Kritik

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal. 

Oleh Budi Hutasuhut | Penulis peneliti kebudayaan Batak

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage,  mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama jadi Pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 yang digelar di Kabupaten Samosir pada 14-16 September 2024 lalu. 

Ia bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra bahasa Batak,  ia  masih harus mensosialisasikan buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatra Utara. Untuk kegiatan itu,  ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengaku tidak lagi focus pada menciptakan karya baru, sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terkendala. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak tahun 2012 itu, belum mendapat respon dari pemerintah daerah,  sehingga sastra berbahasa Batak  belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam rangka melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meskipun begitu, kerja budaya yang dilakukan Saut Poltak Tambunan mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik Bahasa local itu. Ditandai dengan banyak muncul penulis baru yang menulis dalam bahasa Batak, meskipun bukan dari kalangan generasi muda.

Saut Poltak Tambunan seorang penulisan novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashady Siregar, Marga T, Mira W,  dan pengarang lainnya. Pada tahun 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak dengan mengalihbahasakan sejumlah cerpennya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi  pada 2012. 

Tahun 2015,  kumpulan cerpen Mangongkal Holi  itu membuat Saut Poltak Tambunan menerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga yang dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah,  sebelumnya hanya focus pada sastra berbahasa daerah yang ada di Pulau Jawa: Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi   menerima Hadiah Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk dalam penghargaan Hadiah Rancage. 

Namun, sastra berbahasa Batak bukan penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atyau di Pulau Sumatra. Tahun 2008,  sastra berbahasa daerah Lampung, kumpulan puisi  Mak Dawah Mak Dibingi  (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzie sudah lebih dahulu mendapat Hadiah Rancage. 

Tahun 2008, sebagai direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (alm) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam salah satu kategori pemberian Hadiah Rancage. 

Irfan Anshory yang berasal dari Lampung menyetujuinya dengan catatan,  kategori sastra berbaha Lampung akan masuk kategori Hadiah Rancage jika ada penerbitan sastra daerah berbahasa Lampung bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini, juga ditegaskan Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan,  sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, ke perguruan tinggi dan para akademisi, dan menggelar acara pelatihan menulis dalam Bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetap sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut Poltak Tambunan harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul tiap tahun. Meskipun tanggung jawab ini tidak mudah, Saut Poltak Tambunan memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan berhasil mendorong Rose Lumbantoruan untuk menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Tahun 2019, Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Bataka karya Robinson Siagian, Guru Honor, yang menerima Hadian rancage 2020. Namun, memasuki tahun 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak yang diterbitkan, dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada tahun 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul, Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah rancage 2022. Sejak itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut Poltak Tambunan kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang) yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Tahun 2023, tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tidak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan Simanjutak sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami,   Panusunan Simanjuntak menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh dari hidupnya yang sudah 75 tahun  dihabiskan di luar negeri. 

Meskipun puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami ini menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisi mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apapun. Meskipun Panusunan Simanjutaak sudah puluhan tahun mengunjungi lebih 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharain. 

Jejak Lintasan, Buku Puisi Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua, salah satu penyair Indonesia yang kerap melakukan perjalanan, baik karena kepentingan untuk memenuhi undangan sebagai pembicara dalam aktivitas berkesenian di berbagai daerah maupun sebagai seorang yang selalu terobsesi untuk tahu lebih banyak tahu tentang semua tempat yang ada di Indonesia.  Setiap kali usai melakukan perjalanan, ia akan merekam apa yang ia lihat dalam karyanya, baik puisi, cerpen, maupun esai catatan perjalanan. 

Oleh Budi Hatees

Baru-baru ini buku puisi terbarunya, Jejak Lintasan, diterbitkan Penerbit Akar Indonesia pada bulan Oktober 2024. Buku dengan sampul yang dirancang Nur Wahida Idris ini menampilkan gambar seekor harimau berjalan pada sebuah garis berwarna hitam. Dalam pengantar buku, Raudal Tanjung Banua berkisah tentang kebiasaan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di kampung halamannya, di sebuah desa dalam kawasan hutan hujan tropika Sumatra, habitat hewan langka yang oleh masyarakat lokal di Minangkabau disebut inyeak balang.

