Sejak dulu, ayah dan ibu acap perang mulut, tapi selalu berakhir dengan kehangatan. Beberapa bulan terakhir, perang mulut telah menjelma medan pertempuran yang dasyat. Akhirnya selalu sama: ibu menangis.
“Dulu ayah gak seperti itu,” kata ibu kepada Erisha.
Erisha hanya diam.
Sejak rumah menjelma medan pertempuran, Erisha banyak berubah. Teman-teman kehilangan Erisha yang dulu. Mereka menanyakan Kenapa Erisha berubah, tapi gadis 14 tahun itu tak menjawab apapun.
Erisha bukan tipe orang yang suka bercerita. Ia lebih suka menyimpan masalah, menanggungnya sendiri, dan menangis. Hampi tiap malam sebelum tidur air matanya tumpah.
*
Sepulang sekolah, Erisha mendengar suara tangisan dari arah dapur. Mengira telah terjadi sesuatu dan mengkhawatirkan hal itu, ia berlari ke arah asal suara. Ibu sedang menangis sambil memegang selembar kertas.
“Ada apa, Bu?” tanya Erisha, “apa yang terjadi?”.
“Ayahmu…!” Ibu mengisak. “Ayah menceraikan ibu.” Ibu menatap Erisha, matanya basah. “Ibu harus baggimana Erisha?”
Erisha memeluk ibu. Gadis remaja itu menangis.
Terdengar suara pintu dibuka, menyusul suara langkah kaki. Ayah muncul, langsung menghampiri ibu.
“Kamu mau cerai kan? Tanda tangani surat ini!.” Ayah ketus sambil menyodorkan pulpen.
“Sampai kapanpun kamu tetap akan menjadi pembunuh ayahku, Adrian.” Ibu mengambil pulpen dari tangan ayah, langsung menanda tangani surat di hadapannya.
“Ayah! Ibu! Ada apa?” Erisha buka mulut. “Setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi.” Erisha menangis.
“Ibu enggak mau hidup sama pembunuh yang tak tahu diri.”
“Diam kamu, Anjani!” Ayah menampar ibu.
Erisha berteriak. Ibu hanya diam memegangi pipinya yang baru saja ditampar.
“Erisha!” Ayah membentak dia menamparnya.
Ayah yang selalu lembut, tiba-tiba menamparnya. Erisha menangis, langsung memeluk ibunya.
“Kamu mau iku Ayah atau Ibu?” teriak ayah.
“Erisha sama aku. Kamu ga akan bisa ngurus dia.” Ibu semakin kuat memeluk Erisha.
“Aku enggak bertanya sama kamu, Anjani. Aku bertanya ke Erisha.”
“Aku… Aku mau sama mama.” Erisha menjawab, tapi ayah langsung pergi.
*
Setelah kejadian itu, Erisha memutuskan tidak bersekolah selama beberapa hari. Ia ingin menenangkan diri, juga harus menjaga ibunya akan pergi ke Pengadilan Agama untuk menjalankan sidang perceraian.
Ibu menangis setiap hari. Saat Erisha ikut menangis, ibunya panik dan langsung menenangkan Erisha.
Saat hari sidang perceraian tiba, Erisha memilih berada di rumah. Ibu tampak baik-baik saja. Saat Ibu melangkah keluar rumah, telepon ibu meandering. Salah seorang teman ayah menelepon ibu.
Saat bicara, tiba-tiba ibu berteriak dan mulai menangis. Erisha panik. Ia menanyakan apa yang terjadi.
“Ayah! Ayah kecelakaan.”
Erisha terhenyak.
Telepon ibu kembali mendering. Erisha merebutnya dari tangan ibu. Orang yang menghubungi ini memastikan kalau ayah meninggal karena kecelakaan saat ingin pergi ke pengadilan. Mereka meminta Erisha dan ibu ke rumah sakit untuk melihat jenazah ayah.
Dunia Erisha serasa runtuh. Ia dan ibu menangis. Beberapa saudara dating, memeluk Erisha dan ibu. Erisha menangis sesegukan. Tubuhnya melemah. Pandangannya mengabur. Segala sesuatu tiba-tiba gelap. Ia merasakan dunia berputar-putar.
Entah berapa lama, Erisha bangun dan mendapati dirinya sedang berada di sebuah restoran. Ia memperhatikan sekeliling. Ada banyak orang di sekitarnya, sedang menikmati makanan. Seorang pelayan menghampirinya, menghidangkan makanan di hadapannya. Erisha tidak mengerti apa yang terjadi. Ia bermaksud hendak bertanya kepada pelayan itu, tapi laki-laki itu pergi.
Erisha mengernyitkan dahinya. Ia tatap pesanan yang baru dihidangkan pelayan.
*
Selesai makan, Erisha meninggalkan restoran. Di luar gedung restoran, ia berpikir untuk pulang. Ia bermaksud ke pangkalan ojek. Saat ia melangkah, tiba-tiba seorang laki-laki menabraknya.
“Maaf, Mbak!” kata laki-laki itu, “aku terburu-buru mau bertemu Anjani.” Setelah meminta maaf, laki-laki itu kembali berlari seperti mengejar sesuatu.
Erisha tertawa kecil, menduga laki-laki itu terlambat dan pacarnya yang bernama Anjani sudah menunggu. Ia memperhatikan laki-laki itu berlari dan tiba-tiba Erisha merasa bahwa wajah laki-laki tersebut familiar. Tapi ia tidak terlalu memikirkannya.
Tiba di pangkalan ojek, ia minta tukang ojek mengantarkannya ke rumah sambil memberikan alamat. Tukang ojek sigap. Sepeda motor digeber. Dalam hitungan menit, mereka sampai di depan sebuah rumah.
