"Robohnya Surau Kami" dan Sastra Kita yang Tidak Baik Baik Saja

AA Navis

Kita mesti memperlakukan sastrawan 
(pengarang) sebagai kolega, yakni orang yang dengan kerja keras 
berusaha mengungkapkan pengalaman hidupnya.

 Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality Through Literature


I

Ajo Sidi, tokoh dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis, mungkin, bukan sosok fiktif. Ada seseorang, dalam kehidupan Navis di masa lalu atau kehidupan saat menulis cerpen itu, seperti Ajo Sidi dan itu menjadi inspirasinya. Navis memperkenalkan orang ini sebagai “si pembual”.   

 

... Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang- orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.[1]


Konotasi kata “pembual” dalam narasi Navis, bukan bermakna positif, karena “pembual” di sini bisa dimaknai sebagai seseorang yang banyak cerita, terlalu banyak bercerita,  dan layak diragukan kebenaran dari cerita-ceritanya. Sebab itu, predikat “pembual”, sesungguhnya,  tak cocok disematkan kepada Ajo Sidi. Lebih tepat bila ia disebut “tukang cerita” atau “pendongeng”.

“Tukang cerita” atau “pendongeng” bukan “pembual”. Ia, “tukang cerita” atau “pendongeng”, dalam pemahaman paling tradisional, adalah orang yang menyampaikan fakta sekaligus mengumpulkan hikmah. Ia menggarap peristiwa, memperjuangkan fakta, dan, kemudian, mengambil hikmah dari apa yang ia garap. Prestasi seorang “tukang cerita” atau “pendongeng” berdasarkan pada actual atau tidak peristiwa yang digarapnya, serta kebermaknaan hikmah dari fakta yang dirumuskannya bagi kehidupan para pendengarnya.

Seorang “tukang cerita” atau “pendongeng” melakukan kerja mengumpulkan (mendapatkan) cerita dari berbagai sumber atau dari kesaksiannya sendiri atas berbagai peristiwa di sekitarnya, kemudian menceritakan ulang secara lisan kepada pendengarnya sembari menarik kesimpulan atas apa yang disampaikannya ke dalam berbagai bentuk hikmah kehidupan: nasehat maupun pengajaran. Kita bisa mendapatkan banyak hal.

Di lingkungan kita, siapa pun kita dan dari tradisi mana pun kita dilahirkan di negeri Indonesia Raya ini, selalu ada orang yang menjadi “tukang cerita” atau “pendongeng”. Ciri khasnya, orang itu pandai bercerita dan ceritanya aktual serta mampu mengambil hikmah dari apa yang diceritakannya, tapi kita terlanjur tidak respek kepadanya. Bagi kita, cerita-ceritanya, meskipun menarik dan dalam banyak hal bukan kebohongan,  sering membuat kita tersinggung.

“Tukang cerita” atau “pendongeng” tidak sedang menyinggung siapa pun. Kita yang mendengarkannya terlalu gampang tersinggung. Dalam percakapan generasi Z hari ini, kita di Indonesia, siapa pun kita dan dari generasi tua maupun muda, terlalu gampang “baper” (bawa perasaan).  Kita, sering, merasa bahwa orang lain tidak menyukai apa yang kita lakukan, lalu berhenti melakukan apa yang kita lakukan, sementara orang lain nyaris tidak pernah memikirkan tentang apa yang kita lakukan hingga suatu hari orang itu melakukan apa yang sudah kita tinggalkan. Energi kita sebagai orang Indonesia terlalu banyak dihabiskan untuk hal-hal yang kita pikir dipikirkan orang lain.

Si pencerita hanya bercerita, dan, tanpa ia sadari,  ia bercerita tentang hal-hal yang membuat orang lain merasa sedang disinggung, diolok-olok, ataupun diejek. Ajo Sidi pun seperti itu. Ia representasi manusia Indonesia yang lain, orang yang masih menjaga tradisi melisankan peristiwa (cerita). 

Di lingkungan masyarakat Minangkabau, lokasi dari cerpen “Robohnya Surau Kami”,  sosok seperti Ajo Sidi bukan sosok yang asing.  Sosok ini lahir dari tradisi melisankan cerita (bercerita), sebuah tradisi yang berurat berakar pada masyarakat pra-Indonesia, diwariskan leluhur kepada generasi-generasi selanjutnya.

Tradisi bercerita di Minangkabau disebut bakaba (ber-kaba). Kaba merupakan tradisi lisan yang tumbuh, berkembang, dan diapresiasi oleh masyarakat Minangkabau. Kaba diceritakan kepada khalayak secara lisan, dibawakan oleh tukang kaba dengan ciri khas tertentu yang, adakalanya, diiringi dengan saluang dan rebab.  Bentuk penceritaan pada kaba biasanya berkisah dari kejadian masa lalu dan ada pula cerita yang dibawakan merupakan kejadian masa kini.[2]

Semua kebudayaan di negeri kita memiliki tradisi berlisan. Namanya berbeda pada tiap kebudayaan lokal. Hari ini tradisi itu kita sebut mendongeng. Tradisi ini menjadikan cerita sebagai metode untuk menyampaikan pesan. 

Di sejumlah masyarakat tradisional di Indonesia, mendongeng dijadikan warisan. Setiap ahli waris harus memiliki kemampuan mendongeng.

Di lingkungan masyarakat Angkola, masyarakat beradat Batak yang tinggal di Provinsi Sumatra Utara bagian Selatan, mendongeng diwariskan sebagai keterampilan wajib bagi para orang tua, terutama kaum perempuan. 

Di masa lalu, masyarakat Angkola, memiliki apa yang disebut sebagai bagas gonjong  (rumah panjang). Bagas gonjong adalah rumah tradisional dengan arsitektur berupa rumah panggung setinggi satu meter sehingga dibutuhkan tangga untuk bisa memasukinya. Bagas gonjong dibangun di samping bagas godang, rumah adat yang dihuni oleh pemimpin adat yang disebut Raja Panusunan Bulung.

Bagas gonjong biasanya menjadi tempat anak-anak dalam satu desa dikumpulkan ketika orang tua mereka--ayah, ibu, dan orang dewasa yang  gagah--berangkat ke sawah maupun ke ladang. Anak-anak itu akan diawasi oleh para orang tua, mereka yang karena sudah tua tidak bisa lagi bekerja di sawah atau ladang, baik laki-laki maupun perempuan, dan mereka tinggal di bagas gonjong dengan tanggung jawab menjaga anak-anak.  

Sambil menjaga anak-anak, para orang tua ini akan menceritakan dongeng secara lisan, dan menjadikan mendongeng sebagai kegiatan penting untuk mengajari, menasehati, atau membuka ruang-ruang imajinasi anak-anak. 

