Esai

Programs

Yang Kami Kerjakan

Karya Sastra

Analisis Karya

"Toelbok Haleon", Novel Sutan Pangurabaan Pane yang Menyimpan Warisan Kultural Angkola

Novel "Toelbok Haleon" ditulis Sutan Pangurabaan Pane pada tahun 1909, saat dia sering bepergian dari Muara Sipongi-Padang Sidimpuan-Ford de Kock-Sibolga. Dia seorang pengusaha di segala bidang, mulai dari pedagang hasil bumi, pedagang buku yang ditulis dan diterbitkan sendiri, sampai sebagai pengusaha transportasi. Dia memilih pekerjaan sambil bekerja sebagai guru.

Oleh Budi Hatees

Awalnya dia jadi guru di HIS Muara Sipongi, sebuah daerah yang menyebabkan istrinya selalu menderita suatu penyakit yang tak terobati. Alasan penyakit istrinya itu membuatnya pindah ke Padang Sidimpuan. Dia menjadi guru di HIS Padang Sidimpuan, tetapi kemudian dia berhenti karena bisnisnya berkembang pesat sejak novel Toelbok Haleon jadi karya yang banyak dibaca publik.
Istrinya meninggal di Padang Sidimpuan. Konon, istri Sutan Panguraban Pane yang fisiknya lemah, terkena serangan malaria. Untuk mengenang derita istrinya yang selalu sakit-sakitan, Sutan Pangurabaan Pane menamai anak terakhirnya sebagai Lafran Pane (nama yang dipinjam dari Charles Louis Alphonse Laveran, seorang ilmuwan peraih Nobel Kedokteran yang menemukan penyakit penyebab malaria).
Tahun 1909, novel Toelbok Haleon awalnya ditulis sebagai cerita bersambung di Poestaha, surat kabar berbahasa Angkola yang dikelola oleh Sutan Casayangan Harahap, seorang guru di Kweekschool Ford de Kock.
Sutan Casayangan masih kerabat Sutan Pangurabaan Pane, karena salah seorang dari anggota keluarga istri Sutan Pangurabaan Pane yang bermarga Siregar menikahi gadis bermarga Harahap di keluarga Sutan Casayangan Harahap. Mereka juga sempat satu sekolah di Kweekshool Padang Sidimpuan, tapi sekolah itu ditutup setelah wisuda terakhir. Sutan Casayangan Harahap wisudawan terakhir di Kweekschool Padang Sidimpuan. Sisa siswanya dialihkan ke Kweekschool Ford de Kock di Bukit Tinggi, dan Sutan Pangurabaan Pane salah satu yang dialihkan ke Kweekshool Ford de Kock.
Pertemanan dengan Sutan Casayangan membuat Sutan Pangurabaan Pane menekuni dunia surat kabar. Menulis novel pertamanya, "Toelbok Haleon", dan mendapat tanggapan luar biasa dari masyarakat pembaca. Tahun 1910-1930, Padang Sidimpuan merupakan kota yang ramai.
Sutan Pangurabaan Pane membuka novelnya dengan narasi sebagai berikut:
"Nada dope sadia dan sadia lolot, bonggal toe djae toe djoeloe sap toe desa na waloe, di poesot ni Tapanoeli on, na bahat pangomoan, marragam marbage-bage pandaraman. Mambege i manamboes ma halak na ro, adong na tandang mardjagal, tombal na malo majoerat ro ibana mandjalahi haredjo djoeroe toelis, adong antong na gabe djoeroe toelis ni Oelando, adong moese na gabe karani ni soedagar.
(Belum begitu lama, santer ke seluruh semesta, di pusat tanah Tapanuli, ada banyak pekerjaan dan beragam cara bisa dilakukan untuk mencari kehidupan. Mendengar cerita itu, berbondong-bondong orang datang, ada yang khusus berjualan, yang pandai baca tulis mencari pekerjaan sebagai juru tulis. Ada yang akhirnya jadi juru tulis Belanda (Oelando), ada yang jadi karani para saudagar.)
Halak na hoem saotik do sinaloanna manjoerat, tai sorana na gogo, bohina marrintop, pamatangna togos, bitisna toemboer, taoeken na lakoe ma ibana gabe mondoer. Ise na so malo di tangan hoem gogona do adong, laing dapot ibana pinomat hoem haredjo markoeli-koeli.
(Orang yang hanya sedikit kemampuannya dalam tulis baca, tapi suaranya kencang, keningnya mengkilap, badannya bertenaga, betisnya bengkak, karakter seperti itu cocok menjadi mandor. Siapa pun yang tak punya keahlian tapi hanya memiliki tenaga, tetap dapat pekerjaan meskji kerja sebagai kuli.)
Indoe, di dolok-dolok an, sian siambirang laho toe Kampoeng Toboe, di si ma djongdjong sada bagas nagodang. Moeda hoem torang sidoemadang ari manamboes ma djolma ro toe bagas i, sasadia halak Bolanda, Djao, Malajoe dohot halak hita marsibaen haredjona.
(Itu, di bukit-bukit, di sebelah kiri menuju Kampung Tobu, di situ berdiri sebuah rumah besar. Begitu hari terang, orang-orang akan riuh mendatangi rumah itu. Sebagian orang Belanda, Melayu, dan orang-orang kita akan melakukan apa saja di rumah itu).
Manamboes di si djolma na marpinfoeloen nada marsipatoe dongar-dongar sorana mandok: “Boengkoes on, momos i, porsan on, oban i!" ningna laho toedoe-toedoe toe barang na margoendalo-goendalo nadi bagas i.
(Mereka berteriak-teriak menyuruh seseorang sambil berkata: "Bungkus ini, saputi itu, pikul ini, bawa itu" sementara telunjuk menunjuk-nunjuk barang-barang yang berserakan di rumah itu.)
Dari pembukaan seperti itu, pembaca mendapat gambaran bahwa pusat Tapanuli (Keresidenan Tapanuli), yakni ibu kota Padang Sidimpuan, adalah kota dagang yang ramai dan sibuk. Kehidupan sudah menggeliat saat pagi. Orang-orang sibuk bekerja.
Frasa "Toelbok Haleon" yang dipakai Sutan Pangurabaan Pane menjadi judul novelnya, secara metaforik bermakna "jiwa yang lapar". Secara harfiah kata "toelbok" dari bahasa Angkola berarti "jiwa" dan kata "haleoin" berarti "musim kelaparan".
Di lingkungan masyarakat Angkola, masyarakat yang mendiami wilayah yang menjadi pusat dari Tanah Tapanuli (Keresidenan Tapanuli periode 1853-1905 beribukota Padang Sidimpuan), berlaku secara umum sekian banyak musim yang dikaitkan dengan tradisi bertani (padi sawah).
Ada musim "haleon" (kelaparan), "pakkuron" (bekerja), "baboon" (berutang pupuk), "boltok eme" (awal kelaparan), dan "manyabi" (panen). Musim-musim ini sangat erat kaitannya dengan sistem pengairan di pesawahan, yang mengandalakan tadah hujan, atau dalam bahasa Angkola "martahalak tu langit (ber-irigasi-kan langit)".
Musim-musim ini juga menjadi penanda waktu bagi masyarakat. Misalnya, ketika suatu komunitas masyarakat dari kampung A berkata kalau di daerah mereka sedang musim "baboon" (musim menyiangi gulma di sawah), bisa dipastikan komunitas masyarakat itu akan sulit diajak untuk urusan apa saja. Mereka akan menolak ajakan sambil berkata: "Sompit babaoon sannari (semua sempit di musim baboon ini)".
Atau, ketika "haleon" dialami suatu komunitas, bisa dibayangkan kalau setiap keluarga dalam komunitas itu hidup serbakekurangan bahan pangan. Tak ada lagi beras dan kondisi seperti itu serentak di kampung tersebut. Di masa lalu, saat "haleon", ketiadaan beras akan diganti dengan "silalat" (singkong), gadung (ubi jalar), atau umbi-ubian lainnya. Beras menjadi barang yang sangat mahal.
Pada tahun 1870-an, sejumlah kampung di Sipirok --yang merupakan wilayah Onderafdeeling di bawah pemerintahan administyratif Afdeeling Padang Sidimpuan -- pernah dilanda wabah pokken (penyakit cacar yang disebabkan virus variola). Waktu itu, pokken dianggap penyakit kutukan. Kulit seseorang yang terkena pokken akan melepuh, lalu meleleh mengeluarkan cairan yang diyakini dapat menulari orang lain.
Orang-orang sangat menderita, dikucilkan karena diduga terkena begu (hantu atau jin), dan diasingkan ke haritte (kepundan gunung berapi) di sekitar Desa Situmba agar tidak menulari orang lain. Pada masa itulah, terjadi wabah ikutan "haleon" atau musim kelaparan berkepanjangan. Wabah penyakit membuat orang tidak bisa bertani. Bahan makanan tak ada. Ubi-ubian tak ada. Keserakan di mana-mana. Perkelahian terjadi.
Sutan Pangurabaan Pane mengenangkabn peristiwa haleon itu dengan melahirkan frase "tolbok haleon" (jiwa yang kelaparan). Di dalam kata pengantar penulis (patoejolona) dari novel Toelbok Haleon, Sutabn Pangurabaan Pane menulis pesan:
".... dibaen i ma anso hoetoeget-toegeti pararat hobaran on, asa hoebaen oeloena Tolbok Haleon anso oelang magosian pangarohai ni dongan na doea toloe, mandok na masa tolbok haleon di hita on, moese anso rap tadjalahi dalan, sanga songon dia anso tolbok haleon i, niago sian tonga-tonga ni bangsonta, asa hasidoengarina mardonaon hita soede."
