Laporan Lain

Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan

Novela: Putri Priyayi


Pengantar: Putri Priyayi sebuah novel pendek yang bercerita tentang Roro Ayu Widuri Sri ningsih Prabuningtyas, putri angkat pasangan keluarga priyayi yang sudah lama tinggal di Jakarta. Ayu menyadari bahwa darahnya bukan darah priyayi, dan ia tertekan hidup dalam kemewahan yang penuh aturan. Ia memutuskan untuk bebas, seperti Imelda, kawannya, lalu ia kabur dari rumah dan akhirnya hidup mandiri. Ia sukses dan bekerja di Dirjen Pajak, mendapat tanggung jawab sebagai petugas penilai potensi pajak, yang melakukan survei keliling Indonesia. Ia bertemu dengan Budi, satu-satunya laki-laki yang ia cintai selama kuliah, tetapi Budi jatuh cinta kepada Imelda. Kisah percintaan Budi, Ayu, dan Imelda mempertaruhkan persahabatan ketiganya, di mana tidak seorang pun di antara mereka yang akan hidup bersama. Sebagai petugas pajak, Ayu tidak sepemikiran dengan Imelda yang bekerja sebagai direktur pada salah satu grup perusahaan yang menipu pajak, dan Budi merupakan aktivis yang melakukan protes kepada perusahaan di mana Imelda bekerja. 

BAB I. DI TEPI SUNGAI BATANG GADIS 

Kau tidak akan pernah melupakan nama Roro Ayu Widuri Sri Ningsih Prabuningtyas. Itulah satu-satunya nama panjang yang pernah kau tahu disematkan kepada seseorang, dan ia adalah perempuan bertubuh mungil yang berdiri di hadapanmu. “Apakah aku banyak berubah?” katanya. 

Kau harus mengakui kalau ia banyak berubah setelah lima tahun. Saat pertama kali kau mengenalnya di kampus, rambutnya dipotong pendek, di atas bahu hingga tengkuknya terlihat,  dan gaya rambut itu membuatnya terlihat lebih mirip remaja belasan tahun.  Kau baru menyadari kekeliruanmu setelah ia masuk ke dalam kelas dan ikut berkualiah.

Ia ke kampus selalu diantar neneknya –- tapi belakangan kau tahu perempuan tua itu ternyata ibunya --- yang selalu mengenakan kebaya, berkain batik motif parang garudo dan menyanggul rambut berubannya. Ibunya selalu akan menyempatkan menjulurkan kepalanya dari jendela mobil, entah untuk sekadar memberi tahu kepada siapa saja bahwa ia selalu mengawasi anak gadisnya, dan setelah itu mobil sedan klasik berbadan lebar dan berwarna putih metalik yang dikendarai sopirnya akan memutari kawasan kampus sebelum akhirnya keluar dari gerbang..

Sementara ia, gadis itu -– kau selalu memanggilnya Ayu meskipun orang lain akan memanggilnya Sri – buru-buru akan berlari ke kamar kecil dan dalam hitungan menit akan muncul dengan penampilan berbeda; mengenakan jins ketat dan t-shirt yang membuat tubuh mungilnya menjadi lebih mungil. Seperti biasa, selepas dari kamar kecil ia akan menghampiri Imelda, dan membaur di antara rombongan mahasiswa lainnya. Kehadirannya akan memberi warna berbeda karena kemungilan tubuhnya sehingga terkesan Imelda seperti seorang kakak yang berangkat ke kampus sambil menjaga adik kecilnya.

Sudah lima tahun sejak terakhir kali bertemu Ayu, saat  masih sama-sama berkualiah di sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Selatan. Selama itu pula kau tak pernah mengingatnya, dan pasti kau tidak akan pernah mengingatnya seandainya ia tidak pernah menghubungi pada telepon selulermu.  

“Seperempat jam lagi aku akan tiba di rumahmu,” katanya, setelah menanyakan dan mengatakan ini dan itu untuk mengembalikan ingatanmu tentang dirinya.

Kau ingat betul, ia seorang yang pendiam, hanya bicara seperlunya. Ia tidak suka kegiatan-kegiatan kampus, baik intrakampus maupun ekstrakampus. Padahal kegiatan-kegiatan seperti itu penting untuk mengekspresikan jiwa muda yang gelisah dan selalu ingin punya eksistensi.  Ia beralasan tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan itu karena dilarang oleh orang tuanya, meskipun ia sangat mendambakan bisa melakukan apa saja seperti mahasiswa lainnya. 

Ia selalu memberi contoh ingin seperti dirimu, mahasiswa yang super sibuk dan terlibat dalam banyak kegiatan di luar urusan perkuliahan, sehingga siapa saja di dalam kampus maupun di luar kampus akan dengan mudah mengingatmu sebagai aktivis mahasiswa. Ia acap berkhayal suatu saat akan melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukannya saat masih mahasiswa, termasuk naik turun sejumlah gunung sebagaimana kau sering melakukannya bersama kelompok pencinta alam yang sudah berkali-kali mengukur ketinggian nyaris semua gunung di negeri ini. 

Tapi ia tidak pernah naik gunung. Ia juga tidak pernah mau membuka hatinya untuk urusan perasaan. Kau tidak pernah melihatnya dekat dengan laki-laki, konon lagi menjadi begitu akrab.  Hidupnya cenderung kering, hanya berkutat dengan buku-buku kuliah. Sekali-sekali kau melihatnya asyik membaca novel. 

Suatu hari kau bertanya soal itu kepadanya, dan ia meminta dengan sangat agar kau tak mempertanyakan perkara yang sangat tabu dalam keluarganya. Ia beralasan, orang tuanya sangat ketat urusan pergaulan muda-mudi dan mewanti-wantinya sejak lama agar tidak main-main dengan urusan hati.  Belakangan kau tahu dari Imelda kalau ia sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan salah seorang kerabat jauh yang menjadi kolega bisnis ayahnya.

Sebetulnya kau tak begitu akrab dengan dirinya. Tapi kau akrab dengan Imelda, kawan akrab yang belakangan tinggal satu kontrakan dengan dirinya. Imelda berbeda  seratus derajat dengan dia. Imelda gadis yang mandiri, sedikit maskulin. Kau suka tife gadis maskulin, Selain tak menyukai berdandan yang banyak memakan waktu dan tidak terlalu tergantung kepada laki-laki, Imelda memiliki ketertarikan yang sama denganmu soal mendaki gunung dan mencintai keindahan alam raya.

Hubunganmu dengan Imelda memaksamu harus  dekat  dengan Ayu.  Tak terlalu dekat, memang, hanya sekali-sekali kau mengajaknya bicara untuk menanyakan keberadaan Imelda. Dan, kesanmu, Ayu tidak enak diajak bicara.  Kaku. Kosa katamu sering habis jika sedang bicara dengan dirinya.

Tapi kenapa, setelah lima tahun berlalu, tiba-tiba ia menghubungi ke telepon selulermu, mengatakan kalau ia dan dua kawannya sedang dalam perjalanan menuju ke rumahmu. Seperempat jam janjinya. Dan, percakapan di telepon genggam itu belum seperempat jam berlalu ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumahmu. Saat seseorang turun dari mobil, lalu melangkah menghampirimu, kau mengikuti langkahnya sambil berpikir bahwa perempuan itu bukan Ayu. 

Perempuan itu bertubuh tinggi, otot-otot pinggulnya berisi. Ia mengenakan jins hitam ketat, rompi berbahan kanvas warna biru tua, dan memakai sepatu bot yang menutupi bentuk betisnya. Ia mengembangkan senyuman, berdiri sebentar di hadapanmu, dan tampak puas karena kau gagal mengenalinya. 

“Kau masih ingat aku?!” sapanya.

Ia membiarkanmu mengingat dirinya sambil mengedar tatapan ke seluruh sudut di halaman rumahmu, ke pot-pot bunga anggrek yang kau tata di sebelah selatan, ke rumpun melati air yang mekar di tengah-tengah kolam kecil, dan ke patung-patung yang kau letakkan di antara pot-pot bonsai.  Kemudian ia melirik ke dalam rumahmu melalui pintu yang mengaga. “Mana Imelda?” tanyanya.

Imelda!? Kau telah melupakan gadis maskulin itu sejak lama, sejak lima tahun lalu. Selesai kuliah,  hubunganmu dengan Imelda juga selesai. Kau tak ingat lagi penyebabnya, tapi kau tak akan melupakan bagaimana Imelda meninggalkanmu begitu saja.  “Tidak,” katamu. “Imelda tidak pernah ada di sini.”

Ia tergelak. “Imelda!?” 

“Ia masa lalu.”

Ia tersenyum. “Aku sudah menduga sejak awal hubungan Kalian tidak akan berlanjut.” Ia mendekatimu dan menjulurkan tangan. Sikapnya begitu cair. “Apa kabarmu?”

Kau menatapnya. “Kau betul Ayu….!?” Kau masih tak percaya. Ia banyak berubah.  Tidak ada lagi kesan gadis yang pendiam. Sebaliknya, ia sedikit maskulin,  “Kau banyak berubah.”  Tak bisa  tidak, kalimat itu kau sampaikan.

“Bagaimana kau bisa bilang begitu?” Ia menatapmu. “Kau tak pernah memperhatikanku. Seingatku, hanya aku yang sering memperhatikanmu.”

