Analisis Karya

"Istri Sempurna" Gagal sebagai Cerpen Terbaik Kompas

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. 

Oleh: Budi Hatees | Pembaca karya sastra

Selain kontinyu melahirkan cerpen baru yang berkontribusi terhadap dunia cerpen kita, Kompas juga membawa pengaruh terhadap dunia penulisan cerpen--melahirkan banyak generasi baru penulis cerpen sekaligus membuat para penulis menjadikan cerpen sebagai pilihan utama dalam berkreativitas. 

Simpul ini tak perlu saya jelaskan secara statistik, dan pasti Anda akan sulit menerima hal-hal yang tidak punya rujukan objektif dan paradigmatik seperti ini, tapi saya tidak menolak bila Anda bisa membalikkan simpulan saya, bahwa bukan Kompas yang memberi sumbangan terhadap dunia penulisan cerpen, sebaliknya cerpen yang membuat Kompas menjadi media mainstream  atau berkembang sebagai industri pers seperti saat ini. Simpul seperti itu ada benarnya jika kita ikuti fenomena Kompas sebagai  satu-satunya media koran yang masih mempertahankan rubrik sastra sementara koran-koran lain telah gulung tikar, karena rubrik sastra itu membuat Kompas tetap memiliki pembaca.

Soal siapa yang memengaruhi antara Kompas dengan cerpen, atau adakah symbiosis mutualisme di antara keduanya,  atau hubungan lain di mana yang satu menjadi semakin buruk sementara lainnya berperilaku seperti benalu yang menjadi parasit pada tanaman inangnya, sudah sering dibicarakan para ahli sebagai fenomena sastra koran.[1] Mahluk bernama sastra koran ini mendapat perhatian khusus dari para ahli sastra di negeri ini, dipuja-puji dengan pilihan diksi yang superlatif sebagai primadona karya sastra, meskipun realitas menunjukkan kehadiran sastra sebagai dunia fiksional di dalam internal dunia media yang mempertaruhkan faktual itu menjadi sebuah paradoks. 


Sastra pada hakikatnya mempertaruhkan pesan. Koran pada hakikatnya medium tempat pesan. Dalam kajian ilmu komunikasi, koran adalah barang poduksi yang dipersiapkan sebagai medium dari pesan berbentuk tulisan dan gambar.  Koran hanya diperuntukkan bagi karya tulisan yang mensyaratkan isinya harus sesuai dengan fakta karena ada regulasi yang mengatur perihal itu. Koran tidak diperkenankan berisi imajinasi apalagi fiksi, tetapi cerpen merupakan karya fiksi. Jadi, kehadiran karya fiksi sebagai bagian dari koran sebuah paradoks. 


Di negeri kita ada anggapan bahwa "koran tanpa sastra sama dengan tidak beradab",  seperti disampaikan Marsus Banjarbarat dalam esainya "Koran Tanpa Sastra: Barbar" (disiarkan di Riau Pos  edisi Minggu, 20 Januari 2013), seolah-olah karya jurnalistik tidak mampu membuat koran menjadi beradab. Bahkan, sastra koran yang fiksional itu didorong sebagai pilihan alternatif untuk mengungkapkan fakta aktual apabila jurnalisme  tidak bisa menjalankan fungsinya di hadapan kekuasaan pemerintah yang kooptatif dan hegemonik.[2]  Orang-orang memang sering terlalu pintar di negeri ini.  

Meskipun begitu, kita tak bisa mengabaikan, bahwa cerpen bagi pengelola koran hanya alat untuk kepentingan profit bisnis dalam rangka menciptakan segmen pembaca yang lebih luas dan lebih beragam sehingga oplag bisa ditingkatkan, selain untuk menciptakan produk baru berupa buku cerpen untuk mendukung unit usaha dalam internal konglomerasi media. Sebagian besar pengelola koran tidak seberhasil Kompas dalam menggapai profit yang diangankan, kemudian mereka menghapuskan rubrik cerpen dan menggantinya dengan iklan yang jelas mendatangkan profit, meskipun kemudian koran yang tanpa rubrik cerpen kehilangan banyak pembaca dan akhirnya gulung tikar. [3]  

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. Terhadap pilihan Kompas itu, layak diajukan pertanyaan apakah cerpen “Istri Sempurna” jauh lebih bagus dibandingkan cerpen-cerpen yang sebelumnya terpilih dalam ajang yang sama, atau menjadi lebih buruk. Jika jawabannya cerpen karya Aveus Har jauh di bawah standar cerpen “Derabat” karya Budi Darma atau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, maka keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” merupakan penurunan mutu cerpen Kompas yang layak disayangkan.[4] 

Kita diberi tahu, semua juri dalam Sayembara Cerpen Terbaik Kompas 2024 berasal dari lingkungan internal atau “orang dalam” Kompas. Sebelum menjadi juri,  ada di antara para juri ini yang terlibat dalam memilih satu cerpen dari puluhan atau ratusan cerpen yang dikirimkan para penulis ke Kompas untuk disiarkan Kompas setiap pekan.  Mereka adalah para pengelola rubrik cerpen Kompas; redaktur, wakil redaktur, maupun asisten redaktur. 

Ketika mereka ditetapkan sebagai juri, mereka harus memilih satu cerpen yang terbaik dari ratusan cerpen yang pernah disiarkan Kompas selama tahun 2023, dan mereka juga terlibat dalam memilih ratusan cerpen yang disiarkan Kompas selama 2023.  Jika mereka memilih satu cerpen saja sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024, laku memilih itu sekaligus menegaskan bahwa tidak semua cerpen yang disiarkan Kompas layak mendapat predikat sebagai cerpen terbaik.[5]  Pasalnya, “orang dalam Kompas” sudah pernah menjadi juri serupa, dan ternyata mereka memilih tanpa kriteria. Dalam prakata buku Cerpen Terbaik Kompas 1993 disebutkan: “Kami percaya bahwa setiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana, karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tetapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.

 

Hakikatnya para juri dalam sayembara sastra,  termasuk juri Cerpen Terbaik Kompas 2024, semestinya dibekali indikator dan variabel penilaian sebelum bekerja sebagai juri. Variabel dengan indikator biasanya hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam kepanitiaan sayembara.  Jauh-jauh hari mereka bekerja merumuskan variabel dengan indikator itu, dan perumusan ini paralel dengan visi dan misi penyelenggara sayembara. 


Penyelenggara pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2024 adalah Kompas.  Kompas adalah media cetak,  produk dari industri pers yang tergabung dalam Grup Kompas.  Anggota-anggota grup perusahaan ini memiliki bisnis yang saling mendukung antara satu dengan lainnya seperti bisnis penerbitan buku.  Isi koran Kompas, termasuk cerpen yang muncul pada edisi hari Minggu, bisa mendongkrak pengembangan sektor bisnis penerbitan buku.

Setiap kali cerpen terbaik sudah dipilih, Kompas akan menerbitkannya menjadi buku.  Buku berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik yang pernah disiarkan Kompas dalam setahun, menjadi buku yang diminati pembaca.  Dengan kata lain, tradisi memilih cerpen terbaik Kompas mempunyai output berupa satu buku kumpulan cerpen terbaik Kompas yang kehadirannya selalu ditunggu pembaca.

Itu salah satu penyebab kenapa tradisi memilih cerpen terbaik tiap tahun, yang dimulai Kompas sejak 1992,  tetap terjaga selama 31 tahun.  Dalam kurun 31 tahun, setiap tahun ada satu buku kumpulan Cerpen Terbaik Kompas, mulai dari Kado Istimewa (yang memposisikan karya Jujur Prananto sebagai cerpen terbaik Kompas).   Dan paling mutakhir, di tahun 2024, terpilih cerpen Aveus Har berjudul "Istri Sempurna".

Sejak 1992 hingga 2004, pemilihan cerpen terbaik dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra.  Mulai 2005, Kompas memberikan otoritas pemilihan kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik.  Tapi tahun 2024, Kompas kembali menunjuk "orang dalam" sebagai juri, yang kemudian memilih cerpen "Istri Sempurna". Bagi Kompas, tradisi pemilihan cerpen terbaik merupakan wujud komitmen Kompas dalam merawat dan memperkuat sastra Indonesia. Sastra, khususnya cerpen, telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Kompas. Kehadiran Cerpen Pilihan Kompas menjadi wujud komitmen merawat sastra Indonesia. 

