Pengantar: Putri Priyayi sebuah novel pendek yang bercerita tentang Roro Ayu Widuri Sri ningsih Prabuningtyas, putri angkat pasangan keluarga priyayi yang sudah lama tinggal di Jakarta. Ayu menyadari bahwa darahnya bukan darah priyayi, dan ia tertekan hidup dalam kemewahan yang penuh aturan. Ia memutuskan untuk bebas, seperti Imelda, kawannya, lalu ia kabur dari rumah dan akhirnya hidup mandiri. Ia sukses dan bekerja di Dirjen Pajak, mendapat tanggung jawab sebagai petugas penilai potensi pajak, yang melakukan survei keliling Indonesia. Ia bertemu dengan Budi, satu-satunya laki-laki yang ia cintai selama kuliah, tetapi Budi jatuh cinta kepada Imelda. Kisah percintaan Budi, Ayu, dan Imelda mempertaruhkan persahabatan ketiganya, di mana tidak seorang pun di antara mereka yang akan hidup bersama. Sebagai petugas pajak, Ayu tidak sepemikiran dengan Imelda yang bekerja sebagai direktur pada salah satu grup perusahaan yang menipu pajak, dan Budi merupakan aktivis yang melakukan protes kepada perusahaan di mana Imelda bekerja.
BAB I. DI TEPI SUNGAI BATANG GADIS
Kau harus mengakui kalau ia banyak berubah setelah lima tahun. Saat pertama kali kau mengenalnya di kampus, rambutnya dipotong pendek, di atas bahu hingga tengkuknya terlihat, dan gaya rambut itu membuatnya terlihat lebih mirip remaja belasan tahun. Kau baru menyadari kekeliruanmu setelah ia masuk ke dalam kelas dan ikut berkualiah.
Ia ke kampus selalu diantar neneknya –- tapi belakangan kau tahu perempuan tua itu ternyata ibunya --- yang selalu mengenakan kebaya, berkain batik motif parang garudo dan menyanggul rambut berubannya. Ibunya selalu akan menyempatkan menjulurkan kepalanya dari jendela mobil, entah untuk sekadar memberi tahu kepada siapa saja bahwa ia selalu mengawasi anak gadisnya, dan setelah itu mobil sedan klasik berbadan lebar dan berwarna putih metalik yang dikendarai sopirnya akan memutari kawasan kampus sebelum akhirnya keluar dari gerbang..
Sementara ia, gadis itu -– kau selalu memanggilnya Ayu meskipun orang lain akan memanggilnya Sri – buru-buru akan berlari ke kamar kecil dan dalam hitungan menit akan muncul dengan penampilan berbeda; mengenakan jins ketat dan t-shirt yang membuat tubuh mungilnya menjadi lebih mungil. Seperti biasa, selepas dari kamar kecil ia akan menghampiri Imelda, dan membaur di antara rombongan mahasiswa lainnya. Kehadirannya akan memberi warna berbeda karena kemungilan tubuhnya sehingga terkesan Imelda seperti seorang kakak yang berangkat ke kampus sambil menjaga adik kecilnya.
Sudah lima tahun sejak terakhir kali bertemu Ayu, saat masih sama-sama berkualiah di sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Selatan. Selama itu pula kau tak pernah mengingatnya, dan pasti kau tidak akan pernah mengingatnya seandainya ia tidak pernah menghubungi pada telepon selulermu.
“Seperempat jam lagi aku akan tiba di rumahmu,” katanya, setelah menanyakan dan mengatakan ini dan itu untuk mengembalikan ingatanmu tentang dirinya.
Kau ingat betul, ia seorang yang pendiam, hanya bicara seperlunya. Ia tidak suka kegiatan-kegiatan kampus, baik intrakampus maupun ekstrakampus. Padahal kegiatan-kegiatan seperti itu penting untuk mengekspresikan jiwa muda yang gelisah dan selalu ingin punya eksistensi. Ia beralasan tidak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan itu karena dilarang oleh orang tuanya, meskipun ia sangat mendambakan bisa melakukan apa saja seperti mahasiswa lainnya.
