Kritik

Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan

Tentang Laki-Laki Muda Berjaket Coklat Tua

Cerpen: Febrie Hastiyanto

Laki-laki  muda berjaket coklat-tua memerlukan beberapa kejap memejamkan mata, sesaat sebelum bus Puspa Sari yang ditumpanginya memasuki Terminal Rajabasa. Angannya membual pada kenangan beberapa tahun lewat, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang gugup: pada mimpi dan cita-cita yang disemainya di kota ini. Setelah turun dari bus, laki-laki muda berjaket coklat-tua bergegas melompat ke dalam bus lain lagi, Damri trayek Terminal Rajabasa-Tanjung Karang. Tadi ia sempat mengedarkan pandang ke sekeliling terminal. Ia menggeleng kepala sendiri, menenangkan batinnya. Katanya kepada batin: menggerutu soal kesemrawutan tak baik bagi kesehatan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memilih menyandarkan kepalanya di kursi bus. Bus sejuk berpendingin udara.

Pelan-pelan Damri tengah menyusuri Jalan Z.A. Pagar Alam. Sebentar lagi Damri akan melintasi perempatan Universitas Lampung, lalu Museum Lampung lalu kampus-kampus Universitas Mitra Lampung, Kampus Darmajaya, Perguruan Teknokra juga Universitas Bandar Lampung. Memasuki bilangan Pasar Koga di Kedaton membuat mata laki-laki muda berjaket coklat-tua lebih awas lagi. Ia ingat dulu, lama sekali pernah bergiat menimba ilmu di satu lembaga bimbingan belajar. Berolah trik-trik menjawab soal UMPTN, dengan rumus-rumus praktis, jawaban tebakan—dengan sejumlah keyword tertentu. Pokoknya raih jawaban benar sebanyak-banyaknya, atur strategi passing grade jurusan yang diinginkan, tambahkan banyak doa, dan jangan lupa restu kedua orang tua. Sambil tersenyum laki-laki muda berjaket coklat-tua mengenang jalan hidupnya.

Senja mulai turun, diselimuti debu dari jalan yang cepat-cepat diperbaiki menjelang bulan puasa. Bandar Lampung cerah sore itu. Laki-laki muda berjaket coklat-tua telah melintasi tempat-tempat yang menggetarkannya. Terminal Tanjung Karang di lantai dasar Ramayana, menengok Pasar Tengah yang berjejal pertokoan, Jalan Radin Intan, masih ada Tugu Gajah, lalu Central Point, tidak ketinggalan Mal Kartini, dan tentu saja melirik Pasar Bambu Kuning dengan bangunan yang lebih segar kini dan Pasar Smep yang semakin doyong dari dalam bus. Kemudian Rumah Makan Padang di gang masuk dekat Hotel Ria.

TELUK Lampung terlihat dari tempat laki-laki muda berjaket coklat-tua duduk. Sambil merapikan kerah jaketnya, mengusir gugup, laki-laki muda berjaket coklat-tua sesungguhnya tak dapat menebak betul, garis pantai yang memisahkan laut dengan daratan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua hanya menandainya dari lampu-lampu yang berpendar dan sedikit imajinasi. Tempat makan minum itu ramai. Agak di depan, membelakangi teluk seorang biduan berambut ikal bersusah payah menarik perhatian orang yang makan minum dengan nyanyiannya. Banyak orang makan minum tak hirau, asyik dengan makan malamnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua itu memberi senyum pada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal itu tak melihatnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tetap tersenyum. Kali ini kepada dirinya sendiri.

Lampu-lampu di tempat makan minum itu tak terang. Sepertinya memang dibuat temaram. Meskipun puas memandang biduan berambut ikal dari panggung kecil membelakangi teluk, laki-laki muda berjaket coklat-tua merasa seperti orang yang mengintip. Laki-laki muda berjaket coklat-tua berlindung dalam cahaya yang samar. Biduan berambut ikal menyanyikan satu lagu yang sedang populer di radio dan televisi. Gayanya berkelas, tidak merajuk orang untuk menonton dengan syahwat. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak perlu mengernyitkan dahi untuk mengatakan biduan berambut ikal itu menarik, menarik bagi kelaki-lakiannya.

Sambil mengudap roti bakar laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang pada orang-orang yang sedang makan minum. Di depan sana, lima-enam-tujuh orang, dalam hitungan cepat melalui matanya dalam dua kejap, sedang merubung satu meja. Mereka terbahak-bahak bergembira. Seorang diantaranya meniup lilin di atas kue. Tepuk tangan terdengar riuh, lalu terbahak-bahak, kemudian menyanyi koor, kemudian terbahak lagi. Satu-dua orang punggungnya berguncang-guncang dari tempat duduk laki-laki muda berjaket coklat-tua.

Angin laut memberikan kesegaran baru di Bandar Lampung yang malam itu gerah. Laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik ke teluk, mendapati biduan berambut ikal sudah tidak menyanyi lagi. Kali ini ia merokok filter putih. Lubang-lubang asap terbentuk dari bibirnya, kemudian ia meniup kuat-kuat membuat lubang asap kehilangan bentuk menjadi kabut. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memberi senyum kepada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal tak melihat sebab temaram lampu tempat makan minum itu tertutup kabut asap rokoknya. Laki-laki muda itu kemudian tersenyum. Pura-pura tersenyum pada seorang wanita karier yang blazer-nya belepotan kue tart. Lima-enam orang di sekelilingnya terbahak-bahak.

“APA sih makna idealisme bagimu?” tanya perempuan muda berambut ikal, kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Laki-laki muda berjaket coklat-tua menjawab dengan senyum. Pandangnya diedarkan ke sekeliling meja. Perempuan muda berambut ikal menunggu dalam desah napas yang tertahan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua sedang larut dalam lelehan susu coklat kental manis di sela-sela roti bakar. Roti bakar tinggal seperempat, remah-remah keju parut terserak di meja. Mata laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik keringat pada gelas jus jambu biji. Ia memainkan sedotan, kali ini sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal.

“Apa sebab idealisme pula kau tak pernah singgah di kota ini?” lagi perempuan muda berambut ikal merajuk. Kali ini laki-laki muda berjaket coklat tua menjawab: “Tidak, bukan. Kota ini sungguh magis bagi saya,” katanya sambil membuang pandang kepada lampu-lampu di Teluk Lampung. “Saya hanya ingin tinggal di kota ini, lain tidak. Pekerjaan membuat saya harus bermukim di luar kota.” Laki-laki muda berjaket coklat-tua memainkan remah-remah keju parut di meja. “Saya selalu menghindari kota ini, karena tahu dorongan itu terlalu kuat. Saya tak ingin mengecewakan diri sendiri. Saya tak ingin ke kota ini, untuk kemudian tak mampu pergi ke lain kota. Sedang saya harus bekerja.” Kali ini matanya mengikuti rambut perempuan muda yang mengombak.

Perempuan muda berambut ikal menyeruput jus semangka. Sedikit menyesal, karena pertanyaan ini sudah ditanyakannya bertahun lewat. Tak ada yang berubah dari jawaban laki-laki berjaket coklat-tua. Perempuan muda berambut ikal menghela napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadanya. Ia merasa sedikit nyaman. Baik, baik, katanya dalam hati.

“Lalu kenapa kau sekarang ke kota ini?” tanya perempuan muda berambut ikal. Kali ini tak ada nada merajuk. Tak berguna, pikir perempuan muda berambut ikal. Laki-laki muda berjaket coklat-tua mengangguk-angguk, mengumpulkan keberaniannya. “Karena,” katanya sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal, “Saya tak ingin pergi lagi dari kota ini.” Laki-laki muda benar-benar telah mengumpulkan keberaniannya. Setelah mengatakan kalimat itu, ia tak segera membuang pandang dari mata perempuan muda berambut ikal. Perempuan muda berambut ikal justru menjadi grogi. Ia memerlukan menelan ludah untuk menenangkan diri.

“Kau akan pindah bekerja?” tanya perempuan muda hati-hati, takut dianggap merajuk. Laki-laki berjaket coklat-tua menggeleng. Katanya: “Tidak, saya akan berhenti, dan mencari kerja, atau membuat kerja di kota ini. Tabungan saya cukup untuk mengontrak rumah selama dua tahun di kota ini, dan biaya hidup satu keluarga kecil selama empat-atau-lima bulan. Kau bisa menyanyi, saya akan menulis puisi.” Perempuan muda berambut ikal cepat memotong: “Kau bisa hidup dari puisi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum. “Tidak,” katanya pelan. “Tetapi saya tidak bisa hidup bukan di kota ini.”

Laki-laki muda berjaket coklat tua memejamkan matanya. Mengumpulkan keberaniannya untuk yang lain lagi. Perempuan muda berambut ikal menunggu sambil menyeruput jus semangka di depannya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuka mata dan mengatakan kepada perempuan muda berambut ikal: “Kau sudah menikah?”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum. Ia merasa tidak ada beban. “Sudah,” katanya. “Suami saya bekerja di dealer sepeda motor. Kami belum punya anak.” Perempuan muda berambut ikal memainkan sedotan di jus semangka. “Kau kecewa?” tanyanya pelan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak menjawab. Matanya memandang lampu-lampu di Teluk Lampung. “Tidak,” katanya tanpa memandang wajah perempuan muda berambut ikal. “Sedikit,” ralatnya kemudian.