Para orang tua ini memiliki tanggung jawab untuk menjaga perkebangan moral, etika, dan nilai-nilai dalam diri seluruh anak-anak yang ada dalam wilayah masyarakat adat bersangkutan. Dengan begitu, setiap orang tua yang ada di bagas gonjong  atau semua orang tua yang tidak lagi bisa pergi ke sawah karena tenaganya tidak memadai, mempunyai tanggung jawab secara moral untuk mendidik anak-anak dengan cara mendongengkan cerita-cerita yang mengandung hikmah kehidupan.[3]

Ajo Sidi termasuk pendongeng yang baik. Ia tahu, masyarakat menyukai cerita, karena manusia pada dasarnya binatang yang bercerita  (homo narrans). Ajo Sidi kemudian bercerita tentang Haji Saleh, seorang yang dikenal alim dan taat beribadat. Namun, ketika Haji Saleh meninggal, ia ditendang masuk neraka. Semua amal salehnya saat hidup di dunia jadi tak berguna. Haji Saleh tidak tahu penyebabnya, mengira Tuhan telah melakukan kekeliruian. Haji Saleh semakin tidak mengerti karena orang-orang yang ditemuinya di neraka, ternyata, semasa hidup, mereka memiliki kualitas ibadah yang lebih bagus dibandingkan dirinya.

Cerita tentang Haji Saleh yang merasa selalu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya tetapi tetap masuk neraka, membuat kakek sangat terpukul. Kakek, laki-laki tua penjaga surau yang menghabiskan seluruh usianya untuk beribadah kepada Tuhan, menyangka kalau motif Ajo Sidi menceritakan tentang Haji Saleh bertujuan mengolok-olok  dirinya. Ia tersinggung, marah kepada Ajo Sidi. Tapi ia hanya bisa berkata: “Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

Kenyataannya, pisau cukur yang ia maksud, justru dipakainya untuk bunuh diri.

Dan, sesungguhnya, tak ada yang menarik dari cerita tentang seorang kakek yang merasa dirinya alim kemudian bunuh diri. Bunuh diri perbuatan yang sangat dibenci Tuhan. Navis mengakhiri cerpen “Roboknya Surau Kami” dengan cerita tentang kematian si kakek penjaga surau dengan cara bunuh diri. 

Akhir cerita ini, secara tak langsung, menegaskan bahwa cerita Ajo Sidi tentang Haji Saleh bukan bualan. Sebab, hanya orang yang imannya lemah yang akan memilih jalan bunuh diri. Si kakek penjaga surau, lantaran imannya tidak kuat, memilih bunuh diri dengan pisau cukur yang diasahnya, pisau cukur milik Ajo Sidi.

Dengan begitu, Ajo Sidi bukan seorang pembual. Ia tukang cerita,  dan seperti leluhur di masa lalu, ia bercerita untuk menasehati, menyampaikan pesan yang baik. Para pendongeng adalah orang-orang yang merasa bertanggung jawab untuk menyebarluaskan kebaikan. Jika para pendengar merasa dirinya sedang diejek atau diolok-olok, problem sesungguhnya tidak terletak pada si pencerita, tetapi pada diri si pendengar cerita itu.

II

Pada awal dekade 1950-an, Navis selesai menulis cerita pendek “Robohnya Surau Kami”.  Ia mengirimkan prosa itu ke majalah Kisah yang terbit di Jakarta. 

Majalah Kisah itu ia pilih karena mengkhususkan diri sebagai medium cerpen. Tentu saja ia sangat berharap agar majalah itu menyiarkan karyanya. Harapannya terwujud. 

Pengelola majalah itu,  para sastrawan,  penulis cerpen yang andal pada masa itu seperti Idrus, juga kritikus yang hasil pembacaannya terhadap karya sastra membuat para kreator sastra selalu berdebar, HB Jassin dan M. Balfas, kemudian menerbitkan cerpen tersebut dalam edisi pada tahun 1953. Pemuatan cerpen itu segera mengubah sosok Navis dari seorang “kutu buku” yang terpikat pada sastra yang ia baca pada majalah seperti Pedoman Rakyat, Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, dan lain sebagainya, menjadi seorang kreator sastra yang hasil kreasinya merangsang orang lain untuk membacanya. 

“Robohnya Surau Kami” adalah pembuktian Navis sebagai sastrawan.

Cerpen itu menjadi adikaryanya, dan monumental.  Lantaran cerpen itu, Abrar Yusra menyebut Navis sebagai seorang satiris.[4]  Orang-orang membaca Abrar Yusra dan mengamininya. Bahkan, sejumlah karya yang membicarakan “Robohnya Surau Kami”, atau cerpen-cerpen Navis lainnya seperti “Man Robbuka”, selalu memfokuskan pada pembicaraan tentang satir sebagai metode bagi Navis untuk melancarkan kritik sosial.[5]  

Maka, genaplah kemudian, setiap orang yang membaca Navis,  bersepaham dengan satir itu. 

Satir merupakan bentuk sastra yang familiar bagi semua orang. Nadanya sarkasme, ironik, mengejek, dan mengolok-olok. Lady Mary Wortley Montagu, seorang penyair Inggris yang kritis dan tajam, membayangkan “satir, seharusnya, seperti pisau cukur yang tajam, luka dengan sentuhan yang hampir tidak terasa atau terlihat.”[6]  

Carolyn Wells mengatakan, sejak zaman Horace dan Juvenal, hingga abad pertengahan,  satir dibagi dua: karya para pengikut Horace yang ditandai dengan humor dan toleransi serta karya para peniru Juvenal yang ditandai dengan cercaan pedas. 

Dua tradisi satire itu melahirkan nama-nama seperti Chaucer, Swift, Goldsmith, dan Thackeray, Langland, Dryden, Pope, dan Burns. Sejarah mencatat, Horace sebagai “Bapak Satir”.

Satir, pada dasarnya, karya seni dalam mengkritik.  Kritik pada masa  Navis menulis “Robohnya Surau Kami”,  dekade 1950-an atau lima tahun setelah peristiwa bersejarah proklamasi kemerdekaaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945,  selalu diumbar, tetapi lebih banyak dalam bentuk gerutuan, ceracau, gerundelan, dan keluh-kesah. 

Ceracau, gerundel, gerutuan, adalah keluh kesah. Ini bentuk protes atas situasi yang ada. Protes yang disampaikan tanpa tanggung jawab, dan tak bisa dipertanggungjawabkan.  Protes tanpa tanggung jawab bukan kritik yang sebenarnya. 

Saat itu, semua orang menggerutu. Kondisinya sama seperti saat ini. Ketika pemerintah membuat kebijakan yang dianggap tidak bijak, orang-orang menggerutuinya. Presiden Joko Widodo digerutui. Para kritikus kebijakan public atau para akdemisi, orang yang selalu p[aling kencang teriakannya, juga menggerutu. Sama seperti pedagang es balon, tukang ronsokan, petani di sawah, dan lain sebagainya. 

Semua orang merasa berhak mengkritik, semua orang merasa melakukan kritik, meskipun, sebetulnya, mereka tidak paham apa itu kritik.  