Jadi, untuk sementara, predikat “terbaik” cerpen “Istri Sempurna” karya Aveus Har kita terima dulu karena pikirkan-pikiran positif  diperlukan untuk mempersiapkan diri melakukan penilaian-penilaian yang tidak dipengaruhi oleh subyektivitas, dan di dunia ini hanya sedikit orang yang akan terus-terang menyatakan penolakan terhadap pikiran positif. Orang-orang sangat menyukai hal-hal positif dan menyebutnya bermoral, tetapi orang-orang tidak akan pernah sanggup menunjukkan jenis kelamin dari moral yang dipahaminya, kecuali ia akan mengulang-ulang hal-hal yang menjadi pendapat umum di lingkungannya, bahwa kata-kata makian itu tidak layak disampaikan di depan umum. 

Di lingkungan kita, orang-orang yang sudah belajar ilmu pengetahuan maupun yang belum pernah bersekolah, lebih menyukai  apa yang sudah menjadi pendapat umum sebagai pengetahuan umum tanpa mengujinya lebih dahulu – karena tidak punya kapasitas dan kecakapan untuk melakukan pengujian-- apalagi bila pendapat umum itu sudah diturunkan dari leluhurnya, dan itu menjadi kebenaran mutlak baginya. Konsepsi mereka tentang mentalitas, termasuk mentalitas budaya,  berasal bukan dari akses langsung ke cara kerja batin pikiran sendiri, tetapi dari kerangka teori primitif yang kita warisi dari budaya kita.

Mereka akan menolak segala gagasan yang menyebut pendapat umum itu sebagai kekeliruan, dan menuduh orang-orang yang memiliki gagasan itu sebagai tidak menghormati leluhur, dan karenanya harus dikecam apalagi bila cara penyampaiannya cenderung vulgar dan terbuka. Kebenaran di lingkungan masyarakat kita tidak boleh disampaikan secara vulgar dan terbuka, harus dikemas dalam eufemisme demi menjaga harmoni, dan hal seperti ini terjadi juga di dunia politik sehingga demokrasi di Indonesia menolak oposisi atas nama menjaga harmoni. Padahal, seperti disampaikan Hume, bahwa tidak ada yang pernah hadir dalam pikiran kecuali persepsinya; dan bahwa semua tindakan melihat, mendengar, menilai, mencintai, membenci, dan berpikir, termasuk dalam denominasi ini.[6] 

Seandainya orang-orang di lingkungan kita selalu mempertanyakan segala sesuatu agar tidak membeku menjadi batu dan karenanya menjadi “dewa’ dalam kehidupan, tetapi kita hidup di dalam masyarakat budaya yang tidak pernah mengkaji kebudayaannya sendiri secara esensial karena terlanjur bangga terhadap kebudayaan Eropa yang didukung para intelektual budaya seperti Sutan Takdir Alisjahbana,[7] sehingga masyarakat kita pasti akan tersentak bila membaca Paradise Lost  dari John Milton yang bicara tentang setan akan menaklukkan Tuhan, atau menemukan fakta dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri yang menyebut surga akan berada di bawah lantai neraka.  


Hidup di tengah-tengah manusia seperti itu, kritik tidak akan pernah tumbuh sebagaimana seharusnya, termasuk kritik terhadap karya seni (sastra)  karena orang-orang menganggap kritik itu akan meruntuhkan harmoni sementara harmoni  sangat dipercayai oleh para elite di negeri ini sebagai modal dasar dan esensial untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang memiliki beragam-ragam kultur. Bangsa kita dipasung oleh harmoni. Bangsa kita dijajah oleh harmoni. Kita menikmati situasi itu, karena hanya dalam situasi seperti itu kita bisa melakukan puja-puji, dan kita bisa hidup di dalam kondisi yang dipenuhi puja-puji. 


Saya tidak ada dalam kelompok orang-orang yang hidup dalam samudra puja-puji, dan saya tidak suka memuja-puji, maka saya pilih membaca ulang cerpen “Istri Sempurna” sambil membayangkan keutamaan sastra adalah bahwa ia dapat memperdalam kesadaran kita dan memperluas persepsi kita tentang kehidupan. 

Di dalam kehidupan ini, peran terbesar ada di tangan manusia. Dari sekian banyak mahluk ciptaan Tuhan, manusia itu paling sempurna di mana mahluk lain harus tunduk kepada manusia dan hal ini membuat setan dan meludahi adonan manusia yang sedang dibuat Tuhan. Setiap masyarakat agama mengakui manusia sebagai mahluk sempurna jika dibandingkan dengan mahluk lain, sehingga manusia dibekali kemampuan untuk memanfaatkan mahluk lain di sekitarnya bagi keberlangungan hidupnya. 

Kita melihat manusia menunggangi kuda, manusia membongkar bumi hingga ke dasar paling dalam hanya untuk mengumpulkan mineral, manusia menciptakan robot dari mineral yang dikumpulkan itu untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan manusia. Lantaran semua kelebihan itu, manusia menjadi pardoks, menyakiti dirinya sendiri (dalam bekerja) hanya untuk menggapai kebahagiaannya. Hakikat manusia adalah paradoks. 

Salah satu robot yang diciptakan manusia itulah yang dikisahkan sebagai tokoh dalam cerpen “Istri Sempurna”. Cerpen adalah karya seni, prosa yang paling diminati para penulis di Indonesia. Menerima karya seni atau suatu bentuk seni tidak akan bermanfaat bagi pengetahuan manusia, sebaliknya segala bentuk penerimaan terhadap karya seni itu justru menyesatkan bagi pengetahuan manusia. Penerimaan kita terhadap karya seni tidak selalu menerima karya seni itu apa adanya, melainkan mengandaikan bahwa karya seni itu representasi dari kehidupan manusia atau produk manusia yang memimesis kehidupan manusia. Kita menerima cerpen “Istri Sempurna” karena mengandaikan keberadaan dan hakikat manusia di dalamnya. Dengan kata lain, cerpen “Istri Sempurna”  mengandaikan keberadaan fisik dan mental manusia. 

Sebelum memutuskan menerima atau menolak cerpen “Istri Sempurna”, saya mengucapkan kepada Aveus Har bahwa tahun 2024 adalah tahun keberuntungan bagi kreativitasnya dalam menghasilkan karya sastra, dan siapa pun tidak salah jika ingin mengangkat gelas untuknya. Aveus Har sendiri dalam media sosial bicara tentang keberuntungannya: 

“Aku tidak ingin merasa menang. Aku tidak ingin merasa telah mengalahkan. Aku hanya beruntung. Aku mensyukuri keberuntungan sebagai sebuah anugerah. Pada akhirnya, aku adalah aku. Orang yang membaca karena rasa ingin tahu. Orang yang membaca karena menyukai kegiatan itu. Dan, menulis hanya efek mengalirkan kegelisahan dan gema dalam pikiran.“ [8] 

Cerpen "Istri Sempurna" mencoba mengikuti tradisi fiksi distopia,  fiksi tentang masa depan manusia, yang dikenal luas di Indonesia lewat karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four, meskipun penulis novel ini ternyata banyak belajar dari Aldous Huxley, penulis novel distopia, Brave New World (1932). 

Pada tahun 1949, Huxley menyurati Orwell yang baru saja menerbitkan Nineteen Eighty-Four dan karya itu mendapat ulasan positif dari berbagai negara. Huxley adalah mantan guru Orwell dalam bahasa Prancis saat di sekolah menengah atas di Eton. Saat itu, Hukley dikenal sebagai pengarang dengan mahakarya, Brave New World.

Brave New World  bercerita tentang masa depan manusia ketika teknologi berkembang pesat. Saat itu, manusia dibiakkan secara genetis, diindoktrinasi secara sosial, dan dibius secara farmasi untuk secara pasif menegakkan tatanan penguasa yang otoriter. Untuk itu, manusia mengorbankan kebebasan, kemanusiaan, dan hidup dalam tekanan.

Huxley mengawali suratnya dengan memuji buku Orwell, dan menggambarkannya sebagai "sangat penting." Ia melanjutkan, "Filsafat kaum minoritas yang berkuasa dalam Nineteen Eighty-Four adalah sadisme yang telah dibawa ke kesimpulan logisnya dengan melampaui seks dan menyangkalnya."

Kemudian Huxley mengubah topik dan mengkritik buku tersebut, dengan menulis, "Apakah kebijakan menjepit muka dapat terus berlanjut tampaknya diragukan. Keyakinan saya sendiri adalah bahwa oligarki yang berkuasa akan menemukan cara-cara yang tidak terlalu sulit dan boros untuk memerintah dan memuaskan nafsunya akan kekuasaan, dan cara-cara ini akan menyerupai cara-cara yang saya uraikan dalam Brave New World ."

Pada dasarnya, sambil memuji  Nineteen Eighty-Four, Huxley berpendapat bahwa versinya di dalam Brave New World tentang masa depan lebih mungkin terjadi. Di dalam novel ini, manusia dikendalikan dengan cara memaksa mereka terhibur dengan obat bius yang disebut soma dan pesta seks bebas yang tak ada habisnya. Dengan begitu, manusia akan terus-menerus mencari kesenangan, ketergantungan terhadap soma,  dan tak menyadari dirinya dalam pengendalian.