Perempuan muda berambut ikal memandang laki-laki muda berjaket coklat-tua dengan senyum. Dadanya terasa lapang. Bukan sebab dendam, bukan sebab kasihan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua kini memandang lekat mata perempuan muda berambut ikal. Mungkin untuk yang terakhir kali, batinnya.

Perempuan muda berambut ikal mengatakan sesuatu kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua, pelahan: “Kau akan meninggalkan kota ini lagi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum menghapus kekecewaannya yang sedikit tadi. “Tidak,” katanya mantap. “Saya tak bisa hidup bukan di kota ini.” Perempuan muda berambut ikal memaksakan diri tersenyum. Batinnya koyak, namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah penyebabnya. Perempuan muda berambut ikal itu bertanya lagi pada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Tanyanya, “Kau akan sering-sering ke tempat makan minum ini?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang lagi, kepada lampu-lampu di Teluk Lampung, kemudian pada remah-remah keju parut, pada keringat di gelas jus jambu biji, pada lantai yang kotor kue tart, pada asbak di pinggir meja. Katanya; “Tidak. Saya tak ingin mengganggu rumah tangga orang.”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum sambil memandang Teluk Lampung. Laki-laki muda berjaket coklat-tua juga memandang Teluk Lampung. Mereka sama-sama lega.

Slawi,  Juli 2011.

Kepada: Budi P. Hatees

Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal. 

Oleh Budi Hutasuhut | Penulis peneliti kebudayaan Batak

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage,  mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama jadi Pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 yang digelar di Kabupaten Samosir pada 14-16 September 2024 lalu. 

Ia bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra bahasa Batak,  ia  masih harus mensosialisasikan buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatra Utara. Untuk kegiatan itu,  ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengaku tidak lagi focus pada menciptakan karya baru, sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terkendala. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak tahun 2012 itu, belum mendapat respon dari pemerintah daerah,  sehingga sastra berbahasa Batak  belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam rangka melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meskipun begitu, kerja budaya yang dilakukan Saut Poltak Tambunan mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik Bahasa local itu. Ditandai dengan banyak muncul penulis baru yang menulis dalam bahasa Batak, meskipun bukan dari kalangan generasi muda.

Saut Poltak Tambunan seorang penulisan novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashady Siregar, Marga T, Mira W,  dan pengarang lainnya. Pada tahun 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak dengan mengalihbahasakan sejumlah cerpennya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi  pada 2012. 

Tahun 2015,  kumpulan cerpen Mangongkal Holi  itu membuat Saut Poltak Tambunan menerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga yang dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah,  sebelumnya hanya focus pada sastra berbahasa daerah yang ada di Pulau Jawa: Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi   menerima Hadiah Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk dalam penghargaan Hadiah Rancage. 

Namun, sastra berbahasa Batak bukan penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atyau di Pulau Sumatra. Tahun 2008,  sastra berbahasa daerah Lampung, kumpulan puisi  Mak Dawah Mak Dibingi  (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzie sudah lebih dahulu mendapat Hadiah Rancage. 

Tahun 2008, sebagai direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (alm) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam salah satu kategori pemberian Hadiah Rancage. 

Irfan Anshory yang berasal dari Lampung menyetujuinya dengan catatan,  kategori sastra berbaha Lampung akan masuk kategori Hadiah Rancage jika ada penerbitan sastra daerah berbahasa Lampung bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini, juga ditegaskan Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan,  sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, ke perguruan tinggi dan para akademisi, dan menggelar acara pelatihan menulis dalam Bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetap sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut Poltak Tambunan harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul tiap tahun. Meskipun tanggung jawab ini tidak mudah, Saut Poltak Tambunan memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan berhasil mendorong Rose Lumbantoruan untuk menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Tahun 2019, Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Bataka karya Robinson Siagian, Guru Honor, yang menerima Hadian rancage 2020. Namun, memasuki tahun 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak yang diterbitkan, dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada tahun 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul, Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah rancage 2022. Sejak itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut Poltak Tambunan kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang) yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Tahun 2023, tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tidak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan Simanjutak sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami,   Panusunan Simanjuntak menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh dari hidupnya yang sudah 75 tahun  dihabiskan di luar negeri. 

Meskipun puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami ini menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisi mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apapun. Meskipun Panusunan Simanjutaak sudah puluhan tahun mengunjungi lebih 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharain. 

Puisi-Puisi Am Rambe



Dongan Magodang 


Molo huingot atia sikola

Di bale-bale Anda ikut campur.

Marcarito  sanga jadi aha.

Marsiarsakan dohot martata.


Hupiltik gitar, hamu marende.

Endettaon bulung botik.

Sakong cuka padao arsak.

Dung tenggen suman marpege pege.


Molo malean, manakko manuk.

Tardapot rap mandangdangi.

Dainang ta pe ro mamotuk.

Hita marsiliginan rap mikim be.


Dao sian ipol ni mata.

Hape taraso hita na marsarak.

Ilu ni mata namarsaburan.

Taringot sude paruttungan


Siabu tu Sigalangan.

Siambirang tu Angkola Julu.

Siamun da dongan marsijalangan.

Siambirang baya pangapus ilu.


Marsarak di Dano Tao


Gogo ni ari, torang ni bulan.

Na paboahon di ari parsarakan.

Na mandok putus namar dongan.

Bahaso hita inda sahata saoloan.


Madung huboto sian na joloan.

Hita nadua songon tor dohot rura.

Donok marsitatapan.

Tai tangis di bagasan roha.


Hujagit surat nadi lehenmu.

Napaboahon nagiot marbagas.

Bia dope hubaen satolap gogoku.

Au halak napogos boti nasuada.


O, anggi boru Harahap!

Boru na kayo boti namalim.

Ilu ni mata namarsaburan.

Mangingot  janji nadung solpu.

.

Dung dilakkahon simanjojakmu.

Nadung salpu ulang diingot.

Holongi si doli pangoli.

Songon najolo  dihaholongi ho au.


Pangomo Nihalak


Madung tarida amang,  bohi nasora loja.

Ngolu-ngolu hosa, lakka-lakka tombom.

Manombo borngin nada giot  modom

Mangarimangi hamu amang  namarsikola.


Mamakkur au amang di saba ni halak.

Goreng pisang sada dilehen dongan.

Sasargut dipangan, sambola nai di hadangan.

I ma hulehen di anakku haholongan.


O ale amang nadua tolu.

Gogo ni tondi tondikku.


Di manyogot ni ari.

Hududa amang simarata.

Hututung harasak .

Pio-pio au sian parapian

Namandok: “Ucok!  Ngot bo hamu le”

“Madung jom saratus, adope!”

“Maridi bo hamu, anso kehe tu sikola!”


Saulakon gabe ma hamu jadi jolma.

Ingot ma hamu marsipoda.

Ulang gabe songon au.

Nador mamakkur saba ni halak


Sian sannari tu pudi ni ari.

Mattakkon nada be tarbuka.

Madung sursur tano parsidegean.

Masopak hayu parsigoloman.

Roma angin naso hadindingan.


Lojakki amang, balos dohot doa!


Am Rambe lahir sebagai Ahmad Mora Rambe. Alumni STKIP Tapanuli Selatan ini tinggal di Kabupaten Padanglawas Utara.

Aksara Batak Berawal dari Angkola

Makan Sutan Nasinok Harahap di Desa Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, setelah dipugar.  Di pemakaman ini jejak aksara Batak ditemukan. 

Salah satu bukti adanya peradaban manusia adalah aksara. Masyarakat Batak memiliki aksara yang disebut aksara Batak, atau aksara Tulak-Tulak.  Namun, akhir-akhir ini muncul pertanyaan tentang masyarakat Batak yang mana mengawali penggunaan aksara ini.


Oleh Ali Gusti Siregar

Sejarah peradaban manusia berdasarkan penggunaan aksara dibedakan menjadi dua, Zaman Pra-Sejarah dan Zaman Sejarah. Zaman Pra-sejarah adalah zaman ketika manusia hidup dan berkomunikasi belum mengenal tulisan (aksara), biasa dikenal dengan zaman batu (Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum). Sedangkan zaman sejarah adalah masa di mana manusia telah mengenal aksara dan menggunakannya sebagai alat berkomunikasi, di Indonesia zaman ini dikenal sebagai zaman awal masuknya agama Hindu-Budha.

