Bengkel Kreatif Menulis, sebuah komunitas para kreator seni di Kota Padang Sidimpuan, selama dua bulan, terhitung sejak 1 September 2024 sampai 27 Oktober 2024, menggelar Festival Sastra Sanusi Pane yang menampilkan kegiatan: Sayembara Menulis Esai tentang Sanusi Pane, Sastran Masuk Sekolah, Kemah Sastra Pelajar dan Mahasiswa, Seminar Sastra, Penerbitan Buku, dan Puncak Festival Sanusi Pane yang diisi acara penampilan dan pentas karya sastra oleh para kreator sastra.
Festival Sastra Sanusi Pane bukan hanya melibatkan ratusan pelajar dari SMA Swasta Nurul Ilmi Padang Sidimpuan, SMK Negeri 2 Padangsidimpuan, MA Negeri 2 Padangsidimpuan, SMA Negeri 1 Padangsidimpuan, SMP Swasta Sariputra Padangsidimpuan, dan SMP serta SD Swasta Bunaiya Padangsidimpuan, tetapi juga ratusan mahasiswa dari Institute Ilmu Pendidikan Tapanuli Selatan ((IPTS), Universitas Islam Negeri (UIN) Syaha Padangsidimpuan, Universitas Muhamamdiyah Tapanuli Selatan (UMTS), Universitas Graha Nusantara (UGN), dan lain sebagaimnya.
Berkaitan dengan kegiatan Festival Sastra Sanusi Pane yang baru saja selesai digelar, kami mewawancarai Budi P. Hutasuhut, penggagas Festival Sastra Sanusi Pane yang juga Ketua Dewan Pembina Bengkel Kreatif Menulis (BKM). Sinar Tabagsel menemuinya di sekretariat Bengkel Kreatif Menulis di Batunadua, Kota Padangsidimpuan, Kamis, 31 Oktober 2024. Budi Hatees yang sehari-hari bekerja sebagai peneliti dan koinsultan di bidang komunikasi dan kebijakan publik di berbagai lembaga non-govenrment organizations, bercerita seputar ide awal dan gagasan menggelar Festival Sastra Sanusi Pane di Kota Padang Sidimpuan.
Sinar Tabagsel: Bisa Abang cerita kenapa Festival Sastra Sanusi Pane digelar di Kota Padang Sidimpuan?
Sudah lama kami dari Bengkel Kreatif Menulis ingin menggelar sebuah hajatan kebudayaan yang melibatkan banyak kalangan kreator sastra dan berskla nasional. Baru tahun ini terwujud setelah kawan-kawan dari Bengkel Kreatif diundang menjadi peserta dalam berbagai festival kesenian di berbagai daerah seperti Temu Penyair Internasional di Padang Panjang, Festival Sastra Balige di Toba, Lake Toba Writers Festival di Samosir, dan lain sebagainya.
Belajar dari festival demi festival yang diikuti, Bengkel Kreatif kemudian merancang gagasan untuk menggelar sebuah festival yang bertujuan mengasah kreativitas para kreator seni di Kota Padang Sidimpuan, membuka ruang-ruang untuk berekspresi, dan sekaligus mempromosikan Kota Padangsidimpuan ke dunia luar sebagai salah satu lumbung karya seni di Indonesia.
Di luar sana, orang-orang tahu, ada banyak kreator seni atau penulis karya sastra yang berasal dari Kota Padangsidimpuan. Bukan hanya hari ini, tapi sejak zaman dahulu.
Di Padangsidimpuan ini pernah ada ahli bahasa Indonesia bernama Charles Adriaan van Ophuijsen, direktur Kweekschool Padangsidimpuan yang menciptakan ejaan disempurnakan van Ophuijsen. Di Sidimpuan juga pernah menjadi fenomenal sastrawan seperti Sutan Pangurabaan Pane, yang menulis cerita bersambung selama tiga tahun di surat kabar berhasa Batak.