Ia selalu memberi contoh ingin seperti dirimu, mahasiswa yang super sibuk dan terlibat dalam banyak kegiatan di luar urusan perkuliahan, sehingga siapa saja di dalam kampus maupun di luar kampus akan dengan mudah mengingatmu sebagai aktivis mahasiswa. Ia acap berkhayal suatu saat akan melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukannya saat masih mahasiswa, termasuk naik turun sejumlah gunung sebagaimana kau sering melakukannya bersama kelompok pencinta alam yang sudah berkali-kali mengukur ketinggian nyaris semua gunung di negeri ini.
Tapi ia tidak pernah naik gunung. Ia juga tidak pernah mau membuka hatinya untuk urusan perasaan. Kau tidak pernah melihatnya dekat dengan laki-laki, konon lagi menjadi begitu akrab. Hidupnya cenderung kering, hanya berkutat dengan buku-buku kuliah. Sekali-sekali kau melihatnya asyik membaca novel.
Suatu hari kau bertanya soal itu kepadanya, dan ia meminta dengan sangat agar kau tak mempertanyakan perkara yang sangat tabu dalam keluarganya. Ia beralasan, orang tuanya sangat ketat urusan pergaulan muda-mudi dan mewanti-wantinya sejak lama agar tidak main-main dengan urusan hati. Belakangan kau tahu dari Imelda kalau ia sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan salah seorang kerabat jauh yang menjadi kolega bisnis ayahnya.
Sebetulnya kau tak begitu akrab dengan dirinya. Tapi kau akrab dengan Imelda, kawan akrab yang belakangan tinggal satu kontrakan dengan dirinya. Imelda berbeda seratus derajat dengan dia. Imelda gadis yang mandiri, sedikit maskulin. Kau suka tife gadis maskulin, Selain tak menyukai berdandan yang banyak memakan waktu dan tidak terlalu tergantung kepada laki-laki, Imelda memiliki ketertarikan yang sama denganmu soal mendaki gunung dan mencintai keindahan alam raya.
Hubunganmu dengan Imelda memaksamu harus dekat dengan Ayu. Tak terlalu dekat, memang, hanya sekali-sekali kau mengajaknya bicara untuk menanyakan keberadaan Imelda. Dan, kesanmu, Ayu tidak enak diajak bicara. Kaku. Kosa katamu sering habis jika sedang bicara dengan dirinya.
Tapi kenapa, setelah lima tahun berlalu, tiba-tiba ia menghubungi ke telepon selulermu, mengatakan kalau ia dan dua kawannya sedang dalam perjalanan menuju ke rumahmu. Seperempat jam janjinya. Dan, percakapan di telepon genggam itu belum seperempat jam berlalu ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumahmu. Saat seseorang turun dari mobil, lalu melangkah menghampirimu, kau mengikuti langkahnya sambil berpikir bahwa perempuan itu bukan Ayu.
Perempuan itu bertubuh tinggi, otot-otot pinggulnya berisi. Ia mengenakan jins hitam ketat, rompi berbahan kanvas warna biru tua, dan memakai sepatu bot yang menutupi bentuk betisnya. Ia mengembangkan senyuman, berdiri sebentar di hadapanmu, dan tampak puas karena kau gagal mengenalinya.
“Kau masih ingat aku?!” sapanya.
Ia membiarkanmu mengingat dirinya sambil mengedar tatapan ke seluruh sudut di halaman rumahmu, ke pot-pot bunga anggrek yang kau tata di sebelah selatan, ke rumpun melati air yang mekar di tengah-tengah kolam kecil, dan ke patung-patung yang kau letakkan di antara pot-pot bonsai. Kemudian ia melirik ke dalam rumahmu melalui pintu yang mengaga. “Mana Imelda?” tanyanya.
Imelda!? Kau telah melupakan gadis maskulin itu sejak lama, sejak lima tahun lalu. Selesai kuliah, hubunganmu dengan Imelda juga selesai. Kau tak ingat lagi penyebabnya, tapi kau tak akan melupakan bagaimana Imelda meninggalkanmu begitu saja. “Tidak,” katamu. “Imelda tidak pernah ada di sini.”
