Cerpen: Intimidasi

Keringatku bercucuran. Berulang-ulang aku diintimidasi di depan kelas.

“Luna! Selesaikan! Jangan hanya melongo di depan papan tulis. Hayo! Berapa jawabannya? Hanya tinggal sedikit saja, kau tidak bisa? -7 + 12 berapa?” Bu Rini mencecarku.

“Negatif sembilan belas, Bu!” aku menjawab lirih. 

“Luna! Kau benar-benar murid payah! Tidak tahu apa-apa! Sudah berulang kali Ibu bilang kalau positifnya lebih besar daripada negatifnya. Dikurangkan saja! Jangan kau tambahkan! Pakai tanda negatif lagi! Iya kau memang sudah negatif, gila!” 

Aku hampir menangis di depan kelas. Kata-kata Bu Rini menyayatku, meninggalkan bekas yang perih di hati. Mata seisi kelas tertuju padaku. Aku merasa sedang diadili dan tak bisa membela diri.  Sebagian dari mereka tertawa, lainnya melihatku dengan sorot mata iba. 

Aku hanya mampu menunduk. 

“Duduk!” Bu Rini Beliau memerintah. 

Pelipis dan tanganku basah. Aku  merasakan ketegangan luar biasa. Aku benci Bu Rini.  Aku tidak akan pernah melupakan kata-katanya.

***

Bu Rini adalah wali kelas kami. Beliau tinggi, berkacamata, dan kurus. Beliau mengajarkan matematika.  Beliau sangat suka mengatur dan mempermalukan muridnya di depan murid-murid lain. Mengatakan muridnya bodoh, gila, atau payah, sudah biasa baginya. Mulutnya tajam. 

Daripada berurusan dengan Beliau, lebih baik menjadi murid biasa-biasa saja dan tidak menonjol. Kalau kau menonjol, kau akan selalu diperintah untuk membantunya seperti mengoreksi hasil ujian, mendekorasi kelas jika ada acara, bahkan, jika ada hajatan di rumahnya, Beliau tidak segan-segan meminta siswa -siswi baik budi dan berprestasi  untuk membantu di rumahnya.

Namun, bila kau tidak berprestasi, kau akan sering dijadikan sasaran emosinya. Kau akan dikatakan bodoh, gila, atau payah. Semua kata yang membuat hatimu sakit.  Seperti yang aku alami. Aku selalu jadi sasaran Beliau untuk diajari di depan kelas, dan itu membuatku malu luar biasa.

“Luna! Kau piket hari ini?” kata Bu Rini ketika aku lewat di depan Beliau yang sedang memarkirkan sepeda motornya. 

“Iya, Bu!” jawabku. 

Aku ingin segera berlari ke kelas.

“Kau, hari ini bersihkan WC guru yah!”

“Ba... baik, Bu!" Aku tidak bisa menolak. Dalam hati menggerutu. Kamar mandi guru memang tidak bau seperti kamar mandi siswa, tapi tetap saja menyikat kamar mandi itu pekerjaan yang paling dihindari siswa. 

Aku menyikat lantai keramiknya dengan wajah berkerut. Berharap pekerjaan ini cepat selesai. Setelah kusikat, kusiram bersih.

“Luna! Udah siap?” 

“Iya, Bu!”

“Ok! Sekarang kamu mencabut rumput di taman depan kantor guru ya, Luna! Mari ikut Ibu!” 

Lagi-lagi aku tidak bisa menolak. Aku ingin ke kelas saja menyapu.  Aku menjerit dalam hati.

Seusai menyelesaikan semua perintah Bu Rini, aku bermaksud ke ruang guru untuk mengembalikan peralatan yang aku pakai. Saat itulah aku mendengar para guru sedang membicarakanku. Aku urungkan masuk, berdiri di depan ruang guru.

