ini
paralel dengan visi dan misi penyelenggara sayembara.
Penyelenggara
pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2024 adalah Kompas. Kompas adalah
media cetak, produk dari industri pers yang tergabung dalam Grup
Kompas. Anggota-anggota grup perusahaan ini memiliki bisnis yang
saling mendukung antara satu dengan lainnya seperti bisnis penerbitan buku. Isi
koran Kompas, termasuk cerpen yang muncul pada edisi hari Minggu, bisa
mendongkrak pengembangan sektor bisnis penerbitan buku.
Setiap kali
cerpen terbaik sudah dipilih, Kompas akan menerbitkannya menjadi buku. Buku
berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik yang pernah disiarkan Kompas dalam
setahun, menjadi buku yang diminati pembaca. Dengan kata lain,
tradisi memilih cerpen terbaik Kompas mempunyai output berupa satu buku
kumpulan cerpen terbaik Kompas yang kehadirannya selalu ditunggu pembaca.
Itu salah satu
penyebab kenapa tradisi memilih cerpen terbaik tiap tahun, yang dimulai Kompas
sejak 1992, tetap terjaga selama 31 tahun. Dalam kurun 31
tahun, setiap tahun ada satu buku kumpulan Cerpen Terbaik Kompas, mulai dari Kado
Istimewa (yang memposisikan karya Jujur Prananto sebagai cerpen
terbaik Kompas). Dan paling mutakhir, di tahun 2024, terpilih
cerpen Aveus Har berjudul "Istri Sempurna".
Sejak 1992
hingga 2004, pemilihan cerpen terbaik dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”,
yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra. Mulai
2005, Kompas memberikan otoritas pemilihan kepada ”orang luar”, yakni mereka
yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan
pemilihan cerpen terbaik. Tapi tahun 2024, Kompas kembali menunjuk
"orang dalam" sebagai juri, yang kemudian memilih cerpen "Istri
Sempurna". Bagi Kompas, tradisi pemilihan cerpen terbaik merupakan
wujud komitmen Kompas dalam merawat dan memperkuat sastra Indonesia. Sastra,
khususnya cerpen, telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Kompas. Kehadiran
Cerpen Pilihan Kompas menjadi wujud komitmen merawat sastra Indonesia.
Jadi, untuk
sementara, predikat “terbaik” cerpen “Istri Sempurna” karya Aveus Har kita
terima dulu karena pikirkan-pikiran positif diperlukan untuk
mempersiapkan diri melakukan penilaian-penilaian yang tidak dipengaruhi oleh
subyektivitas, dan di dunia ini hanya sedikit orang yang akan terus-terang
menyatakan penolakan terhadap pikiran positif. Orang-orang sangat menyukai
hal-hal positif dan menyebutnya bermoral, tetapi orang-orang tidak akan pernah
sanggup menunjukkan jenis kelamin dari moral yang dipahaminya, kecuali ia akan
mengulang-ulang hal-hal yang menjadi pendapat umum di lingkungannya, bahwa
kata-kata makian itu tidak layak disampaikan di depan umum.
Di lingkungan kita, orang-orang yang sudah belajar ilmu pengetahuan
maupun yang belum pernah bersekolah, lebih menyukai apa yang sudah
menjadi pendapat umum sebagai pengetahuan umum tanpa mengujinya lebih dahulu –
karena tidak punya kapasitas dan kecakapan untuk melakukan pengujian-- apalagi
bila pendapat umum itu sudah diturunkan dari leluhurnya, dan itu menjadi
kebenaran mutlak baginya. Konsepsi mereka tentang mentalitas, termasuk
mentalitas budaya, berasal bukan dari akses langsung ke cara kerja
batin pikiran sendiri, tetapi dari kerangka teori primitif yang kita warisi
dari budaya kita.
Mereka akan
menolak segala gagasan yang menyebut pendapat umum itu sebagai kekeliruan, dan
menuduh orang-orang yang memiliki gagasan itu sebagai tidak menghormati
leluhur, dan karenanya harus dikecam apalagi bila cara penyampaiannya cenderung
vulgar dan terbuka. Kebenaran di lingkungan masyarakat kita tidak boleh
disampaikan secara vulgar dan terbuka, harus dikemas dalam eufemisme demi
menjaga harmoni, dan hal seperti ini terjadi juga di dunia politik sehingga
demokrasi di Indonesia menolak oposisi atas nama menjaga harmoni. Padahal, seperti
disampaikan Hume, bahwa tidak ada yang pernah hadir dalam pikiran kecuali
persepsinya; dan bahwa semua tindakan melihat, mendengar, menilai, mencintai,
membenci, dan berpikir, termasuk dalam denominasi ini.