Pada masa Navis, masyarakat mengkritik para pemimpin politik, elite-elite yang sikut-menyikut di kabinet pemerintahan, atau pimpinan-pimpinan partai politik yang hanya memikirkan kepentingan bagaimana agar partainya terus berkuasa. Sesama elite saling  menyerang, mempertentangkan ideologi-idiologi yang ada, dan mengklaim ideologinya sebagai yang paling dalam segala hal.  

Para intelektual juga sama. Sastrawan, sebagai intelektual, mengkritik lewat karya-karya mereka, melancarkan kritik atas realitas yang ada. Kita bisa menemukan kritik dalam cerpen Idrus, Mochtar Lubis, Wiratmo Sukito, Prammoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Bokor Hutasuhut, dan lain sebagainya.  Kritik lebih banyak menghantam para elite di pemerintahan negara.

Rakyat resah. Pengorbanan selama perang tidak membawa perubahan signifikan. Mereka pun kembali ke kebiasaan lamanya sebagai masyarakat pra-Indonesia, yang tradisional dalam dinamika kehidupan sehari-harinya,  yang hidup bukan dengan nasionalisme yang diagungkan selama perang melawan kolonialisme, tapi dengan etnonasionalisme. 

Rakyat tradisional ini memiliki  kebiasaan-kebiasan yang sudah berterima dan ditinggalkan selama masa perang.  Salah satunya adalah religiusitas mereka, keyakinan mereka terhadap agama Islam.

Di lingkungan Navis, agama Islam masuk ke Minangkabau melalui pantai timur pada abad ke-7 masehi, membawa perubahan besar terhadap tata kehidupan orang Minangkabau. Islam diterima bukan hanya sebagai agama belaka, akan tetapi juga dijadikan tuntunan hidup bermasyarakat. Perkembangan keIslaman itu juga berpengaruh terhadap kesusasteraannya.

Di lingkungan masyarakat Minangkabau, di zaman ketika ekspektasi yang tinggi terhadap kehidupan dunia yang merdeka tidak seperti harapan,  rakyat mencari ketenangan dan kedamaian dengan beribadah. Pada masa perang, ketenangan rakyat Minangkabau sangat terganggu. Kolonialisme Belanda mengadu-domba mereka, mempertentangan antara satu dengan lainnya, lalu mendukung kaum adat. 

Kaum agamis, mereka yang bersama kaum adat telah mengembangkan Minangkabau menjadi sebuah peradaban di mana adat harus bersanding dengan syariat Islam, dipojokkan oleh kolonialisme sebagai entitas yang akan merusak tatanan. Pasalnya, ajaran Islam dengan para ulamanya, dicurigai mampu merangkul penduduk untuk berguru kepada para sufi dan membentuk komunitas-komunitas Islam yang berkembang menjadi pesantren dan majelis-majelis zikir. 

Pada abad ke-13 hingga ke-16, pemikiran tasawuf berkembang pesat, tarekat-tarekat yang lebih terorganisasi bermunculan. Tarekat-tarekat inilah menjadi tulang punggung dakwah Islam, yang bertolak-belakang dengan tujuan-tujuan kolonialisme. 

Ajaran tasawuf bercorak filosofis dan menekankan pada ajaran wahdatul wujud sebagai puncak tasawuf. Corak tasawuf seperti itu ditemukan pada tarekat Syatariyah yang dikembangkan Abdur Rauf Singkel (guru Syekh Burhanuddin Ulakan), juga pada tarekat lainnya seperti Qadiriyah (oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani), Khalwatiyah dan Naqsabadiyah (oleh Syekh Yusuf Makassar), Samaniyah (oleh Abdul Samad Al Falimbani dan Muhammad Nafis Al Banjari).

Pada abad ke-18, muncul Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi,  memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau.  Tarekat yang berbeda dengan tarekat Syatariyah yang diperkenalkan satu abad sebelumnya oleh Syekh Burhanuddin Ulakan. 

Syekh Ismail mengenyam Pendidikan Islam di Mekkah dan Madinah. Ia menetap di tanah suci hampir 35 tahun, berguru kepada Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fiqih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah al- Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fiqih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naqsyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi dan Syekh Muhammad bin Ali al-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam,  Maulana Syekh Khalid Naqsyabandi dzil Janahain, tokoh besar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jabal Abi Qubaisy.

Ahmad Syafii Mufid menulis, Syekh Ismail adalah pelopor Tarekat Khalidiyah Naqsabandiyah di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Tarekat ini mengubah metode dalam tasawuf. Perubahan ajaran tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah adalah tentang kesaksian tunggal (Wahdatus Syuhud) dan menentang ajaran Wahdatul Wujud yang bersumber pada ajaran Al Hallaj dan Ibnu Arabi.[7] 

Pemurnian ajaran tasawuf dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan menekankan pentingnya syariat baru terjadi pada abad ke-19 melalui tokoh-tokoh sufi yang juga berasal dari Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di Saudi Arabia. Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah memiliki penganut paling besar, terutama karena Syekh Ismail merupakan satu di antara ulama di Minangkabau yang produktif menulis risalah.

Pada masa kolonialisme, para pengikut ulama tarekat ini, difitnah sebagai pembawa gagasan yang menyesatkan, yang perilakunya ditunjukkan oleh kaum padri yang suka berperang. 

Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya, disingkirkan. Apa yang mereka lakukan, gagasan tasawuf yang mereka pelajari, dipahamkan oleh kolonial berdasarkan rasionalitas Eropa. Mereka menyebutnya sebagai 'mistisme' Islam, di mana mistisme berasal dari agama Yunani dan diserap ke dalam literatur Eropa, direpresentasikan dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki, dengan kata “sĹ«fi”. 

Kata “sufi” memiliki konotasi keagamaan yang spesifik, dan penggunaannya dibatasi hanya untuk penganut agama Islam.  Kata “sufi” dipergunakan pertama kali sekitar tahun 800 masehi, memiliki makna yang lebih tinggi dari kata Yunani,  yakni “bibir yang tertutup oleh misteri suci, mata tertutup dalam kegembiraan visioner”.  

Kebanyakan sufi,  yang bertentangan dengan etimologi, mengambil kata tersebut dari akar kata Arab yang menyampaikan gagasan 'kemurnian'. Sufi berarti “'orang yang suci hatinya” atau “salah satu orang pilihan”.  

Para sufi paling awal adalah para petapa, orang yang “bibirnya tertutup oleh misteri suci, mata tertutup dalam kegembiraan visioner”. Mereka memiliki kesadaran yang sangat besar akan dosa, ditambah dengan rasa takut akan Hari Penghakiman dan siksa api neraka, yang digambarkan dengan jelas dalam Quran, mendorong mereka mencari keselamatan sambil melarikan diri dari dunia. 

Di sisi lain, Quran memperingatkan mereka bahwa keselamatan bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah Swt yang tidak dapat dipahami, yang memberi petunjuk kepada orang-orang baik dan menyesatkan orang-orang jahat. Nasib setiap orang telah tertulis, tidak ada yang dapat mengubahnya. Hanya kematian dan hari penghakiman yang pasti, tapi manusia akan terselamatkan jika menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi laranganNya. 

