Membaca Ulang "Penakluk Ujung Dunia" Karya Bokor Hutasuhut

Dian Maas Saputra

Oleh Dian Maas Saputra

Selesai membaca Penakluk Ujung Dunia, novel adikarya Bokor Hutasuhut, cetakan terbaru oleh Penerbit Lingkup tahun 2024, saya terpikat pada sosok Ronggur, anak muda yang bervisi maju dan meninggalkan cara berpikir tradisional yang mengikat seluruh masyatrakat di lingkungannya. Dan saya mengidentifikasi diri sebagai Ronggur – begitulah cara saya memahami setiap karya sastra yang saya baca. Lagi pula, Bokor Hutasuhut mengunakan teknik penceritaan orang ketiga yang mahatahu, dan teknik ini membuat pembaca seperti saya boleh mengidentifikasi diri di setiap tokoh yang diceritakan, atau memilih lebih tertarik pada satu tokoh yang diceritakan. 

Saya mengidentifikasi diri sebagai Ronggur, karena ia merupakan tokoh utama dalam novel ini. Ia memiliki watak keras, cenderung menentang, dan itu watak yang khas pada diri seorang anak muda yang sedang memasuki masa pertumbuhan. Secara psikologis, perkembangan emosional anak muda belum stabil. Tapi berbeda dengan Ronggur, emosionalnya stabil, karena semua keputusan yang dibuatnya, dibuat dengan penuh pertimbangan. Mungkin karena situasi dirinya, hidup tanpa keberadaan seorang ayah, sehingga ia besar dengan tuntutan keadaan harus penuh tanggung jawab dalam melakukan apa saja layaknya seorang laki-laki dalam keluarga Batak. 

Ronggur adalah orang Batak. Namanya, memakai kata “Ronggur” dari bahasa Batak, berarti “gledek” atau “guntur” dalam bahasa Indonesia. Pilihan nama itu tidak dilakukan bokor Hutasuhut tanpa sebab, melainkan untuk memberi arahan kepada pembaca bahwa karakter Ronggur mirip seperti “guntur” atau “gledek”.  “Guntur” atau “gledek” sebagai fenomena alam, kedatangannya selalu mengagetkan. Tampaknya, Bokor Hutasuhut meniatkan, sosok Ronggur adalah sosok yang keputusan-keputusannya dalam hidup akan menggemparkan atau mengagetkan. Kenyataan itulah yang saya temukan dalam pengisahan Bokor Hutasuhut tentang Ronggur. Anak muda ini, acap mengambil keputusan yang mengagetkan. 

Di awal novel, ketika semua warga wajib berkumpul di tanah lapang karena raja akan memberi pengarahan perihal tewasnya warga di tangan penduduk kampung tetangga, Ronggur menjadi satu-satunya orang yang datang belakangan. Ini menunjukkan, Ronggur bukan anak muda yang taklit dan tunduk patuh pada raja, sebagaimana sebagian besar warga langsung bergerak begitu mendengar bunyi gong pemanggil bergema. Bukan berarti Ronggur membangkang pada raja, tetapi karena cara ia berpikir memang berbeda dibandingkan rakyat kebanyakan.

Ronggur sosok yang unik karena cara berpikirnya berseberangan dengan orang banyak. Ia tidak mengkhawatirkan cara berpikirnya yang berseberangan, dan ia tidak merasa takut berseberangan dengan siapa pun. Kelak, watak Ronggur yang selalu berbeda itu, menjadi ciri khasnya. Ia hidup dengan cara berpikir berbeda, dan ia akan menikmati hasil dari sesuatu yang menurut orang lain mustahil bisa dilakukan. 

Tiba-tiba saya mencoba memikirakan apa yang ada dalam pikiran Bokor Hutasuhut ketika ia menciptakan sosok Ronggur? 

Novel Penakluk Ujung Dunia konon ditulis Bokor Hutasuhut ketika ia masih tinggal di Medan, Sumatra Utara, pada dekade 1950-an. Saat itu, Bokor Hutasuhut telah memiliki nama besar sebagai penulis cerpen, yang karya-karyanya disiarkan di sejumlah media mainstream di Medan dan Jakarta. Nama besar itu membawanya ke Jakarta, bertemu HB Jassin, dan akhirnya menjadi bagian dari dinamika perkembangan sastra di Jakarta. 

Ketika ia mulai hidup sebagai warga Jakarta, yang saat itu Jakarta sedang dalam suasana tegang akibat realitas politik pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 meninggalkan banyak persoalan terkait partai politik mana yang harus menjadi penguasa, ia memutuskan menikahi seorang gadis berasal dari Sipirok. Majalah horison, tempat Bokor Hutasuhut sering menulis karya cerpen, mengucapkan selamat atas pernikahannya. 

Pada masa demokrasi terpimpin, sosok anak-anak muda bermunculan dengan kemampuan intelektual yang berseberangan dengan tokoh-tokoh tua. Mereka muncul sebagai representasi partai-partai politik baru, membawa semangat perubahan yang luar biasa, namun kehadiran mereka banyak mendapat penolakan. Dekade 1950-an, banyak pemikiran Barat yang dikutif para politisi, lengkap dengan philosofinya, yang kemudian pemikiran-pemikiran itu doiujicoba diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Gagasan dan pemikiran asing berselewiran dalam dunia ilmu pengetahuan, yang diusung oleh intelektual Wiratmo Sukito dari kalangan sastra, Sjahrir dan  Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dari kalangan politisi,  Mohammad Hatta, Ir. Soekarno,  dan lain sebagainya. Polemik gagasan dan pemikiran sering terjadi, di mana setiap intelektual mengklaim bahwa gagasan dan pemikirannya yang paling relevan untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. 