Kau tertawa. Kau ingin melanjutkan kenangan tentang dirinya, tapi dua laki-laki yang belakangan turun dari mobil, tiba-tiba mendekat. Ia kemudian memperkenalkan kedua laki-laki itu. Salah seorang bertubuh kurus, sedikit lebih tinggi darimu, mengaku bernama Husein Sasmita. Satunya lagi bertubuh pendek, berkulit hitam manis, memperkenalkan dirinya sebagai Lazuardi Sarane. Ia memperkenalkan kedua laki-laki itu sebagai rekan kerjanya, dan entah kenapa kau senang mendengar penjelasannya.

Kau mengajak mereka masuk. Ia memuji suasana asri di halaman rumahmu. Begitu berada di dalam rumah, ia juga memuji penataan ruang tamu yang apik. “Kau masih suka fotografi?” tanyanya.

*

IA dan dua temannya bermaksud memasuki kawasan Taman Nasional Batang Gadis untuk urusan pekerjaan, tapi mereka tidak mengenal medan di dalam kawasan hutan itu. Ia berharap agar kau bersedia menjadi pemandunya, karena ia tahu persis kalau kau sering keluar masuk kawasan itu. Tapi kau tidak langsung menyetujui, malah bertanya untuk apa, karena tidak ingin membawa orang ke dalam kawasan dan kemudian orang itu akan merusak lingkungan hidup yang asri di sana. 

Ia tertawa renyah dan mengaku sudah menduga bahwa kau tidak akan mudah diajak memasuki hutan karena kau sangat hati-hati. Dan ia tahu penyebabnya, maka ia menjelaskan bahwa ia bekerja di Dirjen Pajak dengan tanggung jawab untuk urusan menyurvei objek pajak, terutama milik para investor perkebunan yang bergerak di sector agro bisnis budidaya kepala sawit. Katanya, para wajib pajak dari kalangan pelaku agrobisnis sering menipu total luas areal budidaya yang mereka kelola untuk mengakali jumlah pajak yang wajib dibayar, padahal mereka acap menambah total luas tanam melebihi total hak guna usaha yang dikantongi selama ini. Tapi pemerintah melalui Dirjen Pajak tidak bisa diakali lagi, dan mengirimkan petugas untuk melakukan survei pengukuran luas lahan yang dikelola para wajib pajak itu lewat bantuan teknologi satelit yang memungkinkan mengumpulkan data luas lahan secara detail berikut gambarnya. 

“Kebetulan kami ditugaskan ke derah ini untuk menyurvei luas lahan sejumlah investor. Total pajak mereka terlalu rendah bila dibandingkan total produksi. Kami curiga investor-investor itu mengakali pajak dengan melaporkan luas areal garapan yang tidak sesuai kenyataan,” katanya. 

Kau mengangguk karena memahami apa yang ia maksud dan sebetulnya kau sudah lama mendengar ada pekerjaan seperti itu. Tapi kau tetap memerlukan informasi tambahan, mengajukan beberapa pertanyaan tentang bagaimana mereka akan melakukan pekerjaan menyurvei itu. 

“Itu alasan saya menghubungimu.” Ia tersenyum. “Tidak sulit mengumpulkan informasi tentang seorang aktivis lingkungan hidup seperti dirimu. Aku dengar kau sering keluar masuk kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Ada banyak investor yang mendapat hak guna usaha di lahan yang berbatasan dengan Taman Nasional Batang Gadis. Lokasi penelitian kami di sana. Aku berharap kau bersedia mendampingi kami memasuki kawasan itu.”

“Aku!” Kau menatapnya. “Kau yakin aku tidak akan menolak?”

Ia tergelak. “Aku tahu obsesimu tentang lingkungan yang asri. Aku dengar kau sering memprotes kebijakan pemerintah memberikan hak guna usaha kepada investor untuk mengembangkan agrobisnis. Bahkan, beberapa bulan lalu, aku dengar kau menggugat ulah investor yang merambah kawasan Taman Nasional Batang Gadis.”

“Kau tahu semua itu.” Kau ingat aksi protes yang kau layangkan ke investor  yang membudidayakan sawit itu, tapi protesmu dijawab pihak investor dengan mengajukan gugatan hukum ke kepolisian bahwa kau telah mencemarkan nama baik institusi bisnis mereka. Beberapa kali kau harus bolak-balik ke kantor polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar perbuatan pencemaran nama baik itu. Waktumu betul-betul tersita dan konsentrasimu pecah untuk mengatasi masalah gugatan itu, meskipun kau menduga semua ini dilakukan investor untuk menguras energimu agar tidak lagi focus pada persoalan yang kau persoalkan. 

“Usahamu itu yang telah menginspirasi kami.” Ia menyemangatimu. “Kami curiga investor yang kau gugat itu mengakali luas areal budidaya untuk menipu total pajak yang harus dibayarkan.”

“Apa yang bisa aku bantu?”

*

Ia benar-benar berubah seratus derajat. Ia lebih tomboi dari Imelda. Ia sangat mandiri. Ia tak suka kalau kau mengkhawatirkannya. 

Ketika memasuki kanopi Taman Nasional Batang Gadis, kau perhatikan kalau ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya mampu menempuh medan yang sulit. Kau sengaja memilih merambah jalur baru  karena ia menghendaki agar survei yang dilakukan tidak dipergoki siapa pun, terutama pihak investor. Tapi kau tahu, ia belum terlalu berpengalaman memasuki hutan meskipun ia mengaku sudah biasa melakukan pekerjaannya. 

“Medan yang lebih parah dari ini pun sudah pernah aku masuki. Kau tahu kan medan di Irianjaya.” 

Ia bercerita pengalaman memasuki kawasan hutan di Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Belum lama mereka pulang dari Lampung, melakukan survey di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan menemukan fakta tentang kebohongan sejumlah investor. Ada perusahaan agrobisnis budidaya sawit yang menggarap lahan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan hingga 15.000 hektare,  padahal hak guna usaha yang mereka kantongi hanya untuk 10.000 hektare di luar kawasan. “Kami sempat bertemu harimau di daerah Suwoh ,” katanya.

Kau menduga ia menceritakan semua karena merasa kalau kau mengkhawatirkan.  Tapi ceritanya tak lantas mengurangi rasa khawatirmu,  karena cara ia melewati rintangan tidak seluwes seperti seseorang yang terbiasa keluar-masuk hutan. Sekali-sekali kau melihatnya kesusahan dan kau terpaksa menunggu saat ia harus membebaskan diri dari belitan rotan yang berduri. 

Husein Sasmita dan Lazuardi Sarane focus pada peralatan yang mereka bawa.  Husein Sasmita memegang sebuah catatan, berkali-kali ia bicara dengan Lazuardi Sarane, berkali-kali ia menuliskan sesuatu pada buku catatannya. Sekali-sekali  keduanya berhenti,  berbicara tentang data yang tertera pada peralatan. Mereka nyaris tidak memperhatikan siapa pun. Kaulah yang memperhatikan Ayu, mengajaknya bicara tentang apa saja. Kau berharap suasana hatinya akan lebih enak, sehingga perjalanan menempuh medan yang sulit itu tidak membuat suasana hatinya kalut. 

“Kau sudah menikah?” Tiba-tiba kau ajukan pertanyaan yang sebetulnya ingin kau ajukan sejak pertama kali bertemu. “Berapa anakmu?”

Ia berhenti melangkah mendengar pertanyaanmu. “Itu bukan pertanyaan yang sopan?”

“Kenapa tidak!?” Kau tersenyum. “Aku akan mengajukan pertanyaan apa saja yang membuat kita bisa menjadi sebuah tim kerja. Di dalam hutan ini, kita harus menyatu antara satu dengan lainnya.”

“Tetap saja pertanyaan seperti itu tidak sopan diajukan kepada seorang gadis yang seharusnya sudah menikah.”

“Jadi… Kau belum menikah.”

“Menurutmu.”

*

Ketika hari meremang, kau mengajak mereka mendirikan tenda di pinggir Sungai Batang Gadis. Ia membawa satu tenda, dua rekannya membawa satu tenda, dan kau membawa satu tenda. Tiga tenda dipasang. Selesai tugas itu, kau mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan menghadapi malam. 

Ketika gelap merayap di angkasa, api unggun sudah menyala. Sambil makan malam, kau mengajak mereka bercakap-cakap. Tapi Husein Sasmita dan Lazuardi Sarane mohon diri untuk istirahat lebih dahulu. Keduanya kelelahan dan ingin mempersiapkan diri agar mampu menghadapi perjalan besok pagi. Kau menyarankan agar ia juga istirahat supaya kondisinya fit. Meskipun ia tampak kelelahan, ia berusaha memberi kesan bahwa dirinya belum mau istirahat. Kau meyakinkannya bahwa medan yang akan ditempuh lebih berat lagi. “Istirahatlah! Besok pagi perjalanan kita masih panjang dan melelahkan,” katamu.

Ia tak menolak karena kondisinya memang terlihat kepayahan. Ia berjalan gontai menuju tendanya. Setelah ia tak terlihat lagi, kau merapikan api unggun. Setelah itu kau masuk tenda. Tak kau sadari, sebelum tertidur, pikiranmu dikuasai  bayangannya. Perubahannya yang begitu drastis, harus kau akui, membuat hatimu bergetar setiap kali melihatnya. Semua yang ada pada dirinya, sama seperti gadis yang pernah kau bayangkan selama ini. Itu sebabnya, kau tetap memilih hidup sendiri hingga kini.