Masuknya Hindu-Budha ke Indonesia datang langsung dari India, lewat jalur perdagangan. Indonesia pada zaman dahulu dikenal sebagai jalur perdagangan internasional, menghubungkan peradaban-peradaban besar di Asia via laut. Peradaban besar yang dimaksud adalah Arab, Persia, dan India di bagian Barat dan Cina di bagian Timur. Perdagangan berperan penting dalam menyebarnya manusia beserta budayanya, inilah sebabnya di Indonesia banyak pengaruh Hindu-Budha, salah satunya Aksara.

Aksara sendiri berasal dari Bahasa Sanseketa, yaitu bahasa yang berasal dari India dan bagian penting dalam peradaban Hindu-Budha di Indonesia. Menurut KBBI, aksara berarti sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. 

Sebelum aksara Latin dan Arab familiar di Nusantara terlebih dahulu masyarakat mengenal aksara Pallawa. Aksara Pallawa sendiri adalah aksara yang berasal dari India bagian Selatan, dan aksara yang menurunkan berbagi aksara di Nusantara seperti yang terdapat dalam prasasti Hindu-Budha:  Prasasti Mulawarman di Kutai sebagai prasasti tertua di Indonesia berasal dari abad 5 Masehi.

Perkembangan aksara Pallawa di Nusantara mengalami perubahan-perubahan menjadi banyak ragam aksara turunannya. Salah satunya Aksara Batak/Tulak-tulak. Terjadinya perubahan-perubahan aksara Pallawa menjadi aksara-aksara baru di Nusantara disebabkan, masyarakat penggunanya menyesuaikan dengan karkteristiknya dan kondisi lingkungannya.


Aksara Batak (Surat Batak)  adalah sebutan untuk aksara yang digunakan semua sub-etnis Batak di Sumatera Utara, sedangkan aksara Tulak-tulak adalah sebutan khusus bagi aksara yang digunakan masyarakat Angkola dan Mandailing. Dikatakan aksara Tulak-tulak karena metode penulisannya di media batu dengan cara diukir menggunakan alat pengukir yang ditulak atau didorong. 


Kata “tulak” dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti dorong. Diukir disamakan artinya dengan mendorong, karena teknik mengukir menggunakan alat yang cara pengunaannya didorong.  Kemudian aksara Tulak-tulak menggunakan media lak-lak yaitu kulit kayu ulim yang diolah membentuk kertas yang berlipat-lipat dengan tinta khusus. 

Kata “laklak”  dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti kulit kayu. Selain pada media Batu dan Laklak, aksara Tulak-tulak juga digunakan di media bambu yang dikenal dengan istilah Pustaha Bulu. Cara penulisan pada Pusataha Bulu yaitu dengan mengukir menggunakan pisau khusus kemudian diberikan warna pada ukiran aksara tersebut. 

Aksara Batak/Tulak-tulak terdiri dua bagian, yaitu “Ina ni surat” dan “Anak ni surat”. “Ina ni surat” merupakan huruf yang menjadi dasar penulisan dan semua berbunyi “A”, kecuali  huruf “I” dan “U”. “I” dan “U” dalam “Ina ni surat” sebagai huruf besar atau huruf awal kata, misal “Ina” dan “Umak”.  Sedangkan “Anak ni surat” sebagai tanda tambahan yang mengubah bunyi dari “Ina ni surat” dan berfungsi sebagai vocal Seperti “u”, “e”, “o”, dan “ng”.  

Umumnya Aksara Batak/Tulak-tulak digunakan mencatat ramuan-ramuan obat, mantra-mantra (tabar) oleh datu (sebutan masyarakat untuk orang yang memiliki kesaktian), nasehat (sipangingot),  mencatat silsilah (tarombo), juga peristiwa-peristiwa penting yang dikemas sebagai cerita lisan (turi-turian) tentang pemimpin marga atau raja adat.

Prof. Uli Kuzok dalam bukunya Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII  berpendapat aksara Batak tersebut berawal dari Selatan yang disebutnya Mandailing, kemudian masuk ke utara (Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo) dengan membandingkan susunan aksaranya dan bahasanya. 

Aksara Batak pada umumnya sama, tetapi terdapat perbedaan kecil. Aksara Tulak-tulak dinilai lebih awal karena variasi-variasi pada Aksara Tulak-tulak lebih besar dibandingkan lainya. 

Aksara Batak diklasifikasi menjadi lima varian: Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Angkola sendiri tidak dijadikan varian, karena varian Aksara Batak yang digunakan masyarakat Angkola tidak berbeda dengan aksara yang digunakan masyarakat Mandailing. 

Jika dilihat peta persebaran Aksara Batak yang dibuat Uli  Kozok, arah persebaran Aksara Batak memang dari Selatan, tetapi Selatan yang dimaksud terletak di Padang Lawas. Daerah ini  merupakan ulayat masyarakat Angkola. 

Di Padang Lawas terdapat banyak peninggalan Hindu-Budha, puluhan situs Hindu-Budha masih bisa kita saksikan: Candi Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sipamutung, Tandihat, Sangkilon, dan lainnya. Selain peninggalan berupa bangunan, peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas juga meninggalkan prasasti: Prasasti Sitopayan I dan II, Prasasti Gunung Tua, Prasasti Candi Manggis, dan lainnya. 

Dugaan awal, aksara Batak/Tulak-tulak berasal dari peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas. Lokasi Padang Lawas yang berada berdekatan dengan masyarakat pengguna aksara Batak. 

Aksara Batak adalah turunan dari Aksara Pallawa, sedangkan Aksara Pallawa banyak terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Padang Lawas.

Menurut Nasoichah, Churmatin, dan Andhifani, Wahyu Rizki,  terdapat prasasti-prasasti di Padang Lawas menggunakan aksara Sumatera Kuno dan aksara Batak. Prasasti yang beraksaras Sumatera Kuno diperkirakan berasal pada abad 11-14 Masehi   seperti Prasasti Gunung Tua (Lokanātha), Prasasti Sitopayan I dan II, dan Prasasti Bahagas.  Prasasti Gunung Tua  menggunakan dua bahasa, Sansekerta dan Melayu.  Selain itu, terdapat juga inkripsi penanggalan pada Prasasti Gunung Tua, yaitu 946 Saka. 

Prasasti Sitopayan I dan II ditemukan di Candi Sitopayan di Desa Sitopayan, Portibi, Padang Lawas Utara. Pada Prasasti Sitopayan I menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Batak Angkola maupun Mandailing, yaitu pada kata "bakas" yang diartikan rumah (bagas). Sedangkan Prasasti Sitopayan II hanya menggunakan Bahasa Melayu. 

Kata "bhagas" ada pada Prasasti Bahagas, yang ditemukan di Desa Binanga, Barumun Tengah, Padang Lawas.  Prasasti ini dijadikan sebagai batu nisan makam kuno, Sutan Bangun Hasibuan, pendiri huta (kampung) tersebut. Sama seperti Prasasti Sitopayan, Prasasti Bahagas juga menggunakan Aksara Sumatera Kuno dan Batak Angkola yaitu pada kata "Bahagas" yang berarti rumah.

Adapun prasasti beraksara Batak menurut Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki (2020) seperti Prasasti Sutan Nasinok Harahap, Prasasti Raja Soritaon, dan Prasasti Tua Sohatembalon Siregar. Ketiga prasasti tersebut terdapat pada situs makam kuno tokoh masyarakat setempat dan berbahasa Batak Angkola. Ketiga makam tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-16 Masehi. 

Selain yang diutarakan Nasoichah dan Adhifani, Daniel Perret dalam bukunya, History of Padang Lawas 2 menjelaskan, terdapat prasasti beraksara Batak lainnya di Candi Manggis, Sosa, Padang Lawas, dan hal yang mengejutkan ternyata prasasti beraksara Batak juga ditemukan di Candi Muara Takus, Riau.

Di Mandailing sendiri terdapat beberapa jejak peradaban Hindu-Budha seperti Candi Simangambat, Situs Saba Uduk di Kecamatan Siabu, Biara Dagang, Saba Biara di Pidoli Lombang, dan Situs Padang Mardia, Huta Siantar,  Panyabungan.  Tapi hanya ditemukan satu prasasti pada masa Hindu-Budha, yaitu Prasasti Sorikmarapi. Sedangkan Prasasti beraksara Batak atau Tulak-tulak sejauh ini belum ditemukan. 


Prasasti tersebut ditemukan pada Tahun 1891 Masehi di Desa Maga. Prasasti Sorikmarapi menggunakan aksara Jawa Kuno yang merupakan salah satu turunan Aksara Pallawa dan menggunakan Bahasa Melayu. Terdapat penanggalan pada prasasti tersebut yaitu 1162 Saka atau 1242 Masehi. Lokasi penemuan Prasasti Sorikmarapi tidaklah dalam kawasan percandian, tidak ditemukan di sekitarnya ada reruntuhan Candi. 


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka pendapat Prof. Uli Kuzok bahwa aksara Batak berawal dari Selatan dan posisinya Mandailing, kurang tepat. Yang lebih tepat  berawal dari peradaban Hindu-Budha di kawasan situs Padang Lawas yang tersebar di Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. 