".... lantaran itu, aku cobausahakan pembicaraan dalam buku ini, dan aku buat judulnya Toelbok Haleon supaya para pembaca tak bertanya-tanya tentang judul ini. Toelbok Haleon ini untuk mengingatkan kepada kita semua, juga supaya kita sama-sama mencari jalan keluarnya, entah bagaiamana pun caranya, supaya tolbok haleon dihilangkan dari kehidupan kita sehari-hari dan akhirnya segala kebaikan untuk kita semua"
Aku membaca novel yang kata pengantar penulisnya ditandai dengan Padang Sidimpoean, 1 Augustus 1916. Di halaman dalam,
ditulis "Tolbok Haleon, siriaon di na tobang, sipaingot toe na poso boeloeng". Di hata Angkola, na nibaen ni Sutan Pangurabaan Pane,
guru di Padang Sidimpuan (Tolbok Haleon, hiburan bagi yang tua, nasehat bagi yang muda). Rokoman na paduahoan (cetakan kedua). Nirokom di pangarokoman ni Partopan Tapanuli (dicetak oleh percetakan Partopan Tapanuli) di Padang Sidimpuan tahun 1916.
Novel yang aku baca ini buku cetakan kedua tahun 1916. Sejak disiarkan pertama kali tahun 1909 di surat kabar PostahaPadang Sidimpuan, novel ini sudah dua kali dicetak ulang. Pertama kali diterbitkan sebagai buku, novel setebal 300 halaman ini dicetak Penerbit di Sibolga tahun 1911. Kemudian tahun 1916 memasuki cetak kedua.
Novel ini merekam watak kultur masyarakat Angkola. Bagaimana masyarakat Angkola pada masa kolonialisme Belanda, dijelaskan dengan narasi di mana ketika orang-orang Belanda hidup sebagaimana cara hidup masyarakat di padang Sidimpuan. Tiap pagi mereka bangun, lalu mencari kedai kopi, kemudian minta dibungkuskan sarapan berupa kuliner khas seperti pisang goreng, onde-onde, itak pohul-pohul, dan lain sebagainya. Mereka tidak mendapat perlakuan khusus dari pedagang, antri sebagaimana masyarakat lokal menunggu giliran dilayani pedagang.
Selain soal kehidupan sosial pada masa kolonial itu, novel Toelbok Haleon banyak melukiskan tradisi kultural masyarakat ANgkola. Misalnya, hidup mengandalkan MCK (mandi cuci kakus) di sungai atau disebut tapian. Saat di tapian, hubungan sosial terangkai. Percakapan terjadi. Persoalan krusial yang dibicarakan selalu yang berkaiotan dengan kehidupan.
Berikut salah satu adegan dalam novel.
Doeng tolap halahi toe losoeng aek i, didjama-djama Nai Lillian Lolosan ma dahanon i, bia ma na sak- sak boti hortang-hortang.
(Setelah sampai ke lesung air--ini teknologi tradisional masyarakat Angkola yaitu tempat memproduksi tepung beras-- dipegang-pegang Nai Lilian Lolosan (nai artinya ibunya Lilian Lolosan) beras di tangannya, betapa putih bersih kelihatannya.
"Eme si aha de he on maen?'' ning Nai Lilian Lolosan.
("Padi --varietas-- apa ini Maen ?" tanya Ibunya Lilian Lolosan.)
"On ma da boto ho naimboroe, erne sikopal tjino," ning marbadjoe i
(Kalau kau, inilah yang disebut padi Sikopal Chino." kata perempuan di samping ibunya Lilian Lolosan.
"Eme sikopal tjino? On dope hoebege goar ni eme na songon i. Anggo na hoeboto sipahantan do na djoemeges dahanon di Angkola on!''
("Padi Sikopal Choino? Baru ini kudengar nama padi seperti ini. Sepengetahuanku, padi yang paling bagus di Angkola ini hanya Sipahattan")
Ro aloes ni anak boroe i: „Na nitongos ni dainang do da on namboroe sian Mandailing, baen baroe simpoel manjabi halahi; tai anggo di sadoe adong dope eme na djoemeges saraga nai, goarna siboroe omas.' ning si Gandoria.
(Jawaban perempuan itu: "Yang dipesan ibuku beras ini Namboru dari Mandailing karena di sana baru saja selesai panen. Tapi, kalau di sana masih ada padi yang lebih bagus sebanyak satu raga lagi. Namanya Siboru Omas" kata si Gondoria.)
"0lo da maen, djop rohamoe na mandjagit tongosan i"'
("I ya, Maen. Senang rasanya mendapat pesannan seperti itu)
"Laing na todas do i manongos halahi lima-lima boban'', ning anak boroe i, laho dibaensa dahanon i doea soloep toe bahoel.
("Memang mereka selalu mengirim lima-lima beban", kata perempuan itu sambil memasukkan dua solup beras ke bakul.)
"Oban da namboroe dahanon on di ho, anso dai djolo sikopal tjino on," ning na marbadjoe i moese.
("Ini untuk Namboru supaya Namboru bisa menikmati beras Sikopal Chino ini," kata perempuan itu. )
"Tama ma nai da maen,'' ning Nai Lilian Lolosan laho mandjagit dahanon i dohot moga ni rohana, asa oedoer ma halahi moeli.
("Senangkali hatiku, Maen," kata Ibunya Lilian Lolosan saat menerima beras pemberian itu, kemudian mereka bersama-sama meninggalkan tempat itu.
Dari percakapan ibunya Lilian Lolosan (tokoh sentral dalam novel adalah Lilian Lolosan) dengan perempuan yang ditemui di lesung air, hubungan sosial di antara mereka sangat bagus. Si perempuan yang sebetulnya tidak mengenali ibunya Lilian Lolosan, mau membagiukan beras baru kepada ibunya Lilian Lolosan. Hubungan sosial seperti ini sangat kuat dalam masyarakat Angkola dan masih sering dijumpai.
Hubungan sosial seperti ini berasal dari adat kebiasaan masyarakat Angkola, di mana anak orang lain yang seusia dengan anak sendiri akan dianggap dan diperlakukan seakan-akan anak sendiri. begitu juga dengan seorang anak akan memperlakukan seorang ibu atau seorang ayah yang tidak dikenalnya secara pribadi sebagai orang yang sama dengan orang tuanya.
Nilai-nilai seperti ini bukan tanpa alasan disampaikan Sutan Pangurabaan pane lewat dialok tokoh-tokohnya. Sebagai seorang guru, Sutan Pangurabaan Pane tidak pernah keluar dari patronnya sebagai pengajar.
Buku tebal dan terdiri dari dua jilid ini, tak lagi dibaca masyarakat Angkola. Sangat mungkin, orang tidak tahu betapa kayanya nilai-nilai budaya Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane dalam karya-karyanya.
Nilai-nilai masyarakat Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane, bertolak belakang dengan nilai-nilai Angkola yang direkam Merari Siregar dalam Azab dan Sengsara (selanjutnya disingkat ADS) karya Azab dan Sengsara meskipun keduanya sama-sama berasal dari Sipirok. merari Siregar sangat kolonial, merekam dan memperjuangkan keinginan kolonial, membuat budaya masyarakat Angkola menjadi buruk.
Belanda lewat Balai Pustaka memilih menerbitkan Azab dan Sengsara yang berlatar-belakang budaya Angkola dan ditulis oleh Merari Siregar --anak keturunan Sutan Martuwa Raja. Bagi Belanda, masyarakat Angkola yang kuat mempertahankan budaya dan menentang kolonialisme pada dekade 1910-1930, harus dilemahkan dengan cara merusak budayanya. Belanda tidak pernah menerbitkan novel yang berlatar budaya Madailing, karena masyarakat Mandailing itu hidup sebagai bagiuan dari pemerintahan koloniual Belanda yang bekerja di pusat-pusat administrasi pemerintahan.
Sejak 1910-an, Belanda sudah berusaha menghapus masyarakat Angkola dari setiap kajian tentang Batak. Upaya itu mendapat dukungan dari masyarakat Mandailing, terutama saat terjadi kasus krusial terkait Serikat Dagang. "Pertempuran" antara masyarakat Angkola dengan masyarakat Mandailing di Medan terkait tanah pekuburan Tanah Mati, dikemas masyarakat Mandailing yang didukung kolonialisme Belanda untuk menghapus jejak kulturan masyarakat Angkola. Buku Mangaraja Ihutan tentang "Sejarah Pekuburan Tanah Mati" mengisahkan secara subyektif versi Mandailing tentang masyarakat Angkola tanpa ada pendapat (tanggapan). Dan masyarakat Mandailing melakukannya dibnantu advokat berkebangsaan Belanda.
Sebagai contoh kesesatan atau penyesatan adat Angkola oleh Merari Siregar dana Azab dan Sengsara terutama pada narasi tentang "pelarangan menikah sesama marga" yang dipahami Belanda seakan-akan pelarangan itu bermakna melarang anak mencari jodoh sendiri dan memaksa anak menikah dengan pilihan orang tuanya. Aminuddin dan Mariamin yang tak salah secara adat, dinilai keliru. Keduanya dipisahkan Merari Siregar seakan-akan persoalan kaya dan miskin itu sangat penting bagi masyarakat adat Angkola, Persoalan adat yang lebih penting bagi masyarakat Angkola apalagi pada masa novel ini ditulis.