Kau membayangkan betapa hangat tubuhnya. Bayangan itu membuat kau tertidur sambil tersenyum. 

Entah berapa lama kau tertidur, tiba-tiba kau terbangun dan melihat ada bayangan manusia berkelebat di luar. Kau curiga ada orang yang sengaja datang, dan kau keluar dari tenda tidak melalui pintu beresluiting itu. Kau mengendap di balik tenda, bergerak perlahan mendekati bayangan itu.  Kau lihat sosok itu, berusaha hendak masuk ke tendamu. Kau menerkamnya, dan sama-sama terjatuh. Tapi….

“Kenapa kau di sini?” Kau kaget melihat Ayu ada dalam pelukanmu. 

Ia tidak menjawab, berusaha bangkit. Kau menyusul bangkit. Ia menatapmu begitu tajam.

“Apa yang kau lakukan di luar tenda ini?” tanyamu.

Sebuah tamparan mendarat di wajahmu. “Kau kurang hajar. Entah, mungkin, munafik.”

“Apa maksudmu?”

“Dari tadi aku tunggu kau di dalam tendaku, tapi kau tidak pernah muncul. Imelda benar, kau memang piawai mendaki semua puncak gunung, tapi kau tidak punya keberanian mendaki gunung yang aku punya.”

“Kau….”

“Aku menunggu saat seperti ini sejak lama.” Ia menatap tajam ke bola matamu. Dadamu bergetar sangat hebat. “Kau pikir untuk apa aku berubah drastis seperti ini. Semua karena ucapanmu dulu, karena kau hanya menyukai perempuan yang maskulin.”

“Kau…” Mendadak kau memeluknya. Kalian bergulingan hingga ke pinggir Sungai Batang Gadis. 

Lake Toba Writers Festival Kembali Digelar untuk Kali Ketiga

Penulis: Dian Maas Saputra | Editor: Efry Nasaktion

Budi Hutasuhut (kiri), penyair asal Padangsidimpuan, Dorothe Rosa Herliany, penyair asal Magelang, Boru Situmorang, kemenakan Sitor Situmorang, dan Amol Titus, inisiator Danau Toba Writer Festival dalam acara Danau Toba Writer Festival  tahun 2024.

Lake Toba Writers Festival (Festival Penulis Danau Toba/FPDT) kembali digelar untuk ketiga kalinya, 10-13 September 2025.Festival yang disajikan dalam tiga bahasa: Batak, Indonesia, dan Inggris ini mempertemukan para penulis, pengarang, dan penyair dari berbagai belahan dunia. 

Lake Toba Writers Festival (Festival Penulis Danau Toba) digagas oleh Amol Titus, penulis, pengarang, penyair yang juga CEO Indonesia Wise -- sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan strategis. Penulis sejumlah buku sastra ini, kelahiran Jaipur, India, pada tahun 1967 itu, menyampaikan gagasannya kepada Saut Poltak Tambunan, seorang novelis yang belakangan mengembangkan sastra daerah berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan menyambut gagasan itu sebagai ide luar biasa untuk mengangkat sastra berbahasa Batak, sesuatu yang sudah lama didambakannya. 

"Gagasan mempertemukan pengarang dengan pembaca di Danau Toba ini memiliki banyak manfaat bagi pengembangan dunia kepenulisan maupun pengembangan bahasa Batak," katanya. 

Thompson Hs, budayawan dan dramawan di Provinsi Sumatra Utara yang merevitalisasi Opera Batak sebagai warisan karya budaya leluhur masyarakat Batak, juga diajak dalam kepanitian Lake Toba Writers Festival. 

"Saya dan Pak Saut Poltak Tambunan bertemu Pak Amol Titus untuk mengkristalisasi sebuah event bertajuk Lake Toba Writers Festival," kata Thompson Hs. 

Berdasarkan rilis yang diterima Sinar Tabagsel dari penyelenggara Danau Toba Writers Festival, disebutkan bahwa sejak tahun 2023, puluhan penulis dari dalam negeri dan luar negeri telah terlibat dalam Lake Toba Writers Festival. 

Kegiatan ini menjadi salah satu festival sastra terkemuka di Indonesia karena berbagai karakteristik uniknya karena tidak hanya membicarakan festival penulis, tapi memberikan dukungan terhadap pelestarian warisan budaya seperti bahasa Batak lewat karya sastra berbahasa Batak dan penampilan Opera Batak. 

Selain itu, selama festival berlangsung, penyelenggara berkomitmen terhadap konservasi lingkungan karena tempat festival ini berdekatan dengan pantai Danau Toba. Maka, Festival Penulis Danau Toba juga mempromosikan pariwisata berkelanjutan di Danau Toba yang telah ditetapkan sebagai destinasi super prioritas oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. 

Festival ini mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan seperti penanaman spesies pohon endemik, konservasi air, meminimalisir sampah plastik, menggunakan produk lokal, menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dan UMKM, dan CSR dalam bentuk sumbangan buku untuk perpustakaan lokal, pengembangan kapasitas linguistik di sekolah-sekolah dan dorongan bagi penulis muda dari Sumatera Utara. 

Dalam Danau Toba Writers Festival 2025 yang akan diselenggarakan pada 10-13 September 2025, dibuka di Medan pada 10 September 2025 dengan sesi sastra dan pertunjukan Opera Batak. Para penulis kemudian akan melakukan perjalanan ke Pulau Samosir di pusat Danau Toba dan berinteraksi dengan para pembaca, guru, seniman kreatif, dan pecinta budaya.










Membaca Ulang "Penakluk Ujung Dunia" Karya Bokor Hutasuhut

Dian Maas Saputra

Oleh Dian Maas Saputra

Selesai membaca Penakluk Ujung Dunia, novel adikarya Bokor Hutasuhut, cetakan terbaru oleh Penerbit Lingkup tahun 2024, saya terpikat pada sosok Ronggur, anak muda yang bervisi maju dan meninggalkan cara berpikir tradisional yang mengikat seluruh masyatrakat di lingkungannya. Dan saya mengidentifikasi diri sebagai Ronggur – begitulah cara saya memahami setiap karya sastra yang saya baca. Lagi pula, Bokor Hutasuhut mengunakan teknik penceritaan orang ketiga yang mahatahu, dan teknik ini membuat pembaca seperti saya boleh mengidentifikasi diri di setiap tokoh yang diceritakan, atau memilih lebih tertarik pada satu tokoh yang diceritakan. 

Saya mengidentifikasi diri sebagai Ronggur, karena ia merupakan tokoh utama dalam novel ini. Ia memiliki watak keras, cenderung menentang, dan itu watak yang khas pada diri seorang anak muda yang sedang memasuki masa pertumbuhan. Secara psikologis, perkembangan emosional anak muda belum stabil. Tapi berbeda dengan Ronggur, emosionalnya stabil, karena semua keputusan yang dibuatnya, dibuat dengan penuh pertimbangan. Mungkin karena situasi dirinya, hidup tanpa keberadaan seorang ayah, sehingga ia besar dengan tuntutan keadaan harus penuh tanggung jawab dalam melakukan apa saja layaknya seorang laki-laki dalam keluarga Batak. 

Ronggur adalah orang Batak. Namanya, memakai kata “Ronggur” dari bahasa Batak, berarti “gledek” atau “guntur” dalam bahasa Indonesia. Pilihan nama itu tidak dilakukan bokor Hutasuhut tanpa sebab, melainkan untuk memberi arahan kepada pembaca bahwa karakter Ronggur mirip seperti “guntur” atau “gledek”.  “Guntur” atau “gledek” sebagai fenomena alam, kedatangannya selalu mengagetkan. Tampaknya, Bokor Hutasuhut meniatkan, sosok Ronggur adalah sosok yang keputusan-keputusannya dalam hidup akan menggemparkan atau mengagetkan. Kenyataan itulah yang saya temukan dalam pengisahan Bokor Hutasuhut tentang Ronggur. Anak muda ini, acap mengambil keputusan yang mengagetkan. 

Di awal novel, ketika semua warga wajib berkumpul di tanah lapang karena raja akan memberi pengarahan perihal tewasnya warga di tangan penduduk kampung tetangga, Ronggur menjadi satu-satunya orang yang datang belakangan. Ini menunjukkan, Ronggur bukan anak muda yang taklit dan tunduk patuh pada raja, sebagaimana sebagian besar warga langsung bergerak begitu mendengar bunyi gong pemanggil bergema. Bukan berarti Ronggur membangkang pada raja, tetapi karena cara ia berpikir memang berbeda dibandingkan rakyat kebanyakan.

Ronggur sosok yang unik karena cara berpikirnya berseberangan dengan orang banyak. Ia tidak mengkhawatirkan cara berpikirnya yang berseberangan, dan ia tidak merasa takut berseberangan dengan siapa pun. Kelak, watak Ronggur yang selalu berbeda itu, menjadi ciri khasnya. Ia hidup dengan cara berpikir berbeda, dan ia akan menikmati hasil dari sesuatu yang menurut orang lain mustahil bisa dilakukan. 

Tiba-tiba saya mencoba memikirakan apa yang ada dalam pikiran Bokor Hutasuhut ketika ia menciptakan sosok Ronggur? 