Harimau Sumatra jantan memiliki daya jelajah 50 km per segi dalam sehari.  Ia berjalan mencari mangsa, pada tiap tempat ia menandai titik-titik tertentu dengan air kencingnya.  Sekali-sekali ia meninggalkan bekas cakaran pada batang phon atau tempat-tempat tertentu. Ia tidak sedang mengasah cakarnya, tapi itu penanda bagi harimau lain, bahwa daerah tersebut sudah ada penguasanya. Seakan-akan sudah ada kesepakatan, tidak ada dua harimau dalam satu areal berdiameter 50 km per segi. 

Jalur yang dilalui harimau selalu pada titik yang sama.  Jejak kakinya penuh di jalur itu. Jika ditelusuri, jalur itu membentuk siklus yang melingkar. Lingkaran itu menjadi semacam pagar, tanda daerah yang dilingkari ada penguasanya. 

Di dalam lingkaran yang terbangun, segala sesuatu berada dalam kekuasaan harimau. Terutama hewan-hewan calon mangsanya. Tidak ada mahluk lain yang boleh mengambil hewan-hewan buruannya itu. Tidak terkecuali manusia, atau para pemburu. 

Jika siklus itu terganggu, seperti yang dilakukan Wak Katok dalam novel Harimau Harimau karya Mochtar Lubis, yang membunuh rusa di dalam siklus jelajah wilayah harimau, maka berakibat mengubah harimau itu jadi mimpi buruk bagi para pencari getah damar tersebut. 

Raudal Tanjung Banua jelas bukan harimau, meskipun ia melakukan perjalanan dalam proses kreatifnya, sama seperti harimau selalu menjelajah dalam siklus 50 km per segi per hari. Proses berjalan yang dilakukan harimau mengguatkan eksistensi dirinya sebagai si raja hutan. Sementara Raudal Tanjung Banua menjadikan proses berjalan atau berkunjung ke berbagai tempat yang ada di Indonesia untuk menguatkan eksistensinya sebagai penyair dengan menghasilkan puisi-puisi baru tentang tempat yang baru dikunjunginya. 

Suatu hari, beberapa tahun lalu, Raudal Tanjung Banua berkunjung ke Sumatra Utara, melintasi jalur lintas Barat di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra. Ketika ia berada di Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara, ia menghubungi saya lewat telepon genggam dan bertanya di mana posisi saya. 

Saya tinggal di Kota Padangsidimpuan, 120 km dari Kecamatan Natal ke arah Utara, tepatnya di luar wilayah Kabupaten Mandailing Natal. “Saya sedang di Natal,” kata Raudal. 

Saya minta Raudal singgah ke Kota Padangsidimpuan. Raudal mengaku belum bisa membagi waktu, lalu berjanji suatu hari ia akan  sampai di Kota Padangsidimpuan. Selesai Raudal menutup telepon, saya dihubungi penyair May Moon Nasution, penduduk asli di Kecamatan Natal, dan ia memberitahu kalau Raudal Tanjung banua sedang berada di Kecamatan Natal dan berencana hendak ke Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. 

Natal dan Barus berada dalam satu garis pantai Barat Pulau Sumatra. Saya tak perlu bertanya apa tujuan Raudal melintasi jalur itu, karena saya mengenal betul bagaimana ia berproses kreatif dalam menghasilkan karya sastra. Ia membutuhkan perjalanan, memperluas wawasan, dan mencerap lebih banyak hal dari apa yang ia lihat dibandingkan apa yang mampu diserap penduduk yang ada di daerah itu. 

