Analisis Karya

Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Utama. Tampilkan semua postingan

"Toelbok Haleon", Novel Sutan Pangurabaan Pane yang Menyimpan Warisan Kultural Angkola

Novel "Toelbok Haleon" ditulis Sutan Pangurabaan Pane pada tahun 1909, saat dia sering bepergian dari Muara Sipongi-Padang Sidimpuan-Ford de Kock-Sibolga. Dia seorang pengusaha di segala bidang, mulai dari pedagang hasil bumi, pedagang buku yang ditulis dan diterbitkan sendiri, sampai sebagai pengusaha transportasi. Dia memilih pekerjaan sambil bekerja sebagai guru.

Oleh Budi Hatees

Awalnya dia jadi guru di HIS Muara Sipongi, sebuah daerah yang menyebabkan istrinya selalu menderita suatu penyakit yang tak terobati. Alasan penyakit istrinya itu membuatnya pindah ke Padang Sidimpuan. Dia menjadi guru di HIS Padang Sidimpuan, tetapi kemudian dia berhenti karena bisnisnya berkembang pesat sejak novel Toelbok Haleon jadi karya yang banyak dibaca publik.
Istrinya meninggal di Padang Sidimpuan. Konon, istri Sutan Panguraban Pane yang fisiknya lemah, terkena serangan malaria. Untuk mengenang derita istrinya yang selalu sakit-sakitan, Sutan Pangurabaan Pane menamai anak terakhirnya sebagai Lafran Pane (nama yang dipinjam dari Charles Louis Alphonse Laveran, seorang ilmuwan peraih Nobel Kedokteran yang menemukan penyakit penyebab malaria).
Tahun 1909, novel Toelbok Haleon awalnya ditulis sebagai cerita bersambung di Poestaha, surat kabar berbahasa Angkola yang dikelola oleh Sutan Casayangan Harahap, seorang guru di Kweekschool Ford de Kock.
Sutan Casayangan masih kerabat Sutan Pangurabaan Pane, karena salah seorang dari anggota keluarga istri Sutan Pangurabaan Pane yang bermarga Siregar menikahi gadis bermarga Harahap di keluarga Sutan Casayangan Harahap. Mereka juga sempat satu sekolah di Kweekshool Padang Sidimpuan, tapi sekolah itu ditutup setelah wisuda terakhir. Sutan Casayangan Harahap wisudawan terakhir di Kweekschool Padang Sidimpuan. Sisa siswanya dialihkan ke Kweekschool Ford de Kock di Bukit Tinggi, dan Sutan Pangurabaan Pane salah satu yang dialihkan ke Kweekshool Ford de Kock.
Pertemanan dengan Sutan Casayangan membuat Sutan Pangurabaan Pane menekuni dunia surat kabar. Menulis novel pertamanya, "Toelbok Haleon", dan mendapat tanggapan luar biasa dari masyarakat pembaca. Tahun 1910-1930, Padang Sidimpuan merupakan kota yang ramai.
Sutan Pangurabaan Pane membuka novelnya dengan narasi sebagai berikut:
"Nada dope sadia dan sadia lolot, bonggal toe djae toe djoeloe sap toe desa na waloe, di poesot ni Tapanoeli on, na bahat pangomoan, marragam marbage-bage pandaraman. Mambege i manamboes ma halak na ro, adong na tandang mardjagal, tombal na malo majoerat ro ibana mandjalahi haredjo djoeroe toelis, adong antong na gabe djoeroe toelis ni Oelando, adong moese na gabe karani ni soedagar.
(Belum begitu lama, santer ke seluruh semesta, di pusat tanah Tapanuli, ada banyak pekerjaan dan beragam cara bisa dilakukan untuk mencari kehidupan. Mendengar cerita itu, berbondong-bondong orang datang, ada yang khusus berjualan, yang pandai baca tulis mencari pekerjaan sebagai juru tulis. Ada yang akhirnya jadi juru tulis Belanda (Oelando), ada yang jadi karani para saudagar.)
Halak na hoem saotik do sinaloanna manjoerat, tai sorana na gogo, bohina marrintop, pamatangna togos, bitisna toemboer, taoeken na lakoe ma ibana gabe mondoer. Ise na so malo di tangan hoem gogona do adong, laing dapot ibana pinomat hoem haredjo markoeli-koeli.
(Orang yang hanya sedikit kemampuannya dalam tulis baca, tapi suaranya kencang, keningnya mengkilap, badannya bertenaga, betisnya bengkak, karakter seperti itu cocok menjadi mandor. Siapa pun yang tak punya keahlian tapi hanya memiliki tenaga, tetap dapat pekerjaan meskji kerja sebagai kuli.)
Indoe, di dolok-dolok an, sian siambirang laho toe Kampoeng Toboe, di si ma djongdjong sada bagas nagodang. Moeda hoem torang sidoemadang ari manamboes ma djolma ro toe bagas i, sasadia halak Bolanda, Djao, Malajoe dohot halak hita marsibaen haredjona.