Wilayah Mandailing menurut Pandapotan Nasution memiliki perbatasan di sebelah Utara dengan Angkola, pesisir di Barat, Minangkabau di Selatan, dan Padang Lawas di sebelah Timur.  Begitu juga Mangaraja Ihutan mengatakan, Mandailing memiliki perbatasan dengan Tanah Rao di Sibadur, Angkola di Simarongit, Natal di Linggabayu, dan Padang Bolak di Rudang Sinabur. 

Menurut Sufrin Efendi Lubis, wilayah Selatan dari Sumatera Utara meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua suku Batak: Batak Mandailing yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal dan Batak Angkola mendiami Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, dan Kota Padang Sidimpuan. 

Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, asal aksara Batak, bukanlah bagian dari Mandailing. Jadi, aksara Batak tidaklah dari Mandailing, tetapi dari Angkola. 

Referensi:

Kozok, Uli. (2009). Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki. (2020). Prasasti-Prasasti Beraksara Pasca-Pallawa: Bukti Keberagaman Di Kawasan Kepurbakalaan Padang Lawas, Sumatera Utara.  Siddhayatra Jurnal Arkeologi. Vol. 25 (1), 1-14.

Nasoichah, Churmatin. (2019). Keberadaan Prasasti Dalam Konteks Kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas, Sumatera Utara. Berkala Arkeologi Sangkhakala. Vol.21 (2), 101-115.

Perret, Daniel dan Surachman, Heddy. (2014). History of Padang Lawas II. Association Archipel.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui https://kbbi.web.id/aksara, 1 September 2020.

Nasution, Pandapotan. (2005). Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. FORKALA.

Ihutan, Mangaraja. (1926). Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing. Pewarta Deli: Medan.

Lubis, Sufrin Efendi. (2022). Agama dan Budaya: Dinamika pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Angkola di Kota Padangsidimpuan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Bandung.


Ali Gusti Siregar  lahir 30 Agustus 1996, tinggal di Kabupaten Mandailing Natal, seorang pemerhati kebudayaan yang memiliki minat terhadap sejarah budaya. Acap melakukan napaktilas ke situs-situs budaya di wilayah Kabupaten Mandailing Natal , dan merangkum perjalanannya dalam catatan-catatan yang sering disampaikan dalam diskusi-diskusi budaya. 

"Istri Sempurna" Gagal sebagai Cerpen Terbaik Kompas

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. 

Oleh: Budi Hatees | Pembaca karya sastra

Selain kontinyu melahirkan cerpen baru yang berkontribusi terhadap dunia cerpen kita, Kompas juga membawa pengaruh terhadap dunia penulisan cerpen--melahirkan banyak generasi baru penulis cerpen sekaligus membuat para penulis menjadikan cerpen sebagai pilihan utama dalam berkreativitas. 

Simpul ini tak perlu saya jelaskan secara statistik, dan pasti Anda akan sulit menerima hal-hal yang tidak punya rujukan objektif dan paradigmatik seperti ini, tapi saya tidak menolak bila Anda bisa membalikkan simpulan saya, bahwa bukan Kompas yang memberi sumbangan terhadap dunia penulisan cerpen, sebaliknya cerpen yang membuat Kompas menjadi media mainstream  atau berkembang sebagai industri pers seperti saat ini. Simpul seperti itu ada benarnya jika kita ikuti fenomena Kompas sebagai  satu-satunya media koran yang masih mempertahankan rubrik sastra sementara koran-koran lain telah gulung tikar, karena rubrik sastra itu membuat Kompas tetap memiliki pembaca.

Soal siapa yang memengaruhi antara Kompas dengan cerpen, atau adakah symbiosis mutualisme di antara keduanya,  atau hubungan lain di mana yang satu menjadi semakin buruk sementara lainnya berperilaku seperti benalu yang menjadi parasit pada tanaman inangnya, sudah sering dibicarakan para ahli sebagai fenomena sastra koran.[1] Mahluk bernama sastra koran ini mendapat perhatian khusus dari para ahli sastra di negeri ini, dipuja-puji dengan pilihan diksi yang superlatif sebagai primadona karya sastra, meskipun realitas menunjukkan kehadiran sastra sebagai dunia fiksional di dalam internal dunia media yang mempertaruhkan faktual itu menjadi sebuah paradoks. 


Sastra pada hakikatnya mempertaruhkan pesan. Koran pada hakikatnya medium tempat pesan. Dalam kajian ilmu komunikasi, koran adalah barang poduksi yang dipersiapkan sebagai medium dari pesan berbentuk tulisan dan gambar.  Koran hanya diperuntukkan bagi karya tulisan yang mensyaratkan isinya harus sesuai dengan fakta karena ada regulasi yang mengatur perihal itu. Koran tidak diperkenankan berisi imajinasi apalagi fiksi, tetapi cerpen merupakan karya fiksi. Jadi, kehadiran karya fiksi sebagai bagian dari koran sebuah paradoks. 


Di negeri kita ada anggapan bahwa "koran tanpa sastra sama dengan tidak beradab",  seperti disampaikan Marsus Banjarbarat dalam esainya "Koran Tanpa Sastra: Barbar" (disiarkan di Riau Pos  edisi Minggu, 20 Januari 2013), seolah-olah karya jurnalistik tidak mampu membuat koran menjadi beradab. Bahkan, sastra koran yang fiksional itu didorong sebagai pilihan alternatif untuk mengungkapkan fakta aktual apabila jurnalisme  tidak bisa menjalankan fungsinya di hadapan kekuasaan pemerintah yang kooptatif dan hegemonik.[2]  Orang-orang memang sering terlalu pintar di negeri ini.  

Meskipun begitu, kita tak bisa mengabaikan, bahwa cerpen bagi pengelola koran hanya alat untuk kepentingan profit bisnis dalam rangka menciptakan segmen pembaca yang lebih luas dan lebih beragam sehingga oplag bisa ditingkatkan, selain untuk menciptakan produk baru berupa buku cerpen untuk mendukung unit usaha dalam internal konglomerasi media. Sebagian besar pengelola koran tidak seberhasil Kompas dalam menggapai profit yang diangankan, kemudian mereka menghapuskan rubrik cerpen dan menggantinya dengan iklan yang jelas mendatangkan profit, meskipun kemudian koran yang tanpa rubrik cerpen kehilangan banyak pembaca dan akhirnya gulung tikar. [3]  

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. Terhadap pilihan Kompas itu, layak diajukan pertanyaan apakah cerpen “Istri Sempurna” jauh lebih bagus dibandingkan cerpen-cerpen yang sebelumnya terpilih dalam ajang yang sama, atau menjadi lebih buruk. Jika jawabannya cerpen karya Aveus Har jauh di bawah standar cerpen “Derabat” karya Budi Darma atau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, maka keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” merupakan penurunan mutu cerpen Kompas yang layak disayangkan.[4] 

Kita diberi tahu, semua juri dalam Sayembara Cerpen Terbaik Kompas 2024 berasal dari lingkungan internal atau “orang dalam” Kompas. Sebelum menjadi juri,  ada di antara para juri ini yang terlibat dalam memilih satu cerpen dari puluhan atau ratusan cerpen yang dikirimkan para penulis ke Kompas untuk disiarkan Kompas setiap pekan.  Mereka adalah para pengelola rubrik cerpen Kompas; redaktur, wakil redaktur, maupun asisten redaktur. 

Ketika mereka ditetapkan sebagai juri, mereka harus memilih satu cerpen yang terbaik dari ratusan cerpen yang pernah disiarkan Kompas selama tahun 2023, dan mereka juga terlibat dalam memilih ratusan cerpen yang disiarkan Kompas selama 2023.  Jika mereka memilih satu cerpen saja sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024, laku memilih itu sekaligus menegaskan bahwa tidak semua cerpen yang disiarkan Kompas layak mendapat predikat sebagai cerpen terbaik.[5]  Pasalnya, “orang dalam Kompas” sudah pernah menjadi juri serupa, dan ternyata mereka memilih tanpa kriteria. Dalam prakata buku Cerpen Terbaik Kompas 1993 disebutkan: “Kami percaya bahwa setiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana, karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tetapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.

 

Hakikatnya para juri dalam sayembara sastra,  termasuk juri Cerpen Terbaik Kompas 2024, semestinya dibekali indikator dan variabel penilaian sebelum bekerja sebagai juri. Variabel dengan indikator biasanya hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam kepanitiaan sayembara.  Jauh-jauh hari mereka bekerja merumuskan variabel dengan indikator itu, dan perumusan ini paralel dengan visi dan misi penyelenggara sayembara. 


Penyelenggara pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2024 adalah Kompas.  Kompas adalah media cetak,  produk dari industri pers yang tergabung dalam Grup Kompas.  Anggota-anggota grup perusahaan ini memiliki bisnis yang saling mendukung antara satu dengan lainnya seperti bisnis penerbitan buku.  Isi koran Kompas, termasuk cerpen yang muncul pada edisi hari Minggu, bisa mendongkrak pengembangan sektor bisnis penerbitan buku.