Seandainya
orang-orang di lingkungan kita selalu mempertanyakan segala sesuatu agar tidak
membeku menjadi batu dan karenanya menjadi “dewa’ dalam kehidupan, tetapi kita
hidup di dalam masyarakat budaya yang tidak pernah mengkaji kebudayaannya
sendiri secara esensial karena terlanjur bangga terhadap kebudayaan Eropa yang
didukung para intelektual budaya seperti Sutan Takdir Alisjahbana, sehingga
masyarakat kita pasti akan tersentak bila membaca Paradise Lost dari
John Milton yang bicara tentang setan akan menaklukkan Tuhan, atau menemukan
fakta dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri yang menyebut
surga akan berada di bawah lantai neraka.
Hidup di
tengah-tengah manusia seperti itu, kritik tidak akan pernah tumbuh sebagaimana
seharusnya, termasuk kritik terhadap karya seni (sastra) karena
orang-orang menganggap kritik itu akan meruntuhkan harmoni sementara harmoni sangat
dipercayai oleh para elite di negeri ini sebagai modal dasar dan esensial untuk
mempertahankan persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang memiliki
beragam-ragam kultur. Bangsa kita dipasung oleh harmoni. Bangsa kita dijajah
oleh harmoni. Kita menikmati situasi itu, karena hanya dalam situasi seperti
itu kita bisa melakukan puja-puji, dan kita bisa hidup di dalam kondisi yang
dipenuhi puja-puji.
Saya tidak ada
dalam kelompok orang-orang yang hidup dalam samudra puja-puji, dan saya tidak
suka memuja-puji, maka saya pilih membaca ulang cerpen “Istri Sempurna” sambil
membayangkan keutamaan sastra adalah bahwa ia dapat memperdalam kesadaran kita
dan memperluas persepsi kita tentang kehidupan.
Di dalam
kehidupan ini, peran terbesar ada di tangan manusia. Dari sekian banyak mahluk ciptaan
Tuhan, manusia itu paling sempurna di mana mahluk lain harus tunduk kepada
manusia dan hal ini membuat setan dan meludahi adonan manusia yang sedang
dibuat Tuhan. Setiap masyarakat agama mengakui manusia sebagai mahluk sempurna
jika dibandingkan dengan mahluk lain, sehingga manusia dibekali kemampuan untuk
memanfaatkan mahluk lain di sekitarnya bagi keberlangungan hidupnya.
Kita melihat
manusia menunggangi kuda, manusia membongkar bumi hingga ke dasar paling dalam
hanya untuk mengumpulkan mineral, manusia menciptakan robot dari mineral yang
dikumpulkan itu untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan manusia. Lantaran semua
kelebihan itu, manusia menjadi pardoks, menyakiti dirinya sendiri (dalam
bekerja) hanya untuk menggapai kebahagiaannya. Hakikat manusia adalah paradoks.
Salah satu
robot yang diciptakan manusia itulah yang dikisahkan sebagai tokoh dalam cerpen
“Istri Sempurna”. Cerpen adalah karya seni, prosa yang paling diminati para
penulis di Indonesia. Menerima karya seni atau suatu bentuk seni tidak akan
bermanfaat bagi pengetahuan manusia, sebaliknya segala bentuk penerimaan
terhadap karya seni itu justru menyesatkan bagi pengetahuan manusia. Penerimaan kita terhadap karya seni tidak selalu menerima karya seni itu apa
adanya, melainkan mengandaikan bahwa karya seni itu representasi dari kehidupan
manusia atau produk manusia yang memimesis kehidupan manusia. Kita menerima
cerpen “Istri Sempurna” karena mengandaikan keberadaan dan hakikat manusia di
dalamnya. Dengan kata lain, cerpen “Istri Sempurna” mengandaikan
keberadaan fisik dan mental manusia.