Sebagaimana saya bayangkan, Raudal akan menghasilkan puisi tentang perjalanannya melintasi pantai Barat Pulau Sumatra, dan, benar, sebuah puisinya berjudul “Natal Raya” muncul di Kalam Sastra (https://kalamsastra.id/dwimingguan/natal-raya): Arus Batang Angkola dan Batang Toru terus mengalir berliku/mencari muara dan samudra biru,/sebagian melimpah penuh haru/di danau dan rawa-rawa Siais./Tapi di pesisir juga semuanya berakhir,/di bandar-bandar pelabuhan lama/yang perlahan telah melipat benderanya:/o, Natal Raya, Ranah Nan Data! 

Puisi berjudul “Natal Raya” ini tidak ditemukan dalam buku puisi terbaru Raudal. Namun, proses kelahiran puisi “Natal Raya” yang diawali dengan perjalanan Raudal melintasi di pesisir pantai Barat Pulau Sumatra, juga dilakoninya dalam menulis delapan puluhan puisi dalam buku Jejak Lintasan ini.  

Setiap puisi tidak langsung selesai ketika perjalanan berlangsung. Puisi-puisi ini terlebih dahulu mengalami pengendapan, bisa sampai bertahun-tahun. Menulis puisi bagi Raudal, sepertinya, bukan pekerjaan yang mudah dan bisa langsung selesai. Sebuah puisi baginya adalah sebuah proses panjang, memakan waktu hingga bertahun-tahun, juga, ini yang terpenting, memakan biaya yang mahal. Raudal membutuhkan mengunjungi tempat-tempat yang menjadi subjek dalam puisinya. 

Ide puisi-puisi dalam buku ini sudah ia miliki pada 2004 sampai 2018, terlihat pada titimangsa setiap puisi. Sebelum menulis sebuah puisi, Raudal mengawali dengan ide dasar, lalu melakukan kunjungan ke subjek yang ingin digarap dalam puisi.  Kemudian ia melakukan pematangan, menambah referensi lewat literatur, dan terus berkarya menghasilkan puisi dari subjek yang digarapnya. 

Menulis puisi menjadi proyek yang serius bagi Raudal—semestinya seorang penyair seperti itu – dan ia membutuhkan satu sampai dua tahun untuk mematangkan ide awalnya menjadi sebuah puisi. Proses pematangan ini tentunya bukan proses yang mudah. Ia tidak langsung jadi tetapi harus jadi sebagai puisi. 

Dan, mungkin, ada banyak ide menulis puisi yang akhirnya tidak jadi apapun. Pasalnya, subjek yang dibicarakan dalam puisi berada di tempat yang jauh, dan Raudal tidak punya kebiasaan menulis sesuatu tak pernah didatanginya. Ia bisa saja mencari referensi tambahan dari literatur tentang subjek puisinya, tapi Raudal bukan penyair yang banyak mengandalkan imajinasi. 

Raudal sorang realis, seperti seorang fotografer dengan kamera di tangan, ia memindahkan subjek ke dalam puisinya, tetapi ia tidak bicara tentang apa yang ia lihat melainkan apa yang ia serap. 

Apa yang dilakukan Raudal dalam proses kreatifnya, mengandung resiko yang fatal.  Ada kalanya, Raudal hanya menyerap pada tingkat permukaan, apa yang hanya ia lihat sekilas dalam perjalanannya.  Misalnya dalam puisi “Dolok Sanggul, Malam” (Hal.105), yang menceritakan subjek Kota Dolok Sanggul, ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. 

Kota Dolok Sanggul berada di kabupaten yang melahirkan penyair Sitor Situmorang dan Saut Situmorang, juga menjadi daerah awal peradaban manusia setelah Gunung Toba Meletus dan menjelma Danau Toba. Dari pantai-pantai Danau Toba, Sitor Situmorang melahirkan banyak puisi yang mensejajarkannya ke dalam deretan penyair kuat di Indonesia. 