Setiap kali cerpen terbaik sudah dipilih, Kompas akan menerbitkannya menjadi buku.  Buku berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik yang pernah disiarkan Kompas dalam setahun, menjadi buku yang diminati pembaca.  Dengan kata lain, tradisi memilih cerpen terbaik Kompas mempunyai output berupa satu buku kumpulan cerpen terbaik Kompas yang kehadirannya selalu ditunggu pembaca.

Itu salah satu penyebab kenapa tradisi memilih cerpen terbaik tiap tahun, yang dimulai Kompas sejak 1992,  tetap terjaga selama 31 tahun.  Dalam kurun 31 tahun, setiap tahun ada satu buku kumpulan Cerpen Terbaik Kompas, mulai dari Kado Istimewa (yang memposisikan karya Jujur Prananto sebagai cerpen terbaik Kompas).   Dan paling mutakhir, di tahun 2024, terpilih cerpen Aveus Har berjudul "Istri Sempurna".

Sejak 1992 hingga 2004, pemilihan cerpen terbaik dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra.  Mulai 2005, Kompas memberikan otoritas pemilihan kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik.  Tapi tahun 2024, Kompas kembali menunjuk "orang dalam" sebagai juri, yang kemudian memilih cerpen "Istri Sempurna". Bagi Kompas, tradisi pemilihan cerpen terbaik merupakan wujud komitmen Kompas dalam merawat dan memperkuat sastra Indonesia. Sastra, khususnya cerpen, telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Kompas. Kehadiran Cerpen Pilihan Kompas menjadi wujud komitmen merawat sastra Indonesia. 

Jadi, untuk sementara, predikat “terbaik” cerpen “Istri Sempurna” karya Aveus Har kita terima dulu karena pikirkan-pikiran positif  diperlukan untuk mempersiapkan diri melakukan penilaian-penilaian yang tidak dipengaruhi oleh subyektivitas, dan di dunia ini hanya sedikit orang yang akan terus-terang menyatakan penolakan terhadap pikiran positif. Orang-orang sangat menyukai hal-hal positif dan menyebutnya bermoral, tetapi orang-orang tidak akan pernah sanggup menunjukkan jenis kelamin dari moral yang dipahaminya, kecuali ia akan mengulang-ulang hal-hal yang menjadi pendapat umum di lingkungannya, bahwa kata-kata makian itu tidak layak disampaikan di depan umum. 

Di lingkungan kita, orang-orang yang sudah belajar ilmu pengetahuan maupun yang belum pernah bersekolah, lebih menyukai  apa yang sudah menjadi pendapat umum sebagai pengetahuan umum tanpa mengujinya lebih dahulu – karena tidak punya kapasitas dan kecakapan untuk melakukan pengujian-- apalagi bila pendapat umum itu sudah diturunkan dari leluhurnya, dan itu menjadi kebenaran mutlak baginya. Konsepsi mereka tentang mentalitas, termasuk mentalitas budaya,  berasal bukan dari akses langsung ke cara kerja batin pikiran sendiri, tetapi dari kerangka teori primitif yang kita warisi dari budaya kita.

Mereka akan menolak segala gagasan yang menyebut pendapat umum itu sebagai kekeliruan, dan menuduh orang-orang yang memiliki gagasan itu sebagai tidak menghormati leluhur, dan karenanya harus dikecam apalagi bila cara penyampaiannya cenderung vulgar dan terbuka. Kebenaran di lingkungan masyarakat kita tidak boleh disampaikan secara vulgar dan terbuka, harus dikemas dalam eufemisme demi menjaga harmoni, dan hal seperti ini terjadi juga di dunia politik sehingga demokrasi di Indonesia menolak oposisi atas nama menjaga harmoni. Padahal, seperti disampaikan Hume, bahwa tidak ada yang pernah hadir dalam pikiran kecuali persepsinya; dan bahwa semua tindakan melihat, mendengar, menilai, mencintai, membenci, dan berpikir, termasuk dalam denominasi ini.[6] 

Seandainya orang-orang di lingkungan kita selalu mempertanyakan segala sesuatu agar tidak membeku menjadi batu dan karenanya menjadi “dewa’ dalam kehidupan, tetapi kita hidup di dalam masyarakat budaya yang tidak pernah mengkaji kebudayaannya sendiri secara esensial karena terlanjur bangga terhadap kebudayaan Eropa yang didukung para intelektual budaya seperti Sutan Takdir Alisjahbana,[7] sehingga masyarakat kita pasti akan tersentak bila membaca Paradise Lost  dari John Milton yang bicara tentang setan akan menaklukkan Tuhan, atau menemukan fakta dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri yang menyebut surga akan berada di bawah lantai neraka.  


Hidup di tengah-tengah manusia seperti itu, kritik tidak akan pernah tumbuh sebagaimana seharusnya, termasuk kritik terhadap karya seni (sastra)  karena orang-orang menganggap kritik itu akan meruntuhkan harmoni sementara harmoni  sangat dipercayai oleh para elite di negeri ini sebagai modal dasar dan esensial untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang memiliki beragam-ragam kultur. Bangsa kita dipasung oleh harmoni. Bangsa kita dijajah oleh harmoni. Kita menikmati situasi itu, karena hanya dalam situasi seperti itu kita bisa melakukan puja-puji, dan kita bisa hidup di dalam kondisi yang dipenuhi puja-puji. 


Saya tidak ada dalam kelompok orang-orang yang hidup dalam samudra puja-puji, dan saya tidak suka memuja-puji, maka saya pilih membaca ulang cerpen “Istri Sempurna” sambil membayangkan keutamaan sastra adalah bahwa ia dapat memperdalam kesadaran kita dan memperluas persepsi kita tentang kehidupan. 

Di dalam kehidupan ini, peran terbesar ada di tangan manusia. Dari sekian banyak mahluk ciptaan Tuhan, manusia itu paling sempurna di mana mahluk lain harus tunduk kepada manusia dan hal ini membuat setan dan meludahi adonan manusia yang sedang dibuat Tuhan. Setiap masyarakat agama mengakui manusia sebagai mahluk sempurna jika dibandingkan dengan mahluk lain, sehingga manusia dibekali kemampuan untuk memanfaatkan mahluk lain di sekitarnya bagi keberlangungan hidupnya. 

Kita melihat manusia menunggangi kuda, manusia membongkar bumi hingga ke dasar paling dalam hanya untuk mengumpulkan mineral, manusia menciptakan robot dari mineral yang dikumpulkan itu untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan manusia. Lantaran semua kelebihan itu, manusia menjadi pardoks, menyakiti dirinya sendiri (dalam bekerja) hanya untuk menggapai kebahagiaannya. Hakikat manusia adalah paradoks. 

Salah satu robot yang diciptakan manusia itulah yang dikisahkan sebagai tokoh dalam cerpen “Istri Sempurna”. Cerpen adalah karya seni, prosa yang paling diminati para penulis di Indonesia. Menerima karya seni atau suatu bentuk seni tidak akan bermanfaat bagi pengetahuan manusia, sebaliknya segala bentuk penerimaan terhadap karya seni itu justru menyesatkan bagi pengetahuan manusia. Penerimaan kita terhadap karya seni tidak selalu menerima karya seni itu apa adanya, melainkan mengandaikan bahwa karya seni itu representasi dari kehidupan manusia atau produk manusia yang memimesis kehidupan manusia. Kita menerima cerpen “Istri Sempurna” karena mengandaikan keberadaan dan hakikat manusia di dalamnya. Dengan kata lain, cerpen “Istri Sempurna”  mengandaikan keberadaan fisik dan mental manusia. 

Sebelum memutuskan menerima atau menolak cerpen “Istri Sempurna”, saya mengucapkan kepada Aveus Har bahwa tahun 2024 adalah tahun keberuntungan bagi kreativitasnya dalam menghasilkan karya sastra, dan siapa pun tidak salah jika ingin mengangkat gelas untuknya. Aveus Har sendiri dalam media sosial bicara tentang keberuntungannya: 

“Aku tidak ingin merasa menang. Aku tidak ingin merasa telah mengalahkan. Aku hanya beruntung. Aku mensyukuri keberuntungan sebagai sebuah anugerah. Pada akhirnya, aku adalah aku. Orang yang membaca karena rasa ingin tahu. Orang yang membaca karena menyukai kegiatan itu. Dan, menulis hanya efek mengalirkan kegelisahan dan gema dalam pikiran.“ [8] 

Cerpen "Istri Sempurna" mencoba mengikuti tradisi fiksi distopia,  fiksi tentang masa depan manusia, yang dikenal luas di Indonesia lewat karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four, meskipun penulis novel ini ternyata banyak belajar dari Aldous Huxley, penulis novel distopia, Brave New World (1932). 

Pada tahun 1949, Huxley menyurati Orwell yang baru saja menerbitkan Nineteen Eighty-Four dan karya itu mendapat ulasan positif dari berbagai negara. Huxley adalah mantan guru Orwell dalam bahasa Prancis saat di sekolah menengah atas di Eton. Saat itu, Hukley dikenal sebagai pengarang dengan mahakarya, Brave New World.

