Gerakan dalam Sastra Kita



Hanya di negeri kita gerakan sastra (literacy movement) akan dibicarakan sebagai kebijakan politik,  kemudian pembicaraan itu dikerucutkan menjadi  “sastra kiri” dan “sastra kanan”.  Meskipun berangkat dari pembacaan atas teks sastra dan karenanya merupakan kegiatan menafsirkan, tafsir yang menghasilkan kategori “sastra kiri” dan “sastra kanan” ini kuat ditandai pemaksaan interpretasi demi mewujudkan monopoli makna.

Oleh: Budi Hatees | Esais

Monopoli makna, yakni makna yang sangat dipengaruhi wacana politik dan dihasilkan oleh pemegang kekuasaan politik negara, sesungguhnya sebuah ilusi tentang kebenaran. Artinya, kategori "sastra kiri" atau "sastra kanan" sangat kabur, keliru, dan tak jelas jika dilihat sebagai persoalan sastra (seni).  

Kategorisasi ini muncul pasca kudeta yang gagal oleh militer yang dikuasai Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965.   PKI berideologi komunis, ideologi yang dinilai membahayakan ideologi Pancasila. Siapa saja yang pernah berhubungan dengan PKI harus dilenyapkan dengan tuduhan berkhianat kepada bangsa dan negara.  

Mereka yang terlibat dalam organisasi sayap PKI,  seperti para sastrawan yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),  termasuk orang yang dicap sebagai pengkhianat. Jejak sejarah yang membuat sastrawan disebut “sastrawan kiri” adalah Manifesto Kebudayaan, yang muncul pada Agustus 1963 dan dimuat dalam Majalah Sastra nomor 9/10 tahun ke-3 (1963). 

Manifesto Kebudayaan digagas para sastrawan Wiratmo Soekito, Bokor Hutasuhut, H.B. Jassin,  dan Trisno Soemardjo sebagai respon terhadap aksi-aksi “intoleran” para sastrawan yang tergabung dalam Lekra. Para penandatangan manifesto menyatakan prioritas mereka adalah membangun kemanusiaan melalui kebudayaan nasional yang berbasis pada Pancasila sebagai falsafah kebudayaannya. Penegasan ini mengacu pada apa yang menjadi ideologi negara, yang dengan sendirinya mereka menolak ideologi komunis yang diusung Lekra. 

Ketika pemberontakan G 30 S PKI “dibabat”, negara memberikan hukuman kepada para sastrawan yang tergabung di Lekra berupa pengasingan di Pulau Buru. Karya mereka pun menjadi "bacaan yang dilarang" di negeri ini. 

Sejak itu, istilah "sastra kiri" muncul untuk menyebut karya sastra yang dilarang sebagai bacaan umum, yang kemudian dirusak, dibakar, dan disimpan masyarakat karena khawatir pemerintah melalui militer akan merampasnya.  Sebaliknya, karya sastra yang boleh dibaca disebut "sastra   kanan".  

Defenisi ini tidak berasal dari ranah sastra sebagai fenomena teks. Defenisi ini justru mengaburkan karya sastra sebagai fenomena teks.  Menilai sebuah karya sastra sebagai "sastra kiri" hanya karena pengarangnya pernah terlibat di dalam organisasi sayap PKI,  merupakan penilaian yang keliru. Di era ketika ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat dan  tafsir atas teks bisa menjadi sangat kaya, membangun ilusi kebenaran terhadap teks sastra sama artinya membenarkan kekeliruan. 

Sastra sebagai teks yang memiliki otonomi semantik. Ketika sebuah teks sastra dalam genre apapun dipublikasi kepada publik,  semua pembaca boleh menafsirkan maknanya. Hasil penafsiran pembacaan hanya salah satu tafsir dan bukan nilai konstan. Tafsir pembaca berfungsi memperkaya tafsiran-tafsiran lain yang dapat dibuat pembaca lain.  Jika pembaca itu adalah pemerintah, atau pihak yang diberi pemerintah tanggung jawab untuk mencurigai semua teks sebagai bermuatan idiologi komunisme, mestinya tafsir mereka hanya salah satu tafsir yang memperkaya makna karya sastra. 

Tapi, kenyataan di negeri kita, tafsir tungal yang dihasilkan pemerintah setelah membaca teks sastra, menjadi nilai konstan yang tidak bisa diganggu gugat. Menyebut sebuah teks sastra sebagai "sastra kiri" dan memposisikan pengarangnya sebagai "sastrawan kiri",  atau sebalikinya menyebut "sastra kanan" dan memberi predikat "sastrawan kanan" kepada  pengarangnya, merupakan upaya sungguh-sungguh untuk menyesatkan.  Inilah yang berulang-ulang diproduksi di negeri kita sejak peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, menyebabkan sastra terjerembab semata-mata hanya sebagai perkara politik. 

Rudiana Ade Ginanjar dalam esainya, "Gerakan dalam Sastra", Kompas, 3 Maret 2024, mengulang lagi pembicaraan kategoristik itu. Bicara tentang  "sastra kiri" dan "sastra kanan",  ia sampai pada kesimpulan: "Sastra kiri menyiratkan gerak tak sabar, masif, dan memberontak. Mereka menamai diri sebagai aliran sosialis, berpijak pada keinginan orang banyak." 