Tentang Laki-Laki Muda Berjaket Coklat Tua

Cerpen: Febrie Hastiyanto

Laki-laki  muda berjaket coklat-tua memerlukan beberapa kejap memejamkan mata, sesaat sebelum bus Puspa Sari yang ditumpanginya memasuki Terminal Rajabasa. Angannya membual pada kenangan beberapa tahun lewat, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang gugup: pada mimpi dan cita-cita yang disemainya di kota ini. Setelah turun dari bus, laki-laki muda berjaket coklat-tua bergegas melompat ke dalam bus lain lagi, Damri trayek Terminal Rajabasa-Tanjung Karang. Tadi ia sempat mengedarkan pandang ke sekeliling terminal. Ia menggeleng kepala sendiri, menenangkan batinnya. Katanya kepada batin: menggerutu soal kesemrawutan tak baik bagi kesehatan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memilih menyandarkan kepalanya di kursi bus. Bus sejuk berpendingin udara.

Pelan-pelan Damri tengah menyusuri Jalan Z.A. Pagar Alam. Sebentar lagi Damri akan melintasi perempatan Universitas Lampung, lalu Museum Lampung lalu kampus-kampus Universitas Mitra Lampung, Kampus Darmajaya, Perguruan Teknokra juga Universitas Bandar Lampung. Memasuki bilangan Pasar Koga di Kedaton membuat mata laki-laki muda berjaket coklat-tua lebih awas lagi. Ia ingat dulu, lama sekali pernah bergiat menimba ilmu di satu lembaga bimbingan belajar. Berolah trik-trik menjawab soal UMPTN, dengan rumus-rumus praktis, jawaban tebakan—dengan sejumlah keyword tertentu. Pokoknya raih jawaban benar sebanyak-banyaknya, atur strategi passing grade jurusan yang diinginkan, tambahkan banyak doa, dan jangan lupa restu kedua orang tua. Sambil tersenyum laki-laki muda berjaket coklat-tua mengenang jalan hidupnya.

Senja mulai turun, diselimuti debu dari jalan yang cepat-cepat diperbaiki menjelang bulan puasa. Bandar Lampung cerah sore itu. Laki-laki muda berjaket coklat-tua telah melintasi tempat-tempat yang menggetarkannya. Terminal Tanjung Karang di lantai dasar Ramayana, menengok Pasar Tengah yang berjejal pertokoan, Jalan Radin Intan, masih ada Tugu Gajah, lalu Central Point, tidak ketinggalan Mal Kartini, dan tentu saja melirik Pasar Bambu Kuning dengan bangunan yang lebih segar kini dan Pasar Smep yang semakin doyong dari dalam bus. Kemudian Rumah Makan Padang di gang masuk dekat Hotel Ria.

TELUK Lampung terlihat dari tempat laki-laki muda berjaket coklat-tua duduk. Sambil merapikan kerah jaketnya, mengusir gugup, laki-laki muda berjaket coklat-tua sesungguhnya tak dapat menebak betul, garis pantai yang memisahkan laut dengan daratan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua hanya menandainya dari lampu-lampu yang berpendar dan sedikit imajinasi. Tempat makan minum itu ramai. Agak di depan, membelakangi teluk seorang biduan berambut ikal bersusah payah menarik perhatian orang yang makan minum dengan nyanyiannya. Banyak orang makan minum tak hirau, asyik dengan makan malamnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua itu memberi senyum pada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal itu tak melihatnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tetap tersenyum. Kali ini kepada dirinya sendiri.

Lampu-lampu di tempat makan minum itu tak terang. Sepertinya memang dibuat temaram. Meskipun puas memandang biduan berambut ikal dari panggung kecil membelakangi teluk, laki-laki muda berjaket coklat-tua merasa seperti orang yang mengintip. Laki-laki muda berjaket coklat-tua berlindung dalam cahaya yang samar. Biduan berambut ikal menyanyikan satu lagu yang sedang populer di radio dan televisi. Gayanya berkelas, tidak merajuk orang untuk menonton dengan syahwat. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak perlu mengernyitkan dahi untuk mengatakan biduan berambut ikal itu menarik, menarik bagi kelaki-lakiannya.

Sambil mengudap roti bakar laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang pada orang-orang yang sedang makan minum. Di depan sana, lima-enam-tujuh orang, dalam hitungan cepat melalui matanya dalam dua kejap, sedang merubung satu meja. Mereka terbahak-bahak bergembira. Seorang diantaranya meniup lilin di atas kue. Tepuk tangan terdengar riuh, lalu terbahak-bahak, kemudian menyanyi koor, kemudian terbahak lagi. Satu-dua orang punggungnya berguncang-guncang dari tempat duduk laki-laki muda berjaket coklat-tua.

Angin laut memberikan kesegaran baru di Bandar Lampung yang malam itu gerah. Laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik ke teluk, mendapati biduan berambut ikal sudah tidak menyanyi lagi. Kali ini ia merokok filter putih. Lubang-lubang asap terbentuk dari bibirnya, kemudian ia meniup kuat-kuat membuat lubang asap kehilangan bentuk menjadi kabut. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memberi senyum kepada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal tak melihat sebab temaram lampu tempat makan minum itu tertutup kabut asap rokoknya. Laki-laki muda itu kemudian tersenyum. Pura-pura tersenyum pada seorang wanita karier yang blazer-nya belepotan kue tart. Lima-enam orang di sekelilingnya terbahak-bahak.

“APA sih makna idealisme bagimu?” tanya perempuan muda berambut ikal, kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Laki-laki muda berjaket coklat-tua menjawab dengan senyum. Pandangnya diedarkan ke sekeliling meja. Perempuan muda berambut ikal menunggu dalam desah napas yang tertahan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua sedang larut dalam lelehan susu coklat kental manis di sela-sela roti bakar. Roti bakar tinggal seperempat, remah-remah keju parut terserak di meja. Mata laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik keringat pada gelas jus jambu biji. Ia memainkan sedotan, kali ini sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal.