Raudal hanya memotret Kota Dolok Sanggul, yang, mungkin, kebetulan sedang singgah di sana, pada suatu malam, di sebuah rumah makan. Adegan di rumah makan itu, ketika sopir angkutan umum bercerita dipalak (dimintai uang) oleh orang lain, bukan sesuatu yang hanya ada di Dolok Sanggul. Pemalakan terhadap sopir, ada di mana-mana di negeri ini. 

Di Dolok Sanggul, ada banyak hal yang tidak ada di mana-mana. Kota ini, pada masa kolonialisme, menjadi daerah alternatif pemasok budak (kuli) ke perkebunan tembakau di Deliserdang ketika kuli dari Tionghoa, India, dan Jawa sering berulah dan tidak patuh pada mandor. Literatur tentang Dolok Sanggul memang sangat minim. Raudal tidak bersentuhan dengan referensi yang minim itu, maka ia hanya memotret apa yang ia lihat saja di Dolok Sanggul.  

Pada dasarnya, sebagian besar puisi Raudal dalam buku ini, memainkan fungsi fotografis dari kata. Raudal memotret tempat-tempat yang dikunjunginya, dan kita yang membaca menjadi tahu, tempat yang kita anggap sangat biasa di daerah kita karena terlalu sering melihatnya, ternyata memiliki khazanah sejarah yang luar biasa. Raudal memberitahu pembaca, bahwa semua tempat punya cerita yang luar biasa. *

Gerakan dalam Sastra Kita



Hanya di negeri kita gerakan sastra (literacy movement) akan dibicarakan sebagai kebijakan politik,  kemudian pembicaraan itu dikerucutkan menjadi  “sastra kiri” dan “sastra kanan”.  Meskipun berangkat dari pembacaan atas teks sastra dan karenanya merupakan kegiatan menafsirkan, tafsir yang menghasilkan kategori “sastra kiri” dan “sastra kanan” ini kuat ditandai pemaksaan interpretasi demi mewujudkan monopoli makna.

Oleh: Budi Hatees | Esais

Monopoli makna, yakni makna yang sangat dipengaruhi wacana politik dan dihasilkan oleh pemegang kekuasaan politik negara, sesungguhnya sebuah ilusi tentang kebenaran. Artinya, kategori "sastra kiri" atau "sastra kanan" sangat kabur, keliru, dan tak jelas jika dilihat sebagai persoalan sastra (seni).  

Kategorisasi ini muncul pasca kudeta yang gagal oleh militer yang dikuasai Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965.   PKI berideologi komunis, ideologi yang dinilai membahayakan ideologi Pancasila. Siapa saja yang pernah berhubungan dengan PKI harus dilenyapkan dengan tuduhan berkhianat kepada bangsa dan negara.  

Mereka yang terlibat dalam organisasi sayap PKI,  seperti para sastrawan yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),  termasuk orang yang dicap sebagai pengkhianat. Jejak sejarah yang membuat sastrawan disebut “sastrawan kiri” adalah Manifesto Kebudayaan, yang muncul pada Agustus 1963 dan dimuat dalam Majalah Sastra nomor 9/10 tahun ke-3 (1963). 

Manifesto Kebudayaan digagas para sastrawan Wiratmo Soekito, Bokor Hutasuhut, H.B. Jassin,  dan Trisno Soemardjo sebagai respon terhadap aksi-aksi “intoleran” para sastrawan yang tergabung dalam Lekra. Para penandatangan manifesto menyatakan prioritas mereka adalah membangun kemanusiaan melalui kebudayaan nasional yang berbasis pada Pancasila sebagai falsafah kebudayaannya. Penegasan ini mengacu pada apa yang menjadi ideologi negara, yang dengan sendirinya mereka menolak ideologi komunis yang diusung Lekra. 

Ketika pemberontakan G 30 S PKI “dibabat”, negara memberikan hukuman kepada para sastrawan yang tergabung di Lekra berupa pengasingan di Pulau Buru. Karya mereka pun menjadi "bacaan yang dilarang" di negeri ini. 