“Luna anak yang rumit dalam belajar. Dia tidak tahu apa-apa. Berulang kali dia tidak lulus pelajaran Bahasa Inggris,” kata Bu Sarah, guru Bahasa Inggris

“Dia itu siswa yang payah! Pelajaran IPA juga dia tidak lulus. Saya tidak bisa memberikan lulus padanya Bu.” Suara Pak Yanto, guru IPA.

“Pelajaran Pkn juga dia gagal. Berat rasanya membuat anak ini lulus!” suara Pak Ryan, guru Pkn.

“Dia pintar menari kok, Bu. Dalam pelajaran seni tari, dia aktif berpartisipasi.”  Aku dengar suara Bu Maya, guru kesenian. 

Aku terpaku mendengar semua pembicaraan itu dan aku merasa diriku sangat buruk

“Bapak, Ibu, saya tahu Luna murid saya itu memang payah dalam belajar. Di dalam pelajaran matematika juga dia selalu gagal." Aku dengar suara Bu Rini. "Saya mengerti perasaan Bapak dan Ibu dalam mendidik Luna. Dia juga suka bercerita saat saya menjelaskan, mungkin Bapak dan Ibu juga mengalaminya. Luna memang murid yang sedikit sulit untuk dididik, tapi bisakah Bapak dan Ibu meluluskan nilainya?"

Bu Rini diam. Aku menunggu kalimat berikutnya.  

"Saya harap itu tidak batas lulus, setidaknya satu atau dua di atas batas lulus. Bisakah? Saya sangat berharap kebijakan Bapak dan Ibu untuk memberi anak itu kesempatan. Jangan langsung kita hakimi?” 

Aku berlari dari pintu kantor guru. Aku menuju kamar mandi. Air mataku menetes. Bu Rini, guru yang kubenci setengah mati karena selalu memarahiku, ternyata membelaku. 

“Tok tok tok! Ada orang di kamar mandi?” suara seorang siswi terdengar di luar. 

Aku segera menyeka air mataku dan keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba aku mendengar suara Bu Rini memanggilku yang hendak kembali ke kantor guru mengembalikan cangkul dan gunting rumput yang baru aku pakai.

“Luna! Kau di mana dari tadi? Jam sudah masuk, ke mana kau bawa-bawa gunting rumput dan cangkul itu? Masukkan ke tempatnya dan masuk ke kelas secepatnya!” 

“Baik, Bu!” Kali ini tidak ada rasa keberatan terhadap apa yang diperintah Bu Rini. Walaupun nadanya kasar, aku sama sekali tidak tersinggung. 

***

“Anak-anak, sebentar lagi ujian semester di depan mata, Ibu harap Kalian dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tingkatkan nilai Kalian. Jangan jadi orang bodoh selamanya. Jangan gila dan jangan payah. Masih ada kesempatan. Meskipun berulang kali gagal, akan selalu ada harapan untuk bernilai lebih baik lagi. Bagi yang sudah bagus nilainya, jangan lengah dan jangan sombong. Tetaplah rendah hati dan terus belajar. Bersifatlah seperti ilmu padi yang semakin berisi semakin merunduk.” 

Semua murid mengangguk atas nasihat Bu Rini. Aku terdiam. Aku yang biasanya di awal pelajaran saja sudah seperti cacing kepanasan, kali ini melihat, memperhatikan, dan mendengar apa kata Bu Rini dengan seksama.

“Baiklah!" pikirku. "Jangan bodoh, payah, atau gila!” Tiga kata ini kucamkan dalam benakku baik-baik. 

Malam sebelum ujian aku benar-benar membaca, belajar, meskipun sulit aku memahaminya dan otakku hampir gila malam itu. Aku usahakan memahami yang kutulis, membaca buku paket yang diberikan sekolah yang dipinjam dari perpustakaan, ditambah membahas soal-soal dari aplikasi di gawaiku. 