“Apa sebab idealisme pula kau tak pernah singgah di kota ini?” lagi perempuan muda berambut ikal merajuk. Kali ini laki-laki muda berjaket coklat tua menjawab: “Tidak, bukan. Kota ini sungguh magis bagi saya,” katanya sambil membuang pandang kepada lampu-lampu di Teluk Lampung. “Saya hanya ingin tinggal di kota ini, lain tidak. Pekerjaan membuat saya harus bermukim di luar kota.” Laki-laki muda berjaket coklat-tua memainkan remah-remah keju parut di meja. “Saya selalu menghindari kota ini, karena tahu dorongan itu terlalu kuat. Saya tak ingin mengecewakan diri sendiri. Saya tak ingin ke kota ini, untuk kemudian tak mampu pergi ke lain kota. Sedang saya harus bekerja.” Kali ini matanya mengikuti rambut perempuan muda yang mengombak.

Perempuan muda berambut ikal menyeruput jus semangka. Sedikit menyesal, karena pertanyaan ini sudah ditanyakannya bertahun lewat. Tak ada yang berubah dari jawaban laki-laki berjaket coklat-tua. Perempuan muda berambut ikal menghela napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadanya. Ia merasa sedikit nyaman. Baik, baik, katanya dalam hati.

“Lalu kenapa kau sekarang ke kota ini?” tanya perempuan muda berambut ikal. Kali ini tak ada nada merajuk. Tak berguna, pikir perempuan muda berambut ikal. Laki-laki muda berjaket coklat-tua mengangguk-angguk, mengumpulkan keberaniannya. “Karena,” katanya sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal, “Saya tak ingin pergi lagi dari kota ini.” Laki-laki muda benar-benar telah mengumpulkan keberaniannya. Setelah mengatakan kalimat itu, ia tak segera membuang pandang dari mata perempuan muda berambut ikal. Perempuan muda berambut ikal justru menjadi grogi. Ia memerlukan menelan ludah untuk menenangkan diri.

“Kau akan pindah bekerja?” tanya perempuan muda hati-hati, takut dianggap merajuk. Laki-laki berjaket coklat-tua menggeleng. Katanya: “Tidak, saya akan berhenti, dan mencari kerja, atau membuat kerja di kota ini. Tabungan saya cukup untuk mengontrak rumah selama dua tahun di kota ini, dan biaya hidup satu keluarga kecil selama empat-atau-lima bulan. Kau bisa menyanyi, saya akan menulis puisi.” Perempuan muda berambut ikal cepat memotong: “Kau bisa hidup dari puisi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum. “Tidak,” katanya pelan. “Tetapi saya tidak bisa hidup bukan di kota ini.”

Laki-laki muda berjaket coklat tua memejamkan matanya. Mengumpulkan keberaniannya untuk yang lain lagi. Perempuan muda berambut ikal menunggu sambil menyeruput jus semangka di depannya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuka mata dan mengatakan kepada perempuan muda berambut ikal: “Kau sudah menikah?”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum. Ia merasa tidak ada beban. “Sudah,” katanya. “Suami saya bekerja di dealer sepeda motor. Kami belum punya anak.” Perempuan muda berambut ikal memainkan sedotan di jus semangka. “Kau kecewa?” tanyanya pelan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak menjawab. Matanya memandang lampu-lampu di Teluk Lampung. “Tidak,” katanya tanpa memandang wajah perempuan muda berambut ikal. “Sedikit,” ralatnya kemudian.

Perempuan muda berambut ikal memandang laki-laki muda berjaket coklat-tua dengan senyum. Dadanya terasa lapang. Bukan sebab dendam, bukan sebab kasihan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua kini memandang lekat mata perempuan muda berambut ikal. Mungkin untuk yang terakhir kali, batinnya.

Perempuan muda berambut ikal mengatakan sesuatu kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua, pelahan: “Kau akan meninggalkan kota ini lagi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum menghapus kekecewaannya yang sedikit tadi. “Tidak,” katanya mantap. “Saya tak bisa hidup bukan di kota ini.” Perempuan muda berambut ikal memaksakan diri tersenyum. Batinnya koyak, namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah penyebabnya. Perempuan muda berambut ikal itu bertanya lagi pada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Tanyanya, “Kau akan sering-sering ke tempat makan minum ini?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang lagi, kepada lampu-lampu di Teluk Lampung, kemudian pada remah-remah keju parut, pada keringat di gelas jus jambu biji, pada lantai yang kotor kue tart, pada asbak di pinggir meja. Katanya; “Tidak. Saya tak ingin mengganggu rumah tangga orang.”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum sambil memandang Teluk Lampung. Laki-laki muda berjaket coklat-tua juga memandang Teluk Lampung. Mereka sama-sama lega.

Slawi,  Juli 2011.

Kepada: Budi P. Hatees

Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal. 

Oleh Budi Hutasuhut | Penulis peneliti kebudayaan Batak

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage,  mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama jadi Pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 yang digelar di Kabupaten Samosir pada 14-16 September 2024 lalu. 

Ia bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra bahasa Batak,  ia  masih harus mensosialisasikan buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatra Utara. Untuk kegiatan itu,  ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengaku tidak lagi focus pada menciptakan karya baru, sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terkendala. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak tahun 2012 itu, belum mendapat respon dari pemerintah daerah,  sehingga sastra berbahasa Batak  belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam rangka melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meskipun begitu, kerja budaya yang dilakukan Saut Poltak Tambunan mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik Bahasa local itu. Ditandai dengan banyak muncul penulis baru yang menulis dalam bahasa Batak, meskipun bukan dari kalangan generasi muda.

Saut Poltak Tambunan seorang penulisan novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashady Siregar, Marga T, Mira W,  dan pengarang lainnya. Pada tahun 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak dengan mengalihbahasakan sejumlah cerpennya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi  pada 2012. 

Tahun 2015,  kumpulan cerpen Mangongkal Holi  itu membuat Saut Poltak Tambunan menerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga yang dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah,  sebelumnya hanya focus pada sastra berbahasa daerah yang ada di Pulau Jawa: Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi   menerima Hadiah Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk dalam penghargaan Hadiah Rancage. 

Namun, sastra berbahasa Batak bukan penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atyau di Pulau Sumatra. Tahun 2008,  sastra berbahasa daerah Lampung, kumpulan puisi  Mak Dawah Mak Dibingi  (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzie sudah lebih dahulu mendapat Hadiah Rancage. 

Tahun 2008, sebagai direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (alm) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam salah satu kategori pemberian Hadiah Rancage. 

Irfan Anshory yang berasal dari Lampung menyetujuinya dengan catatan,  kategori sastra berbaha Lampung akan masuk kategori Hadiah Rancage jika ada penerbitan sastra daerah berbahasa Lampung bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini, juga ditegaskan Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan,  sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, ke perguruan tinggi dan para akademisi, dan menggelar acara pelatihan menulis dalam Bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetap sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut Poltak Tambunan harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul tiap tahun. Meskipun tanggung jawab ini tidak mudah, Saut Poltak Tambunan memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan berhasil mendorong Rose Lumbantoruan untuk menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Tahun 2019, Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Bataka karya Robinson Siagian, Guru Honor, yang menerima Hadian rancage 2020. Namun, memasuki tahun 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak yang diterbitkan, dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada tahun 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul, Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah rancage 2022. Sejak itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut Poltak Tambunan kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang) yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Tahun 2023, tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tidak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan Simanjutak sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami,   Panusunan Simanjuntak menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh dari hidupnya yang sudah 75 tahun  dihabiskan di luar negeri. 

Meskipun puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami ini menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisi mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apapun. Meskipun Panusunan Simanjutaak sudah puluhan tahun mengunjungi lebih 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharain. 

Siswa dan Guru MAN 2 Padangsidimpuan Luncurkan Buku "Dari Chicago untuk Palestina"

Siswa dan Guru MAN 2 Kota Padangsidimpuan meluncurkan buku kumpulan puisi berjudul Dari Chigago untuk Palestina. Sebanyak 50 siswa kelas XII dan 5 guru mengungkapkan kesan mereka terhadap perang yang terus bergejolak, yang telah menimbulkan penderitaan bagi rakyat Palestina. 