Ia tergelak. “Imelda!?”
“Ia masa lalu.”
Ia tersenyum. “Aku sudah menduga sejak awal hubungan Kalian tidak akan berlanjut.” Ia mendekatimu dan menjulurkan tangan. Sikapnya begitu cair. “Apa kabarmu?”
Kau menatapnya. “Kau betul Ayu….!?” Kau masih tak percaya. Ia banyak berubah. Tidak ada lagi kesan gadis yang pendiam. Sebaliknya, ia sedikit maskulin, “Kau banyak berubah.” Tak bisa tidak, kalimat itu kau sampaikan.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu?” Ia menatapmu. “Kau tak pernah memperhatikanku. Seingatku, hanya aku yang sering memperhatikanmu.”
Kau tertawa. Kau ingin melanjutkan kenangan tentang dirinya, tapi dua laki-laki yang belakangan turun dari mobil, tiba-tiba mendekat. Ia kemudian memperkenalkan kedua laki-laki itu. Salah seorang bertubuh kurus, sedikit lebih tinggi darimu, mengaku bernama Husein Sasmita. Satunya lagi bertubuh pendek, berkulit hitam manis, memperkenalkan dirinya sebagai Lazuardi Sarane. Ia memperkenalkan kedua laki-laki itu sebagai rekan kerjanya, dan entah kenapa kau senang mendengar penjelasannya.
Kau mengajak mereka masuk. Ia memuji suasana asri di halaman rumahmu. Begitu berada di dalam rumah, ia juga memuji penataan ruang tamu yang apik. “Kau masih suka fotografi?” tanyanya.
*
IA dan dua temannya bermaksud memasuki kawasan Taman Nasional Batang Gadis untuk urusan pekerjaan, tapi mereka tidak mengenal medan di dalam kawasan hutan itu. Ia berharap agar kau bersedia menjadi pemandunya, karena ia tahu persis kalau kau sering keluar masuk kawasan itu. Tapi kau tidak langsung menyetujui, malah bertanya untuk apa, karena tidak ingin membawa orang ke dalam kawasan dan kemudian orang itu akan merusak lingkungan hidup yang asri di sana.
Ia tertawa renyah dan mengaku sudah menduga bahwa kau tidak akan mudah diajak memasuki hutan karena kau sangat hati-hati. Dan ia tahu penyebabnya, maka ia menjelaskan bahwa ia bekerja di Dirjen Pajak dengan tanggung jawab untuk urusan menyurvei objek pajak, terutama milik para investor perkebunan yang bergerak di sector agro bisnis budidaya kepala sawit. Katanya, para wajib pajak dari kalangan pelaku agrobisnis sering menipu total luas areal budidaya yang mereka kelola untuk mengakali jumlah pajak yang wajib dibayar, padahal mereka acap menambah total luas tanam melebihi total hak guna usaha yang dikantongi selama ini. Tapi pemerintah melalui Dirjen Pajak tidak bisa diakali lagi, dan mengirimkan petugas untuk melakukan survei pengukuran luas lahan yang dikelola para wajib pajak itu lewat bantuan teknologi satelit yang memungkinkan mengumpulkan data luas lahan secara detail berikut gambarnya.
“Kebetulan kami ditugaskan ke derah ini untuk menyurvei luas lahan sejumlah investor. Total pajak mereka terlalu rendah bila dibandingkan total produksi. Kami curiga investor-investor itu mengakali pajak dengan melaporkan luas areal garapan yang tidak sesuai kenyataan,” katanya.
Kau mengangguk karena memahami apa yang ia maksud dan sebetulnya kau sudah lama mendengar ada pekerjaan seperti itu. Tapi kau tetap memerlukan informasi tambahan, mengajukan beberapa pertanyaan tentang bagaimana mereka akan melakukan pekerjaan menyurvei itu.