Masa depan seperti itu ada dalam kehidupan kita di negeri ini ketika narkoba terus-menerus diproduksi dan tiba-tiba seorang Kapolda di Provinsi Sumatra Barat tertangkap karena menikmati uang hasil narkoba. Uang itu diperoleh dari para pedagang narkoba, dan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menghapuskan peredaran narkoba karena dapat merusak generasi muda.

Di sisi lain, manusia dalam Nineteen Eighty-Four karya Orwell, tetap terkendali dengan rasa takut berkat perang yang tak berkesudahan dan negara pengawas yang sangat kompeten.  Namun, kedua pengarang ini sama-sama memposisikan negara (pemerintah) sebagai pihak yang menakutkan.

Sementara cerpen "Istri Sempurna" bercerita tentang aku, seorang karyawan di Departemen Talenta yang bekerja sebagai analis data.  Pembaca tidak dikasih tahu di mana si aku tinggal dan apa kewarganegaraannya.  Si aku ini pergi ke sebuah institusi yang mengurusi masalah perceraian dan bermaksud mendaftarkan gugatan perceraian atas istrinya yang sudah tiga tahun dinikahinya. 

Si aku beralasan, perceraian itu disebabkan istrinya terlalu sempurna,  meskipun sesungguhnya karena ia bangkrut secara ekonomi selama tiga tahun menikahi istrinya. Kebangkrutannya disebabkan oleh istrinya, yang ternyata hanya sebuah alat bagi vendor untuk menguras isi tabungan para pelanggannya.

Istrinya ternyata bukan hanya seorang robot, melainkan juga Sebuah teknologi yang dipakai produsennya untuk mengurus harta konsumen. Tapi si aku sendiri yang memilih robot itu menjadi istrinya setelah melihat sebuah katalog. Ia menikahi robot itu, dan hidupnya menjadi lebih baik setelah itu. Ia bercinta ribuan kali dengan robot itu. Ia berbahagia, tapi kemudian ia memutuskan menceraikannya. Pabrik yang memproduksi robot yang menjadi istrinya itu akhirnya menjemput barang produksi mereka.


Hidup dan kehidupan seperti apa yang dijalani si aku? Kenapa ia harus memilih robot untuk dinikahi? Kenapa bukan memilih manusia (perempuan) sebagaimana seharusnya?


Cerpen yang berhasrat distopia ini tidak memiliki dasar-dasar esensial untuk menampilkan karakter si aku yang lebih memilih menikah dengan robot ketimbang manusia. Pembaca dipaksa membayangkan, mungkin si aku tak punya cukup waktu mencari perempuan untuk dinikahi karena kesibukannya dalam bekerja?

Semua bayangan itu sia-sia, karena hanya si aku yang memilih robot sebagai istri. Orang lain, kawan sekantornya atau orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya, tidak diceritakan sebagai orang yang memilih robot sebagai istri.  Apakah si aku ini memiliki kelainan seks?

Cerpen "Istri Sempurna" tidak bisa disebut fiksi distopia sebagaimana seharusnya fiksi distopia ditulis.  Ia tidak menceritakan realitas dunia masa depan dan perjuangan manusia di dalamnya sebagaimana kita menemukan dunia yang penuh pertarungan dalam The Hunger Games karya Suzanne Collins, Battle Royale  karya Koushun Takami, atau The Running Man karya Stephen King (yang menulis sebagai Richard Bachman).

The Hunger Games bercerita tentang orang-orang (sekelompok pemuda) dimasukkan ke dalam labirin yang dipenuhi mahluk mengerikan dan mereka harus bertarung demi memperebutkan makanan, dan pertarungan mereka disiarkan secara langsung di televisi sebagai tontonan atau hiburan yang bertujuan menenangkan orang-orang.  Mereka bagian dari eksperimen dalam menguji bagaimana manusia bertahan dalam tekanan karena semesta sedang hancur akibat wabah penyakit.

Logika yang dipakai dalam karya ini seperti ucapan Juvenal: "cara termudah untuk memenangkan hati orang dalam politik adalah melalui cara yang agak kasar: makanan murah dan banyak permainan."  Ini seperti kondisi negeri kita, di mana rakyat merasa tenang dan memilih presiden yang menjanjikan makanan bergizi gratis, serta judi online dibebaskan agar rakyat merasa terhibur.  Tapi kita tidak menemukan fakta apapaun dalam cerpen "Istri Sempurna",  yang justru terkesan sebagai fiksi yang tanpa dasar pijakan. 

Keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 menunjukkan kejatuhan dari mitos antologi cerpen terbaik Kompas yang dikembangkan Kompas selama ini. Cerpen-cerpen yang pernah mendapat predikat terbaik dan menjadi judul buku-buku antologi Cerpen Terbaik Kompas sejak 1992, menjadi sejajar dengan cerpen “Istri Sempurna” sekalipun fiksi karya Aveus Har ini gagal sebagai karya sastra.  

Nilai sastra dalam cerpen ini tidak mendekati nilai sastra “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarman, “Derabat” karya Budi Darma, “Jejak Tanah” karya Danarto, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar Panca Dahana, “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo, “Kado Istimewa” karya Jujur Prananto, atau “Lampor” karya Joni Ariadinata. 


Referensi


[1] Saut Situmorang dalam esainya “Cerpeni(s) Pilihan Kompas, Siapa Takut?” membicarakan perihal relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran. Adakah hubungan dialektis saling mempengaruhi-mempengaruhi antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang menguntungkan keduanya, ataukah hubungan intertekstual itu hanya merupakan sebuah hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Lihat majalah Horison edisi November 2002.  

[2] Seno Gumira Ajidarma, seorang jurnalis yang juga penulis cerpen,  membela proses kreatifnya dalam menulis buku Saksi Mata menulis “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran”. Lihat “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah, Sebuah Koreksi Diri” dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara (2005). Jakarta: Bentang Budaya. Hal:389

[3] Beberapa koran yang pernah menjadi bacaan masyarakat karena memiliki rubrik cerpen seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Jayakarta, Republika, Seputar Indonesia, Media Indonesia, dan lain sebagainya, mengalami kemunduran setelah menghapus rubrik sastra dan ada yang akhirnya harus gulung tikar.

[4] Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan Cerpen Pilihan Kompas 1993, dan cerpen “Derabat” karya Budi Darma terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1999. Keterpilihan cerpen “Derabat” sebagai cerpen terbaik Kompas menunjukkan bahwa Kompas menjaga kualitas cerpen-cerpen pilihannya untuk tidak lebih buruk setiap tahun.

[5] Bagi banyak ahli, cerpen yang disiarkan Kompas dipuja-puji sebagai cerpen terbaik. Nirwan Dewanto dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 1993, menulis: “Harus kita akui, cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison.” Penilai itu berkaitan dengan kegagalan Nirwan Dewanto bersama gank menjadi pengelola majalah Horison.

[6] Dalam esainya, “Moral Distinctions not derived from Reason” David  Hume menyebut persepsi terbagi menjadi dua jenis: kesan dan ide. Dua hal ini dipergunakan Hume untuk mempertanyakan apakah melalui ide atau kesan kita membedakan antara kejahatan dan kebaikan, dan menyatakan suatu tindakan tercela atau terpuji? Lihat  The Philosophical Work of David Hume Volumen II dan bisa diakses di Gutenberg.org https://www.gutenberg.org/cache/epub/53792/pg53792-images.html#SECTION_I_aIII.

[7]  Lihat polemik kebudayaan antara Sutan takdir Alisjahbana versus Sanusi Pane yang terjadi pada decade 1930-an.

[8] Aveus Har dalam status Facebook tanggal 23 Desember 2024.


Puisi- Puisi Azhar



Kau Bisa Mengubur Kesombongan


Aku tak bersandar pada kesementaraan. 
Tapi aku bersandar pada Sang Pemilik Keabadian. 

Kau bisa mengubur kesombongan. 
Lalu tanam di atasnya kepatuhan
pada Dia yang telah menyediakan rejeki sepanjang hidupmu. 

Tersenyumlah ke cakrawala biru, 
tanpa abai sujud di tanah leluhurmu. 


Di Bordes Kereta

Di bordes kereta, 
seorang pelacur muda
menghitung uang recehan. 
Sebelum pagi tiba, 
seorang kuli angkut
baru saja memakainya.

Air matanya menitik. 
Ia ingat pada ibunya
yang tinggal di gubuk tua. 
Ia merasa telah kalah, 
karena lapar yang menekannya. 

Ia ingin pulang sebelum senja, 
meninggalkan kota
dan lelaki yang menipunya. 