Pada Hari Jumat, 24 Januari 2025, Zahra Nabila Siregar, siswa kelas XII MAN 2 Kota Padangsidimpuan, membacakan puisinya yang berjudul "Kisah 150 Demonstran Pro Palestina" saat peluncuran buku kumpulan puisi Siswa dan guru  MAN 2 Kota Padangsidimpuan berjudul Dari Chicago untuk Palestina di Aula Regional madrasah. Vokalnya provokatif, intonasinya ekspresif dan mengundang rasa simpati terhadap perjuangan rakyat Palestina melawan kekejaman dan kebiadaban penjajah Israel. 

"Di bawah langit yang muram dan suram 

Di jalan-jalan yang panas dan membara 

Ratusan jiwa bernaung di bawah spanduk 

Menggapai mimpi dalam gelora perjuangan"

Zahra Nabila Siregar satu dari 50 siswa kelas XII MAN 2 Kota Padangsidimpuan yang karyanya masuk dalam kumpulan puisi Dari Chicago untuk Palestina 

Ahmad Hussein Harahap, guru MAN 2 Kota Padangsidimpuan, yang menjadi guru pembina para siswa dalam menulis dan menerbitkan buku, mengatakan kegiatan penerbitan buku karya para siswa dan guru sudah diadakan sejak tahun 2023 dengan judul buku Dalam Dekap Kemenangan sebagai buku pertama kolaborasi siswa dan guru. 

“Kami bekerjasama dengan Gerakan Sekolah menulis Buku (GSMB) Nyalanesia untuk mengembangkan literasi di sekolah dengan memberikan pelatihan untuk para siswa tentang dunia kepenulisan. Menulis merupakan cara mengekspresikan diri dalam menumbuhkan kreativitas,” kata Ahmad Husein Harahap sebagai ketua koordinator tim literasi sekolah MAN 2 Padangsidimpuan.

Nyalanesia adalah startup pengembang program literasi sekolah terpadu, yang memfasilitasi siswa dan guru untuk menerbitkan buku, mendapatkan pelatihan dan sertifikasi kompetensi, serta akses pada apresiasi berbagai program unggulan Nyalanesia dalam memajukan literasi di berbagai sekolah di seluruh pelosok nusantara.

Sejak tahun 2023, Ahmad Husein Harahap menjalin kemitraan dengan Nyalanesia dalam pengembangan program literasi sekolah terpadu melalui program   Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) Nasional.

“Dalam GSMB, siswa dan guru difasilitasi untuk berkarya dan menerbitkan buku, mendapatkan pelatihan dan sertifikasi kompetensi, pendampingan pengembangan program literasi, serta kompetisi berliterasi,” katanya. 

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Padangsidimpuan Dr. H. Erwin Kelana Nasution, M.A. yang diwakili oleh Kasubbag TU Kemenag Kota Padangsidimpuan, H. Khoirun Nikmad, S.Pd.I, M.Pd., mengapresiasi peluncuran buku yang berisi karya siswa dan guru MAN 2 Kota Padangsidimpuan sebagai hal positif yang harus menjadi tradisi bagi generasi muda. 

"Tidak mudah menulis buku, tapi anak-anak MAN 2 Kota Padangsidimpuan telah melakukannya. Ini harus menginspirasi anak-anak di sekolah lain, terutama generasi muda. Buku adalah jejak yang selalu akan ada dan hadir sepanjang masa," katanya. 

H. Khoirun Nikmad senada dengan Kepala MAN 2 Padangsidimpuan, H. Lobimartua Hasibuan, SH, M.Pd. Dikatakannya, kreativitas siswa MAN 2 Kota Padangsidimpuan di bidang literasi dengan menerbitkan buku, merupakan kerja kreatif dan produktif dari seluruh pemangku kepentingan pendidik di internal MAN 2 Kota Padangsidimpuan, khususnya tim litersi sekolah yang terdiri dari Ahmad Husein Harahap, Anugerah Agung Pohan, Khoirun Nisa Nainggolan, Dinda Pratiwi, dan Nora Almaisi Harahap.  


“Guru, siswa, dan orang tua siswa pada Komite Madrasah di MAN 2 Padangsidimpuan telah bekerja sama untuk mendorong agar para siswa MAN 2 Kota Padangsidimpuan memiliki kreativitas yang layak dibanggakan,” katanya.

Sebagai Kepala MAN 2 Kota Padangsidimpuan, H. Lobimartua Hasibuan, SH, M.Pd. menekankan akan selalu mendukung kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kreativitas anak-anak didik. "Menulis buku itu luar biasa. Saya sangat mengapresiasi apa yang dihasilkan para guru dan siswa di madrasah," katanya.

Pengurus Komite MAN 2 Kota Padangsidimpuan, Gunawan Siregar, mengatakan sebagai perwakilan orang tua siswa sangat bangga atas prestasi para siswa dalam menerbitkan buku karya mereka dibantu para guru yang memiliki kompetensi dalam menulis. 

Dalam Kesempatan ini diberikan piagam penghargaan dari Nyalanesia kepada para guru dan siswa yang terdiri dari Plakat Sekolah Aktif Literasi Nasional, Kepala Sekolah Berprestasi bidang Literasi, Finalis Duta Literasi Sekolah untuk 3 siswa, dan Guru Aktif Literasi.

Cerpen: Rumapea

Semua orang memiliki ketakutan, kan? Gadis itu mengamati ketakutan orang-orang di sekitarnya. Ketakutan sudah seperti barang antik yang wajib ia koleksi. Tidak peduli orang menganggapnya aneh, tapi ia memang menyukainya. Ada banyak jenis ketakutan atau yang biasa dikenal dengan sebutan fobia di muka bumi ini. Ketakutan akan ketinggian, ular, kecoa, lift, dan beberapa lainnya termasuk membosakan. Gadis itu menyukai ketakutan yang bukan sekadar ketakutan.

Oleh: Eva Riyanty Lubis

Ibunya—Sanie—memiliki ketakutan teramat dalam ketika mendengar nama ayahnya—Lokot Lubis. Sebuah nama yang seterusnya mengingatkan ia akan kenangan-kenangan buruk kala mereka bersama. Sanie, perempuan berusia 47 tahun itu bisa menangis histeris dan meraung-raung, berubah 360 derajat dari Sanie sebelumnya. 

Tenggara, sahabat yang selalu ada untuknya. Pemuda berusia 21 tahun berambut gondrong itu merupakan mahasiswa populer di kampus. Memiliki wajah rupawan, hidung bangir, dan bibir tipis yang tidak pernah lelah untuk menampilkan senyum terbaiknya. Terutama bagi kaum hawa. Tenggara seharusnya tidak kuliah di jurusan film. Ia terlalu indah untuk bekerja di balik layar. Ia pantas menjadi bintang dan tidak seorang pun meragukan itu. Namun, pemuda itu terlalu takut. Ia bisa kelihangan kata—bahkan dirinya sendiri, ketika menjadi sorotan banyak orang. Sungguh terlalu! 

Aruni, sahabat kedua sekaligus terakhir yang ia miliki. Gadis bertubuh mungil dengan tinggi tak lebih dari 150cm. Dengan tubuh mungil itu, ia tampil menjadi gadis dengan selera fashion tinggi. Katanya hidup hanya satu kali dan tubuh mungilnya pantas memperoleh service terbaik, khususnya dalam hal fashion. Ia tahu trend fashion yang lagi hit di Korea Selatan, Jepang, New York, dan sebagainya. Tingkat percaya dirinya yang tinggi membuatnya bersinar di tengah gadis-gadis lain di kampus tersebut. Ia indah dengan segala keindahan yang ia miliki. Tapi jangan cerita cinta di hadapannya. Ia bisa lari dan menghilang dari pandanganmu. Ada banyak hal indah di muka bumi ini, tapi cinta bukan salah satunya. Ia terlampau takut untuk yang satu itu. 

Lantas bagaimana dengan gadis bermata elang itu? Tidak. Ia tidak takut pada apapun. Baginya ketidaktahuanlah yang membuat seseorang menjadi takut. Tidak ada ketakutan yang benar-benar nyata di muka bumi ini. Ia tidak mengarangnya, sebab itulah yang ia rasakan. Namun tanpa rasa takut, hidup tak akan indah. Ia butuh rasa takut dari orang-orang sekitarnya untuk membuat karya spektakuler. Kadangkala ia iri pada orang di sekitarnya akan ketakutan yang menyerang mereka. Sayangnya tombol ketakutan di otaknya telah mati. Jika tombol itu kembali bekerja, sungguh akan lebih baik. 