Keyakinan seperti itu secara alami berakhir pada ketenangan, ketundukan yang utuh dan tidak perlu dipertanyakan lagi kepada kehendak Tuhan. Inilah sikap yang merupakan ciri khas tasawuf dalam bentuknya yang paling tua.

Di lingkungan masyarakat Minangkabau, Islam yang berkembang pesat, melambat selama masa perang melawan kolonialisme, meskipun gagasan tasawuf  bagi masyarakat Minangkabau sudah sangat melekat. Pasca perang, masyarakat memperbaiki kualitas ibadahanya. 

Tapi, Navis justru mempersoalkannya, mengkritik kebiasaan lama rakyat, terutama berkaitan dengan religiusitas mereka, sikap keberagamaan mereka.

Wajar bila kemudian kritik itu diterima secara luas sebagai cemoohan, ejekan, dan karena itu si pengkritik layak untuk dikecam.  Dan Navis, memang dicemooh, didakwa sebagai pengolok-olok agama, penoda agama.

Tidak sedikit yang memusuhinya. Meskipun, sesungguhnya, cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan segala isinya, merupakan kerja mengubah dakwah Islam yang sering disampaikan secara lisan ke dalam bentuk cerpen.  Navis sesungguhnya hanya ingin menyampaikan hal yang terlalu sering disampaikan para sastrawan tentang “hakikat manusia bukan untuk mempertanyakan Tuhan” seperti pernyataan Alexander Pope tentang “urusan manusia bukanlah menyelidiki Tuhan, tetapi mempelajari dirinya sendiri.”[8]

III

Perjuangan Navis untuk bisa menjadi sastrawan di negeri ini, riwayat hidupnya, dari seorang pembaca buku yang tekun menjadi kreator sastra yang produktif,  ditemukan pada diri sebagian besar sastrawan di negeri ini. Mereka, para sastrawan kita, lebih dahulu memahami apa itu cerita (storytelling), yang bentuknya hikayat, fabel, mitos, dongeng, ataupun sejarah. 

Pemahaman mereka tentang cerita diperoleh karena dilisankan secara berulang-ulang oleh para penutur,  guru di sekolah maupun orang tua di rumah.

Cerita-cerita lisan itu,  aslinya merupakan cerita rakyat tradisional, hasil pengalaman masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat budaya di negeri ini memiliki tradisi cerita lisan. 

Cerita-cerita lisan itulah yang dilisankan kembali oleh Sutan Pangurabaan Pane, seorang sastrawan berbahasa lokal Angkola di Afdeling Padangsidimpuan,  kepada lima orang anaknya, pada decade 1910. Dua dari lima orang anaknya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, hari ini kita kenal sebagai sastrawan di negeri ini.[9]  

Dengan sendirinya, Sanusi Pane dan Armijn Pane termasuk sastrawan yang sudah lebih dahulu memahamkan apa itu cerita, dan pemahaman itu menjadi bekal utama bagi mereka untuk menciptakan cerita baru.

Bagi Navis, yang lahir dan besar dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, cerita-cerita lisan bukan hal yang asing. Dalam segala dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau, cerita lisan menjadi metode yang sangat umum. Syiar agama disampaikan lewat cerita lisan oleh para ulama. Ketika sastra modern memperkenalkan barang cetakan, cerita lisan bersulih rupa jadi bacaan. Teknik penceritaannya tidak berbeda, hanya bentuknya yang bukan lagi lisanan.

Namun, satu hal yang paling kental,  mereka yang terbiasa dengan cerita lisan, sudah memahami betapa pentingnya cerita dalam semangat storytelling.

Riwayat Navis dalam berkarya merupakan proses yang dialami hampir semua sastrawan di Indonesia. Mereka datang dari lingkungan yang terletak ribuan kilometer dari Jakarta sebagai pusat segala dinamika, dan saya menemukan proses serupa sudah terjadi sejak para sastrawan asal berbagai daerah di Nusantara ini mengirimkan karya mereka ke Batavia sebagai pusat pada dekade 1910.

Dimulai ketika Balai Pustaka (Commissie voor de Volkslectuur), lembaga bentukan kolonial untuk mengendalikan bacaan masyarakat jajahan, membuka diri terhadap naskah-naskah berbahasa Melayu dari seluruh wilayah Nusantara. Dengan segera, para pendongeng yang biasa melisankan ceritanya, mereka yang tinggal di daerah,  berproses menjadi penulis cerita.  

Kita bisa sebut Merari Siregar, anak seorang hakim di wilayah Onder-Afdeling Sipirok, Afdeling Padangsidimpuan, Keresidenan Tapanuli, yang mengawali karier sebagai wartawan di sejumlah koran berbahasa Belanda, dan kemudian menjadi pelopor penulisan novel modern lewat karyanya Azab dan Sengsara  yang diterbitkan Balai Pustaka.

Bekerja di Balai Pustaka, Merari Siregar banyak mengambil peran mendorong orang-orang dari daerah menulis novel agar diterbitkan Balai Pustaka. Langkahnya kemudian diikuti Marah Rusli,  anak seorang Demang di Afdeling Bukittinggi, menulis Siti Nurbaya, sebuah novel yang menampilkan sosok Hanafi,  inlander Minangkabau yang malu jadi Minangkabau dan gagal menjadi Eropa.

Proses kemunculan Merari Siregar, Marah Rusli, dan sastrawan-sastrawan lain yang oleh HB Jassin dimasukkan sebagai sastrawan generasi Balai Pustaka, menjadi semacam siklus yang berulang dalam kelahiran sastrawan di negeri ini. Semuanya bermula dari Pulau Sumatra, dari lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi kuat dalam sastra lisan, yang warganya menjadikan sastra lisan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Merari Siregar lahir dari keluarga berpendidikan dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang suka membaca atau mendengar  turi-turian (cerita lisan yang dituliskan dalam Bahasa local Batak). Jauh sebelum Merari Siregar menulis Azab dan Sengsara, sastra local berbahasa Batak dalam bentuk cerita bersambung yang terbit di surat kabar maupun buku, sudah mengenal para pengarang andal seperti Mangaradja Endar Moeda Harahap, seorang jurnalis yang menulis turi-turian dalam surat kabar yang dikelolanya.  Ia alumni pertama Kweekschool Padang Sidimpuan, sekolah yang dikelola oleh Charles Adriaan van Ophuijsen, dengan standar ketat agar setiap alumni memiliki kemampuan menulis cerita.[10]

Sanusi Pane dan Armijn Pane dari lingkungan Batak di Keresidenan Tapanuli, atau Sutan Takdir Alisjahbana yang lama dibesarkan di lingkungan pesisir pantai Natal di wilayah Keresidenan Tapanuli, adalah sastrawan yang dibesarkan oleh bacaan produksi Balai Pustaka. Sebagaimana para pendahulunya,  mereka memulai karier sebagai penulis sejak dari masih bagian dari daerah, kemudian mendekat ke pusat dinamika di Batavia. HB Jassin memasukkan para sastrawan ini ke dalam Angkatan Pujangga Baru.