Novel Penakluk Ujung Dunia konon ditulis Bokor Hutasuhut ketika ia masih tinggal di Medan, Sumatra Utara, pada dekade 1950-an. Saat itu, Bokor Hutasuhut telah memiliki nama besar sebagai penulis cerpen, yang karya-karyanya disiarkan di sejumlah media mainstream di Medan dan Jakarta. Nama besar itu membawanya ke Jakarta, bertemu HB Jassin, dan akhirnya menjadi bagian dari dinamika perkembangan sastra di Jakarta. 

Ketika ia mulai hidup sebagai warga Jakarta, yang saat itu Jakarta sedang dalam suasana tegang akibat realitas politik pasca kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 meninggalkan banyak persoalan terkait partai politik mana yang harus menjadi penguasa, ia memutuskan menikahi seorang gadis berasal dari Sipirok. Majalah horison, tempat Bokor Hutasuhut sering menulis karya cerpen, mengucapkan selamat atas pernikahannya. 

Pada masa demokrasi terpimpin, sosok anak-anak muda bermunculan dengan kemampuan intelektual yang berseberangan dengan tokoh-tokoh tua. Mereka muncul sebagai representasi partai-partai politik baru, membawa semangat perubahan yang luar biasa, namun kehadiran mereka banyak mendapat penolakan. Dekade 1950-an, banyak pemikiran Barat yang dikutif para politisi, lengkap dengan philosofinya, yang kemudian pemikiran-pemikiran itu doiujicoba diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Gagasan dan pemikiran asing berselewiran dalam dunia ilmu pengetahuan, yang diusung oleh intelektual Wiratmo Sukito dari kalangan sastra, Sjahrir dan  Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dari kalangan politisi,  Mohammad Hatta, Ir. Soekarno,  dan lain sebagainya. Polemik gagasan dan pemikiran sering terjadi, di mana setiap intelektual mengklaim bahwa gagasan dan pemikirannya yang paling relevan untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. 

Di sisi lain, kekuasaan politik menjadi panggung yang mesti diperebutkan untuk menguatkan gagasan dan pemikiran yang diklaim. Para elite berdebat tentang hidup mandiri tanpa campur tangan asing apalagi kolonialisme, ada yang tetap meyakini bahwa negara asing bisa dimanfaatkan untuk mempermudah urusan bangsa dan negara. Semua perdebatan itu akhirnya bermuara pada pertentangan idiologis, yang kemudian dipengaruhi oleh situasi dunia internasional yang memiliki kecendrungan untuk memiliki ‘musuh bersama” bernama idiologi komunisme. 

Para intelektual Indonesia kemudian terpolarisasi ke dalam dua pandangan ideologis. Sebagaimana realitas dunia internasional yang “anti-komunis’ akibat perang dingin Amerika Serikat yang demokratis dan Rusia yang beridiologi komunis, di mana Amerika Serikat berhasil membangun konstruksi besar sekutu yang menjamin perdamaian dunia dengan Rusia sebagai musuh bersama, berimbas terhadap realitas politik dalam negeri. Sebagian besar intelektual mendukung kampanye perdamaian dunia a la Amerika Serikat sembari mengutuk komunisme. 

Orang-orang yang dekat dengan Rusia, satu p[er satu disingkirkan dengan cap sebagai komunis yang akan memberontak. Peristiwa Madiun meledak, para elite negeri yang dianggap punya gagasan dan pemikiran berseberangan, dikait-kaitkan dengan peristiwa itu dan dicap sebagai pengkhianat. Tidak sedikit elite yang disingkirkan dengan status sebagai pengkhianat bangsa. 

Bokor Hutasuhut hidup dalam situasi politik demopkrasi terpimpin yang penuh ketegangan. Semua berawl dari cara berpikir berbeda, dan itulah barangkali yang mendorong Bokor Hutasuhut menghidupkan Ronggur sebagai sosok pemuda yang punya cara berpikir berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Dan, Ronggur, anak muda yang berpikir berbeda itu, pada akhirnya dibuang dari segala ikatan sosial karena keputusannya melawan apa yang dilarang (tabu0 dalam kehidupan tradisional masyarakat. 

Ronggur memilih meninggalkan perkampungannya, masyarakatnya, dan lepas dari segala ikatan sosiologinya. Ia mengendarai solu, melariung solu itu ke daerah terlarang karena ia yakin di ujung dunia itu ada kehidupan yang lebih layak untuk tempat hidup. Dan, ternyata, kekeraskepalaan Ronggur, yang lebih disebabkan karena keyakinannya yang kuat setelah belajar dari melihat fenomena alam, berhasil menaklukkan ujung dunia. Ia menemukan tanah baru, lahan baru, daerah baru yang cocok untuk kehidupan baru. 

Novel Penakluk Ujung Dunia berasal dari foklor yang berkembang di lingkungan masyarakat di sekitar Danau Toba, dan Bokor Hutasuhut mengemasnya sebagai cerita yang menawarkan nilai-nilai moral manusia lewat sosok-sosok toikohnya. Ronggur adalah potret anak muda Batak yang berpikir maju, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, perduli pada penderitaan orang lain, dan bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Bokor Hutasuhut seakan-akan menegaskan, karekater oprang Batak yang sesungguhnya melekat pada sosok Ronggur, yakni orang yang hidup dengan rasa holong luar biasa kepada banyak hal. 

Holong berasal dari bahasa Batak yang artinya “kasih sayang”. Namun, dalam pemahaman kultur Batak, kata “holong” menjadi semacam semangat kultur yang sering direalisasikan dengan semangat altruisme sosial dengan ungkapan “holong mangalap holong” yang artinya “perbuatan kebaikan selalu akan mendapat kebaikan”. 

Holong atau bisa juga dimaknai “rasa memiliki” atau “rasa sepenanggungan” sangat kental dalam diri Ronggur. Ia tidak memperlakukan budak sebagai budak, tetapi sebagai manusia dan memutuskan menikahinya. Ia tak menganggap musuh yang diserangnya sebagai musuh, tetapi sebagai kelompok yang terpaksa harus diserangnya karena pengetahuan tradisional yang buruik dan membenarkan adanya perang bius, dan ia menyesali telah menghancurkan komunitas masyarakat marga lain. Rasa penyesalannya ditawarkan dengan menikahi atau memerdekakan budaknya. 

Bokor Hutasuhut sukses dengan menampilkan sosok Ronggur yang merupakan representasi orang Batak. Namun, adakah orang-orang dari generasi muda hari ini yang memahami watak dan karakter Ronggur sebagai representasi orang Batak? 

Banyak pembaca novel Penakluk Ujung Dunia yang menilai Bokor Hutasuhut sebagai sastrawan yang menegaskan bahwa masalah tanah sangat penting bagi orang Batak. Tapi, sesungguhnya, tanah bagi orang Batak bukan hal yang utama. Yang terpenting bagi orang Batak adalah keutuhan bersama, kebersamaan yang diikat oleh holong, dan jika situasi itu telah terwujud, apapun dapat diraih. Rasa holong yang dimiliki Ronggur, membuatnya bisa meraih apa saja, termnasuk tanah yang akan menjadi daerah baru bagi masyarakat sosialnya. 

Tulisan ini disampaikan untuk mengikuti Festival Penulis Balige 2025.

Minim Minat Pelajar di Kota Padangsidimpuan Terhadap Literasi

Direktur Lembaga Pengembangan dan Kajian Kebudayaan Daerah (LPK Budaya), Efry Nasaktion, memberikan pelatihan Menulis Puisi dalam Coaching Clinic Menulis di SMP IT Darul Hasan Kota Padangsidimpuan. 

Penulis: Dian Maas Saputra

Minat para pelajar SD, SMP, SMA, dan sederajat di Kota Padangsidimpuan terhadap literasi sangat bermasalah. Mereka bukan saja tak membaca, tetapi juga kesulitan untuk memahami bahan bacaan.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Kajian Kebudayaan Daerah (LPK Budaya),  Efry Nasaktion, mengungkapkan hal itu sebagai penyebab minimnya generasi muda di Kota Padangsidimpuan yang memiliki kemampuan kreatif untuk berkembang. 

"Kita jarang mendengar anak-anak didik berprestasi di bidang ilmu pengetahuan, kreativitas berkarya, atau hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas dirinya," katanya saat ditemui di  lokasi Coaching Clinic Menulis yang digelar Sekolah Menulis  Padangsidimpuan di SMP Swasta Islam Terpadu Darul Hasan Kota Padangsidimpuan, Rabu, 20 Agustus 2025.

Di dalam berbagai perlombaan yang digelar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, terutama oleh Pusat Prestasi Nasional, Efry mengatakan jarang terdengar siswa dari Kota Padangsidimpuan yang berhasil menjadi pemenang. 

Efry mencontohkan dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) sebagai ajang talenta di bidang seni yang diselenggarakan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga nasional, diikuti oleh siswa SD, SMP, SMA, dan SLB.  

Belum lagi Lomba Kompetensi Siswa (LKS), Kompetisi Sains Nasional (KSN), Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI), Kompetisi Olahraga Siswa Nasional (KOSN), Festival Inovasi Kewirausahaan Siswa Indonesia (FIKSI),  National University Debating Championship (NUDC), Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI), atau Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional (PILMAPRES).