“Itu alasan saya menghubungimu.” Ia tersenyum. “Tidak sulit mengumpulkan informasi tentang seorang aktivis lingkungan hidup seperti dirimu. Aku dengar kau sering keluar masuk kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Ada banyak investor yang mendapat hak guna usaha di lahan yang berbatasan dengan Taman Nasional Batang Gadis. Lokasi penelitian kami di sana. Aku berharap kau bersedia mendampingi kami memasuki kawasan itu.”
“Aku!” Kau menatapnya. “Kau yakin aku tidak akan menolak?”
Ia tergelak. “Aku tahu obsesimu tentang lingkungan yang asri. Aku dengar kau sering memprotes kebijakan pemerintah memberikan hak guna usaha kepada investor untuk mengembangkan agrobisnis. Bahkan, beberapa bulan lalu, aku dengar kau menggugat ulah investor yang merambah kawasan Taman Nasional Batang Gadis.”
“Kau tahu semua itu.” Kau ingat aksi protes yang kau layangkan ke investor yang membudidayakan sawit itu, tapi protesmu dijawab pihak investor dengan mengajukan gugatan hukum ke kepolisian bahwa kau telah mencemarkan nama baik institusi bisnis mereka. Beberapa kali kau harus bolak-balik ke kantor polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar perbuatan pencemaran nama baik itu. Waktumu betul-betul tersita dan konsentrasimu pecah untuk mengatasi masalah gugatan itu, meskipun kau menduga semua ini dilakukan investor untuk menguras energimu agar tidak lagi focus pada persoalan yang kau persoalkan.
“Usahamu itu yang telah menginspirasi kami.” Ia menyemangatimu. “Kami curiga investor yang kau gugat itu mengakali luas areal budidaya untuk menipu total pajak yang harus dibayarkan.”
“Apa yang bisa aku bantu?”
*
Ia benar-benar berubah seratus derajat. Ia lebih tomboi dari Imelda. Ia sangat mandiri. Ia tak suka kalau kau mengkhawatirkannya.
Ketika memasuki kanopi Taman Nasional Batang Gadis, kau perhatikan kalau ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya mampu menempuh medan yang sulit. Kau sengaja memilih merambah jalur baru karena ia menghendaki agar survei yang dilakukan tidak dipergoki siapa pun, terutama pihak investor. Tapi kau tahu, ia belum terlalu berpengalaman memasuki hutan meskipun ia mengaku sudah biasa melakukan pekerjaannya.
“Medan yang lebih parah dari ini pun sudah pernah aku masuki. Kau tahu kan medan di Irianjaya.”
Ia bercerita pengalaman memasuki kawasan hutan di Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Belum lama mereka pulang dari Lampung, melakukan survey di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan menemukan fakta tentang kebohongan sejumlah investor. Ada perusahaan agrobisnis budidaya sawit yang menggarap lahan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan hingga 15.000 hektare, padahal hak guna usaha yang mereka kantongi hanya untuk 10.000 hektare di luar kawasan. “Kami sempat bertemu harimau di daerah Suwoh ,” katanya.
Kau menduga ia menceritakan semua karena merasa kalau kau mengkhawatirkan. Tapi ceritanya tak lantas mengurangi rasa khawatirmu, karena cara ia melewati rintangan tidak seluwes seperti seseorang yang terbiasa keluar-masuk hutan. Sekali-sekali kau melihatnya kesusahan dan kau terpaksa menunggu saat ia harus membebaskan diri dari belitan rotan yang berduri.
Husein Sasmita dan Lazuardi Sarane focus pada peralatan yang mereka bawa. Husein Sasmita memegang sebuah catatan, berkali-kali ia bicara dengan Lazuardi Sarane, berkali-kali ia menuliskan sesuatu pada buku catatannya. Sekali-sekali keduanya berhenti, berbicara tentang data yang tertera pada peralatan. Mereka nyaris tidak memperhatikan siapa pun. Kaulah yang memperhatikan Ayu, mengajaknya bicara tentang apa saja. Kau berharap suasana hatinya akan lebih enak, sehingga perjalanan menempuh medan yang sulit itu tidak membuat suasana hatinya kalut.