Brave New World  bercerita tentang masa depan manusia ketika teknologi berkembang pesat. Saat itu, manusia dibiakkan secara genetis, diindoktrinasi secara sosial, dan dibius secara farmasi untuk secara pasif menegakkan tatanan penguasa yang otoriter. Untuk itu, manusia mengorbankan kebebasan, kemanusiaan, dan hidup dalam tekanan.

Huxley mengawali suratnya dengan memuji buku Orwell, dan menggambarkannya sebagai "sangat penting." Ia melanjutkan, "Filsafat kaum minoritas yang berkuasa dalam Nineteen Eighty-Four adalah sadisme yang telah dibawa ke kesimpulan logisnya dengan melampaui seks dan menyangkalnya."

Kemudian Huxley mengubah topik dan mengkritik buku tersebut, dengan menulis, "Apakah kebijakan menjepit muka dapat terus berlanjut tampaknya diragukan. Keyakinan saya sendiri adalah bahwa oligarki yang berkuasa akan menemukan cara-cara yang tidak terlalu sulit dan boros untuk memerintah dan memuaskan nafsunya akan kekuasaan, dan cara-cara ini akan menyerupai cara-cara yang saya uraikan dalam Brave New World ."

Pada dasarnya, sambil memuji  Nineteen Eighty-Four, Huxley berpendapat bahwa versinya di dalam Brave New World tentang masa depan lebih mungkin terjadi. Di dalam novel ini, manusia dikendalikan dengan cara memaksa mereka terhibur dengan obat bius yang disebut soma dan pesta seks bebas yang tak ada habisnya. Dengan begitu, manusia akan terus-menerus mencari kesenangan, ketergantungan terhadap soma,  dan tak menyadari dirinya dalam pengendalian.

Masa depan seperti itu ada dalam kehidupan kita di negeri ini ketika narkoba terus-menerus diproduksi dan tiba-tiba seorang Kapolda di Provinsi Sumatra Barat tertangkap karena menikmati uang hasil narkoba. Uang itu diperoleh dari para pedagang narkoba, dan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menghapuskan peredaran narkoba karena dapat merusak generasi muda.

Di sisi lain, manusia dalam Nineteen Eighty-Four karya Orwell, tetap terkendali dengan rasa takut berkat perang yang tak berkesudahan dan negara pengawas yang sangat kompeten.  Namun, kedua pengarang ini sama-sama memposisikan negara (pemerintah) sebagai pihak yang menakutkan.

Sementara cerpen "Istri Sempurna" bercerita tentang aku, seorang karyawan di Departemen Talenta yang bekerja sebagai analis data.  Pembaca tidak dikasih tahu di mana si aku tinggal dan apa kewarganegaraannya.  Si aku ini pergi ke sebuah institusi yang mengurusi masalah perceraian dan bermaksud mendaftarkan gugatan perceraian atas istrinya yang sudah tiga tahun dinikahinya. 

Si aku beralasan, perceraian itu disebabkan istrinya terlalu sempurna,  meskipun sesungguhnya karena ia bangkrut secara ekonomi selama tiga tahun menikahi istrinya. Kebangkrutannya disebabkan oleh istrinya, yang ternyata hanya sebuah alat bagi vendor untuk menguras isi tabungan para pelanggannya.

Istrinya ternyata bukan hanya seorang robot, melainkan juga Sebuah teknologi yang dipakai produsennya untuk mengurus harta konsumen. Tapi si aku sendiri yang memilih robot itu menjadi istrinya setelah melihat sebuah katalog. Ia menikahi robot itu, dan hidupnya menjadi lebih baik setelah itu. Ia bercinta ribuan kali dengan robot itu. Ia berbahagia, tapi kemudian ia memutuskan menceraikannya. Pabrik yang memproduksi robot yang menjadi istrinya itu akhirnya menjemput barang produksi mereka.


Hidup dan kehidupan seperti apa yang dijalani si aku? Kenapa ia harus memilih robot untuk dinikahi? Kenapa bukan memilih manusia (perempuan) sebagaimana seharusnya?


Cerpen yang berhasrat distopia ini tidak memiliki dasar-dasar esensial untuk menampilkan karakter si aku yang lebih memilih menikah dengan robot ketimbang manusia. Pembaca dipaksa membayangkan, mungkin si aku tak punya cukup waktu mencari perempuan untuk dinikahi karena kesibukannya dalam bekerja?

Semua bayangan itu sia-sia, karena hanya si aku yang memilih robot sebagai istri. Orang lain, kawan sekantornya atau orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya, tidak diceritakan sebagai orang yang memilih robot sebagai istri.  Apakah si aku ini memiliki kelainan seks?

Cerpen "Istri Sempurna" tidak bisa disebut fiksi distopia sebagaimana seharusnya fiksi distopia ditulis.  Ia tidak menceritakan realitas dunia masa depan dan perjuangan manusia di dalamnya sebagaimana kita menemukan dunia yang penuh pertarungan dalam The Hunger Games karya Suzanne Collins, Battle Royale  karya Koushun Takami, atau The Running Man karya Stephen King (yang menulis sebagai Richard Bachman).

The Hunger Games bercerita tentang orang-orang (sekelompok pemuda) dimasukkan ke dalam labirin yang dipenuhi mahluk mengerikan dan mereka harus bertarung demi memperebutkan makanan, dan pertarungan mereka disiarkan secara langsung di televisi sebagai tontonan atau hiburan yang bertujuan menenangkan orang-orang.  Mereka bagian dari eksperimen dalam menguji bagaimana manusia bertahan dalam tekanan karena semesta sedang hancur akibat wabah penyakit.

Logika yang dipakai dalam karya ini seperti ucapan Juvenal: "cara termudah untuk memenangkan hati orang dalam politik adalah melalui cara yang agak kasar: makanan murah dan banyak permainan."  Ini seperti kondisi negeri kita, di mana rakyat merasa tenang dan memilih presiden yang menjanjikan makanan bergizi gratis, serta judi online dibebaskan agar rakyat merasa terhibur.  Tapi kita tidak menemukan fakta apapaun dalam cerpen "Istri Sempurna",  yang justru terkesan sebagai fiksi yang tanpa dasar pijakan. 

Keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 menunjukkan kejatuhan dari mitos antologi cerpen terbaik Kompas yang dikembangkan Kompas selama ini. Cerpen-cerpen yang pernah mendapat predikat terbaik dan menjadi judul buku-buku antologi Cerpen Terbaik Kompas sejak 1992, menjadi sejajar dengan cerpen “Istri Sempurna” sekalipun fiksi karya Aveus Har ini gagal sebagai karya sastra.  

Nilai sastra dalam cerpen ini tidak mendekati nilai sastra “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarman, “Derabat” karya Budi Darma, “Jejak Tanah” karya Danarto, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar Panca Dahana, “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo, “Kado Istimewa” karya Jujur Prananto, atau “Lampor” karya Joni Ariadinata. 


Referensi


[1] Saut Situmorang dalam esainya “Cerpeni(s) Pilihan Kompas, Siapa Takut?” membicarakan perihal relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran. Adakah hubungan dialektis saling mempengaruhi-mempengaruhi antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang menguntungkan keduanya, ataukah hubungan intertekstual itu hanya merupakan sebuah hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Lihat majalah Horison edisi November 2002.  

[2] Seno Gumira Ajidarma, seorang jurnalis yang juga penulis cerpen,  membela proses kreatifnya dalam menulis buku Saksi Mata menulis “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran”. Lihat “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah, Sebuah Koreksi Diri” dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara (2005). Jakarta: Bentang Budaya. Hal:389

[3] Beberapa koran yang pernah menjadi bacaan masyarakat karena memiliki rubrik cerpen seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Jayakarta, Republika, Seputar Indonesia, Media Indonesia, dan lain sebagainya, mengalami kemunduran setelah menghapus rubrik sastra dan ada yang akhirnya harus gulung tikar.

[4] Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan Cerpen Pilihan Kompas 1993, dan cerpen “Derabat” karya Budi Darma terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1999. Keterpilihan cerpen “Derabat” sebagai cerpen terbaik Kompas menunjukkan bahwa Kompas menjaga kualitas cerpen-cerpen pilihannya untuk tidak lebih buruk setiap tahun.

[5] Bagi banyak ahli, cerpen yang disiarkan Kompas dipuja-puji sebagai cerpen terbaik. Nirwan Dewanto dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 1993, menulis: “Harus kita akui, cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison.” Penilai itu berkaitan dengan kegagalan Nirwan Dewanto bersama gank menjadi pengelola majalah Horison.

[6] Dalam esainya, “Moral Distinctions not derived from Reason” David  Hume menyebut persepsi terbagi menjadi dua jenis: kesan dan ide. Dua hal ini dipergunakan Hume untuk mempertanyakan apakah melalui ide atau kesan kita membedakan antara kejahatan dan kebaikan, dan menyatakan suatu tindakan tercela atau terpuji? Lihat  The Philosophical Work of David Hume Volumen II dan bisa diakses di Gutenberg.org https://www.gutenberg.org/cache/epub/53792/pg53792-images.html#SECTION_I_aIII.