Aku berharap akan lebih mudah untuk ujian semester. Meskipun aku dikatakan Pak Yanto tidak pernah lulus dalam ujian harian IPA, kali ini aku harus lulus. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin dengan kemampuanku. Tapi, aku harus berusaha. Jangan sampai aku menyia-nyiakan usaha Bu Rini dalam membelaku di hadapan para guru.

Jujur, yang dikatakan hampir semua guru mengenaiku, memukul batinku dengan telak. Apa yang dikatakan Bu Rini, perkataan kasar itu memang menyakitkan. Tapi, kalau selamanya bodoh, payah, atau gila dalam belajar, hal itu ternyata lebih menyakitkan. Jadi, aku putuskan untuk keluar dari tiga kata mengerikan itu. Aku harus keluar dari kata bodoh, payah, atau gila.

“Rika, minjam buku catatan Bahasa Inggris dong! Aku beberapa hari tidak mencatat, aku ingin mempelajarinya., atau aku fotokan saja yah!”

“Baiklah! Ini, Lun! Kau sepertinya peduli kali ini yah?” 

Aku hanya bisa tersenyum tipis dan menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Oh, jadi selama ini aku tidak peduli yah? kataku dalam hati. Dan, siang itu aku juga mendekati Arif. Dia siswa yang paling pintar matematik di kelas kami. 

“Rif, aku mau minta tolong. Boleh tidak?” 

Arif menatapku, aku tahu dia berpikir aku tidak seperti biasanya.

“Apa itu, Lun? Selagi mampu aku bantu....” Arif mengambil botol minumnya dan perlahan meminumnya.

“Aku ingin diajari matematika sepulang sekolah, aku boleh ke rumahmu atau kita ambil waktu ke café sebelum pulang sekolah. Aku yang traktir bagaimana?” 

Hampir saja Arif tersedak. Dia menghentikan minumnya dan menatap ke arahku. 

“Maaf, sepertinya aku tidak punya waktu mengajarimu.” Dia bergegas menyusun bukunya hendak pulang.

“Tolonglah,  Rif, aku minta tolong?” Aku bersikeras menghalangi jalannya.  

Dia tidak menjawab dan berlalu. Tapi aku tidak kehabisan akal. Aku harus bisa lulus. Dalam waktu dua setengah bulan setelah mid semester.

Malam hari, aku menghubungi Arif lewat pesan chat:  “Rif, please bantulah untuk menjawab soal matematika ini.” Aku memotokan soal itu dan mengirimkannya. 

Lama tidak dibaca, aku memutuskan mempelajari materi persamaan kuadrat. Materi ini membuatku setengah mati dan hampir gila memikirkannya. Dibaca berapa kalipun aku tetap tidak paham. Akhirnya aku memutuskan untuk membuka you tube, menonton video pembelajaran mengenai materi ini. 

Jelas-jelas Arif  beberapa kali menolakku saat kukirimkan beberapa soal yang tidak aku mengerti dan telah kucari lewat google juga penjelasannya belum membuatku paham. Aku hampir saja putus asa, saat aku mndapat balasan dari Arif. Dia menjawab segala permasalahan yang kutanyakan mengenai pengurangan bilangan bulat positif dan negative. Aku senang sekali. Aku berulang kali mengucapkan terimakasih padanya. 

“Iya, sama-sama, Lun. Mudah-mudahan nilaimu naik. Entah angin apa yang membuatmu berubah, Lun. Biasanya kau tidak peduli.” 

Kata-kata Arif terakhir cukup menusukku. Persis seperti yang dikatakan Rika, si ahli Bahasa Inggris di kelas IX-1 . 

Ujian pun tiba. Aku bersemangat dan juga gugup kali ini. Aku tidak pernah segugup ini dalam ujian. Namun, aku sangat berharap, nilaiku naik. Tidak seperti bulan-bulan sebelum ujian. Tidak seperti yang dikatakan guru-guru di ruang guru itu. 