Siklus serupa terus berulang, di mana sastrawan yang berkreativitas di Jakarta berasal dari daerah, dan mereka yang kemudian membawa estapet untuk diberikan kepada generasi yang lebih muda. 

Pada dekade 1950-an, zaman ketika Navis memulai prosesnya sebagai seorang sastrawan,  siklus itu sudah menjadi hal yang umum.  Ketika itu Navis telah banyak menulis cerpen, kemudian mengirimkan karya-karya itu ke majalah-majalah yang ada di Jakarta  dengan harapan akan disiarkan,  tetapi belum ada satu pun yang disiarkan.  Ketika pengelola majalah Kisah  menyiarkan  “Robohnya Surau Kami” pada 1953,  ia semakin yakin bahwa dirinya mampu menghasilkan cerpen. 

Cerpen yang disiarkan majalah Kisah itu kemudian mendapat sambutan beragam dari publik, ada yang memuji dan tidak sedikit yang mengkritik. 

Pengelola Kisah adalah pihak yang menyambut positif cerpen “Robohnya Surau Kami”, dan kemudian mengumumkan cerpen itu sebagai cerpen terbaik majalah Kisah  bersama cerpen “Kejantanan di Sumbing”  karya Subagio Sastrowardoyo dan "Buaya dan Dukunnya" karya Sobron Aidit.[11]  

Sambutan negative datang dari kalangan masyarakat yang mendakwa Navis telah menodai agama Islam karena mengolok-olok penganutnya. Namun, pujian dan kritik itu justru membuat sosok Navis menjadi semakin tegak sebagai  penulis prosa yang identik dengan gaya satir. Satir membuat cerpen Navis punya nilai estetik. Nilai itu membuat karya sastra diposisikan sebagai mata yang segar dalam melihat segalanya, yang pandangannya menembus relung terdalam jiwa manusia, yang membuat seseorang di belahan bumi lain, di luar wilayah sastrawan yang menulis,  mengetahui betapa beragamanya riwayat manusia di muka bumi ini.  

Nilai sastra itu bukan sebuah konstruksi linguistik praktis yang memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang sejauh mana sesuatu itu merupakan seni yang baik dalam suatu karya, tetapi nilai yang melekat pada sastra sebagai karya seni dan nilai itu tidak berdiri sendiri, melainkan punya kaitan yang tak bisa diabaikan dengan nilai-nilai lain, satu kesatuan utuh yang bisa saja menjadi pengajaran moral bagi pembaca. 

Nilai sastra ini memberikan pengalaman estetik  kepada pembaca, yang memperluas wawasan pengetahuan pembaca tentang persoalan manusia yang ada dalam karya sastra tersebut.

Cerpen “Robohnya Surau Kami” mengundang perhatian public bukan karena menerima penghargaan majalah Kisah, tetapi karena ia menawarkan sebuah cerita tentang sisi lain dari manusia. Cerpen itu mengangkat sosok manusia sebagai mahluk yang religius, yang percaya bahwa segala dinamika kehidupan di dunia ini akan baik-baik saja apabila menjalankan perintah dan menjauh larangan Allah Swt, sebab kewajiban moral bagi manusia terdiri dari ketaatan pada perintah Tuhan. 

Manusia seperti ini meyakini, tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang diperintahkan atau diwajibkan oleh Tuhan, dan manusia sebagai mahluk ciptaan hanya perlu mematuhi perintah-perintah Ilahi itu. Tentu saja pandangan ini benar menurut agama-agama monoteisme, terutama Islam, dan Quran serta Hadits memiliki banyak ayat yang menguatkan keyakinan seperti itu, tetapi Quran dan Hadits juga memiliki banyak ayat yang menegaskan bahwa Tuhan sebagai Yang Maha Besar tidak membutuhkan manusia untuk mempertanyakan (merumuskan) ataupun menguatkan kemahaaanya. Jika hal itu dilakukan manusia, maka pada hakikatnya manusia tersebut telah kafir. Tuhan tidak perlu dibela. Tuhan tidak membutuhkan pengikut.

IV

DIBANDINGKAN dua cerpen lainnya yang memenangi penghargaan Kisah, “Kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo dan "Buaya dan Dukunnya" karya Sobron Aidit,  cerpen “Robohnya Surau Kami” menjadi fenomena baru dalam sastra Indonesia, membuat cerpen sebagai prosa versi yang lebih pendek,  semakin mendapat perhitungan karena, ternyata, memiliki energi yang tidak kalah besarnya dibandingkan novel jika dipakai sebagai alat ekspresi bersastra. Bahkan, dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain yang pernah memenangi penghargaan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah, cerpen “Robohnya Surau Kami” lebih melekat di hati pembaca karena pembahasannya tentang fenomena manusia mampu membuka wawasan pembaca.[12]  

Jauh sebelum cerpen “Robohnya Surau Kami” terbit, khazanah sastra Indonesia mengenal karya-karya Muhammad Kasim Dalimunte  yang disiarkan di majalah Panji Poestakan sejak 1910,  kemudian disebut  cerpen dan diterbitkan Balai Pustaka menjadi buku dengan judul Teman Doedoek  (1936)[13]. Lantaran cerpen-cerpen itu, banyak yang keliru memposisikan M. Kasim Dalimunte sebagai “Bapak Cerpen Indonesia”,  seakan-akan ia memiliki kedudukan yang sama dengan Edgar Alan Poe dalam sastra Amerika Serikat atau Nicolay V.  Gogol dalam sastra Rusia, padahal cerpen-cerpennya bukan hasil kerja kreatif yang orisinil,  melainkan reproduksi atas cerita-cerita ringkas dan lucu yang digali dari tradisi lisan masyarakat Melayu, dan yang dihasratkan sebagai hiburan bagi pembacanya.

M. Kasim Dalimunte bukanlah kreator sebagaimana kita memahamkan seorang sastrawan sebagai pencipta yang sangat kuat dipengaruhi kemampuan berimajinasi dalam menghasilkan bacaan yang di dalamnya terjalin satu kesatuan perasaan, pemikiran, cita-cita yang dianut oleh semua manusia.  M. Kasim Dalimunte, seperti halnya juga sejawatnya, Soeman Hasiboean, dengan bukunya Kawan Bergeloet,  kumpulan cerpen yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1941, pada dasarnya hanya menceritakan kembali kisah-kisah lisan dalam tradisi Melayu, atau lebih tepat melakukan tindakan pelestarian terhadap cerita-cerita local yang dilisankan ke dalam bentuk tulisan.  Di dalam cerpen-cerpen mereka, laku pencatatan yang paling dominan, seperti kerja petugas di bagian pengarsiban untuk mendokumentasikan, dan tidak kita temukan kreativitas seperti apa yang membuat karya-karya Edgar Alan Poe dibicarakan dunia sebagai metode baru dalam menulis prosa. 