[7]  Lihat polemik kebudayaan antara Sutan takdir Alisjahbana versus Sanusi Pane yang terjadi pada decade 1930-an.

[8] Aveus Har dalam status Facebook tanggal 23 Desember 2024.


Puisi- Puisi Azhar



Kau Bisa Mengubur Kesombongan


Aku tak bersandar pada kesementaraan. 
Tapi aku bersandar pada Sang Pemilik Keabadian. 

Kau bisa mengubur kesombongan. 
Lalu tanam di atasnya kepatuhan
pada Dia yang telah menyediakan rejeki sepanjang hidupmu. 

Tersenyumlah ke cakrawala biru, 
tanpa abai sujud di tanah leluhurmu. 


Di Bordes Kereta

Di bordes kereta, 
seorang pelacur muda
menghitung uang recehan. 
Sebelum pagi tiba, 
seorang kuli angkut
baru saja memakainya.

Air matanya menitik. 
Ia ingat pada ibunya
yang tinggal di gubuk tua. 
Ia merasa telah kalah, 
karena lapar yang menekannya. 

Ia ingin pulang sebelum senja, 
meninggalkan kota
dan lelaki yang menipunya. 


Perjalanan Cinta

Kemarin adalah kenangan. 
Hari ini adalah perjuangan 
Esok adalah misteri yang berbunga impian. 

Kesementaraan ini tak perlu sia-sia. 
Mesti ditumbuhi pohon-pohon kebaikan
yang menjangkau cakrawala-Nya. 
Sebab warna-warni  di sini akan tumbang semuanya, 
ketika ruh sampai pada tugas terakhirnya. 

"Borobudur" karya Azhar

Perjalanan di Bumi

Jalan ini sudah lama kutempuh. 
Ada duri dan kembang warna-warni. 
Semuanya mengabarkan  pada nurani. 
Betapa perjalanan ini singkat sekali. 
Sebab ada yang datang dan pergi. 
Biarlah cinta tak mati. 
Sekali di bumi, 
Kasih sayang tetap terjaga di sini.

Lagu untuk Ibu

Hari ini aku ingin menggambar lautan kasih
sayangmu. Tapi penaku buntu
Di kepalaku masih tergambar iringan
perahu doamu untukku

Dalam kegelapan kau beri aku suluh
Topan telah kau tembus tanpa keluh
Angin pantai dari matamu menyapaku
Bersyukur aku dalam cahaya rindu

Ibu, tak sanggup tanganku menjelajahi
lautan kasih sayangmu
Ridhomu terpahat di jantungku
Doamu menurunkan keharuan di mataku


Catatan Hidup

Sunyi berbaring di kalbuku
Gema ayat-Mu yang melintas
Menyalangkan kembali mataku
Melawan ombak yang keras

Kupetik angin dari mata ibuku
Aku simpan di jantungku
Kelak ingin kubagi pada pacarku
yang membawa bulan untukku

Angin dan bulan akan kusimpan
buat bekal keturunan di perjalanan
Memang harus ada yang dipahatkan
sebelum ruh meninggalkan badan


Azhar lahir di Jakarta, 6 Agustus 1966. Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta) kini lebih dikenal sebagai perupa. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Buku puisinya, Lintasan Langit Biru, terbit saat masih SMA, lalu Mata yang Memberi, ditebitkan Penerbit Bukupop, Jakarta, 2005. 

Buku lainnya adalah novel: Anak-anak Perjuangan, Kerja Keras Berbuah Nikmat, Cerita Seorang Pejuang, Ladang Sang Penari, Godain Kita Dong, Gadis Manis Pencuri Cinta, Selamat Datang Cinta. Novelnya juga pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Pagi dengan judul Bercinta dalam Kemelut, novel Perempuan Tergadai dimuat bersambung di Yudha Minggu. Novel saduran yang tulisnya bersama Dr. Syahrial berjudul Ken Tambunan  dan Sang Pangeran

Buku terbarunya, novel saduran, Sidi Ibrahim dan Putri Raja, diterbitkan Perpusnas Press. Dia punya galeri lukis dan bisa diikuti di Youtube 

Cerpen: Ahmad Dhani Tahu Ia akan Mati

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia harus berontak, harus bisa melarikan diri dari ruang isolasi.

Bagaimana cara keluar?!  Ia telah mencoba, usahanya gagal meyakinkan orang-orang bahwa ia tidak layak berada di tempat itu. Dan orang-orang itu, para petugas yang menjemput ke rumahnya, mengakui kalau ia memang tak layak diisolasi. Cuma, kata para petugas, ia memenuhi semua syarat untuk diisolasi. 

Ia baru datang dari Jakarta, kota yang terkontaminasi virus, dan tak melaporkan kedatangannya. Ia pun tak punya surat-surat yang menyatakan dirinya sudah mendapat vaksin, sehinga kepulangannya dicurigai kalau ia salah satu pasien yang berhasil melarikan diri dari Jakarta.  

Selain itu, dan ini yang sangat penting, para petugas akan mendapat banyak keuntungan dengan menetap seseorang sebagai pasien terpapar virus Covid-19. Negara mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk mengatasi bertambahnya korban, dan negara akan memberi dana kepada daerah yang warganya banyak terpapar virus. 

"Kau akan bebas asal kau sediakan uang!" kata salah seorang petugas, "kau punya keluarga yang bisa dihubungi?"

Ia menatap petugas itu. Geliginya gemeletuk menahan geram. Kalau saja tangannya tak terikat... ah, betapa konyolnya,  kedua tangannya terikat ke sisi sisi ranjang rumah sakit. Tapi ia tetap membayangkan meninju petugas itu. tepat di hidungnya, dan ia tertawa melihat darah segar mengucur dari hidung itu. 

"Sinting!" kata petugas, "malah tertawa."

*

Uang!? pikirnya.  Itulah yang tidak dimilikinya. Hidup di Tangerang Selatan mendadak begitu mahal. Tabungan selama tiga tahun bekerja di pabrik, terkuras dengan cepat, tak sampai hitungan sebulan. Semua karena harga segala sesuatu melonjak tinggi,  naik berkali-kali lipat. 

Papi Liong, satu-satunya warung yang tetap bersedia buka dari puluhan warung di komleks tempat tinggal Ahmad Dhani, mengatakan harga naik sesuai hukum ekonomi; supplay berkurang akibat banyak pabrik yang tutup sementara perminta tinggi.  

Ahmad Dhani sudah mencoba berutang, tapi Papi Liong menolak. "Elu siapa?!" ketus Papi Liong, "kalau elu mau, ambil. Kalau gak, elu bisa pergi!"

Papi Liong, laki-laki 54 tahun, tak pernah seketus itu menghadapi pembeli. Jangankan minta harga dikurangi, bayar nyicil pun ia ladeni. Ia, bahkan, suka mencandai pembeli dengan humor-humor yang terdengar lucu hanya karena lidahnya cadel saat bicara.

Ia berubah 380 derajat setelah istrinya  yang menderita diabetes, divonis dokter terpapar virus Covid-19. Perempuan yang selalu duduk di kursi roda dan setiap hari menemani Papi Liong menjaga warung, dibawa paksa pakai ambulance dan diisolasi di sebuah gedung yang tak boleh dikunjungi siapa pun.  Beberapa hari berselang, istrinya dikabarkan telah meninggal.

Papi Liong meraung-raung, minta tolong kepada setiap orang agar bersedia membantunya meminta jenazah istrinya. Ia bilang, arwah istrinya tidak akan bisa bereinkarnasi jika tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya.  Leluhurnya di Tionghoa juga tak akan menerima perlakuan itu. 

Tapi, jangankan menolong, orang-orang lebih memilih mengunci pintu dan jendela. Orang-orang mendengar ketika petugas datang dan mengancam akan membawa Papi Liong kalau masih saja protes. 

Papi Liong akhirnya menyerah. Sejak itu, hampir tiap hari ia terdengar meraung-raung. Rauangannya menandai periode menyedihkan di perkampungan tempat Ahmad Dhani mengontrak. Para petugas datang dan mewajibkan siapa saja di perkampungan itu agar mengikuti uji laboratorium. Jika menolak, petugas akan memberi hukuman di tempat, menggeret yang bersangkutan dengan perlakuan sebagai pasien Covid-19.

Situasi semakin parah ketika koran memberitakan, setelah semua warga menjalani swap dan uji laboratorium, tujuh di antara warga ternyata terpapar virus Covid-19. Dua di antara warga itu tinggal di rumah petak, sekitar dua rumah petak dari tempat Ahmad Dhani mengontrak.  Akibatnya, semua penghuni komplek rumah petak itu dilarang keluar rumah, dan ini membuat Ahmad Dhani sangat tersiksa. Tambah sengsara ketika Ahmad Dhani dapat kabar kalau perusahaan tempat ia bekerja sebagai buruh dipksa tutup setelah salah seorang buruh divonis terpapar virus Covid-19.  