Erisha kenal posisi rumah, tapi ia tak pernah tahu penampakan rumah begitu berbeda. Rumah yang ada di hadapannya seperti rumah mereka dulu sebelum direnovasi. Tiba-tiba Erisha tersadar akan sesuatu, lalu bertanya kepada tukang ojeknya.
“Maaf, Bang, ini tahun berapa?”
“2008…” Tukang ojek menatap heran kepada Erisha. “Hari ini tanggal 10 bulan November.”
“2008!” teriak Erisha.
“Kenapa, Neng?”
Erisha menggeleng. Ia menebar tatapan, lalu menatap tukang ojek. “Berapa, Bang?”
“Delapan ribu rupiah.”
Erisha mencari uangnya. Tidak. Ia tidak membawa uang. Erisha pucat. Ia pandangi tukang ojek, lalu menatap rumah di hadapannya. “Sebentar ya, Bang, ternyata aku gak bawa uang.” Erisha mengetuk pintu rumah.
Beberapa detik berselang, pintu rumah dibuka. Seorang laki-laki tua muncul. “Ada apa?!” tanya laki-laki tua itu. “Mau cari siapa?”
Ditanya seperti itu, Erisha tergeragap. Ia baru menyadari, laki-laki tua adalah kakeknya, ayah dari ibu. Erisha tidak pernah bertemu kakek, karena kakek meninggal sebelum Erisha dilahirkan. Tapi, tentu, ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah Erisha, putri dari Anjani. Itu jelas tidak masuk akal. Dan, tiba-tiba, Erisha menangis.
“Pak!” teriak tukang ojek. “Ia belum membayar ongkos ojeknya. Apakah Bapak yang akan membayar?”
Laki-laki tua itu menatap Erisha, lalu menatap tukang ojek: “Ya! Berapa?”
“Delapan ribu, Pak.”
Laki-laki tua itu memberikan uang kepada tukang ojek. Setelah tukang ojek pergi, laki-laki trua itu menghampiri Erisha. “Kamu siapa? Ada apa ke sini? Kenapa menangis?”
“Anu….” Erisha berusaha mengarang cerita. “Begini, Pak, aku kawan Anjani. Aku mau bertemu dia.”
“O, kawan Anjani. Kenapa gak bilang dari tadi.” Laki-laki tua itu mengajak Erisha masuk. “Tapi Anjani sedang di luar.”
“Maaf, Pak, aku sudah merepotkan. Aku sudah lama enggak ketemu Anjani. Waktu aku sampai, aku baru sadar ternyata dompetku jatuh entah di mana, jadi aku nangis, Pak.”
“Enggak apa-apa. Tapi Anjani gak ada di rumah. Dia lagi pergi sama pacarnya.”
“Pacarnya?! Apakah Adrian?” Erisha menyebut nama ayah.
“Iya . Nak Adrian itu orangnya baik sekali.”
Erisha tersenyum mendengar ucapan itu.
“Apa Bapak mau pergi?” tanya Erisha. “Kalau tidak keberatan, aku akan menunggu Anjani di sini.”
“Rencananya saya memang mau keluar, tapi … karena kau ada, mana mungkin saya membiarkanmyu sendirian di sini.”
“Saya bisa menunggu Anjani di luar.”
“Ah, tidak. Saya tidak jadi pergi. Tidak lama lagi Anjani akan kembali. Kita sama-sama menunggunya.”
Dan benar, beberapa menit kemudian telepon lakiu-laki tua itu meandering.
“Tuh kan, Anjani menelepon,” katanya.
Laki-laki
tua menjawab telepon, ternyata dari Andrian. Ia menanyakan apakah laki-laki tua
itu berencana hendak pergi dengan mobilnya. “Kalau bisa, jangan dulu pakai
mobil itu, Pak,” kata Andrian, “saya lupa memberi tahu kalau rem mobil Bapak
rusak.”
“Rusak!?”
“Ya. Saya akan ke sana bersama Anjani untuk memperbaiki mobil itu.”
Mobil!? pikir Erisha. Ia ingat, ibu pernah cerita tentang kecelakaan yang merengut nyawa kakek karena rem mobil yang rusak. Tiba-tiba kepala Erisha terasa pusing. Dunia berputar-putar. Segala sesuatu kemudian gelap. Erisha tidak tahu apa yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, Erisha membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Ia bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar di sisi tempat tidur.
Erisha mendengar suara riuh di luar kamar seperti ada orang yang menggelar pesta. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
“Hei, cucuku!” teriak laki-laki tua. “Bangunnya kok kesiangan?”
Erisha kaget. Ia melihat kakek, ayah, dan ibu. Ayah bangkit dan menghampiri Erisha ke pintu kamarnya, lalu membawa Erisha menghampiri kakek.
“Sudah dari tadi kakek dating untuk bertemu Erisha. Kakek melarang ayah membangunkan Erisha,” kata ayah.
“Apa yang terjadi?” tanya Erisha.
Ditanya Seperti itu, ayah dan ibu saling pandang. Kakek bangkit dari kursi, memeluk Erisha. “Kakek kangen, itu yang terjadi,” kata kakek.
Erisha menatap ayah dan ibu, lalu memmpererat pelukannya pada tubuh kakek.
“Erisha juga kangen sama kakek,” kata Erisha.
Qhesyila Eina Davinadzra lahir di Padangsidimpuan, 26 September 2010. Siswi kelas IX di SMP Negeri 1 Padangsidimpuan. Hobi membaca. Cita-cita adalah menjadi seorang dokter.
Posting Komentar