Saat ujian berlangsung, hari pertama hingga hari terakhir, aku mencoba mengerjakannya dengan tenang. Berharap hal yang kupelajari dalam waktu singkat itu akan berguna. Berharap aku tidak bodoh, gila, atau payah. 

Pagi itu setelah selesai ujian, Bu Rini memasuki ruangan kelas. Ada yang berbeda dengan Beliau. Ada senyuman di wajah Bu Rini. 

“Anak-anak, Ibu sangat bangga pada Kalian. Nilai Kalian meningkat jauh dibandingkan saat ujian sebelumnya." Bu Rini diam, mengembangkan senyum. "Ada seseorang di antara Kalian yang perubahannya cukup drastis untuk pelajaran matematika.” 

Bu Rini kemudian membagikan lembar jawaban matematika yang sudah dinilai. Arif tetap mendapatkan nilai tertinggi di kelas untuk matematika. Dia memang dewanya di matematika. Dia begitu sumringah dan senang melihat nilainya dan aku masih harap-harap cemas menanti namaku dipanggil Bu Rini.

“Luna Cecilia!” 

Aku terkesiap dan langsung berdiri. Aku meraih kertas itu dan belum berani melihat nilaiku. Aku putuskan untuk melihatnya saat aku duduk di kursi. Namun, aku belum sempat duduk di kursiku terdengar suara dari Bu Rini.

“Anak-anak, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Meskipun sulit, jika punya tekat, kamu pasti bisa. Untuk ujian kali ini, Ibu sangat bangga terhadap seorang siswi Ibu. Dua setengah bulan lalu, Ibu masih mengatakan dia payah, bodoh, atau gila. Kali ini, saat Ibu memeriksa kertas ulangannya. Ibu berulang kali kagum. Dia pasti telah belajar sungguh-sungguh selama dua setengah bulan terakhir ini. Selamat untuk Luna Cecilia. Peraih nilai tertinggi kedua matematika. Dengan nilai 99.” 

Aku terkesiap mendengar apa yang baru saja dikatakan Bu Rini. Semua mata tertuju padaku. Aku menangis. Aku dapat nilai 99!? Hanya satu poin di bawah Arif? Aku mendapat peringkat kedua tertinggi? Itu seperti mimpi.

Satu-per satu nilai ujian mata pelajaranku keluar:  IPA, Bahasa Inggris, kesenian, PKn, olahraga, agama, dan nilai muatan lokal. 

“Peraih nilai tertinggi IPA diraih Luna Cecilia.” Pak Yanto mengumumkan itu di kelas. Lagi-lagi, semua mata tertuju padaku. Aku menyadari tatapan Pak Yanto padaku kini berubah. Aku bukan siswa yang payah lagi dan membuat Beliau hampir gila karena aku. 

“Nak! Bapak bangga padamu.” kata Pak Yanto.

“Inilah contoh siswi yang baik anak-anak. Kalian tahu Luna saat Ujian Tengah Semester tidak lulus pelajaran apapun kecuali kesenian. Sekarang ia banyak perubahan. Itu hal yang luar biasa. Jika Kalian sungguh-sungguh, pasti mendapat. Contohlah Luna Cecilia yang dapat berubah ke arah yang lebih baik.” 

Untuk sekejap, aku kembali mengingat kata-kata yang kudengar di ruang guru dari Pak Yanto mengenai diriku. Kali ini, dia berbalik memujiku. Ternyata pintar itu melegakan. 


BIODATA PENULIS

Rizki Muliani Nasution lahir di Kota Padangsidimpuan, 16 September 1992. Ia seorang pengajar bimbel dan seorang ibu rumah tangga. Ia sangat menyukai dunia fiksi dan nonfiksi. 

Penyuka drama Korea ini telah menulis novel Cinta Untuk Ayah dan Menikahlah dan Menjadi Pasangan yang Berbahagia.

Ia dapat diajak untuk diskusi dan dihubungi di Istagram: @rmuliani, Facebook : rizki muliani.

Posting Komentar