Ada juga Parada Harahap, penulis novel yang lebih dikenal sebagai The King of Java Press. Penyair seperti Amir Sjarifuddin Harahap lebih dikenal di dunia politik sebagai pembawa gagasan sosialisme di negeri ini. Sanusi Pane lebih dikenal sebagai dramawan ketimbang sebagai penyair, atau aktivis pergerakan yang merupakan salah seorang pendorong nasionalisme di negeri ini. Armijn Pane dikenal sebagai pembaharu novel di Indonesia dengan karyanya Belenggu..
Beberapa sastrawan nasional punya kaitan dengan Padangsidimpuan seperti Mochtar Lubis, Bokor Hutasuhut, Mansyur Samin, Sori Siregar, Iwan Simatupang, dan lain sebagainya. Bahkan, tahun 1980-an, ada S. Baya, sastrawan yang juga bekerja di Dinas P dan K, yang jadi motor penggerak. Di tangan S. Baya, dunia kreasi seni pernah berkembang pesat di Padangsidimpuan.
Tapi, belakangan, kegiatan berkesenian di kota ini mati, dan Padang Sidimpuan terlihat seperti "kota tanpa budaya". Di sini tak pernah ada pembicaraan tentang karya-karya seni. Tidak ada pentas karya seni. Tidak ada fasilitas yang dibangun pemerintah daerah untuk mendorong para seniman berkarya dan berinovasi. Padangsidimpuan ini tak punya giroh di bidang kesenian.
Ini disebabkan pemerintah daerah tidak memahami kesenian. Akibatnya, dari tahun ke tahun, siapa pun yang jadi Wali Kota Padangsidimpuan, tidak punya program tentang kesenian. Bagi pemeintah, kesenian itu tidak penting. Bagi pemerintah, kesenian itu sering jadi beban.
Namun, meskipun tanpa pemerintah, para seniman di Padangsidimpuan terus berproses, berkarya, dan berinovasi. Lumbung-lungbung karya ada di banyak tempat, bukan hanya di sanggar-sanggar seni, tetapi juga di lingkungan sekolah yang dimotori para peserta didik.
Cuma, para kreator seni ini kan warga Padangsidimpuan yang keberadaannya juga harus mendapat perhatian pemerintah daerah. Mereka butuh pemberdayaan. Mereka butuh tempat representatif untuk menunjukkan karya seperti gedung kesenian. Mereka butuh tempat untuk latihan. Mereka harus diberdayakan perihal manajemen pertunjukan. Mereka, para seniman, butuh sejahtera. Mereka butuh pemerintah yang paham kesenian.
Apakah Bengkel Kreatif Menulis sedang mencoba mengambil alih tanggung jawab pemerintah itu?
Tidak. Apa yang dilakukan BKM dengan menggelar Festival Sastra Sanusi Pane itu bukan sebuah bentuk mengambil alih tanggung jawab pemerintah daerah terkait pengembangan dan pemajuan kebudayaan di Padangsidimpuan. Tanggung jawab itu tetap ada pada pemerintah daerah.
BKM hanya sebuah lembaga yang kebetulan punya visi dan misi untuk menghidupkan ekosistem berkesenian dan berkreativitas di Kota Padangsidimpuan dan kota-kota lain di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel) dengan mendorong para kreator berkarya dan memahami manajemen pertunjuukkan. Pemerintah juga punya tanggung jawab sama. Itu artinya BKM mengerjakan hal yang sama seperti yang seharusnya dikerjakan pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah melakukannya, berarti pekerjaan itu akan lebih mudah dikerjakan bersama-sama.
BKM mencoba mendorong munculnya kolaborasi dalam membangun ekosistem berkesenian, karena dunia berkreativitas ini harus dikerjakan bersama-sama. BKM hanya memberi tahu bahwa dunia kreativitas berkesenian ini merupakan tanggung jawab bersama antar para kreator untuk terus berkarya dan berinovasi, masyarakat yang menjadi penikmatnya, dan pemerintah daerah yang menjadi fasilitatornya.