(Itu, di bukit-bukit, di sebelah kiri menuju Kampung Tobu, di situ berdiri sebuah rumah besar. Begitu hari terang, orang-orang akan riuh mendatangi rumah itu. Sebagian orang Belanda, Melayu, dan orang-orang kita akan melakukan apa saja di rumah itu).
Manamboes di si djolma na marpinfoeloen nada marsipatoe dongar-dongar sorana mandok: “Boengkoes on, momos i, porsan on, oban i!" ningna laho toedoe-toedoe toe barang na margoendalo-goendalo nadi bagas i.
(Mereka berteriak-teriak menyuruh seseorang sambil berkata: "Bungkus ini, saputi itu, pikul ini, bawa itu" sementara telunjuk menunjuk-nunjuk barang-barang yang berserakan di rumah itu.)
Dari pembukaan seperti itu, pembaca mendapat gambaran bahwa pusat Tapanuli (Keresidenan Tapanuli), yakni ibu kota Padang Sidimpuan, adalah kota dagang yang ramai dan sibuk. Kehidupan sudah menggeliat saat pagi. Orang-orang sibuk bekerja.
Frasa "Toelbok Haleon" yang dipakai Sutan Pangurabaan Pane menjadi judul novelnya, secara metaforik bermakna "jiwa yang lapar". Secara harfiah kata "toelbok" dari bahasa Angkola berarti "jiwa" dan kata "haleoin" berarti "musim kelaparan".
Di lingkungan masyarakat Angkola, masyarakat yang mendiami wilayah yang menjadi pusat dari Tanah Tapanuli (Keresidenan Tapanuli periode 1853-1905 beribukota Padang Sidimpuan), berlaku secara umum sekian banyak musim yang dikaitkan dengan tradisi bertani (padi sawah).
Ada musim "haleon" (kelaparan), "pakkuron" (bekerja), "baboon" (berutang pupuk), "boltok eme" (awal kelaparan), dan "manyabi" (panen). Musim-musim ini sangat erat kaitannya dengan sistem pengairan di pesawahan, yang mengandalakan tadah hujan, atau dalam bahasa Angkola "martahalak tu langit (ber-irigasi-kan langit)".
Musim-musim ini juga menjadi penanda waktu bagi masyarakat. Misalnya, ketika suatu komunitas masyarakat dari kampung A berkata kalau di daerah mereka sedang musim "baboon" (musim menyiangi gulma di sawah), bisa dipastikan komunitas masyarakat itu akan sulit diajak untuk urusan apa saja. Mereka akan menolak ajakan sambil berkata: "Sompit babaoon sannari (semua sempit di musim baboon ini)".
Atau, ketika "haleon" dialami suatu komunitas, bisa dibayangkan kalau setiap keluarga dalam komunitas itu hidup serbakekurangan bahan pangan. Tak ada lagi beras dan kondisi seperti itu serentak di kampung tersebut. Di masa lalu, saat "haleon", ketiadaan beras akan diganti dengan "silalat" (singkong), gadung (ubi jalar), atau umbi-ubian lainnya. Beras menjadi barang yang sangat mahal.
Pada tahun 1870-an, sejumlah kampung di Sipirok --yang merupakan wilayah Onderafdeeling di bawah pemerintahan administyratif Afdeeling Padang Sidimpuan -- pernah dilanda wabah pokken (penyakit cacar yang disebabkan virus variola). Waktu itu, pokken dianggap penyakit kutukan. Kulit seseorang yang terkena pokken akan melepuh, lalu meleleh mengeluarkan cairan yang diyakini dapat menulari orang lain.
Orang-orang sangat menderita, dikucilkan karena diduga terkena begu (hantu atau jin), dan diasingkan ke haritte (kepundan gunung berapi) di sekitar Desa Situmba agar tidak menulari orang lain. Pada masa itulah, terjadi wabah ikutan "haleon" atau musim kelaparan berkepanjangan. Wabah penyakit membuat orang tidak bisa bertani. Bahan makanan tak ada. Ubi-ubian tak ada. Keserakan di mana-mana. Perkelahian terjadi.
Sutan Pangurabaan Pane mengenangkabn peristiwa haleon itu dengan melahirkan frase "tolbok haleon" (jiwa yang kelaparan). Di dalam kata pengantar penulis (patoejolona) dari novel Toelbok Haleon, Sutabn Pangurabaan Pane menulis pesan:
".... dibaen i ma anso hoetoeget-toegeti pararat hobaran on, asa hoebaen oeloena Tolbok Haleon anso oelang magosian pangarohai ni dongan na doea toloe, mandok na masa tolbok haleon di hita on, moese anso rap tadjalahi dalan, sanga songon dia anso tolbok haleon i, niago sian tonga-tonga ni bangsonta, asa hasidoengarina mardonaon hita soede."