Kerja reproduksi terhadap cerita-cerita lisan sudah dilakukan Oscar Wilde dalam bukunya, The Happy Priences and Other Tales[14]  atau Rudyard Kipling dalam Just So Storys,[15] yang membuat kedua sastrawan ini tidak dinobatkan sebagai “Bapak Cerpen” di negaranya masing-masing, meskipun karya mereka sampai hari ini tetap menjadi bacaan yang menarik.

Motif dalam penulisan cerpen M. Kasim Dalimunte maupun Soeman Hasiboean, semata ingin menghibur pembaca dengan nuansa humor yang begitu kental, sehingga cerpen-cerpen itu menjadi bacaan yang menarik bagi mereka yang menginginkan hiburan, yang memposoisikan bacaan semata sebagai hiburan. Cerpen-cerpen itu pada dasarnya ditulis sebagai stimulus agar pembaca meresponnya dengan tertawa, atau setidaknya tersenyum, dan ketertarikan pembaca sangat penting bagi masa depan perkembangan dunia penerbitan majalah sebagai unit usaha. 

Dari membaca cerpen-cerpen itu, pembaca juga akan mengamati bahwa sebagian besar daya tarik dari cerpen-cerpen M. Kasim Dalimoente maupun Soeman Hasiboean berasal dari karakter tokoh-tokohnya yang unik, latar belakang kultur si tokoh yang memiliki kedekatan dengan latar belakang kultur pembaca, sehingga para pembaca merasa sedang membaca kisah manusia yang ia kenali. Cerita-cerita yang dibaca tersebut akan direproduksi kembali oleh pembaca untuk diceritakan secara lisan sebagai bagian dari pergaulan sehari-hari.

Dengan begitu, menobatkan M. Kasim Dalimunte sebagai “Bapak Cerpen Indonesia” bukan langkah yang perlu dilanjutkan, karena telah menyebabkan cerpen di negeri kita  terlanjur dipahami secara keliru sebagai “bacaan ringan yang menghibur, yang bisa dikerjakan dalam waktu singkat, sesingkat waktu yang diperlukan untuk membacanya”.[16]  Defenisi keliru itu membuat orang menganggap cerpen sebagai tulisan yang gampang dibuat, segampang orang membacanya, dan tidak membutuhkan teori-teori karena seseorang hanya perlu bercerita,  sehingga cerpen hanya dipahami secara leksikal sebagai “cerita yang pendek”.[17]  

Mendefenisikan cerpen dengan hanya menitikberatkan pada hal-hal tak subtansial, seperti jumlah karakter, jumlah halaman ketikan, dapat dibaca sekali duduk, hanya menceritakan satu persoalan, sayangnya, telah diproduksi berulang-ulang dan diajarkan di dunia pendidikan kita.  Para pengelola majalah dan surat kabar, ekosistem alamiah dari cerpen Indonesia selama sejarah pers di negeri ini,  punya andil sangat besar untuk mengkomunikasikan defenisi cerpen yang tak subtansial itu menjadi pengetahuan umum. Setiap pengelola surat kabar, memberikan defenisi yang umum terhadap cerpen yang bisa disiarkan di surat kabar mereka, yakni miliki jumlah karakter yang terbatas, sehingga pembaca dan para penulis cerpen mengamininya sebagai bagian dari defenisi cerpen. 

Maman S. Mahayana melihat cerpen-cerpen di Indonesia, tanpa mengacu pada karya M. Kasim Dalimunte maupun Soeman Hasiboean, tetapi pada seluruh karya prosa yang pernah ada dalam khazanah sastra modern Indonesia,  yang kehadirannya sangat tergantung pada perkembangan majalah dan surat kabar sejak akhir abad ke-18, tidak dipengaruhi oleh konsep cerpen (short story) dari Barat, melainkan masih berhubungan sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama. Ia berkeyakinan, jika mencermati cerpen-cerpen Indonesia yang awal, cerpen-cerpen seperti yang disiarkan di majalah dan surat kabar sebelum M. Kasim Dalimunte maupun Soeman Hasiboean menulis, maka di satu sisi, terbuktilah, bahwa penulisan prosa modern dimulai dari cerpen.[18] 

Simpul ini dibuat Maman S. Mahayana untuk menegaskan, bahwa prosa Indonesia memiliki sejarah yang berbeda dengan apa yang terjadi di dunia, yang seakan-akan tidak ada kaitannya dengan sejarah sastra di Perancis, Inggris, Jerman, Irlandia, Rusia maupun Amerika Serikat, meskipun yang kita temui ternyata para sastrawan Indonesia, sejak era Balai Pustaka menerbitkan novel Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara,  sangat dipengaruh sastra Eropa akibat akses terhadap buku-buku terjemahan sastra yang dibuka kolonialisme Belanda. Bahkan, cerita-cerita yang ditulis Tirto Adhi Soerjo, dan disiarkan di surat kabar yang dikelolanya, dipengaruhi oleh bacaannya terhadap sastra Eropa,[19]

Sebab itu, cerpen kita merupakan prosa versi yang lebih pendek, yang jejak-jejaknya bisa ditemukan pada konsep short strory,  baik yang ada di Benua Eropa maupun Benua Amerika. Sejarah cerpen di muka bumi ini bermula sejak penulisan cerita paling awal yang tercatat dalam kisah-kisah papirus Mesir (4000 SM), dijumpai banyak narasi fiksi pendek di banyak negeri, beberapa di antaranya memenuhi hampir semua persyaratan bentuk cerita pendek seperti yang dipahami sekarang, termasuk di lingkungan masyarakat pra-Indonesia, seperti cerita pendek dalam tradisi lisan yang diceritakan menggunakan bahasa local.

Cerpen adalah produk dari hakikat manusia sebagai mahluk yang bercerita (homo narrans), dan ini merupakan ciri manusia yang paling universal, di mana setiap kebudayaan manusia akan memproduksi cerita yang bentuknya berupa mitos, legenda, alegori, perumpamaan, hikayat. Semua cerita itu dibuat, terkadang hanya untuk menghibur, terkadang untuk memberi instruksi, dan tak jarang menjadi aturan atau hukum tradisional demi memperbaiki tatanan social yang ada.

Di dalam perkembangannya, sebagaimana peradaban manusia terus berkembang, cerita-cerita itu bukan hanya diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi juga mengalami pembaruan atau melahirkan suatu hal yang baru,  misalnya, membangun dunia pemikiran dan ungkapan yang khas yang belum dilakukan sebelumnya.  Cerpen tak hanya mengemban misi menghibur, tetapi juga dipakai para penulis sebagai refleksi esensi spiritual zaman, ketakutan dan kegagalannya, harapan dan pencapaiannya yang tinggi, sehingga cerpen diposisikan sebagai warisan nasional. Jadi, cerpen Indonesia adalah prosa versi yang lebih pendek yang isinya mencerminkan semangat khas bangsa Indonesia, gayanya ditandai oleh idiom nasional, dan warna local menjadi cita rasa individu dari karakter dan lokalitas.