Bagaimana BKM dapat membangun kolaborasi ini untuk mengembangkan ekosistem berkreativitas di Kota Padangsidimpuan ini, sementara pemerintah daerah tidak punya program terkait masa depan kesenian?
BKM selama ini melakukan kajian dengan mendata berapa banyak kreator seni di Padangsidimpuan, berapa banyak sanggar seni, seni apa saja yang berkembang, dan bagaimana kesejahteraan para seniman. Hasilnya memprihatinkan.
Para kreator yang benar-benar berkarya memilih bekerja di sektor-sektor informal. Pelukis atau pelaku seni rupa, bekerja sebagai pelukis reklame dan hal-hal yang mengandalkan kecakapan mereka di bidang seni rupa. Pemusik bekerja sebagai penghibur di acara-acara pesta. Penari sering jadi sapi perahan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengelola manajemen pertunjukan. Sastrawan memilih menulis buku dan terus berkarya.
Para seniman di Padangsidimpuan tetap hidup, tetap berkarya.
Tapi, dari kajian itu kita tahu, pemerintah daerah melalui dinas terkait, tidak punya data yang konprehensif tentang kegiatan-kegiatan masyarakat yang punya hubungan dengan kebudayaan seperti berapa banyak masyarakat yang mengelola sanggar kesenian, kesenian apa saja yang berkembang di Padangsidimpuan, siapa pelaku kesenian, apakah ada unit usaha yang berbasis kesenian yang berkembang di Padangsidimpuan.
Yang penting, pemerintah daerah tidak punya data. Itu sebabnya, pemerintah daerah tidak punya kebijakan terkait pengembangan ekosistem berkesenian.
Pemerintah daerah pun tak punya program kerja. Dinas-dinas yang ada selalu mempersoalkan hal-hal tak subtansial tentang apakah sanggar seni itu termasuk urusan Dinas Pariwisata atau urusan Dinas Pendidikan. Apakah membina dan mengembangkan sanggar-sanggar kesenian itu bagian dari urusan kepariwisataan atau bagian dari urusan kebudayaan.
Akibatnya, setiap dinas saling menunggu, sehingga kegiatan kesenian tidak mendapat perhatian. Tidak ada program untuk kegiatan kesenian. Sanggar-sanggar kesenian dan para pelaku kesenian baru akan mendapat perhatian kalau sudah ada acara ulang tahun Kota Padangsidimpuan, kemudian para pengelola sanggar didorong untuk tampil sangat baik. Bagaimana para seniman bisa tampil baik, sementara pemerintah daerah tak pernah membinanya.
Kecenderungan pemerintah daerah selalu ingin menikmati hasil karya seni tanpa melakukan pembinaan. Jika ada kegiatan yang membutuhkan penampilan karya seni, misalnya untuk kegiatan Pekan Raya Sumatra Utara (PRSU), pemerintah daerah hanya perlu mencomot orang-orang tertentu untuk diberi tanggung jawab menyajikan sebuah pentas seni dan diwajibkan harus menjadi pemenang. Pemerintah memikirkan kesenian dalam waktu singkat, karena mengira karya seni itu bisa dikerjakan dalam waktu singkat dan tanpa proses.
Dampak dari sikap pemerintah daerah ini membuat para pengelola sanggar dan pelaku kesenian itu saling sikut, berlomba-lomba menjadi kelompok yang paling dekat dengan pemerintah daerah. Pertarungan para seniman bukan pada kualitas karya, tapi bagaimana caranya agar lebih dekat dengan pemerintah.
Inilah seniman di Padangsidimpuan. Mengaku seniman, punya kemampuan, kreatif, tapi tak punya visi yang jelas tentang kesenian. Kalau pemerintah daerah yang meminta agar ikut PRSU, misalnya, mereka akan merasa bangga dan merasa dirinya hebat, padahal dunia seni itu mempertaruhkan kreativitas dan karya.