".... lantaran itu, aku cobausahakan pembicaraan dalam buku ini, dan aku buat judulnya Toelbok Haleon supaya para pembaca tak bertanya-tanya tentang judul ini. Toelbok Haleon ini untuk mengingatkan kepada kita semua, juga supaya kita sama-sama mencari jalan keluarnya, entah bagaiamana pun caranya, supaya tolbok haleon dihilangkan dari kehidupan kita sehari-hari dan akhirnya segala kebaikan untuk kita semua"
Aku membaca novel yang kata pengantar penulisnya ditandai dengan Padang Sidimpoean, 1 Augustus 1916. Di halaman dalam,
ditulis "Tolbok Haleon, siriaon di na tobang, sipaingot toe na poso boeloeng". Di hata Angkola, na nibaen ni Sutan Pangurabaan Pane,
guru di Padang Sidimpuan (Tolbok Haleon, hiburan bagi yang tua, nasehat bagi yang muda). Rokoman na paduahoan (cetakan kedua). Nirokom di pangarokoman ni Partopan Tapanuli (dicetak oleh percetakan Partopan Tapanuli) di Padang Sidimpuan tahun 1916.
Novel yang aku baca ini buku cetakan kedua tahun 1916. Sejak disiarkan pertama kali tahun 1909 di surat kabar PostahaPadang Sidimpuan, novel ini sudah dua kali dicetak ulang. Pertama kali diterbitkan sebagai buku, novel setebal 300 halaman ini dicetak Penerbit di Sibolga tahun 1911. Kemudian tahun 1916 memasuki cetak kedua.
Novel ini merekam watak kultur masyarakat Angkola. Bagaimana masyarakat Angkola pada masa kolonialisme Belanda, dijelaskan dengan narasi di mana ketika orang-orang Belanda hidup sebagaimana cara hidup masyarakat di padang Sidimpuan. Tiap pagi mereka bangun, lalu mencari kedai kopi, kemudian minta dibungkuskan sarapan berupa kuliner khas seperti pisang goreng, onde-onde, itak pohul-pohul, dan lain sebagainya. Mereka tidak mendapat perlakuan khusus dari pedagang, antri sebagaimana masyarakat lokal menunggu giliran dilayani pedagang.
Selain soal kehidupan sosial pada masa kolonial itu, novel Toelbok Haleon banyak melukiskan tradisi kultural masyarakat ANgkola. Misalnya, hidup mengandalkan MCK (mandi cuci kakus) di sungai atau disebut tapian. Saat di tapian, hubungan sosial terangkai. Percakapan terjadi. Persoalan krusial yang dibicarakan selalu yang berkaiotan dengan kehidupan.
Berikut salah satu adegan dalam novel.
Doeng tolap halahi toe losoeng aek i, didjama-djama Nai Lillian Lolosan ma dahanon i, bia ma na sak- sak boti hortang-hortang.
(Setelah sampai ke lesung air--ini teknologi tradisional masyarakat Angkola yaitu tempat memproduksi tepung beras-- dipegang-pegang Nai Lilian Lolosan (nai artinya ibunya Lilian Lolosan) beras di tangannya, betapa putih bersih kelihatannya.
"Eme si aha de he on maen?'' ning Nai Lilian Lolosan.
("Padi --varietas-- apa ini Maen ?" tanya Ibunya Lilian Lolosan.)
"On ma da boto ho naimboroe, erne sikopal tjino," ning marbadjoe i
(Kalau kau, inilah yang disebut padi Sikopal Chino." kata perempuan di samping ibunya Lilian Lolosan.
"Eme sikopal tjino? On dope hoebege goar ni eme na songon i. Anggo na hoeboto sipahantan do na djoemeges dahanon di Angkola on!''
("Padi Sikopal Choino? Baru ini kudengar nama padi seperti ini. Sepengetahuanku, padi yang paling bagus di Angkola ini hanya Sipahattan")
Ro aloes ni anak boroe i: „Na nitongos ni dainang do da on namboroe sian Mandailing, baen baroe simpoel manjabi halahi; tai anggo di sadoe adong dope eme na djoemeges saraga nai, goarna siboroe omas.' ning si Gandoria.
(Jawaban perempuan itu: "Yang dipesan ibuku beras ini Namboru dari Mandailing karena di sana baru saja selesai panen. Tapi, kalau di sana masih ada padi yang lebih bagus sebanyak satu raga lagi. Namanya Siboru Omas" kata si Gondoria.)
"0lo da maen, djop rohamoe na mandjagit tongosan i"'
("I ya, Maen. Senang rasanya mendapat pesannan seperti itu)
"Laing na todas do i manongos halahi lima-lima boban'', ning anak boroe i, laho dibaensa dahanon i doea soloep toe bahoel.
("Memang mereka selalu mengirim lima-lima beban", kata perempuan itu sambil memasukkan dua solup beras ke bakul.)