*

Suatu malam Ahmad Dhani kabur dari rumah kontrakannya.  Jalanan sepi. Kota seperti baru ditinggalkan penghuninya. Sekali-sekali melintas ambulance, meraung-raung memecahkan kesunyian. Sekali-sekali mobil patroli polisi, berjalan lambat.  

Semua orang tidak bebas keluar rumah. Hubungan sosial dibatasi. Tak ada yang boleh melawan, polisi dan kekuatan militer akan datang. Mereka bisa mendakwa siapa pun telah terpapar virus. Tak akan ada pengacara di dunia ini yang mau membela.  Hukumnya jelas, diisolasi, terputus dari segala kehidupan sosialnya.

Bertahan tanpa bisa melakukan apa pun sama saja dengan hidup dalam isolasi.  Ahmad Dhani putuskan meninggalkan Tangerang Selatan, kota tempat ia tinggal selama tiga tahun terakhir.  Ia pulang ke kampungnya di Padangsidimpuan, kota kecil di Provinsi Sumatra Utara. 

Menumpangi  bus yang berjalan selama dua hari satu malam dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra adalah siksaan dalam hidupnya. Lima belas penumpang di dalam bus, semua menjadi orang asing antara satu dengan lainnya. Tidak ada tegur sapa. Hening. Kaku. Setiap orang berusaha menghindar untuk bersitatap dengan orang lain.

Ia merasa seperti berada di dalam sebuah dunia asing yang bergerak dengan orang-orang di sekitarnya yang dapat berubah menjadi menakutkan. Seperti situasi dalam dunia fiksi, hidup di tengah-tengah zombi dan tidak diketahui zombi yang mana yang akan menyengsarakannya.

Salah seorang penumpang, seorang perempuan muda, duduk di belakangnya, menjelma mimpi buruk. Sejak awal perempuan muda itu memakai masker, sama seperti penumpang lainnya, tapi ia berbeda,  menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Begitu naik, perempuan muda itu langsung berlipat di kursinya. 

Ketika bus menyeberangi Selat Sunda, lalu berada di sebuah kapal rool on rool of,  perempuan muda itu mendadak histeris. Lantai bus dipenuhi darah, juga jari jemarinya. Ia baru saja menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya. 

Orang-orang panik, menghambur keluar bus. Ahmad Dhani sedang tertidur, sontak bangun, dan melihat perempuan muda itu menggelupur. Darah menggenangi lantai bus.  

Ia meloncat dari bangkunya. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba sudah berada di luar bus.  Bus dikosongkan. 

Perempuan muda itu tiba-tiba keluar dari pintu belakang. Seluruh tubuhnya merah darah. Pakaiannya, tangannya.... Langkahnya gemetar. Ia minta tolong. Orang-orang panik, berhamburan menjauh. 

Seseorang, laki-laki  bertubuh tegap, tiba-tiba maju dan menerjang perempuan muda itu.  Perempuan muda itu terhempas dan menghantam sebuah mobil. Alarm mobil itu meraung, menyita perhatian orang-orang. Perempuan muda itu masih bergerak, terlihat sangat kesakitan.

Laki-laki yang menerjangnya memasang kuda-kuda, siapa menghantam kali kedua. Ketika perempuan muda itu mencoba bangkit, laki-laki bertubuh tegap itu meloncat. Kakinya yang kokoh menghantam perempuan muda, tubuh perempuan muda itu terjungkal dan berguling-guling sampai ke pagar pembatas kapal. 

Seorang perempuan gendut dekat pagar pembatas, menyepakkan perempuan muda itu keluar dari kapal. 

Kepanikan berhenti. Orang-orang menatap ke laut. Perempuan muda itu mengapung-apung dipermainkan ombak. 

Ahmad Dhani menoleh ke penumpang bus yang berdiri di sampingnya. Mereka saling pandang.  Mata mereka berbicara tentang hal-hal yang mereka khawatirkan. 

*

Ahmad Dhani tiba di rumahnya di Padangsidimpuan.  Azan Magrib baru selesai. Rumah sunyi. Bau debu menyeruak. Ayah dan ibunya tak bangkit dari kursi, hanya menatap dingin ke arahnya. Tidak ada pelukan. Sorot mata mereka jelas mencurigainya.  

Ia tidak perduli, membawa tasnya, masuk ke kamar.  Di kamar itu, ada adiknya, Sultoni, sedang rebahan. Anak 15 tahun itu bangkit begitu melihatnya. Ketika adiknya hendak memeluk, ia memberi isyarat agar menjauh.  

Sultoni terduduk lesuh di pinggir tempat tidur. "Kenapa semua orang saling memusuhi," kata adiknya, lalu menatapnya, tampak serius. "Kita ini saudara kandung... Kenapa seperti orang asing."

Ia merasa dadanya dihantam.  Tapi ucapan itu tidak mengubah situasi. Ia menatap adiknya. "Mana Husin dan Yanti?" ia sebut nama dua adiknya yang lain. 

Sultoni meraung. "Husin meninggal karena Covid, ia dibawa petugas dan dikubur entah di mana. Yanti sedang diisolasi. Kita juga dilarang keluar rumah."

"Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" Ahmad Dhani kesal. Ia membayangkan dirinya akan ikut diisolasi di dalam rumah. Ia tidak akan bisa keluar, dan hal ini membuatnya marah. "Kalau tahu begini, aku tak akan masuk ke rumah ini."

"Bagaimana mau mengabari, kami tidak bisa ke mana-mana."

Ahmad Dhani mengangkat tasnya, keluar kamar, dan mencoba keluar rumah.  Ayah memberi isyarat agar ia jangan keluar. Ibu menangis.  Ia bergeming, membuka pintu. 

Begitu pintu terbuka, di luar sudah ramai. Lima petugas, masing-masing memakai seragam pelindung berwarna putih, sudah menunggunya. Ia diseret ke mobil ambulance. Ia berteriak-teriak. Ia berusaha melawan. 

Seorang petugas menghantam kepalanya. Ia pingsan dan tubuhnya dileparkan ke dalam mobil ambulance. 

Ketika ia sadar, ia sudah berada di dalam ruangan isolasi: sebuah ruang berbentuk kubus berdinding transparan. Ia mencoba bangkit, memijiti  tengkuknya yang terasa nyeri. 

Ia tebar tatapan, tak ada siapa pun. Ia menyentuh dinding. Aliran listrik menyengatnya. Ia berteriak-teriak memanggil orang-orang. 

Ia dengar suara pintu dibuka. Dua orang memakai perlengkapan pelindung muncul di sampingnya. Melihat kedua orang itu, ia bertanya kenapa mereka membawanya. 

"Kami menjalankan aturan," kata salah seorang. "Kau baru saja datang dari daerah yang terpapar Covid."

"Aku tak terpapar."

"Semua orang yang datang dari daerah pandemi Covid  selalu berkata hal yang sama seperti yang kau ucapkan," kata petugas yang satunya. "Kalian melarikan diri dan bermaksud menyebarkan virus itu ke daerah ini."

"Itu tidak benar."

"Kami yang menentukan sesuatu itu benar atau tidak," kata petugas. "Cara kami ilmiah. Kami punya laboratorium."

"Saya sudah disuntik anti virus."

"Kami tak percaya begitu saja," petugas bersikap tegas. "Kami tahu semua serum anti-virus yang dipakai di daerah pandemi itu palsu karena para pejabatnya ingin mendapat keuntungan. Itu yang menyebabkan banyak yang terpapar virus."

"Kalian bisa periksa saya! Saya sehat. "

"Itu butuh proses."

"Berapa lama?!"

"Jangan mendikte kami. Kami paham dengan apa yang kami kerjakan."

Dua petugas lagi masuk, membawa nampan berisi peralatan medis. Dua petugas pertama membuka kotak isolasi, menyuruh Ahmad Dhani tenang. "Jangan konyol! Kami hanya mau memberimu vaksin," kata salah seorang petugas.

"Tidak!" Ahmad Dhani berteriak. "Aku tak mau. Aku tak percaya."

"Kami tak membutuhkan apapun darimu," ketus petugas. "Kami hanya perlu memastikan semua orang yang dibawa ke mari sudah divaksin."

*

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, tapi ia yakin hal itu akan menimpa dirinya. ia harus bisa meloloskan diri. Harus....!?




Budi Hatees
lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, dengan nama Budi Hutasuhut. Menulis sejak masih SMP berupa cerpen dan puisi di sejumlah media terbitan Medan dan Jakarta. Tahun 1990 menjadi mahasiswa di Jakarta, tapi lebih banyak terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan kesenian ketimbang berkuliah. Telah menjadi jurnalis sejak 1991, bekerja lepas di Suara Pembaruan, Jayakarta, Mutiara, dan lain sebagainya. Telah menulis banyak buku, terutama biografi para tokoh, hasil kajian budaya dan sejarah, kumpulan esai, dan lain sebagainya.