Faktor inilah yang membuat ekosistem berkesenian dan berkreativitas menjadi stagnan di Padangsidimpuan. Ini terjadi karena pemerintah daerah tidak paham apa itu ekosistem berkesenian. Pemerintah daerah juga tidak paham ekosistem-ekosistem lain yang ada dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, di Padangsidimpuan banyak tumbuh kegiatan yang mengatasnamakan kesenian, tetapi yang terjadi transaksi bisnis.
Orang-orang menyelenggarakan lomba musik, lomba menyanyi, lomba fashion, tetapi para pesertanya harus bayar, lalu para juri buka peluang untuk transaksi. Akibatnya terjadi konflik berkepanjangan. Peserta merasa dirugikan karena jurinya disogok. Malangnya, pemerintah daerah mendiamkan hal itu. Pemerintah daerah menganggapnya seakan-akan bukan urusan mereka, padahal perlombaan-perlombaan yang digelar itu berlangsung setelah para pengelola manajemen melakukan audiensi dengan Wali Kota Padangsidimpuan. Pemerintah daerah merestui kecurangan-kecurangan itu dilakukan akibat pemerintah daerah tidak paham kondisi sebetulnya dan tidak mau mempelajarinya.
Bukankah situasi seperti ini sudah berlangsung lama. Orang-orang di luar sana sudah punya cap bahwa Padangsidimpuan ini "kota fashion show' meskipun tidak pernah terdengar ada ahli fashion atau desainer dari daerah ini dan tidak pernah ada peragawati maupun peragawan yang muncul.
Fashion show itu bagian dari budaya pop terkait pengembangan industri busana. Meskipun kegiatan fashion show selalu ada setiap bulan di Padangsidimpuan dan melibatkan anak kecil dan dewasa, kita tidak pernah tahu apakah fashion yang ditampilkan dalam acara itu hasil kreasi orang Padangsidimpuan atau karya desainer terkenal.
Yang jelas, industri fashion tidak berkembang di Padangsidimpuan. Kita tidak pernah dengar Padangsidimpuan mempunya tradisi fashion yang luar biasa. Orang dari luar tidak datang ke Padangsidimpuan untuk membeli pakaian hasil karya disainer Padangsidimpuan. Orang dari luar datang ke Padangsidimpuan untuk belanja pakaian di Pajak Batu atau Sagumpal Bonang. Mereka datang bukan karena pakaian yang dijual di Padangsidimpuan buatan pabrik garmen di Padangsidimpuan, bukan karena hasil desainer ternama asal padangsidimpuan.
Fashion show yang muncul di Padangsidimpuan itu berkaitan dengan bisnis untuk memberikan kepuasan kepada orang tua yang akan melakukan apa saja demi anaknya bisa jadi juara. Orang tua di Padangsidimpuan bangga anaknya melenggak-lenggok demi menjadi juara, bukan juara karena kecakapan intelektual. Orang tua mau membayar berapa pun agar anaknya juara. Orang tua seperti ini berlimpah di Padangsidimpuan, dan mereka mau membayar juri agar anaknya yang jadi pemenang.
Jangankan di dalam acara fashion show, dalam acara lain yang berkaitan dengan lomba-lomba, sering terjadi peristiwa curang. Peserta membayar juri, atau sebaliknya juri bernegosiasi dengan peserta.
Bagaimana mengatasi hal-hal transaksional seperti ini?
Dunia kreativitas berkesenian di Padangsidimpuan ini tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Para kreator tidak dilahirkan. Orang-orang yang terlibat dalam dunia kesenian dipaksa lahir. Mereka kemudian merasa dirinya seorang seniman hebat .