Di sisi lain, kekuasaan politik menjadi panggung yang mesti diperebutkan untuk menguatkan gagasan dan pemikiran yang diklaim. Para elite berdebat tentang hidup mandiri tanpa campur tangan asing apalagi kolonialisme, ada yang tetap meyakini bahwa negara asing bisa dimanfaatkan untuk mempermudah urusan bangsa dan negara. Semua perdebatan itu akhirnya bermuara pada pertentangan idiologis, yang kemudian dipengaruhi oleh situasi dunia internasional yang memiliki kecendrungan untuk memiliki ‘musuh bersama” bernama idiologi komunisme. 

Para intelektual Indonesia kemudian terpolarisasi ke dalam dua pandangan ideologis. Sebagaimana realitas dunia internasional yang “anti-komunis’ akibat perang dingin Amerika Serikat yang demokratis dan Rusia yang beridiologi komunis, di mana Amerika Serikat berhasil membangun konstruksi besar sekutu yang menjamin perdamaian dunia dengan Rusia sebagai musuh bersama, berimbas terhadap realitas politik dalam negeri. Sebagian besar intelektual mendukung kampanye perdamaian dunia a la Amerika Serikat sembari mengutuk komunisme. 

Orang-orang yang dekat dengan Rusia, satu p[er satu disingkirkan dengan cap sebagai komunis yang akan memberontak. Peristiwa Madiun meledak, para elite negeri yang dianggap punya gagasan dan pemikiran berseberangan, dikait-kaitkan dengan peristiwa itu dan dicap sebagai pengkhianat. Tidak sedikit elite yang disingkirkan dengan status sebagai pengkhianat bangsa. 

Bokor Hutasuhut hidup dalam situasi politik demopkrasi terpimpin yang penuh ketegangan. Semua berawl dari cara berpikir berbeda, dan itulah barangkali yang mendorong Bokor Hutasuhut menghidupkan Ronggur sebagai sosok pemuda yang punya cara berpikir berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Dan, Ronggur, anak muda yang berpikir berbeda itu, pada akhirnya dibuang dari segala ikatan sosial karena keputusannya melawan apa yang dilarang (tabu0 dalam kehidupan tradisional masyarakat. 

Ronggur memilih meninggalkan perkampungannya, masyarakatnya, dan lepas dari segala ikatan sosiologinya. Ia mengendarai solu, melariung solu itu ke daerah terlarang karena ia yakin di ujung dunia itu ada kehidupan yang lebih layak untuk tempat hidup. Dan, ternyata, kekeraskepalaan Ronggur, yang lebih disebabkan karena keyakinannya yang kuat setelah belajar dari melihat fenomena alam, berhasil menaklukkan ujung dunia. Ia menemukan tanah baru, lahan baru, daerah baru yang cocok untuk kehidupan baru. 

Novel Penakluk Ujung Dunia berasal dari foklor yang berkembang di lingkungan masyarakat di sekitar Danau Toba, dan Bokor Hutasuhut mengemasnya sebagai cerita yang menawarkan nilai-nilai moral manusia lewat sosok-sosok toikohnya. Ronggur adalah potret anak muda Batak yang berpikir maju, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, perduli pada penderitaan orang lain, dan bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Bokor Hutasuhut seakan-akan menegaskan, karekater oprang Batak yang sesungguhnya melekat pada sosok Ronggur, yakni orang yang hidup dengan rasa holong luar biasa kepada banyak hal. 

Holong berasal dari bahasa Batak yang artinya “kasih sayang”. Namun, dalam pemahaman kultur Batak, kata “holong” menjadi semacam semangat kultur yang sering direalisasikan dengan semangat altruisme sosial dengan ungkapan “holong mangalap holong” yang artinya “perbuatan kebaikan selalu akan mendapat kebaikan”. 

Holong atau bisa juga dimaknai “rasa memiliki” atau “rasa sepenanggungan” sangat kental dalam diri Ronggur. Ia tidak memperlakukan budak sebagai budak, tetapi sebagai manusia dan memutuskan menikahinya. Ia tak menganggap musuh yang diserangnya sebagai musuh, tetapi sebagai kelompok yang terpaksa harus diserangnya karena pengetahuan tradisional yang buruik dan membenarkan adanya perang bius, dan ia menyesali telah menghancurkan komunitas masyarakat marga lain. Rasa penyesalannya ditawarkan dengan menikahi atau memerdekakan budaknya. 

Bokor Hutasuhut sukses dengan menampilkan sosok Ronggur yang merupakan representasi orang Batak. Namun, adakah orang-orang dari generasi muda hari ini yang memahami watak dan karakter Ronggur sebagai representasi orang Batak? 

Banyak pembaca novel Penakluk Ujung Dunia yang menilai Bokor Hutasuhut sebagai sastrawan yang menegaskan bahwa masalah tanah sangat penting bagi orang Batak. Tapi, sesungguhnya, tanah bagi orang Batak bukan hal yang utama. Yang terpenting bagi orang Batak adalah keutuhan bersama, kebersamaan yang diikat oleh holong, dan jika situasi itu telah terwujud, apapun dapat diraih. Rasa holong yang dimiliki Ronggur, membuatnya bisa meraih apa saja, termnasuk tanah yang akan menjadi daerah baru bagi masyarakat sosialnya. 

Tulisan ini disampaikan untuk mengikuti Festival Penulis Balige 2025.

Posting Komentar