"Oban da namboroe dahanon on di ho, anso dai djolo sikopal tjino on," ning na marbadjoe i moese.
("Ini untuk Namboru supaya Namboru bisa menikmati beras Sikopal Chino ini," kata perempuan itu. )
"Tama ma nai da maen,'' ning Nai Lilian Lolosan laho mandjagit dahanon i dohot moga ni rohana, asa oedoer ma halahi moeli.
("Senangkali hatiku, Maen," kata Ibunya Lilian Lolosan saat menerima beras pemberian itu, kemudian mereka bersama-sama meninggalkan tempat itu.
Dari percakapan ibunya Lilian Lolosan (tokoh sentral dalam novel adalah Lilian Lolosan) dengan perempuan yang ditemui di lesung air, hubungan sosial di antara mereka sangat bagus. Si perempuan yang sebetulnya tidak mengenali ibunya Lilian Lolosan, mau membagiukan beras baru kepada ibunya Lilian Lolosan. Hubungan sosial seperti ini sangat kuat dalam masyarakat Angkola dan masih sering dijumpai.
Hubungan sosial seperti ini berasal dari adat kebiasaan masyarakat Angkola, di mana anak orang lain yang seusia dengan anak sendiri akan dianggap dan diperlakukan seakan-akan anak sendiri. begitu juga dengan seorang anak akan memperlakukan seorang ibu atau seorang ayah yang tidak dikenalnya secara pribadi sebagai orang yang sama dengan orang tuanya.
Nilai-nilai seperti ini bukan tanpa alasan disampaikan Sutan Pangurabaan pane lewat dialok tokoh-tokohnya. Sebagai seorang guru, Sutan Pangurabaan Pane tidak pernah keluar dari patronnya sebagai pengajar.
Buku tebal dan terdiri dari dua jilid ini, tak lagi dibaca masyarakat Angkola. Sangat mungkin, orang tidak tahu betapa kayanya nilai-nilai budaya Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane dalam karya-karyanya.
Nilai-nilai masyarakat Angkola yang direkam Sutan Pangurabaan Pane, bertolak belakang dengan nilai-nilai Angkola yang direkam Merari Siregar dalam Azab dan Sengsara (selanjutnya disingkat ADS) karya Azab dan Sengsara meskipun keduanya sama-sama berasal dari Sipirok. merari Siregar sangat kolonial, merekam dan memperjuangkan keinginan kolonial, membuat budaya masyarakat Angkola menjadi buruk.
Belanda lewat Balai Pustaka memilih menerbitkan Azab dan Sengsara yang berlatar-belakang budaya Angkola dan ditulis oleh Merari Siregar --anak keturunan Sutan Martuwa Raja. Bagi Belanda, masyarakat Angkola yang kuat mempertahankan budaya dan menentang kolonialisme pada dekade 1910-1930, harus dilemahkan dengan cara merusak budayanya. Belanda tidak pernah menerbitkan novel yang berlatar budaya Madailing, karena masyarakat Mandailing itu hidup sebagai bagiuan dari pemerintahan koloniual Belanda yang bekerja di pusat-pusat administrasi pemerintahan.
Sejak 1910-an, Belanda sudah berusaha menghapus masyarakat Angkola dari setiap kajian tentang Batak. Upaya itu mendapat dukungan dari masyarakat Mandailing, terutama saat terjadi kasus krusial terkait Serikat Dagang. "Pertempuran" antara masyarakat Angkola dengan masyarakat Mandailing di Medan terkait tanah pekuburan Tanah Mati, dikemas masyarakat Mandailing yang didukung kolonialisme Belanda untuk menghapus jejak kulturan masyarakat Angkola. Buku Mangaraja Ihutan tentang "Sejarah Pekuburan Tanah Mati" mengisahkan secara subyektif versi Mandailing tentang masyarakat Angkola tanpa ada pendapat (tanggapan). Dan masyarakat Mandailing melakukannya dibnantu advokat berkebangsaan Belanda.
Sebagai contoh kesesatan atau penyesatan adat Angkola oleh Merari Siregar dana Azab dan Sengsara terutama pada narasi tentang "pelarangan menikah sesama marga" yang dipahami Belanda seakan-akan pelarangan itu bermakna melarang anak mencari jodoh sendiri dan memaksa anak menikah dengan pilihan orang tuanya. Aminuddin dan Mariamin yang tak salah secara adat, dinilai keliru. Keduanya dipisahkan Merari Siregar seakan-akan persoalan kaya dan miskin itu sangat penting bagi masyarakat adat Angkola, Persoalan adat yang lebih penting bagi masyarakat Angkola apalagi pada masa novel ini ditulis.

Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal. 

Oleh Budi Hutasuhut | Penulis peneliti kebudayaan Batak

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage,  mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama jadi Pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 yang digelar di Kabupaten Samosir pada 14-16 September 2024 lalu. 

Ia bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra bahasa Batak,  ia  masih harus mensosialisasikan buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatra Utara. Untuk kegiatan itu,  ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengaku tidak lagi focus pada menciptakan karya baru, sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terkendala. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak tahun 2012 itu, belum mendapat respon dari pemerintah daerah,  sehingga sastra berbahasa Batak  belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam rangka melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meskipun begitu, kerja budaya yang dilakukan Saut Poltak Tambunan mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik Bahasa local itu. Ditandai dengan banyak muncul penulis baru yang menulis dalam bahasa Batak, meskipun bukan dari kalangan generasi muda.

Saut Poltak Tambunan seorang penulisan novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashady Siregar, Marga T, Mira W,  dan pengarang lainnya. Pada tahun 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak dengan mengalihbahasakan sejumlah cerpennya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi  pada 2012. 

Tahun 2015,  kumpulan cerpen Mangongkal Holi  itu membuat Saut Poltak Tambunan menerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga yang dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah,  sebelumnya hanya focus pada sastra berbahasa daerah yang ada di Pulau Jawa: Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi   menerima Hadiah Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk dalam penghargaan Hadiah Rancage. 

Namun, sastra berbahasa Batak bukan penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atyau di Pulau Sumatra. Tahun 2008,  sastra berbahasa daerah Lampung, kumpulan puisi  Mak Dawah Mak Dibingi  (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzie sudah lebih dahulu mendapat Hadiah Rancage. 

Tahun 2008, sebagai direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (alm) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam salah satu kategori pemberian Hadiah Rancage. 

Irfan Anshory yang berasal dari Lampung menyetujuinya dengan catatan,  kategori sastra berbaha Lampung akan masuk kategori Hadiah Rancage jika ada penerbitan sastra daerah berbahasa Lampung bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini, juga ditegaskan Ajip Rosidi dan Hawe Setiawan,  sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, ke perguruan tinggi dan para akademisi, dan menggelar acara pelatihan menulis dalam Bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetap sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut Poltak Tambunan harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul tiap tahun. Meskipun tanggung jawab ini tidak mudah, Saut Poltak Tambunan memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut Poltak Tambunan berhasil mendorong Rose Lumbantoruan untuk menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Tahun 2019, Saut Poltak Tambunan juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Bataka karya Robinson Siagian, Guru Honor, yang menerima Hadian rancage 2020. Namun, memasuki tahun 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak yang diterbitkan, dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada tahun 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul, Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah rancage 2022. Sejak itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut Poltak Tambunan kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang) yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Tahun 2023, tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tidak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan Simanjutak sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami,   Panusunan Simanjuntak menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh dari hidupnya yang sudah 75 tahun  dihabiskan di luar negeri. 