"Prestasi generasi muda di Kota Padangsidimpuan lebih banyak pada urusan modeling, tetapi sampai hari ini kita tidak pernah mendengar ada kontribusinya terhadap perkembangan industri modeling di kota ini," katanya. 

Menurut Efry, berdasarkan banyak literatur sejarah, Kota Padangsidimpuan telah melahirkan banyak tokoh pendidikan, pemikir kebudayaan, orang-orang kreatif yang memberi kontribusi terhadap bangsa dan negara. 

"Padangsidimpuan sudah melahirkan  banyak tojkoh nasional. Negara tercinta ini berutang banyak terhadap rakyat Kota Padangsidimpuan," katanya. 

Tapi, lantaran proses regenerasi tidak berjalan dengan baik, apa yang sudah dilakukan para tokoh bangsa asal Kota Padangsidimpuan tak lagi diingat. "Orang-orang melupakan Lafran Pane sebagai salah satu generasi emas dari Kota Padangsidimpuan, yang hidup dan bersekolah di Kota Padangsidimpuan," katanya.

Lafran Pane salah seorang pendiri HMI. Ia menghabiskan masa kecilnya di Kota Padangsidimpuan. Namun, orang Padangsidimpuan kurang mengetahui bahwa Lafran Pane bagian dari kota ini.     

Menurut Efry, kondisi ini terjadi karena generasi muda tidak mempelajari sejarah yang ada di kotanya. Minat mereka sangat kurang, sehingga pengetahuan mereka menjadi minim. 

"Ada anak-anak yang berprestasi di bidang pembacaan puisi, menulis karya sastra, tetapi mereka menjadi pemenang bukan karena memahami apa yang dikerjakannya," katanya. 

Efry yang menjadi instruktur di bidang Menulis Puisi dalam kegiatan Coaching Clinic Menulis yang digelar di SMP Swasta Islam Terpadu Darul Hasan Kota Padangsidimpuan, berharap bisa menemukan siswa SMP IT Darul Hasan Kota Padangsidimpuan yang memiliki bakat di bidang sastra. 

"Siswa di Darul Hasan sering memenangi perlombaan-perlombaan. Semoga anak-anak yang menjadi pemenang perlombaan-perlombaan itu menjadi generasi yang berkembang dan mampu mengembangkan dunia sastra," katanya. 

Menurut Efry, generasi muda di Kota Padangsidimpuan kurang meminati literasi karena perkembangan zaman di era mereka merupakan zaman teknologi informatika. Alat-alat telekomunikasi seperti gatget lebih menyita perhatian generasi muda, dan itu menjauhkan mereka dari kerja-kerja yang membutuhkan ketekunan dan penguatan gagasan seperti kerja menulis karya sastra. 

"Generasi muda cenderung mengejar hiburan, memilih bermain game, melihat media sosial hanya untuk mendapatkan hal yang menghibur dirinya," katanya.


Sekolah Menulis Padangsidimpuan Menggelar Coaching Clinic Menulis

Penulis: Dian Maas Saputra


Coaching Clinic Menulis ditujukan untuk pelajar SD, SMP, SMA (sederajat). Program yang digelar Sinar Tabgsel bersama Sekolah Menulis Padangsidimpuan ini sudah berjalan sejak tahun 2017. Ketika pandemi Covid-19, program ini berhenti sampai 2020. 

Mulai 2021, program Coaching Clinic berupa pelatihan yang berfokus pada peningkatan keterampilan menulis,  dilaksanakan dalam bentuk road show ke lingkungan sekolah dan perguruan tinggi di wilayah Tapanuli bagian Selatan (Tabgsel). 

Coaching Clinic Munlis dirancang untuk memberikan bimbingan dan umpan balik secara individual kepada para pemula dalam berbagai jenis tulisan seperti cerpen, puisi, karya jurnalistik, esai, atau karya tulis lainnya. 

Kegiatan ini terdiri dari 5 pertemuan.  Masing-masing pertemuan akan memfokuskan pada satu pembahasan: (1)membahas tentang berbahasa Indonesia yang baik dalam menulis; (2)Menulis  Prosa Cerita pendek; (3)Menulis Puisi; (4)Menulis Karya Jurnalistik;  (5)Menulis Opini/Kolom untuk Media Massa; dan (6)Menulis  Artikel Ilmiah. 

Setiap pertemuan berlangsung selama dua jam secara tatap muka. Selama dua jam, waktu akan dibagi satu jam untuk praktek bimbingan menulis. Setiap peserta pelatihan akan dibimbing teknik menulis hingga mampu menghasilkan karya tulis. 

Pada pertemuan ke-lima,  setiap peserta pelatihan sudah memiliki karya yang siap untuk diterbitkan menjadi buku. 

TUJUAN COACHING CLINIC

1. Meningkatkan Keterampilan Menulis:

Coaching Clinic membantu peserta pelatihan mengembangkan teknik menulis yang efektif: memilih ide, menggambar (membuat narasi) dengan kata,  mengembangkan argumen, dan menggunakan bahasa yang tepat. 

2. Memberikan Umpan Balik Konstruktif:

Peserta Coaching Clinic mendapatkan umpan balik langsung atau tanggapan dari instruktur mengenai kekuatan dan kelemahan tulisan mereka, serta saran untuk perbaikan. 

3. Meningkatkan Motivasi dan Kepercayaan Diri:

Dukungan dan bimbingan dari pelatih dapat meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri penulis dalam berkarya. 

4. Mempercepat Proses Penulisan:

Dengan mendapatkan bimbingan yang terarah, peserta pelatihan dapat mengatasi hambatan dalam proses penulisan dan menyelesaikan karya mereka lebih cepat. 

5. Mendapatkan Bimbingan Secara Online

Selesai lima pertemuan, peserta Coaching Clinic tetap akan mendapat bimbingan dari instruktur selama berkaitan dengan kerja-kerja kepenulisan.  Instruktur akan menjadi "pendamping" peserta Coaching Clinic dalam menghasilkan karya tulis.


BENTUK COACHING CLINIC

Sesi Tatap Muka:

Coaching Clinic melibatkan pertemuan antara instruktur dengan peserta secara langsung, di mana peserta dapat berkonsultasi dan mendapatkan umpan balik. 

Sesi Online:

Dapat dilakukan melalui video conference atau platform online lainnya, memungkinkan peserta dari berbagai lokasi untuk mengikuti pelatihan. 

Interaktif:

Coaching Clinic melibatkan diskusi interaktif, latihan menulis, dan sesi tanya jawab untuk memaksimalkan pemahaman peserta. 

Kelompok atau Individu:

Coaching Clinic dalam kelompok kecil, sementara yang lain menyediakan sesi individu untuk fokus pada kebutuhan spesifik peserta. 


MANFAAT COCHING CLINIC

1. Meningkatkan Kualitas Tulisan:

Peserta akan belajar cara menulis dengan lebih baik, jelas, dan efektif. 

2. Mempercepat Proses Produksi:

Dengan bimbingan yang tepat, penulis dapat menyelesaikan tulisan mereka lebih cepat. 

3. Membangun Jaringan:

Beberapa coaching clinic melibatkan pertemuan dengan penulis lain, yang dapat memperluas jaringan profesional. 

4. Meningkatkan Kepercayaan Diri:

Dengan umpan balik yang positif dan dukungan dari pelatih, penulis akan merasa lebih percaya diri dalam kemampuan mereka. 

INSTRUKTUR

Budi Hutasuhut, lahir dengan nama Budi P Hutasuhut. Sarjana ilmu komunikasi, pascasarjana ilmu jurnalistik, dan pascasarjana manajemen komunikasi.  Menulis buku-buku jurnalisme, buku sastra, melakukan penelitian kebudayaan, dan menjadi instruktur pelatihan menulis di berbagai kota di Indonesia. 

Selama 2000-2008 mengajarkan ilmu komunikasi dan terapannya di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung, IAIN Radin Intan, Universitas Saburai, dan menjadi konsultan di bidang media. Pernah bekerja di Grup Media Indonesia sebagai wartawan dengan jabatan terakhir Kepala Penelitian dan Pengembangan (Ombudsman) Harian Umum Lampung Post, bekerja di Koran Lampung,  dan bekerja di Harian Lampung Ekspress.  

Saat ini mengelola sejumlah media online.

Dian Maas Saputra kelahiran 1995.  Ia seorang trainer outbond, akting, dan telah membintangi dua film, Cintaku di Bumi Angkola dan Batang Ayumi.  Bekerja sebagai peneliti.  Ia juga Direktur Sekolah Menulis Padangsidimpuan.

Ahmad Rusli Harahap, M.Hum seorang pengajar bahasa di UIN Syuhada, Aufaroyan Padangsidimpuan,  dan sejumlah perguruan tinggi swasta di Sumatra Utara.  Ia menjadi pengelola jurnal ilmu pengetahuan SHINTA 4, melakukan penelitian tentang masalah pendidikan yang disiarkan di sejumlah jurnal ilmu pengetahuan.

Sarjana pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Keguruan (STKIP) Tapanuli Selatan ini, dan pascasarjana dari Universitas Andalas, ini dikenal luas sebagai aktivis yang menjadi ketua dari organisasi internal Partai Gerindra. 

Efry Nasaktion kelahiran Muarasipongi dengan nama asli Sepriadi Nasaktion. Sarjana pendidikan dari STKIP Tapanuli Selatan ini, lebih dikenal sebagai penyair. Ia telah diundang sebagai peserta dalam berbagai festival penyair. Ia juga menjadi juri FLS3N Padangsidimpuan, dan membuka kelas puisi secara online. 