Perjalanan Cinta

Kemarin adalah kenangan. 
Hari ini adalah perjuangan 
Esok adalah misteri yang berbunga impian. 

Kesementaraan ini tak perlu sia-sia. 
Mesti ditumbuhi pohon-pohon kebaikan
yang menjangkau cakrawala-Nya. 
Sebab warna-warni  di sini akan tumbang semuanya, 
ketika ruh sampai pada tugas terakhirnya. 

"Borobudur" karya Azhar

Perjalanan di Bumi

Jalan ini sudah lama kutempuh. 
Ada duri dan kembang warna-warni. 
Semuanya mengabarkan  pada nurani. 
Betapa perjalanan ini singkat sekali. 
Sebab ada yang datang dan pergi. 
Biarlah cinta tak mati. 
Sekali di bumi, 
Kasih sayang tetap terjaga di sini.

Lagu untuk Ibu

Hari ini aku ingin menggambar lautan kasih
sayangmu. Tapi penaku buntu
Di kepalaku masih tergambar iringan
perahu doamu untukku

Dalam kegelapan kau beri aku suluh
Topan telah kau tembus tanpa keluh
Angin pantai dari matamu menyapaku
Bersyukur aku dalam cahaya rindu

Ibu, tak sanggup tanganku menjelajahi
lautan kasih sayangmu
Ridhomu terpahat di jantungku
Doamu menurunkan keharuan di mataku


Catatan Hidup

Sunyi berbaring di kalbuku
Gema ayat-Mu yang melintas
Menyalangkan kembali mataku
Melawan ombak yang keras

Kupetik angin dari mata ibuku
Aku simpan di jantungku
Kelak ingin kubagi pada pacarku
yang membawa bulan untukku

Angin dan bulan akan kusimpan
buat bekal keturunan di perjalanan
Memang harus ada yang dipahatkan
sebelum ruh meninggalkan badan


Azhar lahir di Jakarta, 6 Agustus 1966. Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta) kini lebih dikenal sebagai perupa. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Buku puisinya, Lintasan Langit Biru, terbit saat masih SMA, lalu Mata yang Memberi, ditebitkan Penerbit Bukupop, Jakarta, 2005. 

Buku lainnya adalah novel: Anak-anak Perjuangan, Kerja Keras Berbuah Nikmat, Cerita Seorang Pejuang, Ladang Sang Penari, Godain Kita Dong, Gadis Manis Pencuri Cinta, Selamat Datang Cinta. Novelnya juga pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Pagi dengan judul Bercinta dalam Kemelut, novel Perempuan Tergadai dimuat bersambung di Yudha Minggu. Novel saduran yang tulisnya bersama Dr. Syahrial berjudul Ken Tambunan  dan Sang Pangeran

Buku terbarunya, novel saduran, Sidi Ibrahim dan Putri Raja, diterbitkan Perpusnas Press. Dia punya galeri lukis dan bisa diikuti di Youtube 

Cerpen: Ahmad Dhani Tahu Ia akan Mati

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia harus berontak, harus bisa melarikan diri dari ruang isolasi.

Bagaimana cara keluar?!  Ia telah mencoba, usahanya gagal meyakinkan orang-orang bahwa ia tidak layak berada di tempat itu. Dan orang-orang itu, para petugas yang menjemput ke rumahnya, mengakui kalau ia memang tak layak diisolasi. Cuma, kata para petugas, ia memenuhi semua syarat untuk diisolasi. 

Ia baru datang dari Jakarta, kota yang terkontaminasi virus, dan tak melaporkan kedatangannya. Ia pun tak punya surat-surat yang menyatakan dirinya sudah mendapat vaksin, sehinga kepulangannya dicurigai kalau ia salah satu pasien yang berhasil melarikan diri dari Jakarta.  

Selain itu, dan ini yang sangat penting, para petugas akan mendapat banyak keuntungan dengan menetap seseorang sebagai pasien terpapar virus Covid-19. Negara mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk mengatasi bertambahnya korban, dan negara akan memberi dana kepada daerah yang warganya banyak terpapar virus. 

"Kau akan bebas asal kau sediakan uang!" kata salah seorang petugas, "kau punya keluarga yang bisa dihubungi?"

Ia menatap petugas itu. Geliginya gemeletuk menahan geram. Kalau saja tangannya tak terikat... ah, betapa konyolnya,  kedua tangannya terikat ke sisi sisi ranjang rumah sakit. Tapi ia tetap membayangkan meninju petugas itu. tepat di hidungnya, dan ia tertawa melihat darah segar mengucur dari hidung itu. 

"Sinting!" kata petugas, "malah tertawa."

*

Uang!? pikirnya.  Itulah yang tidak dimilikinya. Hidup di Tangerang Selatan mendadak begitu mahal. Tabungan selama tiga tahun bekerja di pabrik, terkuras dengan cepat, tak sampai hitungan sebulan. Semua karena harga segala sesuatu melonjak tinggi,  naik berkali-kali lipat. 

Papi Liong, satu-satunya warung yang tetap bersedia buka dari puluhan warung di komleks tempat tinggal Ahmad Dhani, mengatakan harga naik sesuai hukum ekonomi; supplay berkurang akibat banyak pabrik yang tutup sementara perminta tinggi.  

Ahmad Dhani sudah mencoba berutang, tapi Papi Liong menolak. "Elu siapa?!" ketus Papi Liong, "kalau elu mau, ambil. Kalau gak, elu bisa pergi!"

Papi Liong, laki-laki 54 tahun, tak pernah seketus itu menghadapi pembeli. Jangankan minta harga dikurangi, bayar nyicil pun ia ladeni. Ia, bahkan, suka mencandai pembeli dengan humor-humor yang terdengar lucu hanya karena lidahnya cadel saat bicara.

Ia berubah 380 derajat setelah istrinya  yang menderita diabetes, divonis dokter terpapar virus Covid-19. Perempuan yang selalu duduk di kursi roda dan setiap hari menemani Papi Liong menjaga warung, dibawa paksa pakai ambulance dan diisolasi di sebuah gedung yang tak boleh dikunjungi siapa pun.  Beberapa hari berselang, istrinya dikabarkan telah meninggal.

Papi Liong meraung-raung, minta tolong kepada setiap orang agar bersedia membantunya meminta jenazah istrinya. Ia bilang, arwah istrinya tidak akan bisa bereinkarnasi jika tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya.  Leluhurnya di Tionghoa juga tak akan menerima perlakuan itu. 

Tapi, jangankan menolong, orang-orang lebih memilih mengunci pintu dan jendela. Orang-orang mendengar ketika petugas datang dan mengancam akan membawa Papi Liong kalau masih saja protes. 

Papi Liong akhirnya menyerah. Sejak itu, hampir tiap hari ia terdengar meraung-raung. Rauangannya menandai periode menyedihkan di perkampungan tempat Ahmad Dhani mengontrak. Para petugas datang dan mewajibkan siapa saja di perkampungan itu agar mengikuti uji laboratorium. Jika menolak, petugas akan memberi hukuman di tempat, menggeret yang bersangkutan dengan perlakuan sebagai pasien Covid-19.

Situasi semakin parah ketika koran memberitakan, setelah semua warga menjalani swap dan uji laboratorium, tujuh di antara warga ternyata terpapar virus Covid-19. Dua di antara warga itu tinggal di rumah petak, sekitar dua rumah petak dari tempat Ahmad Dhani mengontrak.  Akibatnya, semua penghuni komplek rumah petak itu dilarang keluar rumah, dan ini membuat Ahmad Dhani sangat tersiksa. Tambah sengsara ketika Ahmad Dhani dapat kabar kalau perusahaan tempat ia bekerja sebagai buruh dipksa tutup setelah salah seorang buruh divonis terpapar virus Covid-19.  

*

Suatu malam Ahmad Dhani kabur dari rumah kontrakannya.  Jalanan sepi. Kota seperti baru ditinggalkan penghuninya. Sekali-sekali melintas ambulance, meraung-raung memecahkan kesunyian. Sekali-sekali mobil patroli polisi, berjalan lambat.  

Semua orang tidak bebas keluar rumah. Hubungan sosial dibatasi. Tak ada yang boleh melawan, polisi dan kekuatan militer akan datang. Mereka bisa mendakwa siapa pun telah terpapar virus. Tak akan ada pengacara di dunia ini yang mau membela.  Hukumnya jelas, diisolasi, terputus dari segala kehidupan sosialnya.

Bertahan tanpa bisa melakukan apa pun sama saja dengan hidup dalam isolasi.  Ahmad Dhani putuskan meninggalkan Tangerang Selatan, kota tempat ia tinggal selama tiga tahun terakhir.  Ia pulang ke kampungnya di Padangsidimpuan, kota kecil di Provinsi Sumatra Utara. 