Idrus adalah inspirator pertama dalam penulisan cerpen. Ia tidak saja identik sebagai penulis cerpen,  tetapi juga merupakan tokoh yang membawa inovasi pada perkembangan cerpen di Indonesia, di mana ia melampaui apa yang sebelumnya diperkenalkan Muhammad  Kasim Dalimunte. Cerpen-cerpen Idrus yang terkumpul dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1948 mendapat pujian dari HB Jassin[20]  dan  M. Balfas.[21]

Balfas menyebut Idrus menulis dengan gaya yang menekankan aspek realitas yang lebih keras, menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan ringkas serta meninggalkan estetika yang ada pada era Balai Pustaka dan Poedjangga Baroe.  Balfas menggambarkan gaya Idrus penuh dengan sinisme dan sarkasme, dan menjelang akhir revolusi nasional ia menjadi semakin kontemplatif. Sementara A. Teeuw, kritikus sastra berpendidikan Eropa,  menyebut Idrus dipengaruhi oleh karya-karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, Erskine Caldwell, dan Willem Elsschot.[22] 

Tentu saja keterpengaruhan itu bukan hanya pada teknik penulisan atau gaya,  tetapi  juga pada kecenderungan untuk melakukan eksperimentasi dengan memposisikan cerpen sebagai representasi dari aksi-aksi social. Idrus dengan sadar memperalat cerpen sebagai medium untuk mengkritisi dengan semangat realis, baik terhadap pemegang kekuasaan yakni Jepang selaku pemerintah berkuasa di Indonesia maupun orang-orang Indonesia sendiri yang menyesatkan semangat perang revolusi dengan merusak subtansi dari perjuangan dan nilai kepahlawanan, dan hal semacam ini belum pernah ada dalam khazanah sastra kita.  Ini alasan HB Jassin metasbihkan Idrus sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, di mana kepeloporan Idrus menjadi alasan bagi generasi-generasi sesudahnya untuk menjadi penulis cerpen.

Meskipun Idrus disebut pembaharu dalam cerpen, terutama pada aspek tematik yang membicarakan persoalan-persoalan manusia di zaman kolonialisme,  pada dasarnya ia masih melanjutkan konsep sketsa yang lekat pada M. Kasim Dalimunte dan Soeman Hasiboean seperti cerpennya “Corat-Coret di Bawah Tanah”, yang memotret sketsa realis manusia dengan narasi yang pendek dan tidak begitu menyentuh ke dalam persoalan jiwa manusia.

Berbeda dengan Idrus yang berkarya di era perang revolusi kemerdekaan dan selalu hidup dalam tekanan penjajah, sebagaimana para sastrawan yang berkarya pada decade 1940-an[23],  yang menulis tentang dampak kolonialisme terhadap manusia Indonesia, Navis dan para penulis cerpen yang muncul decade 1950-an, mengangkat problematika manusia di lingkungannya, sehingga khazanah sastra Indonesia semakin kaya dengan kisah-kisah manusia dengan latar belakang kultural yang berbeda-beda.

Cerpen pada dekade 1950-an, dipenuhi kisah masyarakat  dari kultur Minangkabau yang digarap Navis, segala lelaku masyarakat dalam kultur Betawi pada cerpen S.M. Ardan, atau Ajip Rosidy dengan kultur Sunda. Dalam pandangan H.B. Jassin, dalam cerpen-cerpen decade 1950-an “terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah, di mana para sastrawan menulis tentang dinamika sosial-budaya dari masyarakat di lingkungannya.” 

Dengan kata lain, khazanah cerpen Indonesia pada decade 1950-an, mengalami perkembangan pesat sebagai potret realitas keanekaragaman masyarakat Indonesia, yang membuat cerpen menjadi pilihan utama para penulis dalam berkarya.

Meskipun menulis cerpen menjadi pilihan utama dalam berkarya,  namun motif dalam berkarya dari para penulis cerpen itu tidak selalu dipengaruhi oleh factor sastra, melainkan oleh factor ekonomi. Dengan cerpen sebagai medium ekspresinya, banyak penulis baru yang muncul, mengirimkan karya-karya yang mengangkat beragam tema,  terutama realitas kehidupan social budaya di lingkungan mereka dengan pengucapan yang cenderung romantis,  meskipun dari segi kualitas tidak semua karya yang dikirim layak disebut sebagai cerpen.[24] 

V 


MENDONGENG, tampaknya, menjadi pilihan sebagian besar penulis prosa kita. Tokoh Ajo Sidi dalam cerpen Navis adalah sosok seorang pendongeng. Navis sendiri seorang pendongeng yang lahir dari tradisi para pendongeng. 


Sebagian besar prosa kita hasil dongengan. Para akademisi sastra sulit membantah ini. Novel mutakhir pertama kita, yang berbahasa Melayu dan selama ini kita menerimanya, yakni Azab dan Sengsara karya Merari Siregar,  pada dasarnya adalah dongengan modern Merari Siregar. Orang Angkola, yang melahirkan Merari Siregar dalam keluarga Jacobus Soetan Martowa Radja --- orang ini alumni pertama sekolah kependetaan di Parau Sorat dan merupakan  murid Pendeta Van Asselt – tidak punya sejarah memaksa anak menikah atau melarang anak menikah dalam bingkai keluarga Dalihan Na Tolu. 


Yang bernasib malang atau menyedihkan dalam keluarga Batak, kalau ia laki-laki, adalah orang yang tidak punya tulang – iboto atau saudara laki-laki dari ibunya. Ia tidak akan punya pariban untuk dinikahinya, dan ia harus mencari perempuan lain untuk dinikahi, dan biasanya ia akan mencarinya ke daerah lain. Biasanya ia akan mencari ke daerah yang punya kaitan marga, dari mana leluhurnya mendapatkan seorang perempuan sebagai istri. Orang Batak tidak akan sembarangan menikahi perempuan lain sebelum ia lebih dahulu bertanya atau melamar paribannya demi menjaga keutuhan ikatan keluarga Dalihan Na Tolu.

           

Merari Siregar itu tidak tahu dan memahami ikatan Dalihan Na Tolu. Sepanjang hidupnya habis sebagai pelajar mulai dari Siantar sampai Medan, mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai jaksa. Ketika ia berkarier di Bali Pustaka, lalu menulis buku-buku terjemahan, ia bukan penulis yang bagus hingga harus dikeluarkan dari Balai Pustaka dan bekerja di jawatan milik colonial yang menangani perkara perdagangan opium dan berkantor di Surabaya. 


Hingga akhir hayatnya, berusia lebih 100 tahun, Merari Siregar di Surabaya dan berhenti menjadi penulis.


Referensi

[1] Navis, Ali Akbar. 2010, Robohnya Surau Kami, Jakarta: Gramedia. Cet: XVI. hal.3.

[2] Navis, A.A.,1984.  Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafitipers. Hal. 234. 

[3] Hutasuhut, Budi P., 2022. Historiografi Padang Sidimpuan (Padang Sidimpuan: Pustaha), hal: 40.