CARA MENGIKUTI COACHING CLINIC

Coaching Clinic Menulis tahun 2025 diperuntukkan kepada siswa SD, SMP, SMA dan sederajat. Para pengelola sekolah bisa menghubungi  panitia Coaching Clinic Menulis yakni pengelola Sekolah Menulis Padangsidimpuan dan Sinar Tabagsel melalui nomor kontak 0838 5218 0888. Penyelenggara Coaching Clinic Menulis akan mendiskusikan untuk menentukan jadwal dan pelatihan apa saja yang diinginkan sekolah. 

Pihak pengelola sekolah yang menentukan jadwal pelatihan, jumlah siswa yang ikut, dan lokasi pelatihan. Penyelenggara menyediakan materi, metode pelatihan, dan instruktur yang akan terlibat dalam Coaching Clinic.  

PILIH KELAS MENULIS



Siswa SMP IT Darul Hasan Padangsidimpuan Gelar Coaching Clinic Menulis

Ahmad Rusli Harahap, M.Hum, sedang memaparkan materi tentang Bahasa Indonesia sebagai Pengetahuan Dasar Menulis dalam Coaching Clinic Menulis yang digelar Sekolah Menulis Padangsidimpuan di SMPIT Darul Hasan padangsidimpuan. 

Penulis: Mariam Harahap | Editor: Mahendra Siregar

Sekolah Menulis Padangsidimpuan, lembaga pendidikan informal yang dibentuk oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah (LKPKD), menggelar "Coaching Clinic Menulis" di lingkungan siswa SMP Islam Terpadu Darul Hasan Kota Padangsidimpuan selama lima hari, sejak Selasa, 19 Agustus 2025 sampai 24 Agustus 2025. 

Kepala SMP Islam Terpadu Darul Hasan Padangsidimpuan, Fatma Muhriza, M.Pd, mengatakan kegiatan Coaching Clinic Menulis yang digelar di SMP IT Padangsidimpuan ini merupakan program Dinas Pendidikan Kota Padangsidimpuan untuk meningkatkan kemampuan siswa-siswa dalam literasi. 

"Literasi siswa harus ditingkatkan. Dengan coaching clinic menulis ini, kita berharap anak-anak mendapatpendidikan dan pelatihan menulis agar mereka lebih mencintai literasi," kata  Fatma Muhriza, M.Pd saat membuka acara Coaching Clinic Menulis di gedung SMP IT Darul Hasan Padangsidimpuan, Selasa, 19 Agustus 2025. 

Menurut Fatma Muhriza, M.Pd, program pendidikan dan pelatihan menulis untuk siswa SMP IT Darul Hasan Padangsidimpuan  untuk meningkatkan kualitas siswa didik. "Saya berharap kegiatan seperti ini berlangsung agar anak-anak didik bisa mengembangkan kemampuan dan kapasitas dirinya."

Sementara itu, Dian Maas Saputra, Direktur Sekolah Menulis Padangsidimpuan, mengatakan dalam kegiatan Coaching Clinic Menulis ini, Sekolah Menulis Padangsidimpuan menyediakan para trainer yang akan memberikan pelatihan bidang "Menulis Cerpen" dan "Menulis Karya Jurnalistik" akan disampaikan Budi Hutasuhut, seorang sastrawan cum jurnalis yang juga Pemimpin Redaksi Sinar Tabagsel. 

Selain itu,  tambah Dian, akan ada materi tentang "Menulis Puisi" yang disampaikan Efry Nasaktion, seorang penyair yang juga menjadi trainer penulisan puisi di berbagai lembaga. 

Sementara pengetahuan dan pemahaman tentang Bahasa Indonesia sebagai dasar untuk menulis akan diberikan oleh  Ahmad Rusli, M.Hum, seorang akademisi. 

"Hari pertama Coaching Clinic Menulis akan dimulai dengan materi Bahasa Indonesia," kata Dian. 

Menurut Dian, Coaching Clinic Menulis merupakan program yang dilakukan LKPKD setiap tahun dengan cara roadshow ke sekolah-sekolah yang ada di wilayah Tapanuli bagian Selatan. "Tahun ini kita menggelar di SMP IT Darul Hasan, dan beberapa sekolah lainnya. Tahun 2024 lalu, kita menggelar hal serupa di SD IT Bunaiya padangsidimpuan," katanya.

Dengan program roadshow Coaching Clinic Menulis ini diharapkan akan muncul potensi-potensi baru penulis di Kota Padangsidimpuan. "Kami yakin, generasi muda di Kota Padangsidimpuan memiliki kreativitas yang luar biasa. Mereka hanya butuh medium dan pembimbing," katanya.      

Junaisil Rihana Annur , Siswa SMA Swasta Nurul Ilmi, Juara Satu FLS3N Tingkat Sumatra Utara

Junaisil Rihana Annur, siswi kelas XII PI 3 SMA Swasta Nurul Ilmi Kota Padangsidimpuan, meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik dalam FLS3N tahun 2025

Penulis: Dian Maas Saputra | Editor: Marhendra Siregar

Junaisil Rihana Annur, siswi kelas XII PI 3 SMA Swasta Nurul Ilmi Kota Padangsidimpuan, meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik dalam Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N) tingkat Provinsi Sumatra Utara. Juara ke dua diraih Raysah Rahayu Solihat dari SMAN 3 Panyabungan, dan juara ke tiga diraih Yemima Evnike Silabar dari SMAN Tanjungbalai. 

Junaisil Rihana Annur terpilih mewakili Kota Padangsidimpuan dalam ajang FLS3N tingkat Provinsi Sumatra Utara setelah sebelumnya menjadi juara pertama dalam ajang serupa yang digelar di Kota Padangsidimpuan yang digelar 19--21 Juni 2025 lalu.

Efry Nasaktion, salah seorang juri FLS3N Kota Padangsidimpuan, menilai karya jurnalistik yang ditulis Junaisil Rihana Annur memiliki kadar human interst yang tinggi. Karya jurnalistik yang diperlombakan di ajang FLS3N Kota Padangsidimpuan itu bercerita tentang tenun tradisional di Desa Pahae Aek Sagala, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. 

"Ia menulis feature, tulisan jurnalistik yang menitikberatkan pada kisah manusia (human interst). Sudut pandangnya tepat, melihat penenun sebagai salah satu pekerjaan yang melestarikan nilai-nilai budaya lokal," kata Efry. 

Menurut Efry, peserta lomba karya jurnalistik dalam FLS3N Kota Padangsidimpuan sangat sedikit. Dari sedikit peserta itu, karya jurnalistik Junaisil Rihana Annur terpilih sebagai juara pertama. "Karya itu yang diperlombakan pada ajang FLS3N tingkat Provinsi Sumatra Utara dengan perubahan banyak hal," katanya. 

Sementara Budi Hutasuhut,  juri FLS3N Kota Padangsidimpuan lainnya, menilai minat pelajar di Kota Padangsidimpuan mengikuti lomba karya jurnalistik sangat minim. Dalam FLS3N Kota Padangsidimpuan, jumlah peserta pada setiap perlombaan tidak lebih dari sepuluh peserta.  

"FLS3N Kota Padangsidimpuan hanya diikuti SMA negeri dan swasta, sementara MA, SMK, MAK, dan sederajat tidak ikut FLS3N," katanya. 

Budi hutasuhut berharap, semoga tahun depan, FLS3N diikuti semua pelajar karena FLS3N merupakan mediun bagi pelajar untuk mengeksplorasi, mengembangkan, dan menyalurkan bakat seni yang mereka miliki.

"Kota Padangsidimpuan punya potensi besar untuk memenangi FLS3N," kata Budi Hutasuhut.

Setiap tahun, tambahnya, tidak ada siswa SMA/MA/SMK/MAK/Sederajat dari Kota Padangsidimpuan yang mewakili Provinsi Sumatra Utara dalam berbagai perlombaan di bidang kesenian di ajang FLS3N tingkat nasional.  Para pemenang FLS3N  di Kota Padangsidimpuan selalu gagal di ajang FLS3N tingkat Provinsi Sumatra  Utara, seakan-akan kemampuan siswa-siswa SMA sederajat sangat lemah untuk mengeksplorasi, mengembangkan, dan menyalurkan bakat seni yang dimiliki. 

Dari penelusuran Sinar Tabagsel terhadap gelaran FLS3N di Kota Padangsidimpuan pada 19--21 Juni 2025, jumlah peserta yang mendaftarkan diri pada 20 ajang perlombaan sangat minim. Seluruh peserta yang mengikuti 20 jenis perlombaan itu cuma 87 orang siswa. Bahkan, ada perlombaan yang hanya diikuti satu peserta, atau jumlah peserta pada setiap perlombaan tidak lebih dari 7 orang. 

Data jumlah peserta ini menunjukkan, minat siswa-siswa SMA sederajat di Kota Padangsidimpuan untuk mengikuti berbagai perlombaan di ajang FLS3N sangat rendah.  