Menumpangi  bus yang berjalan selama dua hari satu malam dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra adalah siksaan dalam hidupnya. Lima belas penumpang di dalam bus, semua menjadi orang asing antara satu dengan lainnya. Tidak ada tegur sapa. Hening. Kaku. Setiap orang berusaha menghindar untuk bersitatap dengan orang lain.

Ia merasa seperti berada di dalam sebuah dunia asing yang bergerak dengan orang-orang di sekitarnya yang dapat berubah menjadi menakutkan. Seperti situasi dalam dunia fiksi, hidup di tengah-tengah zombi dan tidak diketahui zombi yang mana yang akan menyengsarakannya.

Salah seorang penumpang, seorang perempuan muda, duduk di belakangnya, menjelma mimpi buruk. Sejak awal perempuan muda itu memakai masker, sama seperti penumpang lainnya, tapi ia berbeda,  menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Begitu naik, perempuan muda itu langsung berlipat di kursinya. 

Ketika bus menyeberangi Selat Sunda, lalu berada di sebuah kapal rool on rool of,  perempuan muda itu mendadak histeris. Lantai bus dipenuhi darah, juga jari jemarinya. Ia baru saja menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya. 

Orang-orang panik, menghambur keluar bus. Ahmad Dhani sedang tertidur, sontak bangun, dan melihat perempuan muda itu menggelupur. Darah menggenangi lantai bus.  

Ia meloncat dari bangkunya. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba sudah berada di luar bus.  Bus dikosongkan. 

Perempuan muda itu tiba-tiba keluar dari pintu belakang. Seluruh tubuhnya merah darah. Pakaiannya, tangannya.... Langkahnya gemetar. Ia minta tolong. Orang-orang panik, berhamburan menjauh. 

Seseorang, laki-laki  bertubuh tegap, tiba-tiba maju dan menerjang perempuan muda itu.  Perempuan muda itu terhempas dan menghantam sebuah mobil. Alarm mobil itu meraung, menyita perhatian orang-orang. Perempuan muda itu masih bergerak, terlihat sangat kesakitan.

Laki-laki yang menerjangnya memasang kuda-kuda, siapa menghantam kali kedua. Ketika perempuan muda itu mencoba bangkit, laki-laki bertubuh tegap itu meloncat. Kakinya yang kokoh menghantam perempuan muda, tubuh perempuan muda itu terjungkal dan berguling-guling sampai ke pagar pembatas kapal. 

Seorang perempuan gendut dekat pagar pembatas, menyepakkan perempuan muda itu keluar dari kapal. 

Kepanikan berhenti. Orang-orang menatap ke laut. Perempuan muda itu mengapung-apung dipermainkan ombak. 

Ahmad Dhani menoleh ke penumpang bus yang berdiri di sampingnya. Mereka saling pandang.  Mata mereka berbicara tentang hal-hal yang mereka khawatirkan. 

*

Ahmad Dhani tiba di rumahnya di Padangsidimpuan.  Azan Magrib baru selesai. Rumah sunyi. Bau debu menyeruak. Ayah dan ibunya tak bangkit dari kursi, hanya menatap dingin ke arahnya. Tidak ada pelukan. Sorot mata mereka jelas mencurigainya.  

Ia tidak perduli, membawa tasnya, masuk ke kamar.  Di kamar itu, ada adiknya, Sultoni, sedang rebahan. Anak 15 tahun itu bangkit begitu melihatnya. Ketika adiknya hendak memeluk, ia memberi isyarat agar menjauh.  

Sultoni terduduk lesuh di pinggir tempat tidur. "Kenapa semua orang saling memusuhi," kata adiknya, lalu menatapnya, tampak serius. "Kita ini saudara kandung... Kenapa seperti orang asing."

Ia merasa dadanya dihantam.  Tapi ucapan itu tidak mengubah situasi. Ia menatap adiknya. "Mana Husin dan Yanti?" ia sebut nama dua adiknya yang lain. 

Sultoni meraung. "Husin meninggal karena Covid, ia dibawa petugas dan dikubur entah di mana. Yanti sedang diisolasi. Kita juga dilarang keluar rumah."

"Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" Ahmad Dhani kesal. Ia membayangkan dirinya akan ikut diisolasi di dalam rumah. Ia tidak akan bisa keluar, dan hal ini membuatnya marah. "Kalau tahu begini, aku tak akan masuk ke rumah ini."

"Bagaimana mau mengabari, kami tidak bisa ke mana-mana."

Ahmad Dhani mengangkat tasnya, keluar kamar, dan mencoba keluar rumah.  Ayah memberi isyarat agar ia jangan keluar. Ibu menangis.  Ia bergeming, membuka pintu. 

Begitu pintu terbuka, di luar sudah ramai. Lima petugas, masing-masing memakai seragam pelindung berwarna putih, sudah menunggunya. Ia diseret ke mobil ambulance. Ia berteriak-teriak. Ia berusaha melawan. 

Seorang petugas menghantam kepalanya. Ia pingsan dan tubuhnya dileparkan ke dalam mobil ambulance. 

Ketika ia sadar, ia sudah berada di dalam ruangan isolasi: sebuah ruang berbentuk kubus berdinding transparan. Ia mencoba bangkit, memijiti  tengkuknya yang terasa nyeri. 

Ia tebar tatapan, tak ada siapa pun. Ia menyentuh dinding. Aliran listrik menyengatnya. Ia berteriak-teriak memanggil orang-orang. 

Ia dengar suara pintu dibuka. Dua orang memakai perlengkapan pelindung muncul di sampingnya. Melihat kedua orang itu, ia bertanya kenapa mereka membawanya. 

"Kami menjalankan aturan," kata salah seorang. "Kau baru saja datang dari daerah yang terpapar Covid."

"Aku tak terpapar."

"Semua orang yang datang dari daerah pandemi Covid  selalu berkata hal yang sama seperti yang kau ucapkan," kata petugas yang satunya. "Kalian melarikan diri dan bermaksud menyebarkan virus itu ke daerah ini."

"Itu tidak benar."

"Kami yang menentukan sesuatu itu benar atau tidak," kata petugas. "Cara kami ilmiah. Kami punya laboratorium."

"Saya sudah disuntik anti virus."

"Kami tak percaya begitu saja," petugas bersikap tegas. "Kami tahu semua serum anti-virus yang dipakai di daerah pandemi itu palsu karena para pejabatnya ingin mendapat keuntungan. Itu yang menyebabkan banyak yang terpapar virus."

"Kalian bisa periksa saya! Saya sehat. "

"Itu butuh proses."

"Berapa lama?!"

"Jangan mendikte kami. Kami paham dengan apa yang kami kerjakan."

Dua petugas lagi masuk, membawa nampan berisi peralatan medis. Dua petugas pertama membuka kotak isolasi, menyuruh Ahmad Dhani tenang. "Jangan konyol! Kami hanya mau memberimu vaksin," kata salah seorang petugas.

"Tidak!" Ahmad Dhani berteriak. "Aku tak mau. Aku tak percaya."

"Kami tak membutuhkan apapun darimu," ketus petugas. "Kami hanya perlu memastikan semua orang yang dibawa ke mari sudah divaksin."

*

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, tapi ia yakin hal itu akan menimpa dirinya. ia harus bisa meloloskan diri. Harus....!?




Budi Hatees
lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, dengan nama Budi Hutasuhut. Menulis sejak masih SMP berupa cerpen dan puisi di sejumlah media terbitan Medan dan Jakarta. Tahun 1990 menjadi mahasiswa di Jakarta, tapi lebih banyak terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan kesenian ketimbang berkuliah. Telah menjadi jurnalis sejak 1991, bekerja lepas di Suara Pembaruan, Jayakarta, Mutiara, dan lain sebagainya. Telah menulis banyak buku, terutama biografi para tokoh, hasil kajian budaya dan sejarah, kumpulan esai, dan lain sebagainya.


Cerpen: Ruang Syalala

Bulan purnama terang benderang di atas Jakarta. Cahaya itu tak berarti apa-apa di mulut sebuah gang kecil; itu satu-satunya jalan menuju perkampungan kumuh di dalam gang kecil itu, kampung yang menyempil di antara gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi sebagai sisi gelap kehidupan dari gemerlap metropolitan.

Ke mulut gang itulah Lala masuk, melangkah pelan dan pasti. Gadis itu mengenakan gamis hitam, sewarna dengan kerudungnya, tas bermerek di bahu kirinya. Ia memakai masker warna hijau pupus.

Suara langkahnya bergema, dipantulkan tembok-tembok tinggi di kiri dan kanan gang. Tembok-tembok itu memisahkan kehidupan manusia secara kontras antara mereka yang tinggal di gedung-gedung bertingkat di balik tembok dengan perkampungan kumuh. 

