Raudal Tanjung Banua, salah satu penyair Indonesia yang kerap melakukan perjalanan, baik karena kepentingan untuk memenuhi undangan sebagai pembicara dalam aktivitas berkesenian di berbagai daerah maupun sebagai seorang yang selalu terobsesi untuk tahu lebih banyak tahu tentang semua tempat yang ada di Indonesia. Setiap kali usai melakukan perjalanan, ia akan merekam apa yang ia lihat dalam karyanya, baik puisi, cerpen, maupun esai catatan perjalanan.
Oleh Budi Hatees
Baru-baru
ini buku puisi terbarunya, Jejak Lintasan, diterbitkan Penerbit Akar Indonesia
pada bulan Oktober 2024. Buku dengan sampul yang dirancang Nur Wahida Idris ini
menampilkan gambar seekor harimau berjalan pada sebuah garis berwarna hitam.
Dalam pengantar buku, Raudal Tanjung Banua berkisah tentang kebiasaan harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di kampung halamannya, di sebuah desa
dalam kawasan hutan hujan tropika Sumatra, habitat hewan langka yang oleh
masyarakat lokal di Minangkabau disebut inyeak balang.
Harimau Sumatra jantan memiliki daya jelajah 50 km per segi dalam sehari. Ia berjalan mencari mangsa, pada tiap tempat ia menandai titik-titik tertentu dengan air kencingnya. Sekali-sekali ia meninggalkan bekas cakaran pada batang phon atau tempat-tempat tertentu. Ia tidak sedang mengasah cakarnya, tapi itu penanda bagi harimau lain, bahwa daerah tersebut sudah ada penguasanya. Seakan-akan sudah ada kesepakatan, tidak ada dua harimau dalam satu areal berdiameter 50 km per segi.
Jalur yang dilalui harimau selalu pada titik yang sama. Jejak kakinya penuh di jalur itu. Jika ditelusuri, jalur itu membentuk siklus yang melingkar. Lingkaran itu menjadi semacam pagar, tanda daerah yang dilingkari ada penguasanya.
Di dalam lingkaran yang terbangun, segala sesuatu berada dalam kekuasaan harimau. Terutama hewan-hewan calon mangsanya. Tidak ada mahluk lain yang boleh mengambil hewan-hewan buruannya itu. Tidak terkecuali manusia, atau para pemburu.
Jika siklus itu terganggu, seperti yang dilakukan Wak Katok dalam novel Harimau Harimau karya Mochtar Lubis, yang membunuh rusa di dalam siklus jelajah wilayah harimau, maka berakibat mengubah harimau itu jadi mimpi buruk bagi para pencari getah damar tersebut.
Raudal Tanjung Banua jelas bukan harimau, meskipun ia melakukan perjalanan dalam proses kreatifnya, sama seperti harimau selalu menjelajah dalam siklus 50 km per segi per hari. Proses berjalan yang dilakukan harimau mengguatkan eksistensi dirinya sebagai si raja hutan. Sementara Raudal Tanjung Banua menjadikan proses berjalan atau berkunjung ke berbagai tempat yang ada di Indonesia untuk menguatkan eksistensinya sebagai penyair dengan menghasilkan puisi-puisi baru tentang tempat yang baru dikunjunginya.
Suatu hari, beberapa tahun lalu, Raudal Tanjung Banua berkunjung ke Sumatra Utara, melintasi jalur lintas Barat di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra. Ketika ia berada di Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara, ia menghubungi saya lewat telepon genggam dan bertanya di mana posisi saya.
Saya tinggal di Kota Padangsidimpuan, 120 km dari Kecamatan Natal ke arah Utara, tepatnya di luar wilayah Kabupaten Mandailing Natal. “Saya sedang di Natal,” kata Raudal.
Saya minta Raudal singgah ke Kota Padangsidimpuan. Raudal mengaku belum bisa membagi waktu, lalu berjanji suatu hari ia akan sampai di Kota Padangsidimpuan. Selesai Raudal menutup telepon, saya dihubungi penyair May Moon Nasution, penduduk asli di Kecamatan Natal, dan ia memberitahu kalau Raudal Tanjung banua sedang berada di Kecamatan Natal dan berencana hendak ke Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Natal dan Barus berada dalam satu garis pantai Barat Pulau Sumatra. Saya tak perlu bertanya apa tujuan Raudal melintasi jalur itu, karena saya mengenal betul bagaimana ia berproses kreatif dalam menghasilkan karya sastra. Ia membutuhkan perjalanan, memperluas wawasan, dan mencerap lebih banyak hal dari apa yang ia lihat dibandingkan apa yang mampu diserap penduduk yang ada di daerah itu.