"Toelbok Haleon", Novel Sutan Pangurabaan Pane yang Menyimpan Warisan Kultural Angkola

Novel "Toelbok Haleon" ditulis Sutan Pangurabaan Pane pada tahun 1909, saat dia sering bepergian dari Muara Sipongi-Padang Sidimpuan-Ford de Kock-Sibolga. Dia seorang pengusaha di segala bidang, mulai dari pedagang hasil bumi, pedagang buku yang ditulis dan diterbitkan sendiri, sampai sebagai pengusaha transportasi. Dia memilih pekerjaan sambil bekerja sebagai guru.

Oleh Budi Hatees

Awalnya dia jadi guru di HIS Muara Sipongi, sebuah daerah yang menyebabkan istrinya selalu menderita suatu penyakit yang tak terobati. Alasan penyakit istrinya itu membuatnya pindah ke Padang Sidimpuan. Dia menjadi guru di HIS Padang Sidimpuan, tetapi kemudian dia berhenti karena bisnisnya berkembang pesat sejak novel Toelbok Haleon jadi karya yang banyak dibaca publik.
Istrinya meninggal di Padang Sidimpuan. Konon, istri Sutan Panguraban Pane yang fisiknya lemah, terkena serangan malaria. Untuk mengenang derita istrinya yang selalu sakit-sakitan, Sutan Pangurabaan Pane menamai anak terakhirnya sebagai Lafran Pane (nama yang dipinjam dari Charles Louis Alphonse Laveran, seorang ilmuwan peraih Nobel Kedokteran yang menemukan penyakit penyebab malaria).
Tahun 1909, novel Toelbok Haleon awalnya ditulis sebagai cerita bersambung di Poestaha, surat kabar berbahasa Angkola yang dikelola oleh Sutan Casayangan Harahap, seorang guru di Kweekschool Ford de Kock.
Sutan Casayangan masih kerabat Sutan Pangurabaan Pane, karena salah seorang dari anggota keluarga istri Sutan Pangurabaan Pane yang bermarga Siregar menikahi gadis bermarga Harahap di keluarga Sutan Casayangan Harahap. Mereka juga sempat satu sekolah di Kweekshool Padang Sidimpuan, tapi sekolah itu ditutup setelah wisuda terakhir. Sutan Casayangan Harahap wisudawan terakhir di Kweekschool Padang Sidimpuan. Sisa siswanya dialihkan ke Kweekschool Ford de Kock di Bukit Tinggi, dan Sutan Pangurabaan Pane salah satu yang dialihkan ke Kweekshool Ford de Kock.
Pertemanan dengan Sutan Casayangan membuat Sutan Pangurabaan Pane menekuni dunia surat kabar. Menulis novel pertamanya, "Toelbok Haleon", dan mendapat tanggapan luar biasa dari masyarakat pembaca. Tahun 1910-1930, Padang Sidimpuan merupakan kota yang ramai.
Sutan Pangurabaan Pane membuka novelnya dengan narasi sebagai berikut:
"Nada dope sadia dan sadia lolot, bonggal toe djae toe djoeloe sap toe desa na waloe, di poesot ni Tapanoeli on, na bahat pangomoan, marragam marbage-bage pandaraman. Mambege i manamboes ma halak na ro, adong na tandang mardjagal, tombal na malo majoerat ro ibana mandjalahi haredjo djoeroe toelis, adong antong na gabe djoeroe toelis ni Oelando, adong moese na gabe karani ni soedagar.
(Belum begitu lama, santer ke seluruh semesta, di pusat tanah Tapanuli, ada banyak pekerjaan dan beragam cara bisa dilakukan untuk mencari kehidupan. Mendengar cerita itu, berbondong-bondong orang datang, ada yang khusus berjualan, yang pandai baca tulis mencari pekerjaan sebagai juru tulis. Ada yang akhirnya jadi juru tulis Belanda (Oelando), ada yang jadi karani para saudagar.)
Halak na hoem saotik do sinaloanna manjoerat, tai sorana na gogo, bohina marrintop, pamatangna togos, bitisna toemboer, taoeken na lakoe ma ibana gabe mondoer. Ise na so malo di tangan hoem gogona do adong, laing dapot ibana pinomat hoem haredjo markoeli-koeli.
(Orang yang hanya sedikit kemampuannya dalam tulis baca, tapi suaranya kencang, keningnya mengkilap, badannya bertenaga, betisnya bengkak, karakter seperti itu cocok menjadi mandor. Siapa pun yang tak punya keahlian tapi hanya memiliki tenaga, tetap dapat pekerjaan meskji kerja sebagai kuli.)
Indoe, di dolok-dolok an, sian siambirang laho toe Kampoeng Toboe, di si ma djongdjong sada bagas nagodang. Moeda hoem torang sidoemadang ari manamboes ma djolma ro toe bagas i, sasadia halak Bolanda, Djao, Malajoe dohot halak hita marsibaen haredjona.
(Itu, di bukit-bukit, di sebelah kiri menuju Kampung Tobu, di situ berdiri sebuah rumah besar. Begitu hari terang, orang-orang akan riuh mendatangi rumah itu. Sebagian orang Belanda, Melayu, dan orang-orang kita akan melakukan apa saja di rumah itu).
Manamboes di si djolma na marpinfoeloen nada marsipatoe dongar-dongar sorana mandok: “Boengkoes on, momos i, porsan on, oban i!" ningna laho toedoe-toedoe toe barang na margoendalo-goendalo nadi bagas i.
(Mereka berteriak-teriak menyuruh seseorang sambil berkata: "Bungkus ini, saputi itu, pikul ini, bawa itu" sementara telunjuk menunjuk-nunjuk barang-barang yang berserakan di rumah itu.)
Dari pembukaan seperti itu, pembaca mendapat gambaran bahwa pusat Tapanuli (Keresidenan Tapanuli), yakni ibu kota Padang Sidimpuan, adalah kota dagang yang ramai dan sibuk. Kehidupan sudah menggeliat saat pagi. Orang-orang sibuk bekerja.
Frasa "Toelbok Haleon" yang dipakai Sutan Pangurabaan Pane menjadi judul novelnya, secara metaforik bermakna "jiwa yang lapar". Secara harfiah kata "toelbok" dari bahasa Angkola berarti "jiwa" dan kata "haleoin" berarti "musim kelaparan".
Di lingkungan masyarakat Angkola, masyarakat yang mendiami wilayah yang menjadi pusat dari Tanah Tapanuli (Keresidenan Tapanuli periode 1853-1905 beribukota Padang Sidimpuan), berlaku secara umum sekian banyak musim yang dikaitkan dengan tradisi bertani (padi sawah).
Ada musim "haleon" (kelaparan), "pakkuron" (bekerja), "baboon" (berutang pupuk), "boltok eme" (awal kelaparan), dan "manyabi" (panen). Musim-musim ini sangat erat kaitannya dengan sistem pengairan di pesawahan, yang mengandalakan tadah hujan, atau dalam bahasa Angkola "martahalak tu langit (ber-irigasi-kan langit)".
Musim-musim ini juga menjadi penanda waktu bagi masyarakat. Misalnya, ketika suatu komunitas masyarakat dari kampung A berkata kalau di daerah mereka sedang musim "baboon" (musim menyiangi gulma di sawah), bisa dipastikan komunitas masyarakat itu akan sulit diajak untuk urusan apa saja. Mereka akan menolak ajakan sambil berkata: "Sompit babaoon sannari (semua sempit di musim baboon ini)".
Atau, ketika "haleon" dialami suatu komunitas, bisa dibayangkan kalau setiap keluarga dalam komunitas itu hidup serbakekurangan bahan pangan. Tak ada lagi beras dan kondisi seperti itu serentak di kampung tersebut. Di masa lalu, saat "haleon", ketiadaan beras akan diganti dengan "silalat" (singkong), gadung (ubi jalar), atau umbi-ubian lainnya. Beras menjadi barang yang sangat mahal.
Pada tahun 1870-an, sejumlah kampung di Sipirok --yang merupakan wilayah Onderafdeeling di bawah pemerintahan administyratif Afdeeling Padang Sidimpuan -- pernah dilanda wabah pokken (penyakit cacar yang disebabkan virus variola). Waktu itu, pokken dianggap penyakit kutukan. Kulit seseorang yang terkena pokken akan melepuh, lalu meleleh mengeluarkan cairan yang diyakini dapat menulari orang lain.
Orang-orang sangat menderita, dikucilkan karena diduga terkena begu (hantu atau jin), dan diasingkan ke haritte (kepundan gunung berapi) di sekitar Desa Situmba agar tidak menulari orang lain. Pada masa itulah, terjadi wabah ikutan "haleon" atau musim kelaparan berkepanjangan. Wabah penyakit membuat orang tidak bisa bertani. Bahan makanan tak ada. Ubi-ubian tak ada. Keserakan di mana-mana. Perkelahian terjadi.
Sutan Pangurabaan Pane mengenangkabn peristiwa haleon itu dengan melahirkan frase "tolbok haleon" (jiwa yang kelaparan). Di dalam kata pengantar penulis (patoejolona) dari novel Toelbok Haleon, Sutabn Pangurabaan Pane menulis pesan:
".... dibaen i ma anso hoetoeget-toegeti pararat hobaran on, asa hoebaen oeloena Tolbok Haleon anso oelang magosian pangarohai ni dongan na doea toloe, mandok na masa tolbok haleon di hita on, moese anso rap tadjalahi dalan, sanga songon dia anso tolbok haleon i, niago sian tonga-tonga ni bangsonta, asa hasidoengarina mardonaon hita soede."