Ada banyak perbedaan yang mereka miliki. Tapi, perbedaan mampu membuat segalanya menjadi indah, kan? Mereka telah berbagi sukacita sejak duduk di awal bangku kuliah. Satu yang pasti, mereka bertiga tergila-gila pada film dan ingin menjadi sineas muda terbaik suatu waktu nanti. 

“Aku akan menjadi penulis skenario dan sutradara film anak-anak terbaik suatu hari nanti,” tukas Aruni mantap. 

“Nggak nyambung, kali! Harus suka anak-anak baru bisa buat film tentang mereka,” ujar Tenggara iseng. 

“Ihhh… tampilan boleh kaya gini. Tapi hatiku benar-benar mencintai bocah-bocah,” jawab Aruni penuh semangat. 

“Udah, ah! Jangan berantem! Lebih baik mikirin film buat tugas akhir. Sudah punya tema belum?” Ruma mengingatkan. 

Universitas Merdeka jurusan film merupakan kampus idaman calon sineas muda. Setiap tahunnya ada banyak siswa yang mendaftar untuk memperebutkan satu kursi. Tapi hal ini tidak mudah, kawan! Kampus ini memiliki ideologi tinggi dan tidak sembarangan dalam menerima mahasiswa. Beruntunglah bagi mereka yang berhasil menjadi bagian dari kampus ini. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk menjadi calon sineas di Universitas Merdeka adalah dengan mengirimkan video pendek buatanmu sendiri. Jadi, karyamulah yang akan berbicara akan pantas tidaknya kamu menjadi seorang sineas.

***

Rumapea Lubis, gadis berusia dua puluh dua tahun sedang duduk manis di depan televisi berukuran 36 inchi seorang diri. Malam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Baginya, masih terlalu dini untuk tidur. Queen Woo menjadi pilihannya malam ini. Sebagai calon sineas muda, ia wajib melahap banyak tontonan dengan berbagai genre. Bukan suatu masalah sebab ia mencintai film sejak kecil. Lokot—ia lebih senang memanggilnya dengan sebutan Bapak—yang mengenalkanya pada dunia ini. 

“Ruma… kamu begadang lagi?” terdengar suara Sanie yang berjalan menghampiri anak gadis semata wayangnya. 

“Biasalah, Bu,” jawab gadis berambut sebahu itu, pendek. 

“Jangan terlalu memporsir diri. Tidurlah, ini sudah larut,” ada rasa kesal pada suara wanita paruh baya itu. 

“Sebentar lagi, Bu. Ibu tidur duluan ya. Nanti Ruma nyusul.” 

“Huh! Kamu selalu seperti itu,” rungut Sanie lelah. 

Rumapea hanya seorang gadis biasa. Ia tidak memiliki banyak minat, kecuali dalam membuat film. Meskipun hingga kini belum ada film pendeknya yang berhasil meraih decak kagum dari dosen atau teman-temannya. Bagi mereka ia terlalu idealis namun tidak mampu menyampaikan keidealisan itu dengan benar. Bukan Rumapea namanya bila harus down mendengar apa kata orang di sekitarnya. Ia butuh orang lain dalam hidupnya namun ia tak harus menggantungkan diri pada mereka. Bahkan pada ibunya sekalipun. Ia telah lama belajar cara bertahan hidup dari kerasnya kehidupan. 

Sejak kecil, Rumapea hidup bergelimang harta. Semua keinginannya terpenuhi. Wajar saja, sebab Lokot merupakan sineas terbaik dengan bayaran paling mahal di Indonesia kala itu. Semua film yang ia garap berhasil box office dan memenangkan banyak penghargaan. Lokot sukses dalam karirnya. Ia menjadi sutradara dan penulis skenario populer yang selalu diagungkan namanya dalam dunia perfilman. Fokusnya adalah film tertema cinta dan keluarga. Ia mampu menulis skenario kuat, sudut pandang di luar sutradara kebanyakan, alur tak terduga, dan pemilihan aktor serta aktris terbaik yang mampu memainkan peran dengan sempurna. 

Lokot kecil adalah pemuda desa yang lahir dan dibesarkan di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Keluarganya sangat sederhana, namun ia memiliki mimpi untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. Ia harus sukses dan membuat keluarganya bangga. Sebagai putra sulung dan satu-satunya anak lelaki dari lima bersaudara, ia memikiki tanggung jawab besar untuk memberikan kesuksesan bagi keluarganya. Pertemuan dengan Sanie membuka jalannya dalam meraih mimpi. 

Sukses tidak selamanya membuatmu menjadi manusia seutuhnya. Kesuksesan itu berhasil merenggut Lokot dari istri dan putrinya. Ia lupa siapa dirinya. Ia lupa dari mana ia berasal. Ia lupa dan yang tersisa hanyalah bagaimana cara membuat film box office serta memperoleh pundi-pundi keuangan lebih banyak lagi. 

Rumah mewah, beberapa mobil berjejer rapi diparkiran, perabot yang dibeli dari luar negeri, dan segala kebutuhan duniawi dipenuhi hanya untuk menuntaskan hasratanya. Sanie mencoba mengembalikan suaminya seperti semula—sia-sia. Lokot tak lagi mengenalnya. Ia menganggap Sanie layaknya perempuan yang hanya bertugas menjaga barang-barang mahal yang telah susah payah ia dapatkan. Sanie tak bisa berkomentar apapun, apalagi mengeluarkan segala keluh di hatinya. Ia terpenjara, dikurung dalam gelimangan harta yang tidak membuatnya bahagia.             

Ruma kecil kehilangan rasa. Pertengkaran orang tua membuatnya lupa cara tertawa dan menangis. Ketika tahun terus berganti nama, pertengkaran berubah menjadi senyap. Ia antara ada dan tiada di tengah mereka. Bapak sibuk dengan karirnya, ibu sibuk dengan hatinya. Ruma membenci keduanya dan berharap ia dapat hidup normal seperti gadis seusianya—meski ia tak tahu kapan itu akan terjadi. 

Aku ingin salah satu dari mereka menghilang dari pandanganku… selamanya. 

Kalimat yang sering ia lontarkan dalam hati itu berubah nyata. Tepat pada usia Ruma yang ke-15, Lokot menghilang. Pembuatan film terbaru di salah satu pelosok di Papua berhasil membuat raga Lokot tak lagi ada. Puluhan orang telah dikerahkan, namun Lokot tak jua ditemukan. Ia hilang ditelan bumi. 

Sanie menangis sejadi-jadinya. Bukan karena ia sedih ditinggal pergi, bukan. Ia sedih karena tidak bisa mengeluarkan isi hatinya kepada lelaki itu. Ia tidak seharusnya menyimpan kesedihan seorang diri. Ia seharusnya marah, membela diri, menunjukkan kekecewaan, dan segala emosi pada Lokot. 

Sanie menangis setiap mendengar nama Lokot, bahkan ketika memikirkannya. Tentu tidak mudah menghilangkan kenangan demi kenangan di antara mereka. Ruma tahu itu. Tapi ia membenci ibunya. Mengapa harus sekarang? Mengapa ketika sosok itu telah lenyap dari pandangan? 

Menghilangnya Lokot membuat Ruma mencari tahu segala tentang ayahnya. Ia tidak mencintai lelaki itu—seperti gadis lain yang menjadikan ayahnya sebagai cinta pertama. Ia hanya ingin tahu mengapa ayahnya berubah. Mengapa film membuat ayahnya lupa pada dirinya sendiri? Adakah yang membuat ayahnya takut? Ia harus menemukan jawaban. Salah satunya dengan menjadi penerus sang ayah. Menjadi seorang sineas. 

“Tidak, Ruma! Kamu tidak boleh kuliah di sana!” pekik Sanie ketika tahu Ruma mendaftar kuliah jurusan film di Universitas Merdeka. 

“Aku ingin buat film, Bu,” jawab Ruma cepat. 

“Kamu bercanda, kan?” tanya perempuan itu sabil menyilangkan tangan di dada. Ia menatap Ruma lekat. 

“Sama sekali tidak!” 

“Oh, ayolah,” perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Wajahnya pucat seketika. 

Ruma menaikkan aslinya, “Aku tidak akan berubah seperti Bapak, kalau itu yang Ibu takutkan.” 

