Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal. 

Oleh Budi Hutasuhut | Penulis peneliti kebudayaan Batak

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage,  mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama jadi Pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 yang digelar di Kabupaten Samosir pada 14-16 September 2024 lalu. 

Ia bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra bahasa Batak,  ia  masih harus mensosialisasikan buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatra Utara. Untuk kegiatan itu,  ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengaku tidak lagi focus pada menciptakan karya baru, sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terkendala. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak tahun 2012 itu, belum mendapat respon dari pemerintah daerah,  sehingga sastra berbahasa Batak  belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam rangka melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meskipun begitu, kerja budaya yang dilakukan Saut Poltak Tambunan mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik Bahasa local itu. Ditandai dengan banyak muncul penulis baru yang menulis dalam bahasa Batak, meskipun bukan dari kalangan generasi muda.

Saut Poltak Tambunan seorang penulisan novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashady Siregar, Marga T, Mira W,  dan pengarang lainnya. Pada tahun 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak dengan mengalihbahasakan sejumlah cerpennya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi  pada 2012. 

Tahun 2015,  kumpulan cerpen Mangongkal Holi  itu membuat Saut Poltak Tambunan menerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga yang dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah,  sebelumnya hanya focus pada sastra berbahasa daerah yang ada di Pulau Jawa: Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi   menerima Hadiah Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk dalam penghargaan Hadiah Rancage. 

Namun, sastra berbahasa Batak bukan penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atyau di Pulau Sumatra. Tahun 2008,  sastra berbahasa daerah Lampung, kumpulan puisi  Mak Dawah Mak Dibingi  (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzie sudah lebih dahulu mendapat Hadiah Rancage. 

Tahun 2008, sebagai direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (alm) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam salah satu kategori pemberian Hadiah Rancage. 

Irfan Anshory yang berasal dari Lampung menyetujuinya dengan catatan,  kategori sastra berbaha Lampung akan masuk kategori Hadiah Rancage jika ada penerbitan sastra daerah berbahasa Lampung bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini, juga ditegaskan Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan,  sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, ke perguruan tinggi dan para akademisi, dan menggelar acara pelatihan menulis dalam Bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetap sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut Poltak Tambunan harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul tiap tahun. Meskipun tanggung jawab ini tidak mudah, Saut Poltak Tambunan memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan berhasil mendorong Rose Lumbantoruan untuk menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Tahun 2019, Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Bataka karya Robinson Siagian, Guru Honor, yang menerima Hadian rancage 2020. Namun, memasuki tahun 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak yang diterbitkan, dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada tahun 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul, Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah rancage 2022. Sejak itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut Poltak Tambunan kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang) yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Tahun 2023, tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tidak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan Simanjutak sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami,   Panusunan Simanjuntak menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh dari hidupnya yang sudah 75 tahun  dihabiskan di luar negeri. 

Meskipun puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami ini menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisi mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apapun. Meskipun Panusunan Simanjutaak sudah puluhan tahun mengunjungi lebih 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharain. 

Posting Komentar