Bau pesing menyeruak dari tembok-tembok itu, masker menyelamatkan hidungnya dari hantaman aroma asam amoniak itu. Ia terus melangkah, melewati tembok-tembok yang dipenuhi coretan kata-kata kotor, makian-makian dalam Bahasa Inggris, dan gambar-gambar yang memperkuat kesan bahwa perkampungan di dalam gang kecil itu bukan tempat yang bagus untuk dikunjungi.

Ya, sudah santer ke mana-mana di Jakarta, kampung kumuh itu lebih tepat sebagai sarang ketimbang sebagai perkampungan. Di dalamnya, hidup orang-orang yang hanya bisa bernafas pada malam hari, hidup dari kehidupan yang justru kematian bagi orang lain. Mulai dari pencopet, penipu, pemabuk, pedagang narkoba, dan para pelacur. 

Semua membentuk komunitas, sebuah masyarakat dengan sistem sosial yang khas, tetapi menjadi hantu yang menakut bagi orang-orang di luar komunitas. Dan, pernah, beberapa tahun lalu, puluhan polisi menyerbu perkampungan itu, menyisiri tiap sudut dari 15 rumah yang ada di dalamnya untuk mencari narkoba.

Tentu saja polisi tak menemukan apapun, dan polisi merasa intel yang dikirim sudah dikadali, maka secara membabibuta tujuh orang ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba di Jakarta.  Tuduhan itu tak berhasil karena tak ada barang bukti. Ketujuh orang itu seharusnya dibebaskan tanpa syarat, tapi polisi hanya bersedia mengeluarkan jika ada uang tebusan. Laku rampok polisi, peristiwa yang teramat biasa, hal konyol yang selalu menyasar orang-orang miskin Jakarta.

Lala hanya dengar cerita itu dari orang-orang perkampungan, dan dampak penggerebakan itu membuat perkampungan senyap selama dua hari. Tidak ada kehidupan, mirip perkampungan hantu yang ditinggal penghuninya lantaran teror wabah penyakit. Memasuki hari ketiga, segalanya kembali pada kondisi semula. Kehidupan menggeliat lebih ramai dari pasar malam. Selalu, seusai jam Isya, perkampungan itu bergaira dengan orang-orang yang keluar masuk gang untuk menikmati kehidupan malam.

Kehidupan malam dengan para pemabuk yang marah karena pemilik warung menolak mengutangkan sebotol minuman, pelacur yang merepet kepada laki-laki hidung belang yang terlalu rendah menawar harga, sekelompok preman yang memata-matai seseorang yang diduga sebagai intel, atau anak-anak remaja yang berlari-lari di gang untuk menghindari mucikari yang memergoki mereka mengintip dari cecelah dinding ke dalam sebuah kamar pelacuran.

Anak-anak yang malang?! Generasi muda bangsa yang perkembangannya mengkhawatirkan? Itu kesan pertama Lala begitu tahu kondisi mereka. Tak bisa tidak, kesan itu streotife. Tapi kesan itu buyar begitu ia dekat dengan anak-anak itu, bermain bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, dan…

Minimal sekali dalam sepekan, selalu malam hari, Lala datang untuk menemui anak-anak itu. Pernah ia dating siang, tapi perkampungan itu seperti tanpa penghuni. Semua orang keluar, juga anak-anak remaja itu, entah ke mana. Belakangan Lala tahu, ada dari mereka yang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan ada yang terjerembab lebih dalam ke ceruk kehidupan sebagai bagian pencopet yang acap beraksi di angkutan kota. Begitu tahu sisi lain dari anak-anak remaja itu, Lala tak memarahi mereka.

Lala  hanya tersenyum. Dan malam ini, ia melangkah dengan niat yang sama; menemui anak-anak itu. Ia lihat bayangan kelam menggeliat di kejauhan,  seseorang dalam gelap berlipat di tengah-tengah gang, menceracau dengan suara serak, dan botol minuman keras menggelinding di sampingnya. Lala mengenal pemabuk itu sebagai Kapto, pengangguran yang menganggap hidup hanya untuk meminum alkohol, dan ia menyapanya sambil terus melangkah. Tergeragap, Kapto menyahut, lalu muntah.

Seekor tikus got menyeberang di hadapan Lala, gesit dan tampak ketakutan, menghilang di tumpukan sampah.  Lala mempercepat langkah, mulai memasuki perkampungan, lalu mengedarkan tatapan ke setiap sudut. Rumah-rumah kayu berdiri tumpang-tindih dan kumuh,  remang dan suram. Orang-orang meriung di depan rumah,  suara mereka tertawa lepas. Ada anak kecil merengek, ibu-ibu berteriak-teriak, musik remix, lagu dangdut. Semua biasa dan teramat biasa.

Lala berhenti sebentar di bawah sinar lampu gang yang redup, tak jauh dari tiga laki-laki yang sedang berjoget di depan rumah. Nazhar menyanyi di Youtube yang dibuka di telepon genggam. Lala memperbaiki letak tali tasnya yang mau jatuh, lalu kembali melangkah.

"Cewek...!" Seseorang dari balkon sebuah rumah menyuitinya.

Lala hanya tersenyum. Seperti sudah ia duga, detik berikutnya ia dengar suara lain, seseorang membentak orang yang baru menyuitinya. "Sinting kau Barno! Itu Lala. Jangan kau ganggu dia!"

Lala kenal pemilik suara itu, Rahman Picak, salah seorang yang paling ditakuti di perkampungan itu.  Pertama kali bertemu Rahman Picak, itu hampir setahun lalu, hari pertama ia harus mengunjungi perkampungan.  Saat ia sedang mengamati anak-anak di perkampungan, Rahman Picak menghampirinya dan menggertaknya.

"Kau siapa? Mau memata-matai kami ya!?" Rahman Picak mengancam akan menyakitinya, dan ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. 

Lala menatap Rahman Picak, lalu mencoba tersenyum.  Ia merasa pernah lihat wajah Rahman Picak, entah di mana, tapi mungkin di televisi, atau di koran, tapi entahlah.  Dan mata itu...ya..ya..... Ia ingat mata itu terkena lemparan batu ketika polisi menyerbu perkampungan untuk menangkapi para bandar narkoba.  Ia mencoba tersenyum. "Pak Rahman...?" sapanya.

"Bilang saja Rahman Picak... Kenapa?!"

"Rahman Picak!" Ia tersenyum. "Bapak yang dulu kena batu saat polisi menggerebek perkampungan ini."

"Kau menontonnya...?" Tiba-tiba suara Rahman Picak melembut. "Bagaimana.... Bagaimana penampilan aku?"

Lala cepat menjadi akrab dengan siapa pun. Itu kelebihannya. Ia baru tahu kelebihannya setelah Bambang Suranto, direktur di perusahaan, memanggilnya untuk mengerjakan project CSR (corporate social responsibility) perusahan di kampung kumuh.  "Kami tahu kau mampu mengerjakannya," kata Bambang Suranto.

Lala tak percaya dirinya mendapat kepercayaan begitu besar dari direktur perusahaan.  Baru dua tahun ia bekerja sebagai staff di bagian CSR, dan hampir tak pernah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan perusahaan di luar. Ia hanya karyawan administrasi, berkutat dengan tumpukan berkas yang sebagian besar proposal permintaan sumbangan dari pihak luar. Pernah terpikir olehnya untuk keluar, mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dengan karakternya. Tapi pikirkan itu segera disingkirkannya mengingat betapa sulit mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta sementara ia sudah memilikinya.

Mendapat tanggung jawab baru, Lala berjanji kepada dirinya tak akan mengecewakan direktur.  Tapi rekan-rekan di kantor mewanti-wanti agar ia lebih hati-hati. Mereka mencoba menakut-nakuti agar menolak project itu, tapi Lala tak bergeming. Ia tahu, rekan-rekan hanya iri karena proyek yang ditanganinya, dan mereka mendambakan memegang proyek itu.

Langkah Lala berhenti di depan sebuah warung, rumah kecil yang remang-remang, dengan sepotong papan bertuliskan "Mekmeah" terpampang di depannya.  Melihat Lala muncul, seseorang bertubuh gemuk, keluar menyambut. "Aihh, ibu Lala sudah datang. Masuk, Bu!” kata Uti.

Lala hanya senyum. Ia hafal betul siapa Uti, pemilik warung yang menguasai laci tempat uang, seseorang yang tahu persis bahwa senyum ramah membuat siapa  saja akan dengan senang hati untuk singgah. Warung yang menjual minuman dan rokok hanya kedok bagi Uti untuk menyembunyikan bisnis lendir yang dikelolanya bertahan-tahun. 