“Kau sudah menikah?” Tiba-tiba kau ajukan pertanyaan yang sebetulnya ingin kau ajukan sejak pertama kali bertemu. “Berapa anakmu?”
Ia berhenti melangkah mendengar pertanyaanmu. “Itu bukan pertanyaan yang sopan?”
“Kenapa tidak!?” Kau tersenyum. “Aku akan mengajukan pertanyaan apa saja yang membuat kita bisa menjadi sebuah tim kerja. Di dalam hutan ini, kita harus menyatu antara satu dengan lainnya.”
“Tetap saja pertanyaan seperti itu tidak sopan diajukan kepada seorang gadis yang seharusnya sudah menikah.”
“Jadi… Kau belum menikah.”
“Menurutmu.”
*
Ketika hari meremang, kau mengajak mereka mendirikan tenda di pinggir Sungai Batang Gadis. Ia membawa satu tenda, dua rekannya membawa satu tenda, dan kau membawa satu tenda. Tiga tenda dipasang. Selesai tugas itu, kau mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan menghadapi malam.
Ketika gelap merayap di angkasa, api unggun sudah menyala. Sambil makan malam, kau mengajak mereka bercakap-cakap. Tapi Husein Sasmita dan Lazuardi Sarane mohon diri untuk istirahat lebih dahulu. Keduanya kelelahan dan ingin mempersiapkan diri agar mampu menghadapi perjalan besok pagi. Kau menyarankan agar ia juga istirahat supaya kondisinya fit. Meskipun ia tampak kelelahan, ia berusaha memberi kesan bahwa dirinya belum mau istirahat. Kau meyakinkannya bahwa medan yang akan ditempuh lebih berat lagi. “Istirahatlah! Besok pagi perjalanan kita masih panjang dan melelahkan,” katamu.
Ia tak menolak karena kondisinya memang terlihat kepayahan. Ia berjalan gontai menuju tendanya. Setelah ia tak terlihat lagi, kau merapikan api unggun. Setelah itu kau masuk tenda. Tak kau sadari, sebelum tertidur, pikiranmu dikuasai bayangannya. Perubahannya yang begitu drastis, harus kau akui, membuat hatimu bergetar setiap kali melihatnya. Semua yang ada pada dirinya, sama seperti gadis yang pernah kau bayangkan selama ini. Itu sebabnya, kau tetap memilih hidup sendiri hingga kini.
Kau membayangkan betapa hangat tubuhnya. Bayangan itu membuat kau tertidur sambil tersenyum.
Entah berapa lama kau tertidur, tiba-tiba kau terbangun dan melihat ada bayangan manusia berkelebat di luar. Kau curiga ada orang yang sengaja datang, dan kau keluar dari tenda tidak melalui pintu beresluiting itu. Kau mengendap di balik tenda, bergerak perlahan mendekati bayangan itu. Kau lihat sosok itu, berusaha hendak masuk ke tendamu. Kau menerkamnya, dan sama-sama terjatuh. Tapi….
“Kenapa kau di sini?” Kau kaget melihat Ayu ada dalam pelukanmu.
Ia tidak menjawab, berusaha bangkit. Kau menyusul bangkit. Ia menatapmu begitu tajam.
“Apa yang kau lakukan di luar tenda ini?” tanyamu.
Sebuah tamparan mendarat di wajahmu. “Kau kurang hajar. Entah, mungkin, munafik.”
“Apa maksudmu?”
“Dari tadi aku tunggu kau di dalam tendaku, tapi kau tidak pernah muncul. Imelda benar, kau memang piawai mendaki semua puncak gunung, tapi kau tidak punya keberanian mendaki gunung yang aku punya.”
“Kau….”
“Aku menunggu saat seperti ini sejak lama.” Ia menatap tajam ke bola matamu. Dadamu bergetar sangat hebat. “Kau pikir untuk apa aku berubah drastis seperti ini. Semua karena ucapanmu dulu, karena kau hanya menyukai perempuan yang maskulin.”
“Kau…” Mendadak kau memeluknya. Kalian bergulingan hingga ke pinggir Sungai Batang Gadis.