[4] Yusra, Abrar, 1994.  Otobiografi A.A. Navis, Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

[5] Hakim, Abdul, dkk, 2003, “Satire dalam Cerita-cerita Pendek A.A. Navis dengan Politik Warung Kopi sebagai Landasan Sebuah Pendekatan Intrinsik, Ekstrisik, dan Pluralisme”,  Skripsi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia. Diakses dari https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20155839&lokasi=lokal

[6] Wells, Carolyn,1905. A Satire Anthology. New York: Charles Scribner Charles diakeses dari https://www.gutenberg.org/cache/epub/47528/pg47528-images.html 

[7] Mufid, Ahmad Syafii, 2006. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8]  Pope, Alexander, 1891. An Essay on Man Moral Essays and Satires. London: Cassell & Company. Diakses lewat Gutenberg.org https://www.gutenberg.org/cache/epub/2428/pg2428-images.html 

[9] Hutasuhut, M. Yunus dan Budi P Hutasuhut, 2019. Sutan Pangurabaan Pane, Berjuang dengan Tulisan, Jakarta: Kemendikbud..

[10] Azhari, Ichwan, 2023. "Soara Batak: The Batak People's Resistance Newspaper in the Colonial Period (1919-1932)"Indonesian Historical Studies (dalam bahasa Inggris). Hal.: 179–191. 

[11] Hadiah Majalah Kisah diberikan oleh pengelola majalah Kisah pada setiap tahun untuk karya cerpen yang dianggap berbobot. Besar hadiah yang diberikan mula-mula Rp200,00. Pada tahun 1953 juri memberikan bundel majalah Kisah selama satu tahun kepada para pemenang. Hadiah majalah Kisah pada tahun 1953 sebesar Rp500,00, tahun 1954 berubah menjadi Rp800,00.  Juri yang terdiri dari M. Balfas,  H.B. Jassin, dan Idrus memutuskan hasil tulisan para juri tidak diikutsertakan sebagai peserta sayembara.

[12] Majalah Kisah yang masa hidupnya sangat pendek (1953-1956),  memberikan penghargaan pada sejumlah cerpen. Tahun 1953:  "Santapan" karya Vincent Mahieu, "Musim Gugur" karya Mochtar Lubis, "Kampungku yang Sunyi" karya Yusach Ananda, dan "Perpisahan" karya Gajus Siagian. Tahun 1954: "Catatan di Kampung Kelahiran" karya Yusah Ananda, "Memalui Bola" karya Rijanto Pratikto, "Toga Sibaganding" karya Aris Siswo, dan "Lukisan Dinding" karya M. Alwan Tafsiri Tahun 1955: "Kedjantanan di Sumbing" karya Subagio Sastrowardojo, "Robohnya Surau Kami" karya A.A. Navis, "Buaya dan Dukunnya" karya Sobron Aidit,  dan karya unggulan lainnya pada tahun 1955 yang tidak mendapat hadiah, antara lain: "Bulan Sabit di Langit Barat" karya S.M. Ardan, "Kisah dari Negara Kambing" karya Andrea A'Xendra Leo, "Krisis Kesusastraan di Repbulik Antah Berantah" karya A. Rossidhy, "Hantu Racun" karya Amyus Nn, "Jataju" karya Nh. Dini, dan "Almarhum Ajahku" karya Yusach Ananda. Tahun 1956: "Tunggul" karya Trisnojuwono, "Jika Hujan Turun" karya J.E. Siahaan, dan "Ia Punya Leher yang Indah.

[13]  Rampan, Korrie Layun (2001). Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 309. ISBN 979-666-358-9. Lihat juga  Latief Nugraha,  "M Kasim, Bapak Cerpen Indonesia" disiarkan Republika edisi 3 Mai 2015 dan diakses di https://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/05/03/nnrxu5-m-kasim-bapak-cerpen-indonesia pada 6 Juni 2024.

[14] Meskipun cerpen-cerpen Oscar Wilde ditulis berangkat dari cerita lisan yang berkembang di lingkungan masyarakat Irlandia, namun ia tetap menghasilkan karya yang orisinil dirinya.

[15] Cerpen-cerpen  Rudyard Kipling dalam Just So Story, diangkat dari cerita-cerita lisan yang ditulis hanya sekadar menyampaikan sebuah cerita. Ia, misalnya, bercerita tentang bagaimana seekor unta mendapatkan punuknya atau bagaimana seekor ikan paus mendapatkan tenggorokannya.

[16] Maman S Mahayana dalam bukunya, Kitab Kritik Sastra yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 2015, menyebut cerpen-cerpen Indonesia mengacu pada cerpen M. Kasim Dalimunte tidak dipengaruhi oleh konsep cerpen (short story) dari Barat, melainkan masih berhubungan sangat dekat dengan hikayat dalam kesusastraan Melayu lama.

[17] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut  cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut. 

[18] Maman S Mahayana dalam bukunya, Kitab Kritik Sastra yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 2015 melihat karya-karya wartawan cum sastrawan seperti  yang muncul dalam surat kabar Slompret Melayoe yang terbit pertama kali tahun 1860, yang menyajikan cerpen sebagai tuntutan bisnsis media massa untuk memberikan bacaan yang lebih bervariasi merupakan titik awal penulisan prosa di Indonesia.

[19] Pramudya Ananta Toer dalam Sang Pemoela, Jakarta:Hasta Mitra, 1985.

[20] Dalam pengantar buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, HB Jassin memposisikan Idrus sebagai pembaharu di bidang prosa dan Chairil Anwar pembaharu di bidang puisi. Kata Jassin, pembaruan yang dilakukan Idrus bukan hanya pada bentuk, tetapi juga pada jiwa sebagaimana Chairil Anwar melakukannya dalam puisi.

[21] M. Balfas (1976), "Modern Indonesian Literatur in Brief". Dalam LF, Brakel (ed.). Handbuch der Orientalistik [Buku Panduan Orientalistik]. Jil. 1. Leiden, Nederland: EJ Brill. ISBN 978-90-04-04331-2.

[22] Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia [ Sastra Indonesia Baru ] (dalam bahasa Indonesia). Jil. 1. Ende: Nusa Indah. OCLC  222168801 .

[23] Tak sedikit sastrawan yang memilih berkutat dengan tema-tema pasca perang revolusi seperti yang ditampilkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Perburuan  (1950) dan Di Tepi Kali Bekasi  (1951), Mochtar Lubis dengan Tak Ada Esok  (1950) dan Jalan Tak Ada Ujung  (1952), atau hal-hal lain yang oleh H.B. Jassin disebut “terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah”, di mana para sastrawan menulis tentang dinamika social-budaya dari masyarakat di lingkungannya seperti puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dalam Simphoni (1957). 

[24] H.B. Jassin sebagai redaktur majalah Kisah melaporkan, selama masa terbit majalah Kisah yang tak sampai lima tahun usianya,  telah menerima sebanyak 600 kiriman cerpen dari para pengarang dan lebih 100 cerpen yang disiarkan di majalah Kisah, diikuti terjemahan kurang lebih 30 karya (Jassin, 1959).

Posting Komentar