Yang tidak pernah menghasilkan karya senia saja berani menjadi pengurus lembaga yang membidangi kesenian dan pemerintah daerah mengesahkan pengurus itu karena pemerintah daerah tidak paham apa tujuan lembaga kesenian itu.
Orang-orang yang merasa dirinya seniman karena ditunjuk sebagai pengurus lembaga yang mengurusi masalah kesenian, cenderung meanggap dirinya yang paling mengerti tentang kesenian.
Sebagai contoh, ketika ada lomba-lomba karya seni seperti membaca puisi, lomba musik, lomba menari, lomba karya sastra, dan lain sebagainya, mereka yang merasa mampu menjadi juri akan dengan senang hati menerima ketika ditunjuk menjadi juri. Mereka tidak punya kapasitas untuk menjadi juri, tetapi karena beraktivitas di lembaga yang mengurusi kesenian, mereka merasa punya kapasitas.
Dampaknya, kualitas para pemenang lomba-lomba karya seni di Padangsidimpuan sangat rendah. Ini tidak hanya terjadi dalam acara yang digelar lembaga swasta, tapi juga acara yang digelar pemerintah. Sebagai contoh, baru-baru ini Induk Duta Bahasa Sumatra Utara, lembaga di bawah Balai Bahasa Sumatra Utara (BBSU), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemenristek) memecat salah seorang Duta Bahasa asal Padangsidimpuan karena tidak berperilaku baik, rasisme, dan merasa dirinya dan rasnya lebih unggul dari ras manusia lain yang ada di Kota Padangsidimpuan. Orang ini Duta Bahasa asal Padangsidimpuan dipecat oleh Induk Duta Besar Sumatra Utara setelah masyarakat padangsidimpuan melaporkan sikap, watak, dan perilakunya yang tak menceriminkan orang yang poaham cara berbahasa yang baik dan benar.
Keterpilihannya sebagai Duta Bahasa Sumatara Utara, membuatnya merasa superior dibandingkan siapa saja. padahal, keterpilihannya hanya berdasarkan metode voting, bukan lantaran kualitasnya. Begitu juga dengan pencarian-pencarian bakat atau duta0-duta dalam hal lain, seharusnya momentum mencari bakat, tapi pada akhirnya berubah jadi momentum meruntuhkan orang-orang berbakat.
Hal semacam ini terjadi di semua cabang berkesenian. Kenapa bisa? Karena pemerintah daerah itu tidak paham kesenian, lalu menunjuk orang yang tidak paham kesenian untuk mengurusi kesenian. Orang-orang aji mumpung. Mumpung pemerintah daerah tidak paham, mereka mengajukan diri sebagai orang yang paham. Orang bodoh selalu tidak tahu kalau mereka dibodohi.
Cara mengatasinya, belajarlah tentang kesenian.
Bagaimana supaya masyarakat dan pemerintah daerah itu memahami kesenian?
Semua seni itu ada ilmu pengetahuannya. Seni itu tidak sekadar bakat alam. Seni itu bisa dipelajari.
Pemerintah daerah tidak mungkin belajar berkesenian, tapi pemerintah daerah punya nomenklatur terkait pengembangan kesenian di daerah.
Di dalam UU NO. 17 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dijelaskan pentingnya setiap pemerintah daerah memiliki Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD). PPKD itu adalah pijakan dasar tentang apa yang harus dibangun dan apa yang harus dikembangkan. Cuma, sejak tahun 2017, Padangsidimpuan tak punya PPKD. Itu sebabnya, Padangsidimpuan tidak pernah punya program tentang kebudayaan karena tak ada PPKD yang jadi panduan untuk membuat program.
Di dalam pengembangan, pemerintah daerah diharuskan merumuskan program kerja terkait bagaimana menjadikan kebudayaan dan kesenian itu agar dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan formal. Di lembaga pendidikan formal di Padangsidimpuan, peserta didik tidak menjadi kegiatan kesenian sebagai ekstrakurikuler. Kalaupun ada anak didik yang menguasai kesenian atau membentuk kelompok teater, mereka melakukan karena kecintaan terhadap kesenian. Mereka sering tidak dianggap di sekolah masing-masing, karena pemerintah daerah tidak punya program untuk mendorong kegiatan mereka.