Di dalam warung, ada kamar-kamar ukuran 2x3 meter, hanya muat selembar kasus dengan dua bantal lapuk dan bau apak, tempat di mana pelacur dan laki-laki hidung belang melayang-layang. Kamar-kamar itu disewakan Uti untuk short time, tak lebih 30 menit. Jika dalam 30 menit penyewanya tak keluar, karakter asli Uti akan muncul dengan mulut kasar yang jorok, lebih jorok  dari tempat pembuangan sampah.

Saat Lala berjalan mengikuti Uti memasuki sebuah lorong kecil antara kamar-kamar short time di dalam rumah, mereka berpapasan dengan seorang laki-laki betubuh kurus yang baru keluar dari salah satu kamar. Matanya liar dan genit mengikuti Lala, lalu berbisik pada Uti. “Barang baru ya! Bagus juga!”

Refleks, tangan Uti  yang gempal mendarat di pipi laki-laki itu. “Kurang hajar! Jaga mulut kau ya.”

Lala kaget.

Laki-laki kurus itu merasa telah dihinakan dengan tamparan itu. Emosinya hendak meledak, tapi ia urungkan ketika Rahman Picak muncul di depan warung. Laki-laki kurus itu tahu Rahman Picak, dan nama itu santer sebagai centeng yang memegang semua perkampungan karena punya ilmu kebal.

Uti membawa Lala masuk lebih ke dalam Lorong, lalu mereka keluar dan sudah berada di bagian belakang rumah, di hadapan sebuah bangunan. Ke dalam bangunan itulah Lala masuk, tempat yang selalu ia kunjungi, ruang 4x12 cm yang pengab tanpa ventilasi. Itu Ruang Syalala. Di dalamnya sudah ada puluhan anak-anak remajadan mereka sontak berdiri begitu Lala masuk.

Riuh suara mereka, riang dan penuh semangat. Dua belas jumlah mereka, anak-anak yang lahir dan tumbuh di perkampungan kumuh. Mereka tak pernah sempat menjadi anak-anak, dipaksa oleh keadaan untuk cepat dewasa. Hidup sebagai tulang panggung keluar, menjadi pengamen, pedagang asongan,  dan apa saja yang membuat mereka bisa pulang membawa uang. Seluruh waktu mereka lunas bukan sebagai anak-anak, tetapi orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Lala mengumpulkan mereka sebagai bagian dari proyek CSR dari perusahaan, membuka wawasan mereka dengan memberi bacaan, pendidikan, mengajarkan mereka tentang makna hidup. Sekali-sekali, Lala membawa mereka ke Dupan, Taman Mini Indonesia Indah, atau ke mal.   

Awalnya Lala hanya ingin berbagi sesuatu yang bisa jadi spirit bagi anak-anak, tapi segalanya kemudian berbalik, sebab ia yang justru mendapatkan hal yang luar biasa dari anak-anak itu.

Sekalipun orang-orang di Jakarta memandang mereka secara streotif sebagai sisi gelap dari kehidupan metropolitan yang harus dijauhi bila bertemu,  ternyata mereka sangat memanusiakan manusia. Tak ada seorang pun yang ingin mereka jauhi, sebaliknya mereka ingin dekat dengan siapa pun, tapi penampilan fisik mereka yang jauh dari predikat higenis, membuat orang-orang menghindar.

Pernah, seseorang yang mengaku konglomerat dan memiliki gedung apartemen di balik tembok, mengirim empat anak buahnya untuk menyingkirkan perkampungan kumuh karena di atas lahannya akan dibangun gedung apartemen 50 lantai.  Mereka membawa koper berisi uang dan setumpuk surat, meminta siapa saja yang punya rumah untuk menandatangi surat dan mereka akan mendapatkan ganti rugi. Tapi, tidak ada yang mempercayai empat suruhan itu,dan orang-orang memaksa mereka angkat kaki.

Jalan yang ditawarkan tak diperdulikan, konglomerat itu merasa diremehkan. Ia cari alternatif lain, dan tumpukan uangnya bicara di kantor pemerintah dan kantor polisi, mengubah isi kepala dan isi hati semua elite agar berpihak kepadanya dengan alasan Jakarta harus tertata rapih. 

Selang sepekan, puluhan orang yang mengaku rekanan dari konglomerat, dating membawa alat-alat berat dan siap meratakan lahan. Puluhan petugas dengan petungan dan tameng, mengawal para pekerja. Mimpi buruk warga perkampungan kumuh segera tiba,  tapi segalanya berhenti ketika anak-anak dari Rumah Syalala maju ke depan dan menantang. 

Lala ada bersama mereka, berpidato tentang hak asasi manusia, masa depan generasi bangsa, dan nilai-nilai kemanusiaan. Adegan yang heroic itu, disiarkan secara langsung oleh stasiun-stasiun televisi, dan Bambang Suranto menonton aksi itu lewat layer televisi di ruang rapat pemegang saham.

“Anak buah siapa yang mau merubuhkan kampung kumuh itu?” teriak Bambang Suranto.

Seseorang angkat tangan, bicara dengan nada suara yang lemah. “Maaf, Pak, itu proyek baru kita.”

“Kita!?” Bambang Suranto mengernyitkan kening. “Kenapa saya tidak diberi tahu?”

“Ini kebijakan anak perusahaan kita.”

“Batalkah!” teriak Bambang Suranto. “Perempuan yang aksi itu anakku. Jangan ada yang mengganggunya. Aku sengaja mengirimnya ke sana untuk mengubah perkampungan itu….” 

Bambang Surantyo tersenyum. Licik.

 *

 

Mad Giawa akronim dari Muhamad Anwar Dani Giawa lahir di Kota Padangsidimpuan, 7 Juli 1998. 

Anak pertama dari 3 bersaudara ini mengenyam pendidikan dari SD hingga SMK di kota kelahirannya. Merantau ke Tangerang sejak tahun 2017. Pernah menjadi kuli bangunan, buruh pabrik, barista, ojek daring, dan menjadi sales produk rokok. 

Saat ini menjadi mahasiswa semester akhir jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan.

Ia merupakan salah seorang penggerak Festival Sastra Sanusi Pane 2024 yang digelar di Kota Padangsidimpuan.

Cerpen: Masa Lalu

Erisha mengunci diri  di kamar. Ayah dan ibu kembali perang mulut. Ia sudah bisa menebak, perang ini akan diakhiri dengan teriakan-teriakan, menyusul suara barang-barang pecah.

Sejak dulu, ayah dan ibu acap perang mulut, tapi selalu berakhir dengan kehangatan. Beberapa bulan terakhir, perang mulut telah menjelma medan pertempuran yang dasyat. Akhirnya selalu sama: ibu menangis.

“Dulu ayah gak seperti itu,” kata ibu kepada Erisha.

Erisha hanya diam.

Sejak rumah menjelma medan pertempuran, Erisha banyak berubah. Teman-teman kehilangan Erisha yang dulu. Mereka menanyakan Kenapa Erisha berubah, tapi gadis 14 tahun itu tak menjawab apapun.

Erisha bukan tipe orang yang suka bercerita. Ia lebih suka menyimpan masalah, menanggungnya sendiri, dan menangis. Hampi tiap malam sebelum tidur air matanya tumpah.

*

Sepulang sekolah, Erisha mendengar suara tangisan dari arah dapur. Mengira telah terjadi sesuatu dan mengkhawatirkan hal itu, ia berlari ke arah asal suara. Ibu sedang menangis sambil memegang selembar kertas.

“Ada apa, Bu?” tanya Erisha, “apa yang terjadi?”.

“Ayahmu…!” Ibu mengisak. “Ayah menceraikan ibu.” Ibu menatap Erisha, matanya basah.  “Ibu harus baggimana Erisha?”

Erisha memeluk ibu. Gadis remaja itu menangis.

Terdengar suara pintu dibuka, menyusul suara langkah kaki. Ayah muncul, langsung menghampiri ibu.

“Kamu mau cerai kan? Tanda tangani surat ini!.” Ayah ketus sambil menyodorkan pulpen.

“Sampai kapanpun kamu tetap akan menjadi pembunuh ayahku, Adrian.” Ibu mengambil pulpen dari tangan ayah, langsung menanda tangani surat di hadapannya.

“Ayah! Ibu! Ada apa?” Erisha buka mulut. “Setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi.” Erisha menangis.

“Ibu  enggak mau hidup sama pembunuh yang tak tahu diri.”

“Diam kamu, Anjani!” Ayah menampar ibu.

Erisha berteriak. Ibu hanya diam memegangi pipinya yang baru saja ditampar.

“Erisha!” Ayah membentak dia menamparnya.

Ayah yang selalu lembut, tiba-tiba menamparnya. Erisha menangis, langsung memeluk ibunya.

“Kamu mau iku Ayah atau Ibu?” teriak ayah.