“Rumaa…” Sanie mulai terlihat kacau. 

“Aku akan melakukan apa yang kuinginkan, Bu. Aku tidak ingin seperti ibu yang memilih untuk berhenti acting hanya karena permintaan bapak. Itu tidak keren sama sekali. Tentu ibu juga menyesal berhenti dari dunia yang telah membesarkan nama ibu, kan?” jelas Ruma cepat lalu berlalu meninggalkan ibunya. 

Sanie histeris. Ia berteriak sekencang yang ia mampu. Kemudian dua orang perempuan berbaju putih berlari cepat menghampirinya. Salah satu dari mereka menyuntikkan cairan yang berhasil membuat Sanie lemah hingga tertidur seketika.

Padangsidimpuan, 22 Februari 2024


Eva Riyanty Lubis lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Saat ini, ia merupakan mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di UIN Syahada Padangsidimpuan, sekaligus ibu dari dua anak, Az Zuhrah Ramadhani dan Azira Henna Fatimah.  Aktif menulis sejak tahun 2012. Eva telah menghasilkan lebih dari 50 karya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Eva dapat dihubungi melalui Instagram @evariyantylubis.

 

Puisi-Puisi Am Rambe



Dongan Magodang 


Molo huingot atia sikola

Di bale-bale Anda ikut campur.

Marcarito  sanga jadi aha.

Marsiarsakan dohot martata.


Hupiltik gitar, hamu marende.

Endettaon bulung botik.

Sakong cuka padao arsak.

Dung tenggen suman marpege pege.


Molo malean, manakko manuk.

Tardapot rap mandangdangi.

Dainang ta pe ro mamotuk.

Hita marsiliginan rap mikim be.


Dao sian ipol ni mata.

Hape taraso hita na marsarak.

Ilu ni mata namarsaburan.

Taringot sude paruttungan


Siabu tu Sigalangan.

Siambirang tu Angkola Julu.

Siamun da dongan marsijalangan.

Siambirang baya pangapus ilu.


Marsarak di Dano Tao


Gogo ni ari, torang ni bulan.

Na paboahon di ari parsarakan.

Na mandok putus namar dongan.

Bahaso hita inda sahata saoloan.


Madung huboto sian na joloan.

Hita nadua songon tor dohot rura.

Donok marsitatapan.

Tai tangis di bagasan roha.


Hujagit surat nadi lehenmu.

Napaboahon nagiot marbagas.

Bia dope hubaen satolap gogoku.

Au halak napogos boti nasuada.


O, anggi boru Harahap!

Boru na kayo boti namalim.

Ilu ni mata namarsaburan.

Mangingot  janji nadung solpu.

.

Dung dilakkahon simanjojakmu.

Nadung salpu ulang diingot.

Holongi si doli pangoli.

Songon najolo  dihaholongi ho au.


Pangomo Nihalak


Madung tarida amang,  bohi nasora loja.

Ngolu-ngolu hosa, lakka-lakka tombom.

Manombo borngin nada giot  modom

Mangarimangi hamu amang  namarsikola.


Mamakkur au amang di saba ni halak.

Goreng pisang sada dilehen dongan.

Sasargut dipangan, sambola nai di hadangan.

I ma hulehen di anakku haholongan.


O ale amang nadua tolu.

Gogo ni tondi tondikku.


Di manyogot ni ari.

Hududa amang simarata.

Hututung harasak .

Pio-pio au sian parapian

Namandok: “Ucok!  Ngot bo hamu le”

“Madung jom saratus, adope!”

“Maridi bo hamu, anso kehe tu sikola!”


Saulakon gabe ma hamu jadi jolma.

Ingot ma hamu marsipoda.

Ulang gabe songon au.

Nador mamakkur saba ni halak


Sian sannari tu pudi ni ari.

Mattakkon nada be tarbuka.

Madung sursur tano parsidegean.

Masopak hayu parsigoloman.

Roma angin naso hadindingan.


Lojakki amang, balos dohot doa!


Am Rambe lahir sebagai Ahmad Mora Rambe. Alumni STKIP Tapanuli Selatan ini tinggal di Kabupaten Padanglawas Utara.

Aksara Batak Berawal dari Angkola

Makan Sutan Nasinok Harahap di Desa Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, setelah dipugar.  Di pemakaman ini jejak aksara Batak ditemukan. 

Salah satu bukti adanya peradaban manusia adalah aksara. Masyarakat Batak memiliki aksara yang disebut aksara Batak, atau aksara Tulak-Tulak.  Namun, akhir-akhir ini muncul pertanyaan tentang masyarakat Batak yang mana mengawali penggunaan aksara ini.


Oleh Ali Gusti Siregar

Sejarah peradaban manusia berdasarkan penggunaan aksara dibedakan menjadi dua, Zaman Pra-Sejarah dan Zaman Sejarah. Zaman Pra-sejarah adalah zaman ketika manusia hidup dan berkomunikasi belum mengenal tulisan (aksara), biasa dikenal dengan zaman batu (Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum). Sedangkan zaman sejarah adalah masa di mana manusia telah mengenal aksara dan menggunakannya sebagai alat berkomunikasi, di Indonesia zaman ini dikenal sebagai zaman awal masuknya agama Hindu-Budha.

Masuknya Hindu-Budha ke Indonesia datang langsung dari India, lewat jalur perdagangan. Indonesia pada zaman dahulu dikenal sebagai jalur perdagangan internasional, menghubungkan peradaban-peradaban besar di Asia via laut. Peradaban besar yang dimaksud adalah Arab, Persia, dan India di bagian Barat dan Cina di bagian Timur. Perdagangan berperan penting dalam menyebarnya manusia beserta budayanya, inilah sebabnya di Indonesia banyak pengaruh Hindu-Budha, salah satunya Aksara.

Aksara sendiri berasal dari Bahasa Sanseketa, yaitu bahasa yang berasal dari India dan bagian penting dalam peradaban Hindu-Budha di Indonesia. Menurut KBBI, aksara berarti sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. 

Sebelum aksara Latin dan Arab familiar di Nusantara terlebih dahulu masyarakat mengenal aksara Pallawa. Aksara Pallawa sendiri adalah aksara yang berasal dari India bagian Selatan, dan aksara yang menurunkan berbagi aksara di Nusantara seperti yang terdapat dalam prasasti Hindu-Budha:  Prasasti Mulawarman di Kutai sebagai prasasti tertua di Indonesia berasal dari abad 5 Masehi.

Perkembangan aksara Pallawa di Nusantara mengalami perubahan-perubahan menjadi banyak ragam aksara turunannya. Salah satunya Aksara Batak/Tulak-tulak. Terjadinya perubahan-perubahan aksara Pallawa menjadi aksara-aksara baru di Nusantara disebabkan, masyarakat penggunanya menyesuaikan dengan karkteristiknya dan kondisi lingkungannya.


Aksara Batak (Surat Batak)  adalah sebutan untuk aksara yang digunakan semua sub-etnis Batak di Sumatera Utara, sedangkan aksara Tulak-tulak adalah sebutan khusus bagi aksara yang digunakan masyarakat Angkola dan Mandailing. Dikatakan aksara Tulak-tulak karena metode penulisannya di media batu dengan cara diukir menggunakan alat pengukir yang ditulak atau didorong. 


Kata “tulak” dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti dorong. Diukir disamakan artinya dengan mendorong, karena teknik mengukir menggunakan alat yang cara pengunaannya didorong.  Kemudian aksara Tulak-tulak menggunakan media lak-lak yaitu kulit kayu ulim yang diolah membentuk kertas yang berlipat-lipat dengan tinta khusus. 

Kata “laklak”  dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti kulit kayu. Selain pada media Batu dan Laklak, aksara Tulak-tulak juga digunakan di media bambu yang dikenal dengan istilah Pustaha Bulu. Cara penulisan pada Pusataha Bulu yaitu dengan mengukir menggunakan pisau khusus kemudian diberikan warna pada ukiran aksara tersebut. 

Aksara Batak/Tulak-tulak terdiri dua bagian, yaitu “Ina ni surat” dan “Anak ni surat”. “Ina ni surat” merupakan huruf yang menjadi dasar penulisan dan semua berbunyi “A”, kecuali  huruf “I” dan “U”. “I” dan “U” dalam “Ina ni surat” sebagai huruf besar atau huruf awal kata, misal “Ina” dan “Umak”.  Sedangkan “Anak ni surat” sebagai tanda tambahan yang mengubah bunyi dari “Ina ni surat” dan berfungsi sebagai vocal Seperti “u”, “e”, “o”, dan “ng”.  