Sebelum
memutuskan menerima atau menolak cerpen “Istri Sempurna”, saya mengucapkan
kepada Aveus Har bahwa tahun 2024 adalah tahun keberuntungan bagi
kreativitasnya dalam menghasilkan karya sastra, dan siapa pun tidak salah jika
ingin mengangkat gelas untuknya. Aveus Har sendiri dalam media sosial bicara
tentang keberuntungannya:
“Aku tidak ingin merasa menang. Aku tidak ingin
merasa telah mengalahkan. Aku hanya beruntung. Aku mensyukuri keberuntungan
sebagai sebuah anugerah. Pada akhirnya, aku adalah aku. Orang yang membaca
karena rasa ingin tahu. Orang yang membaca karena menyukai kegiatan itu. Dan,
menulis hanya efek mengalirkan kegelisahan dan gema dalam pikiran.“
Cerpen "Istri Sempurna" mencoba
mengikuti tradisi fiksi distopia, fiksi
tentang masa depan manusia, yang dikenal luas di Indonesia lewat karya George
Orwell, Nineteen Eighty-Four, meskipun penulis novel ini ternyata banyak
belajar dari Aldous Huxley, penulis novel distopia, Brave New World
(1932).
Pada tahun 1949, Huxley menyurati Orwell
yang baru saja menerbitkan Nineteen Eighty-Four dan karya itu mendapat
ulasan positif dari berbagai negara. Huxley adalah mantan guru Orwell dalam
bahasa Prancis saat di sekolah menengah atas di Eton. Saat itu, Hukley dikenal
sebagai pengarang dengan mahakarya, Brave New World.
Brave New World
bercerita tentang masa depan manusia
ketika teknologi berkembang pesat. Saat itu, manusia dibiakkan secara genetis,
diindoktrinasi secara sosial, dan dibius secara farmasi untuk secara pasif
menegakkan tatanan penguasa yang otoriter. Untuk itu, manusia mengorbankan
kebebasan, kemanusiaan, dan hidup dalam tekanan.
Huxley mengawali suratnya dengan memuji
buku Orwell, dan menggambarkannya sebagai "sangat penting." Ia
melanjutkan, "Filsafat kaum minoritas yang berkuasa dalam Nineteen
Eighty-Four adalah sadisme yang telah dibawa ke kesimpulan logisnya dengan
melampaui seks dan menyangkalnya."
Kemudian Huxley mengubah topik dan
mengkritik buku tersebut, dengan menulis, "Apakah kebijakan menjepit muka
dapat terus berlanjut tampaknya diragukan. Keyakinan saya sendiri adalah bahwa
oligarki yang berkuasa akan menemukan cara-cara yang tidak terlalu sulit dan
boros untuk memerintah dan memuaskan nafsunya akan kekuasaan, dan cara-cara ini
akan menyerupai cara-cara yang saya uraikan dalam Brave New World
."
Pada dasarnya, sambil memuji Nineteen Eighty-Four, Huxley
berpendapat bahwa versinya di dalam Brave New World tentang masa depan
lebih mungkin terjadi. Di dalam novel ini, manusia dikendalikan dengan cara
memaksa mereka terhibur dengan obat bius yang disebut soma dan pesta seks bebas
yang tak ada habisnya. Dengan begitu, manusia akan terus-menerus mencari
kesenangan, ketergantungan terhadap soma,
dan tak menyadari dirinya dalam pengendalian.
Masa depan seperti itu ada dalam kehidupan
kita di negeri ini ketika narkoba terus-menerus diproduksi dan tiba-tiba
seorang Kapolda di Provinsi Sumatra Barat tertangkap karena menikmati uang
hasil narkoba. Uang itu diperoleh dari para pedagang narkoba, dan perwira
tinggi Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menghapuskan peredaran narkoba
karena dapat merusak generasi muda.
Di sisi lain, manusia dalam Nineteen
Eighty-Four karya Orwell, tetap terkendali dengan rasa takut berkat perang
yang tak berkesudahan dan negara pengawas yang sangat kompeten. Namun, kedua pengarang ini sama-sama
memposisikan negara (pemerintah) sebagai pihak yang menakutkan.
Sementara cerpen "Istri Sempurna"
bercerita tentang aku, seorang karyawan di Departemen Talenta yang bekerja
sebagai analis data. Pembaca tidak
dikasih tahu di mana si aku tinggal dan apa kewarganegaraannya. Si aku ini pergi ke sebuah institusi yang
mengurusi masalah perceraian dan bermaksud mendaftarkan gugatan perceraian atas
istrinya yang sudah tiga tahun dinikahinya.