Kesenian itu terdiri dari seni tradisi dan seni moderen. Di Padangsidimpuan kedua seni itu berkembang pesat tanpa pemerintah daerah. Belum lagi bila kita lihat senia yang dimiliki segala jenis masyarakat di Padangsidimpuan. Ada masyarakat Batak, Minangkabau, Jawa, Nias, Tionghoa, dan lain sebagaimnya yang masing-masing berkembang dengan baik. Mereka memiliki sanggar, dan pemerintah daerah seharusnya mengambil posisi sebagai fasilitator. Pemerintah daerah mestinya memfasilitasi agar sanggar-sanggar seni ini bisa ditampilkan di hadapan publik, atau pemerintah memfasilitasi agar sanggar-sanggar kesenian ini mendapat pelatihan tentang manajemen pertunjukan dan lain sebagainya.
Apakah festival bisa menjadi alternatif?
Festival itu merupakan wadah untuk memunculkan orang-orang yang punya karya, yang proses berkaryanya jelas dan terukur. Mereka terus berproses dan butuh panggung. Festival digelar untuk wahana bagi orang-orang yang berkarya. Festival bukan ajang pamer kemampuan. Festival harus menjadi ajang bertemunya kreator, penikmat, dan para kritikus. Semua bagian ekosistem itu sama-sama bertanggung jawab untuk mengembangkan kesenian.
Festival juga bisa menjadi cara untuk merangsang dan menumbuhkan kreativitas. Kami di Bengkel Kreatif sedang mengonsep gelaran festival di enam kecamatan yang ada di Kota Padangsidimpuan, di mana tiap kecamatan menggelar festival yang khas berkaitan potensi sumber daya alam di kecamatan bersangkutan. Misalnya, Festival Salak digelar di Kecamatan Angkola Julu pada bulan Januari tiap tahun, dan pengunjungnya adalah masyarakat yang ada di kecamatan-kecamatan lain. Di dalam festival itu bisa ditampilkan karya seni yang ada di Kecamatan Angkola Julu, atau tampil karya seni dari seniman yang diundang untuk memeriahkan, dan bisa dipamerkan karya-karya masyarakat Kecamatan Angkola Julu yang punya kaitan dengan salak.
Dua bulan kemudian, bisa digelar Festival Panen Padi di Kecamatan Batunadua atau festival lain yang berkaitan dengan potensi Kecamatan Batunadua. Pelaku festival itu masyarakat dari semua desa, dan mereka boleh menunjukkan karya masing-masing. Ini tidak akan membebani APBD. Tak akan membebani APBDes. Semua masyarakat terlibat sebagai pelaku dengan harapan mereka bisa menjadi pelaku ekonomi. Para pengunjung festival datang dari berbagai kecamatan, atau bisa dipromosikan keluar Kota Padangsidimpuan.
Dua bulan kemudian, festival digelar di Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Padangsidimpuan Selatan, atau kecamatan lain. Ada masa dua bulan bagi setiap kecamatan untuk mempersiapkan diri menggelar festival. Setelah semua kecamatan digelar festival, semua pelaku festival dari enam kecamatan diberi peran dan tanggung jawab untuk menjadi penggerak festival terkait peringatan HUT Kota Padangsidimpuan. Semua penampil kesenian di festival tingkat kecamatan harus tampil di festival pada peringatn HUT Kota Padangsidimpuan.
Festival-festival ini murah, meriah, dan berkualitas. Masyarakat hanya memerlukan penguatan gagasan. Jika hal itu berlangsung tiap tahun, Kota Padangsidimpuan akan menjadi daerah yang dikunjungi banyak orang.