Meskipun puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami ini menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisi mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apapun. Meskipun Panusunan Simanjutaak sudah puluhan tahun mengunjungi lebih 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharain. 

Puisi-Puisi Am Rambe



Dongan Magodang 


Molo huingot atia sikola

Di bale-bale Anda ikut campur.

Marcarito  sanga jadi aha.

Marsiarsakan dohot martata.


Hupiltik gitar, hamu marende.

Endettaon bulung botik.

Sakong cuka padao arsak.

Dung tenggen suman marpege pege.


Molo malean, manakko manuk.

Tardapot rap mandangdangi.

Dainang ta pe ro mamotuk.

Hita marsiliginan rap mikim be.


Dao sian ipol ni mata.

Hape taraso hita na marsarak.

Ilu ni mata namarsaburan.

Taringot sude paruttungan


Siabu tu Sigalangan.

Siambirang tu Angkola Julu.

Siamun da dongan marsijalangan.

Siambirang baya pangapus ilu.


Marsarak di Dano Tao


Gogo ni ari, torang ni bulan.

Na paboahon di ari parsarakan.

Na mandok putus namar dongan.

Bahaso hita inda sahata saoloan.


Madung huboto sian na joloan.

Hita nadua songon tor dohot rura.

Donok marsitatapan.

Tai tangis di bagasan roha.


Hujagit surat nadi lehenmu.

Napaboahon nagiot marbagas.

Bia dope hubaen satolap gogoku.

Au halak napogos boti nasuada.


O, anggi boru Harahap!

Boru na kayo boti namalim.

Ilu ni mata namarsaburan.

Mangingot  janji nadung solpu.

.

Dung dilakkahon simanjojakmu.

Nadung salpu ulang diingot.

Holongi si doli pangoli.

Songon najolo  dihaholongi ho au.


Pangomo Nihalak


Madung tarida amang,  bohi nasora loja.

Ngolu-ngolu hosa, lakka-lakka tombom.

Manombo borngin nada giot  modom

Mangarimangi hamu amang  namarsikola.


Mamakkur au amang di saba ni halak.

Goreng pisang sada dilehen dongan.

Sasargut dipangan, sambola nai di hadangan.

I ma hulehen di anakku haholongan.


O ale amang nadua tolu.

Gogo ni tondi tondikku.


Di manyogot ni ari.

Hududa amang simarata.

Hututung harasak .

Pio-pio au sian parapian

Namandok: “Ucok!  Ngot bo hamu le”

“Madung jom saratus, adope!”

“Maridi bo hamu, anso kehe tu sikola!”


Saulakon gabe ma hamu jadi jolma.

Ingot ma hamu marsipoda.

Ulang gabe songon au.

Nador mamakkur saba ni halak


Sian sannari tu pudi ni ari.

Mattakkon nada be tarbuka.

Madung sursur tano parsidegean.

Masopak hayu parsigoloman.

Roma angin naso hadindingan.


Lojakki amang, balos dohot doa!


Am Rambe lahir sebagai Ahmad Mora Rambe. Alumni STKIP Tapanuli Selatan ini tinggal di Kabupaten Padanglawas Utara.

Aksara Batak Berawal dari Angkola

Makan Sutan Nasinok Harahap di Desa Gunung Tua Batang Onang, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas Utara, setelah dipugar.  Di pemakaman ini jejak aksara Batak ditemukan. 

Salah satu bukti adanya peradaban manusia adalah aksara. Masyarakat Batak memiliki aksara yang disebut aksara Batak, atau aksara Tulak-Tulak.  Namun, akhir-akhir ini muncul pertanyaan tentang masyarakat Batak yang mana mengawali penggunaan aksara ini.


Oleh Ali Gusti Siregar

Sejarah peradaban manusia berdasarkan penggunaan aksara dibedakan menjadi dua, Zaman Pra-Sejarah dan Zaman Sejarah. Zaman Pra-sejarah adalah zaman ketika manusia hidup dan berkomunikasi belum mengenal tulisan (aksara), biasa dikenal dengan zaman batu (Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum). Sedangkan zaman sejarah adalah masa di mana manusia telah mengenal aksara dan menggunakannya sebagai alat berkomunikasi, di Indonesia zaman ini dikenal sebagai zaman awal masuknya agama Hindu-Budha.