Si aku beralasan, perceraian itu disebabkan
istrinya terlalu sempurna, meskipun
sesungguhnya karena ia bangkrut secara ekonomi selama tiga tahun menikahi
istrinya. Kebangkrutannya disebabkan oleh istrinya, yang ternyata hanya sebuah
alat bagi vendor untuk menguras isi tabungan para pelanggannya.
Istrinya ternyata bukan hanya seorang robot,
melainkan juga Sebuah teknologi yang dipakai produsennya untuk mengurus harta
konsumen. Tapi si aku sendiri yang memilih robot itu menjadi istrinya setelah
melihat sebuah katalog. Ia menikahi robot itu, dan hidupnya menjadi lebih baik
setelah itu. Ia bercinta ribuan kali dengan robot itu. Ia berbahagia, tapi
kemudian ia memutuskan menceraikannya. Pabrik yang memproduksi robot yang
menjadi istrinya itu akhirnya menjemput barang produksi mereka.
Hidup dan kehidupan seperti apa yang
dijalani si aku? Kenapa ia harus memilih robot untuk dinikahi? Kenapa bukan
memilih manusia (perempuan) sebagaimana seharusnya?
Cerpen yang berhasrat distopia ini tidak
memiliki dasar-dasar esensial untuk menampilkan karakter si aku yang lebih
memilih menikah dengan robot ketimbang manusia. Pembaca dipaksa membayangkan,
mungkin si aku tak punya cukup waktu mencari perempuan untuk dinikahi karena
kesibukannya dalam bekerja?
Semua bayangan itu sia-sia, karena hanya si
aku yang memilih robot sebagai istri. Orang lain, kawan sekantornya atau
orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya, tidak diceritakan sebagai orang
yang memilih robot sebagai istri. Apakah
si aku ini memiliki kelainan seks?
Cerpen "Istri Sempurna" tidak
bisa disebut fiksi distopia sebagaimana seharusnya fiksi distopia ditulis. Ia tidak menceritakan realitas dunia masa
depan dan perjuangan manusia di dalamnya sebagaimana kita menemukan dunia yang
penuh pertarungan dalam The Hunger Games karya Suzanne Collins, Battle
Royale karya Koushun Takami, atau The
Running Man karya Stephen King (yang menulis sebagai Richard Bachman).
The Hunger Games
bercerita tentang orang-orang (sekelompok pemuda) dimasukkan ke dalam labirin
yang dipenuhi mahluk mengerikan dan mereka harus bertarung demi memperebutkan
makanan, dan pertarungan mereka disiarkan secara langsung di televisi sebagai
tontonan atau hiburan yang bertujuan menenangkan orang-orang. Mereka bagian dari eksperimen dalam menguji
bagaimana manusia bertahan dalam tekanan karena semesta sedang hancur akibat
wabah penyakit.
Logika yang dipakai dalam karya ini seperti
ucapan Juvenal: "cara termudah untuk memenangkan hati orang dalam
politik adalah melalui cara yang agak kasar: makanan murah dan banyak permainan." Ini seperti kondisi negeri kita, di mana
rakyat merasa tenang dan memilih presiden yang menjanjikan makanan bergizi
gratis, serta judi online dibebaskan agar rakyat merasa terhibur. Tapi kita tidak menemukan fakta apapaun dalam
cerpen "Istri Sempurna", yang
justru terkesan sebagai fiksi yang tanpa dasar pijakan.
Keterpilihan cerpen “Istri Sempurna”
sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 menunjukkan kejatuhan dari mitos antologi
cerpen terbaik Kompas yang dikembangkan Kompas selama ini. Cerpen-cerpen yang
pernah mendapat predikat terbaik dan menjadi judul buku-buku antologi Cerpen
Terbaik Kompas sejak 1992, menjadi sejajar dengan cerpen “Istri Sempurna”
sekalipun fiksi karya Aveus Har ini gagal sebagai karya sastra.
Nilai sastra dalam cerpen ini tidak mendekati
nilai sastra “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarman, “Derabat” karya
Budi Darma, “Jejak Tanah” karya Danarto, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar
Panca Dahana, “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan”
karya Kuntowijoyo, “Kado Istimewa” karya Jujur Prananto, atau “Lampor” karya
Joni Ariadinata.
Referensi