Sebagaimana saya bayangkan, Raudal akan menghasilkan puisi tentang perjalanannya melintasi pantai Barat Pulau Sumatra, dan, benar, sebuah puisinya berjudul “Natal Raya” muncul di Kalam Sastra (https://kalamsastra.id/dwimingguan/natal-raya): Arus Batang Angkola dan Batang Toru terus mengalir berliku/mencari muara dan samudra biru,/sebagian melimpah penuh haru/di danau dan rawa-rawa Siais./Tapi di pesisir juga semuanya berakhir,/di bandar-bandar pelabuhan lama/yang perlahan telah melipat benderanya:/o, Natal Raya, Ranah Nan Data!
Puisi berjudul “Natal Raya” ini tidak ditemukan dalam buku puisi terbaru Raudal. Namun, proses kelahiran puisi “Natal Raya” yang diawali dengan perjalanan Raudal melintasi di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra, juga dilakoninya dalam menulis delapan puluhan puisi dalam buku Jejak Lintasan ini.
Setiap puisi tidak langsung selesai ketika perjalanan berlangsung. Puisi-puisi ini terlebih dahulu mengalami pengendapan, bisa sampai bertahun-tahun. Menulis puisi bagi Raudal, sepertinya, bukan pekerjaan yang mudah dan bisa langsung selesai. Sebuah puisi baginya adalah sebuah proses panjang, memakan waktu hingga bertahun-tahun, juga, ini yang terpenting, memakan biaya yang mahal. Raudal membutuhkan mengunjungi tempat-tempat yang menjadi subjek dalam puisinya.
Ide puisi-puisi dalam buku ini sudah ia miliki pada 2004 sampai 2018, terlihat pada titimangsa setiap puisi. Sebelum menulis sebuah puisi, Raudal mengawali dengan ide dasar, lalu melakukan kunjungan ke subjek yang ingin digarap dalam puisi. Kemudian ia melakukan pematangan, menambah referensi lewat literatur, dan terus berkarya menghasilkan puisi dari subjek yang digarapnya.
Menulis puisi menjadi proyek yang serius bagi Raudal—semestinya seorang penyair seperti itu – dan ia membutuhkan satu sampai dua tahun untuk mematangkan ide awalnya menjadi sebuah puisi. Proses pematangan ini tentunya bukan proses yang mudah. Ia tidak langsung jadi tetapi harus jadi sebagai puisi.
Dan, mungkin, ada banyak ide menulis puisi yang akhirnya tidak jadi apapun. Pasalnya, subjek yang dibicarakan dalam puisi berada di tempat yang jauh, dan Raudal tidak punya kebiasaan menulis sesuatu tak pernah didatanginya. Ia bisa saja mencari referensi tambahan dari literatur tentang subjek puisinya, tapi Raudal bukan penyair yang banyak mengandalkan imajinasi.
Raudal sorang realis, seperti seorang fotografer dengan kamera di tangan, ia memindahkan subjek ke dalam puisinya, tetapi ia tidak bicara tentang apa yang ia lihat melainkan apa yang ia serap.
Apa yang dilakukan Raudal dalam proses kreatifnya, mengandung resiko yang fatal. Ada kalanya, Raudal hanya menyerap pada tingkat permukaan, apa yang hanya ia lihat sekilas dalam perjalanannya. Misalnya dalam puisi “Dolok Sanggul, Malam” (Hal.105), yang menceritakan subjek Kota Dolok Sanggul, ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
Kota Dolok Sanggul berada di kabupaten yang melahirkan penyair Sitor Situmorang dan Saut Situmorang, juga menjadi daerah awal peradaban manusia setelah Gunung Toba Meletus dan menjelma Danau Toba. Dari pantai-pantai Danau Toba, Sitor Situmorang melahirkan banyak puisi yang mensejajarkannya ke dalam deretan penyair kuat di Indonesia.
Raudal hanya memotret Kota Dolok Sanggul, yang, mungkin, kebetulan sedang singgah di sana, pada suatu malam, di sebuah rumah makan. Adegan di rumah makan itu, ketika sopir angkutan umum bercerita dipalak (dimintai uang) oleh orang lain, bukan sesuatu yang hanya ada di Dolok Sanggul. Pemalakan terhadap sopir, ada di mana-mana di negeri ini.
Di Dolok Sanggul, ada banyak hal yang tidak ada di mana-mana. Kota ini, pada masa kolonialisme, menjadi daerah alternatif pemasok budak (kuli) ke perkebunan tembakau di Deliserdang ketika kuli dari Tionghoa, India, dan Jawa sering berulah dan tidak patuh pada mandor. Literatur tentang Dolok Sanggul memang sangat minim. Raudal tidak bersentuhan dengan referensi yang minim itu, maka ia hanya memotret apa yang ia lihat saja di Dolok Sanggul.
Pada
dasarnya, sebagian besar puisi Raudal dalam buku ini, memainkan fungsi
fotografis dari kata. Raudal memotret tempat-tempat yang dikunjunginya, dan
kita yang membaca menjadi tahu, tempat yang kita anggap sangat biasa di daerah
kita karena terlalu sering melihatnya, ternyata memiliki khazanah sejarah yang
luar biasa. Raudal memberitahu pembaca, bahwa semua tempat punya cerita yang
luar biasa. *
Posting Komentar