Masuknya Hindu-Budha ke Indonesia datang langsung dari India, lewat jalur perdagangan. Indonesia pada zaman dahulu dikenal sebagai jalur perdagangan internasional, menghubungkan peradaban-peradaban besar di Asia via laut. Peradaban besar yang dimaksud adalah Arab, Persia, dan India di bagian Barat dan Cina di bagian Timur. Perdagangan berperan penting dalam menyebarnya manusia beserta budayanya, inilah sebabnya di Indonesia banyak pengaruh Hindu-Budha, salah satunya Aksara.

Aksara sendiri berasal dari Bahasa Sanseketa, yaitu bahasa yang berasal dari India dan bagian penting dalam peradaban Hindu-Budha di Indonesia. Menurut KBBI, aksara berarti sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. 

Sebelum aksara Latin dan Arab familiar di Nusantara terlebih dahulu masyarakat mengenal aksara Pallawa. Aksara Pallawa sendiri adalah aksara yang berasal dari India bagian Selatan, dan aksara yang menurunkan berbagi aksara di Nusantara seperti yang terdapat dalam prasasti Hindu-Budha:  Prasasti Mulawarman di Kutai sebagai prasasti tertua di Indonesia berasal dari abad 5 Masehi.

Perkembangan aksara Pallawa di Nusantara mengalami perubahan-perubahan menjadi banyak ragam aksara turunannya. Salah satunya Aksara Batak/Tulak-tulak. Terjadinya perubahan-perubahan aksara Pallawa menjadi aksara-aksara baru di Nusantara disebabkan, masyarakat penggunanya menyesuaikan dengan karkteristiknya dan kondisi lingkungannya.


Aksara Batak (Surat Batak)  adalah sebutan untuk aksara yang digunakan semua sub-etnis Batak di Sumatera Utara, sedangkan aksara Tulak-tulak adalah sebutan khusus bagi aksara yang digunakan masyarakat Angkola dan Mandailing. Dikatakan aksara Tulak-tulak karena metode penulisannya di media batu dengan cara diukir menggunakan alat pengukir yang ditulak atau didorong. 


Kata “tulak” dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti dorong. Diukir disamakan artinya dengan mendorong, karena teknik mengukir menggunakan alat yang cara pengunaannya didorong.  Kemudian aksara Tulak-tulak menggunakan media lak-lak yaitu kulit kayu ulim yang diolah membentuk kertas yang berlipat-lipat dengan tinta khusus. 

Kata “laklak”  dalam bahasa Angkola maupun Mandailing memiliki arti kulit kayu. Selain pada media Batu dan Laklak, aksara Tulak-tulak juga digunakan di media bambu yang dikenal dengan istilah Pustaha Bulu. Cara penulisan pada Pusataha Bulu yaitu dengan mengukir menggunakan pisau khusus kemudian diberikan warna pada ukiran aksara tersebut. 

Aksara Batak/Tulak-tulak terdiri dua bagian, yaitu “Ina ni surat” dan “Anak ni surat”. “Ina ni surat” merupakan huruf yang menjadi dasar penulisan dan semua berbunyi “A”, kecuali  huruf “I” dan “U”. “I” dan “U” dalam “Ina ni surat” sebagai huruf besar atau huruf awal kata, misal “Ina” dan “Umak”.  Sedangkan “Anak ni surat” sebagai tanda tambahan yang mengubah bunyi dari “Ina ni surat” dan berfungsi sebagai vocal Seperti “u”, “e”, “o”, dan “ng”.  

Umumnya Aksara Batak/Tulak-tulak digunakan mencatat ramuan-ramuan obat, mantra-mantra (tabar) oleh datu (sebutan masyarakat untuk orang yang memiliki kesaktian), nasehat (sipangingot),  mencatat silsilah (tarombo), juga peristiwa-peristiwa penting yang dikemas sebagai cerita lisan (turi-turian) tentang pemimpin marga atau raja adat.

Prof. Uli Kuzok dalam bukunya Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII  berpendapat aksara Batak tersebut berawal dari Selatan yang disebutnya Mandailing, kemudian masuk ke utara (Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo) dengan membandingkan susunan aksaranya dan bahasanya. 