Sejak itu, istilah "sastra kiri" muncul untuk menyebut karya sastra yang dilarang sebagai bacaan umum, yang kemudian dirusak, dibakar, dan disimpan masyarakat karena khawatir pemerintah melalui militer akan merampasnya.  Sebaliknya, karya sastra yang boleh dibaca disebut "sastra   kanan".  

Defenisi ini tidak berasal dari ranah sastra sebagai fenomena teks. Defenisi ini justru mengaburkan karya sastra sebagai fenomena teks.  Menilai sebuah karya sastra sebagai "sastra kiri" hanya karena pengarangnya pernah terlibat di dalam organisasi sayap PKI,  merupakan penilaian yang keliru. Di era ketika ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat dan  tafsir atas teks bisa menjadi sangat kaya, membangun ilusi kebenaran terhadap teks sastra sama artinya membenarkan kekeliruan. 

Sastra sebagai teks yang memiliki otonomi semantik. Ketika sebuah teks sastra dalam genre apapun dipublikasi kepada publik,  semua pembaca boleh menafsirkan maknanya. Hasil penafsiran pembacaan hanya salah satu tafsir dan bukan nilai konstan. Tafsir pembaca berfungsi memperkaya tafsiran-tafsiran lain yang dapat dibuat pembaca lain.  Jika pembaca itu adalah pemerintah, atau pihak yang diberi pemerintah tanggung jawab untuk mencurigai semua teks sebagai bermuatan idiologi komunisme, mestinya tafsir mereka hanya salah satu tafsir yang memperkaya makna karya sastra. 

Tapi, kenyataan di negeri kita, tafsir tungal yang dihasilkan pemerintah setelah membaca teks sastra, menjadi nilai konstan yang tidak bisa diganggu gugat. Menyebut sebuah teks sastra sebagai "sastra kiri" dan memposisikan pengarangnya sebagai "sastrawan kiri",  atau sebalikinya menyebut "sastra kanan" dan memberi predikat "sastrawan kanan" kepada  pengarangnya, merupakan upaya sungguh-sungguh untuk menyesatkan.  Inilah yang berulang-ulang diproduksi di negeri kita sejak peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, menyebabkan sastra terjerembab semata-mata hanya sebagai perkara politik. 

Rudiana Ade Ginanjar dalam esainya, "Gerakan dalam Sastra", Kompas, 3 Maret 2024, mengulang lagi pembicaraan kategoristik itu. Bicara tentang  "sastra kiri" dan "sastra kanan",  ia sampai pada kesimpulan: "Sastra kiri menyiratkan gerak tak sabar, masif, dan memberontak. Mereka menamai diri sebagai aliran sosialis, berpijak pada keinginan orang banyak." 

Defenisi "sastra kiri" yang diacu Rudiana Ade Ginanjar pada makna leksikal,  sebuah tindakan yang  mengulang-ulang hal yang seharusnya tidak dilakukan. Menyimpulkan "sastra kiri menyiratkan gerak tak sabar, masif, dan memberontak”, merupakan kesimpulan yang dibuat setelah membaca teks sastra, dan kesimpulan berbeda atas pembacaan terhadap teks sastra yang sama tidak boleh dilarang. Pelarang tafsir berbeda membuat sastra kita menjadi kering gersang, dan akhirnya dijauhi pembaca seperti yang terjadi saat ini, karena pembaca tidak menemukan apa yang diharapkan dari karya sastra, di mana sastra sendiri pada dasarnya berasal dari kata “cas” dan “tra” dalam bahasa Sansekerta yang artinya adalah “alat untuk mengajarkan”.  

Dampak lainnya, karya sastra diposisikan semata-mata hanya sebagai sarana masyarakat mendapatkan hiburan, apalagi setelah sastra sebagai seni itu mendapat sentuhan industrialisasi. Padahal, sastra mengajarkan banyak hal.  Tidak hanya berisi hiburan, tak hanya mengajarkan pemberontrakan, tidak melulu soal ideologi yang ditentang  pemegang kekuasaan negara.  Sastra multimakna.  Sebab itu, sastra mensyaratkan kemampuan membaca secara holistik, tidak hitam-putih. Sastra harus benar-benar kaya akan ajaran. 