Umumnya Aksara Batak/Tulak-tulak digunakan mencatat ramuan-ramuan obat, mantra-mantra (tabar) oleh datu (sebutan masyarakat untuk orang yang memiliki kesaktian), nasehat (sipangingot),  mencatat silsilah (tarombo), juga peristiwa-peristiwa penting yang dikemas sebagai cerita lisan (turi-turian) tentang pemimpin marga atau raja adat.

Prof. Uli Kuzok dalam bukunya Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII  berpendapat aksara Batak tersebut berawal dari Selatan yang disebutnya Mandailing, kemudian masuk ke utara (Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo) dengan membandingkan susunan aksaranya dan bahasanya. 

Aksara Batak pada umumnya sama, tetapi terdapat perbedaan kecil. Aksara Tulak-tulak dinilai lebih awal karena variasi-variasi pada Aksara Tulak-tulak lebih besar dibandingkan lainya. 

Aksara Batak diklasifikasi menjadi lima varian: Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Angkola sendiri tidak dijadikan varian, karena varian Aksara Batak yang digunakan masyarakat Angkola tidak berbeda dengan aksara yang digunakan masyarakat Mandailing. 

Jika dilihat peta persebaran Aksara Batak yang dibuat Uli  Kozok, arah persebaran Aksara Batak memang dari Selatan, tetapi Selatan yang dimaksud terletak di Padang Lawas. Daerah ini  merupakan ulayat masyarakat Angkola. 

Di Padang Lawas terdapat banyak peninggalan Hindu-Budha, puluhan situs Hindu-Budha masih bisa kita saksikan: Candi Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sipamutung, Tandihat, Sangkilon, dan lainnya. Selain peninggalan berupa bangunan, peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas juga meninggalkan prasasti: Prasasti Sitopayan I dan II, Prasasti Gunung Tua, Prasasti Candi Manggis, dan lainnya. 

Dugaan awal, aksara Batak/Tulak-tulak berasal dari peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas. Lokasi Padang Lawas yang berada berdekatan dengan masyarakat pengguna aksara Batak. 

Aksara Batak adalah turunan dari Aksara Pallawa, sedangkan Aksara Pallawa banyak terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Padang Lawas.

Menurut Nasoichah, Churmatin, dan Andhifani, Wahyu Rizki,  terdapat prasasti-prasasti di Padang Lawas menggunakan aksara Sumatera Kuno dan aksara Batak. Prasasti yang beraksaras Sumatera Kuno diperkirakan berasal pada abad 11-14 Masehi   seperti Prasasti Gunung Tua (Lokanātha), Prasasti Sitopayan I dan II, dan Prasasti Bahagas.  Prasasti Gunung Tua  menggunakan dua bahasa, Sansekerta dan Melayu.  Selain itu, terdapat juga inkripsi penanggalan pada Prasasti Gunung Tua, yaitu 946 Saka. 

Prasasti Sitopayan I dan II ditemukan di Candi Sitopayan di Desa Sitopayan, Portibi, Padang Lawas Utara. Pada Prasasti Sitopayan I menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Batak Angkola maupun Mandailing, yaitu pada kata "bakas" yang diartikan rumah (bagas). Sedangkan Prasasti Sitopayan II hanya menggunakan Bahasa Melayu. 

Kata "bhagas" ada pada Prasasti Bahagas, yang ditemukan di Desa Binanga, Barumun Tengah, Padang Lawas.  Prasasti ini dijadikan sebagai batu nisan makam kuno, Sutan Bangun Hasibuan, pendiri huta (kampung) tersebut. Sama seperti Prasasti Sitopayan, Prasasti Bahagas juga menggunakan Aksara Sumatera Kuno dan Batak Angkola yaitu pada kata "Bahagas" yang berarti rumah.

Adapun prasasti beraksara Batak menurut Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki (2020) seperti Prasasti Sutan Nasinok Harahap, Prasasti Raja Soritaon, dan Prasasti Tua Sohatembalon Siregar. Ketiga prasasti tersebut terdapat pada situs makam kuno tokoh masyarakat setempat dan berbahasa Batak Angkola. Ketiga makam tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-16 Masehi. 

Selain yang diutarakan Nasoichah dan Adhifani, Daniel Perret dalam bukunya, History of Padang Lawas 2 menjelaskan, terdapat prasasti beraksara Batak lainnya di Candi Manggis, Sosa, Padang Lawas, dan hal yang mengejutkan ternyata prasasti beraksara Batak juga ditemukan di Candi Muara Takus, Riau.

Di Mandailing sendiri terdapat beberapa jejak peradaban Hindu-Budha seperti Candi Simangambat, Situs Saba Uduk di Kecamatan Siabu, Biara Dagang, Saba Biara di Pidoli Lombang, dan Situs Padang Mardia, Huta Siantar,  Panyabungan.  Tapi hanya ditemukan satu prasasti pada masa Hindu-Budha, yaitu Prasasti Sorikmarapi. Sedangkan Prasasti beraksara Batak atau Tulak-tulak sejauh ini belum ditemukan. 


Prasasti tersebut ditemukan pada Tahun 1891 Masehi di Desa Maga. Prasasti Sorikmarapi menggunakan aksara Jawa Kuno yang merupakan salah satu turunan Aksara Pallawa dan menggunakan Bahasa Melayu. Terdapat penanggalan pada prasasti tersebut yaitu 1162 Saka atau 1242 Masehi. Lokasi penemuan Prasasti Sorikmarapi tidaklah dalam kawasan percandian, tidak ditemukan di sekitarnya ada reruntuhan Candi. 


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka pendapat Prof. Uli Kuzok bahwa aksara Batak berawal dari Selatan dan posisinya Mandailing, kurang tepat. Yang lebih tepat  berawal dari peradaban Hindu-Budha di kawasan situs Padang Lawas yang tersebar di Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. 

Wilayah Mandailing menurut Pandapotan Nasution memiliki perbatasan di sebelah Utara dengan Angkola, pesisir di Barat, Minangkabau di Selatan, dan Padang Lawas di sebelah Timur.  Begitu juga Mangaraja Ihutan mengatakan, Mandailing memiliki perbatasan dengan Tanah Rao di Sibadur, Angkola di Simarongit, Natal di Linggabayu, dan Padang Bolak di Rudang Sinabur. 

Menurut Sufrin Efendi Lubis, wilayah Selatan dari Sumatera Utara meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua suku Batak: Batak Mandailing yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal dan Batak Angkola mendiami Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, dan Kota Padang Sidimpuan. 

Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, asal aksara Batak, bukanlah bagian dari Mandailing. Jadi, aksara Batak tidaklah dari Mandailing, tetapi dari Angkola. 

Referensi:

Kozok, Uli. (2009). Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki. (2020). Prasasti-Prasasti Beraksara Pasca-Pallawa: Bukti Keberagaman Di Kawasan Kepurbakalaan Padang Lawas, Sumatera Utara.  Siddhayatra Jurnal Arkeologi. Vol. 25 (1), 1-14.

Nasoichah, Churmatin. (2019). Keberadaan Prasasti Dalam Konteks Kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas, Sumatera Utara. Berkala Arkeologi Sangkhakala. Vol.21 (2), 101-115.

Perret, Daniel dan Surachman, Heddy. (2014). History of Padang Lawas II. Association Archipel.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui https://kbbi.web.id/aksara, 1 September 2020.

Nasution, Pandapotan. (2005). Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. FORKALA.

Ihutan, Mangaraja. (1926). Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing. Pewarta Deli: Medan.

Lubis, Sufrin Efendi. (2022). Agama dan Budaya: Dinamika pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Angkola di Kota Padangsidimpuan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Bandung.


Ali Gusti Siregar  lahir 30 Agustus 1996, tinggal di Kabupaten Mandailing Natal, seorang pemerhati kebudayaan yang memiliki minat terhadap sejarah budaya. Acap melakukan napaktilas ke situs-situs budaya di wilayah Kabupaten Mandailing Natal , dan merangkum perjalanannya dalam catatan-catatan yang sering disampaikan dalam diskusi-diskusi budaya.