".... lantaran itu, aku cobausahakan pembicaraan dalam buku ini, dan aku buat judulnya Toelbok Haleon supaya para pembaca tak bertanya-tanya tentang judul ini. Toelbok Haleon ini untuk mengingatkan kepada kita semua, juga supaya kita sama-sama mencari jalan keluarnya, entah bagaiamana pun caranya, supaya tolbok haleon dihilangkan dari kehidupan kita sehari-hari dan akhirnya segala kebaikan untuk kita semua"
Aku membaca novel yang kata pengantar penulisnya ditandai dengan Padang Sidimpoean, 1 Augustus 1916. Di halaman dalam,
ditulis "Tolbok Haleon, siriaon di na tobang, sipaingot toe na poso boeloeng". Di hata Angkola, na nibaen ni Sutan Pangurabaan Pane,
guru di Padang Sidimpuan (Tolbok Haleon, hiburan bagi yang tua, nasehat bagi yang muda). Rokoman na paduahoan (cetakan kedua). Nirokom di pangarokoman ni Partopan Tapanuli (dicetak oleh percetakan Partopan Tapanuli) di Padang Sidimpuan tahun 1916.
Novel yang aku baca ini buku cetakan kedua tahun 1916. Sejak disiarkan pertama kali tahun 1909 di surat kabar PostahaPadang Sidimpuan, novel ini sudah dua kali dicetak ulang. Pertama kali diterbitkan sebagai buku, novel setebal 300 halaman ini dicetak Penerbit di Sibolga tahun 1911. Kemudian tahun 1916 memasuki cetak kedua.
Novel ini merekam watak kultur masyarakat Angkola. Bagaimana masyarakat Angkola pada masa kolonialisme Belanda, dijelaskan dengan narasi di mana ketika orang-orang Belanda hidup sebagaimana cara hidup masyarakat di padang Sidimpuan. Tiap pagi mereka bangun, lalu mencari kedai kopi, kemudian minta dibungkuskan sarapan berupa kuliner khas seperti pisang goreng, onde-onde, itak pohul-pohul, dan lain sebagainya. Mereka tidak mendapat perlakuan khusus dari pedagang, antri sebagaimana masyarakat lokal menunggu giliran dilayani pedagang.
Selain soal kehidupan sosial pada masa kolonial itu, novel Toelbok Haleon banyak melukiskan tradisi kultural masyarakat ANgkola. Misalnya, hidup mengandalkan MCK (mandi cuci kakus) di sungai atau disebut tapian. Saat di tapian, hubungan sosial terangkai. Percakapan terjadi. Persoalan krusial yang dibicarakan selalu yang berkaiotan dengan kehidupan.
Berikut salah satu adegan dalam novel.
Doeng tolap halahi toe losoeng aek i, didjama-djama Nai Lillian Lolosan ma dahanon i, bia ma na sak- sak boti hortang-hortang.
(Setelah sampai ke lesung air--ini teknologi tradisional masyarakat Angkola yaitu tempat memproduksi tepung beras-- dipegang-pegang Nai Lilian Lolosan (nai artinya ibunya Lilian Lolosan) beras di tangannya, betapa putih bersih kelihatannya.
"Eme si aha de he on maen?'' ning Nai Lilian Lolosan.
("Padi --varietas-- apa ini Maen ?" tanya Ibunya Lilian Lolosan.)
"On ma da boto ho naimboroe, erne sikopal tjino," ning marbadjoe i
(Kalau kau, inilah yang disebut padi Sikopal Chino." kata perempuan di samping ibunya Lilian Lolosan.
"Eme sikopal tjino? On dope hoebege goar ni eme na songon i. Anggo na hoeboto sipahantan do na djoemeges dahanon di Angkola on!''
("Padi Sikopal Choino? Baru ini kudengar nama padi seperti ini. Sepengetahuanku, padi yang paling bagus di Angkola ini hanya Sipahattan")
Ro aloes ni anak boroe i: „Na nitongos ni dainang do da on namboroe sian Mandailing, baen baroe simpoel manjabi halahi; tai anggo di sadoe adong dope eme na djoemeges saraga nai, goarna siboroe omas.' ning si Gandoria.
(Jawaban perempuan itu: "Yang dipesan ibuku beras ini Namboru dari Mandailing karena di sana baru saja selesai panen. Tapi, kalau di sana masih ada padi yang lebih bagus sebanyak satu raga lagi. Namanya Siboru Omas" kata si Gondoria.)
"0lo da maen, djop rohamoe na mandjagit tongosan i"'
("I ya, Maen. Senang rasanya mendapat pesannan seperti itu)
"Laing na todas do i manongos halahi lima-lima boban'', ning anak boroe i, laho dibaensa dahanon i doea soloep toe bahoel.
("Memang mereka selalu mengirim lima-lima beban", kata perempuan itu sambil memasukkan dua solup beras ke bakul.)
"Oban da namboroe dahanon on di ho, anso dai djolo sikopal tjino on," ning na marbadjoe i moese.
("Ini untuk Namboru supaya Namboru bisa menikmati beras Sikopal Chino ini," kata perempuan itu. )
"Tama ma nai da maen,'' ning Nai Lilian Lolosan laho mandjagit dahanon i dohot moga ni rohana, asa oedoer ma halahi moeli.
("Senangkali hatiku, Maen," kata Ibunya Lilian Lolosan saat menerima beras pemberian itu, kemudian mereka bersama-sama meninggalkan tempat itu.
Dari percakapan ibunya Lilian Lolosan (tokoh sentral dalam novel adalah Lilian Lolosan) dengan perempuan yang ditemui di lesung air, hubungan sosial di antara mereka sangat bagus. Si perempuan yang sebetulnya tidak mengenali ibunya Lilian Lolosan, mau membagiukan beras baru kepada ibunya Lilian Lolosan. Hubungan sosial seperti ini sangat kuat dalam masyarakat Angkola dan masih sering dijumpai.
Hubungan sosial seperti ini berasal dari adat kebiasaan masyarakat Angkola, di mana anak orang lain yang seusia dengan anak sendiri akan dianggap dan diperlakukan seakan-akan anak sendiri. begitu juga dengan seorang anak akan memperlakukan seorang ibu atau seorang ayah yang tidak dikenalnya secara pribadi sebagai orang yang sama dengan orang tuanya.
Nilai-nilai seperti ini bukan tanpa alasan disampaikan Sutan Pangurabaan pane lewat dialok tokoh-tokohnya. Sebagai seorang guru, Sutan Pangurabaan Pane tidak pernah keluar dari patronnya sebagai pengajar.
Buku tebal dan terdiri dari dua jilid ini, tak lagi dibaca masyarakat Angkola. Sangat mungkin, orang tidak tahu betapa kayanya nilai-nilai budaya Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane dalam karya-karyanya.
Nilai-nilai masyarakat Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane, bertolak belakang dengan nilai-nilai Angkola yang direkam Merari Siregar dalam Azab dan Sengsara (selanjutnya disingkat ADS) karya Azab dan Sengsara meskipun keduanya sama-sama berasal dari Sipirok. merari Siregar sangat kolonial, merekam dan memperjuangkan keinginan kolonial, membuat budaya masyarakat Angkola menjadi buruk.
Belanda lewat Balai Pustaka memilih menerbitkan Azab dan Sengsara yang berlatar-belakang budaya Angkola dan ditulis oleh Merari Siregar --anak keturunan Sutan Martuwa Raja. Bagi Belanda, masyarakat Angkola yang kuat mempertahankan budaya dan menentang kolonialisme pada dekade 1910-1930, harus dilemahkan dengan cara merusak budayanya. Belanda tidak pernah menerbitkan novel yang berlatar budaya Madailing, karena masyarakat Mandailing itu hidup sebagai bagiuan dari pemerintahan koloniual Belanda yang bekerja di pusat-pusat administrasi pemerintahan.
Sejak 1910-an, Belanda sudah berusaha menghapus masyarakat Angkola dari setiap kajian tentang Batak. Upaya itu mendapat dukungan dari masyarakat Mandailing, terutama saat terjadi kasus krusial terkait Serikat Dagang. "Pertempuran" antara masyarakat Angkola dengan masyarakat Mandailing di Medan terkait tanah pekuburan Tanah Mati, dikemas masyarakat Mandailing yang didukung kolonialisme Belanda untuk menghapus jejak kulturan masyarakat Angkola. Buku Mangaraja Ihutan tentang "Sejarah Pekuburan Tanah Mati" mengisahkan secara subyektif versi Mandailing tentang masyarakat Angkola tanpa ada pendapat (tanggapan). Dan masyarakat Mandailing melakukannya dibnantu advokat berkebangsaan Belanda.
Sebagai contoh kesesatan atau penyesatan adat Angkola oleh Merari Siregar dana Azab dan Sengsara terutama pada narasi tentang "pelarangan menikah sesama marga" yang dipahami Belanda seakan-akan pelarangan itu bermakna melarang anak mencari jodoh sendiri dan memaksa anak menikah dengan pilihan orang tuanya. Aminuddin dan Mariamin yang tak salah secara adat, dinilai keliru. Keduanya dipisahkan Merari Siregar seakan-akan persoalan kaya dan miskin itu sangat penting bagi masyarakat adat Angkola, Persoalan adat yang lebih penting bagi masyarakat Angkola apalagi pada masa novel ini ditulis.