Defenisi "sastra kiri" yang diacu Rudiana Ade Ginanjar pada makna leksikal,  sebuah tindakan yang  mengulang-ulang hal yang seharusnya tidak dilakukan. Menyimpulkan "sastra kiri menyiratkan gerak tak sabar, masif, dan memberontak”, merupakan kesimpulan yang dibuat setelah membaca teks sastra, dan kesimpulan berbeda atas pembacaan terhadap teks sastra yang sama tidak boleh dilarang. Pelarang tafsir berbeda membuat sastra kita menjadi kering gersang, dan akhirnya dijauhi pembaca seperti yang terjadi saat ini, karena pembaca tidak menemukan apa yang diharapkan dari karya sastra, di mana sastra sendiri pada dasarnya berasal dari kata “cas” dan “tra” dalam bahasa Sansekerta yang artinya adalah “alat untuk mengajarkan”.  

Dampak lainnya, karya sastra diposisikan semata-mata hanya sebagai sarana masyarakat mendapatkan hiburan, apalagi setelah sastra sebagai seni itu mendapat sentuhan industrialisasi. Padahal, sastra mengajarkan banyak hal.  Tidak hanya berisi hiburan, tak hanya mengajarkan pemberontrakan, tidak melulu soal ideologi yang ditentang  pemegang kekuasaan negara.  Sastra multimakna.  Sebab itu, sastra mensyaratkan kemampuan membaca secara holistik, tidak hitam-putih. Sastra harus benar-benar kaya akan ajaran. 

Dari perspektif karya sastra sebagai fenomena teks, karya-karya Pramoedya Ananta Toer  kaya akan makna.  Makna tunggal yang dipaksakan pemerintah tidak seharusnya menjadi nilai konstan yang dipegang teguh oleh masyarakat dan menjadi alasan untuk tidak membaca karya-karya sastra tersebut.  Tentu saja ini merugikan masyarakat sebagai warga bangsa, di mana kekayaan makna dari teks sastra itu tidak dapat direngkuh.  

Malangnya, karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya, yang ditulis pada periode awal kepengarangannya seperti cerita pendek dalam kumpulan Cerita dari Blora, juga ikut dilarang sebagai bacaan publik.  Cerita-cerita dalam buku itu, yang sifatnya autogiografi, mengandung tema "anti-komunisme" yang tidak berbeda dengan cerita pendek "Bawuk" karya Umar Kayam atau trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Cerita-cerita itu melukiskan bagaimana masyarakjat menghadapi pengaruh luar biasa dari penyebaran ideologi komunisme yang merangsek segala dimensi kehidupan.  

Karya sastra ditulis untuk ditafsirkan oleh pembaca. Tafsir tidak pernah berhenti pada satu makna.  Perkembangan zaman bisa juga mempengaruhi makna karya sastra. Interpretasi terhadap sebuah karya sastra yang ditulis seratus tahun lalu, memiliki kemungkinan untuk menghasilkan tafsir yang baru pada tahun ini.  Sebab itu, karya sastra yang dikategorikan sebagai "sastra kiri" sejak 1965, tidak seharusnya diproduksi berulang-ulang sebagai karya sastra yang semata-mata mengandung ideologi komunisme.  

Dengan kata lain, segala pembicaraan tentang gerakan dalam sastra kita, bukan lagi pembicaraan tentang dikotomi "sastra kiri" dengan "sastra kanan".  Melainkan pembicaraan tentang sejarah sastra beserta segala hal yang terkandung di dalam karya sastra itu, terutama terkait estetika.  Pembicaraan itu subtansial tentang sastra sebagai karya seni sebagaimana gerakan sastra seharusnya dibicarakan. 

Ambil contoh bagaimana gerakan romantisme sastra dibicarakan bukan saja di Amerika Serikat tetapi juga di Eropa.  Gerakan romantisme mulai berkembang di Eropa Barat pada akhir abad ke-18,  dan para penulis Amerika Serikat menganutnya pada awal abad ke-19. Gerakan ini menyebar serupa virus, menulari, dan akhirnya disambut oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. 

Gerakan dalam sastra dunia tidak melulu terjadi di dunia sastra, tetapi juga mempengfaruhi peradaban manusia. Sebut saja grakan simbolis di Perancis akhir abad ke-19. Gerakan ini menyebar ke seni lukis dan teater, serta memengaruhi seni Rusia, Eropa, dan Amerika pada abad ke-20. Ini reaksi para penyair terhadap konvensi kaku puisi tradisional Prancis. 

Di negeri kita, pembicaraan tentang gerakan dalam sastra sebagai persoalan estetika, tidak pernah terjadi. Polemik tentang sastra kontekstual pada decade 1980-an, barangkali yang mendekati, di mana para sastrawan mempersoalkan sastra sebagai persoalan estetika. Namun, polemic ini sendiri masih dipengaruhi oleh semangat kategori “sastra kiri” dan “sastra kanan”.

Titik focus pembicaraan terkait sastra konstektual lebih pada persoalan apakah seorang sastrawan berpihak pada persoalan actual di masyarakat atau tidak.Pada intinya, polemic itu hanya untuk memetakan, apakah seorang sastyrawan itu layak disebut “sastrawan kiri” atau “sastrawan kanan”.

Posting Komentar