“Erisha sama aku. Kamu ga akan bisa ngurus dia.” Ibu semakin kuat memeluk Erisha.

“Aku enggak bertanya sama kamu, Anjani. Aku bertanya ke Erisha.”

“Aku… Aku mau sama mama.” Erisha menjawab, tapi ayah langsung pergi.

*

Setelah kejadian itu, Erisha memutuskan tidak bersekolah selama beberapa hari. Ia ingin menenangkan diri, juga harus menjaga ibunya akan pergi ke Pengadilan Agama untuk menjalankan sidang perceraian.

Ibu menangis setiap hari. Saat Erisha ikut menangis, ibunya panik dan langsung menenangkan Erisha.

Saat hari sidang perceraian tiba, Erisha memilih berada di rumah. Ibu tampak baik-baik saja. Saat Ibu melangkah keluar rumah, telepon ibu meandering. Salah seorang teman ayah menelepon ibu.

Saat bicara, tiba-tiba ibu berteriak dan mulai menangis. Erisha panik. Ia menanyakan apa yang terjadi.

“Ayah! Ayah kecelakaan.”

Erisha terhenyak.

Telepon ibu kembali mendering. Erisha merebutnya dari tangan ibu. Orang yang menghubungi ini memastikan kalau ayah meninggal karena kecelakaan saat ingin pergi ke pengadilan. Mereka meminta Erisha dan ibu ke rumah sakit untuk melihat jenazah ayah.

Dunia Erisha serasa runtuh. Ia dan ibu menangis. Beberapa saudara dating, memeluk Erisha dan ibu. Erisha menangis sesegukan. Tubuhnya melemah. Pandangannya mengabur. Segala sesuatu tiba-tiba gelap. Ia merasakan dunia berputar-putar.

Entah berapa lama, Erisha bangun dan mendapati dirinya sedang berada di sebuah restoran. Ia memperhatikan sekeliling. Ada banyak orang di sekitarnya, sedang menikmati makanan. Seorang pelayan menghampirinya, menghidangkan makanan di hadapannya. Erisha tidak mengerti apa yang terjadi. Ia bermaksud hendak bertanya kepada pelayan itu, tapi laki-laki itu pergi.

Erisha mengernyitkan dahinya. Ia tatap pesanan yang baru dihidangkan pelayan.

*

Selesai makan, Erisha meninggalkan restoran. Di luar gedung restoran, ia berpikir untuk pulang. Ia bermaksud ke pangkalan ojek. Saat ia melangkah, tiba-tiba  seorang laki-laki menabraknya.

“Maaf, Mbak!” kata laki-laki itu, “aku terburu-buru mau bertemu Anjani.” Setelah meminta maaf, laki-laki itu kembali berlari seperti mengejar sesuatu.

Erisha tertawa kecil, menduga laki-laki itu terlambat dan pacarnya yang bernama Anjani sudah menunggu. Ia memperhatikan laki-laki itu berlari dan tiba-tiba Erisha merasa bahwa wajah laki-laki tersebut familiar. Tapi ia tidak terlalu memikirkannya.

Tiba di pangkalan ojek, ia minta tukang ojek mengantarkannya ke rumah sambil memberikan alamat. Tukang ojek sigap. Sepeda motor digeber. Dalam hitungan menit, mereka sampai di depan sebuah rumah.

Erisha kenal posisi rumah, tapi ia tak pernah tahu penampakan rumah begitu berbeda. Rumah yang ada di hadapannya seperti rumah mereka dulu sebelum direnovasi. Tiba-tiba Erisha tersadar akan sesuatu, lalu bertanya kepada tukang ojeknya.

“Maaf, Bang,  ini tahun berapa?”

“2008…” Tukang ojek menatap heran kepada Erisha. “Hari ini  tanggal 10 bulan November.”

“2008!” teriak Erisha.

“Kenapa, Neng?”

Erisha menggeleng. Ia menebar tatapan, lalu menatap tukang ojek. “Berapa, Bang?”

“Delapan ribu rupiah.”

Erisha mencari uangnya. Tidak. Ia tidak membawa uang. Erisha pucat. Ia pandangi tukang ojek, lalu menatap rumah di hadapannya. “Sebentar ya, Bang, ternyata aku gak bawa uang.” Erisha mengetuk pintu rumah.

Beberapa detik berselang, pintu rumah dibuka. Seorang laki-laki tua muncul. “Ada apa?!” tanya laki-laki tua itu. “Mau cari siapa?”

Ditanya seperti itu, Erisha tergeragap. Ia baru menyadari, laki-laki tua adalah kakeknya, ayah dari ibu. Erisha tidak pernah bertemu kakek, karena kakek meninggal sebelum Erisha dilahirkan. Tapi, tentu, ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah Erisha, putri dari Anjani. Itu jelas tidak masuk akal. Dan, tiba-tiba, Erisha menangis.

“Pak!” teriak tukang ojek. “Ia belum membayar ongkos ojeknya. Apakah Bapak yang akan membayar?”

Laki-laki tua itu menatap Erisha, lalu menatap tukang ojek: “Ya! Berapa?”

“Delapan ribu, Pak.”

Laki-laki tua itu memberikan uang kepada tukang ojek. Setelah tukang ojek pergi, laki-laki trua itu menghampiri Erisha.  “Kamu siapa? Ada apa ke sini? Kenapa menangis?”

“Anu….” Erisha berusaha mengarang cerita. “Begini, Pak, aku kawan Anjani. Aku mau bertemu dia.”

“O, kawan Anjani. Kenapa gak bilang dari tadi.” Laki-laki tua itu mengajak Erisha masuk. “Tapi Anjani sedang di luar.”

“Maaf, Pak, aku sudah merepotkan. Aku sudah lama enggak ketemu Anjani. Waktu aku sampai, aku baru sadar ternyata dompetku jatuh entah di mana, jadi aku nangis, Pak.”

“Enggak apa-apa. Tapi Anjani gak ada di rumah. Dia lagi pergi sama pacarnya.”

“Pacarnya?! Apakah Adrian?” Erisha menyebut nama ayah.

“Iya . Nak Adrian itu orangnya baik sekali.”

Erisha tersenyum mendengar ucapan itu.

“Apa Bapak mau pergi?” tanya Erisha. “Kalau tidak keberatan, aku akan menunggu Anjani di sini.”

“Rencananya saya memang mau keluar, tapi … karena kau ada, mana mungkin saya membiarkanmyu sendirian di sini.”

“Saya bisa menunggu Anjani di luar.”

“Ah, tidak. Saya tidak jadi pergi. Tidak lama lagi Anjani akan kembali. Kita sama-sama menunggunya.”

Dan benar, beberapa menit kemudian telepon lakiu-laki tua itu meandering.

“Tuh kan, Anjani menelepon,” katanya.

Laki-laki tua menjawab telepon, ternyata dari Andrian. Ia menanyakan apakah laki-laki tua itu berencana hendak pergi dengan mobilnya. “Kalau bisa, jangan dulu pakai mobil itu, Pak,” kata Andrian, “saya lupa memberi tahu kalau rem mobil Bapak rusak.”

“Rusak!?”

“Ya. Saya akan ke sana bersama Anjani untuk memperbaiki mobil itu.”

Mobil!? pikir Erisha. Ia ingat, ibu pernah cerita tentang kecelakaan yang merengut nyawa kakek karena rem mobil yang rusak. Tiba-tiba kepala Erisha terasa pusing. Dunia berputar-putar. Segala sesuatu kemudian gelap. Erisha tidak tahu apa yang terjadi.

Beberapa menit kemudian, Erisha membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Ia bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar di sisi tempat tidur.

Erisha mendengar suara riuh di luar kamar seperti ada orang yang menggelar pesta. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.

“Hei, cucuku!” teriak laki-laki tua. “Bangunnya kok kesiangan?”

Erisha kaget. Ia melihat kakek, ayah, dan ibu.  Ayah bangkit dan menghampiri Erisha ke pintu kamarnya, lalu membawa Erisha menghampiri kakek.

“Sudah dari tadi kakek dating untuk bertemu Erisha. Kakek melarang ayah membangunkan Erisha,” kata ayah.

“Apa yang terjadi?” tanya Erisha.

Ditanya Seperti itu, ayah dan ibu saling pandang. Kakek bangkit dari kursi, memeluk Erisha. “Kakek kangen, itu yang terjadi,” kata kakek.

Erisha menatap  ayah dan ibu, lalu memmpererat pelukannya pada tubuh kakek.

“Erisha juga kangen sama kakek,” kata Erisha. 


Qhesyila Eina Davinadzra lahir di Padangsidimpuan, 26 September 2010. Siswi kelas IX di SMP Negeri 1 Padangsidimpuan. Hobi membaca. Cita-cita adalah menjadi seorang dokter.