Dari perspektif karya sastra sebagai fenomena teks, karya-karya Pramoedya Ananta Toer  kaya akan makna.  Makna tunggal yang dipaksakan pemerintah tidak seharusnya menjadi nilai konstan yang dipegang teguh oleh masyarakat dan menjadi alasan untuk tidak membaca karya-karya sastra tersebut.  Tentu saja ini merugikan masyarakat sebagai warga bangsa, di mana kekayaan makna dari teks sastra itu tidak dapat direngkuh.  

Malangnya, karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya, yang ditulis pada periode awal kepengarangannya seperti cerita pendek dalam kumpulan Cerita dari Blora, juga ikut dilarang sebagai bacaan publik.  Cerita-cerita dalam buku itu, yang sifatnya autogiografi, mengandung tema "anti-komunisme" yang tidak berbeda dengan cerita pendek "Bawuk" karya Umar Kayam atau trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Cerita-cerita itu melukiskan bagaimana masyarakjat menghadapi pengaruh luar biasa dari penyebaran ideologi komunisme yang merangsek segala dimensi kehidupan.  

Karya sastra ditulis untuk ditafsirkan oleh pembaca. Tafsir tidak pernah berhenti pada satu makna.  Perkembangan zaman bisa juga mempengaruhi makna karya sastra. Interpretasi terhadap sebuah karya sastra yang ditulis seratus tahun lalu, memiliki kemungkinan untuk menghasilkan tafsir yang baru pada tahun ini.  Sebab itu, karya sastra yang dikategorikan sebagai "sastra kiri" sejak 1965, tidak seharusnya diproduksi berulang-ulang sebagai karya sastra yang semata-mata mengandung ideologi komunisme.  

Dengan kata lain, segala pembicaraan tentang gerakan dalam sastra kita, bukan lagi pembicaraan tentang dikotomi "sastra kiri" dengan "sastra kanan".  Melainkan pembicaraan tentang sejarah sastra beserta segala hal yang terkandung di dalam karya sastra itu, terutama terkait estetika.  Pembicaraan itu subtansial tentang sastra sebagai karya seni sebagaimana gerakan sastra seharusnya dibicarakan. 

Ambil contoh bagaimana gerakan romantisme sastra dibicarakan bukan saja di Amerika Serikat tetapi juga di Eropa.  Gerakan romantisme mulai berkembang di Eropa Barat pada akhir abad ke-18,  dan para penulis Amerika Serikat menganutnya pada awal abad ke-19. Gerakan ini menyebar serupa virus, menulari, dan akhirnya disambut oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. 

Gerakan dalam sastra dunia tidak melulu terjadi di dunia sastra, tetapi juga mempengfaruhi peradaban manusia. Sebut saja grakan simbolis di Perancis akhir abad ke-19. Gerakan ini menyebar ke seni lukis dan teater, serta memengaruhi seni Rusia, Eropa, dan Amerika pada abad ke-20. Ini reaksi para penyair terhadap konvensi kaku puisi tradisional Prancis. 

Di negeri kita, pembicaraan tentang gerakan dalam sastra sebagai persoalan estetika, tidak pernah terjadi. Polemik tentang sastra kontekstual pada decade 1980-an, barangkali yang mendekati, di mana para sastrawan mempersoalkan sastra sebagai persoalan estetika. Namun, polemic ini sendiri masih dipengaruhi oleh semangat kategori “sastra kiri” dan “sastra kanan”.

Titik focus pembicaraan terkait sastra konstektual lebih pada persoalan apakah seorang sastrawan berpihak pada persoalan actual di masyarakat atau tidak.Pada intinya, polemic itu hanya untuk memetakan, apakah seorang sastyrawan itu layak disebut “sastrawan kiri” atau “sastrawan kanan”.