Aksara Batak pada umumnya sama, tetapi terdapat perbedaan kecil. Aksara Tulak-tulak dinilai lebih awal karena variasi-variasi pada Aksara Tulak-tulak lebih besar dibandingkan lainya. 

Aksara Batak diklasifikasi menjadi lima varian: Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Angkola sendiri tidak dijadikan varian, karena varian Aksara Batak yang digunakan masyarakat Angkola tidak berbeda dengan aksara yang digunakan masyarakat Mandailing. 

Jika dilihat peta persebaran Aksara Batak yang dibuat Uli  Kozok, arah persebaran Aksara Batak memang dari Selatan, tetapi Selatan yang dimaksud terletak di Padang Lawas. Daerah ini  merupakan ulayat masyarakat Angkola. 

Di Padang Lawas terdapat banyak peninggalan Hindu-Budha, puluhan situs Hindu-Budha masih bisa kita saksikan: Candi Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sipamutung, Tandihat, Sangkilon, dan lainnya. Selain peninggalan berupa bangunan, peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas juga meninggalkan prasasti: Prasasti Sitopayan I dan II, Prasasti Gunung Tua, Prasasti Candi Manggis, dan lainnya. 

Dugaan awal, aksara Batak/Tulak-tulak berasal dari peradaban Hindu-Budha di Padang Lawas. Lokasi Padang Lawas yang berada berdekatan dengan masyarakat pengguna aksara Batak. 

Aksara Batak adalah turunan dari Aksara Pallawa, sedangkan Aksara Pallawa banyak terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Padang Lawas.

Menurut Nasoichah, Churmatin, dan Andhifani, Wahyu Rizki,  terdapat prasasti-prasasti di Padang Lawas menggunakan aksara Sumatera Kuno dan aksara Batak. Prasasti yang beraksaras Sumatera Kuno diperkirakan berasal pada abad 11-14 Masehi   seperti Prasasti Gunung Tua (Lokanātha), Prasasti Sitopayan I dan II, dan Prasasti Bahagas.  Prasasti Gunung Tua  menggunakan dua bahasa, Sansekerta dan Melayu.  Selain itu, terdapat juga inkripsi penanggalan pada Prasasti Gunung Tua, yaitu 946 Saka. 

Prasasti Sitopayan I dan II ditemukan di Candi Sitopayan di Desa Sitopayan, Portibi, Padang Lawas Utara. Pada Prasasti Sitopayan I menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Batak Angkola maupun Mandailing, yaitu pada kata "bakas" yang diartikan rumah (bagas). Sedangkan Prasasti Sitopayan II hanya menggunakan Bahasa Melayu. 

Kata "bhagas" ada pada Prasasti Bahagas, yang ditemukan di Desa Binanga, Barumun Tengah, Padang Lawas.  Prasasti ini dijadikan sebagai batu nisan makam kuno, Sutan Bangun Hasibuan, pendiri huta (kampung) tersebut. Sama seperti Prasasti Sitopayan, Prasasti Bahagas juga menggunakan Aksara Sumatera Kuno dan Batak Angkola yaitu pada kata "Bahagas" yang berarti rumah.

Adapun prasasti beraksara Batak menurut Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki (2020) seperti Prasasti Sutan Nasinok Harahap, Prasasti Raja Soritaon, dan Prasasti Tua Sohatembalon Siregar. Ketiga prasasti tersebut terdapat pada situs makam kuno tokoh masyarakat setempat dan berbahasa Batak Angkola. Ketiga makam tersebut diperkirakan berasal dari abad 14-16 Masehi. 

Selain yang diutarakan Nasoichah dan Adhifani, Daniel Perret dalam bukunya, History of Padang Lawas 2 menjelaskan, terdapat prasasti beraksara Batak lainnya di Candi Manggis, Sosa, Padang Lawas, dan hal yang mengejutkan ternyata prasasti beraksara Batak juga ditemukan di Candi Muara Takus, Riau.

Di Mandailing sendiri terdapat beberapa jejak peradaban Hindu-Budha seperti Candi Simangambat, Situs Saba Uduk di Kecamatan Siabu, Biara Dagang, Saba Biara di Pidoli Lombang, dan Situs Padang Mardia, Huta Siantar,  Panyabungan.  Tapi hanya ditemukan satu prasasti pada masa Hindu-Budha, yaitu Prasasti Sorikmarapi. Sedangkan Prasasti beraksara Batak atau Tulak-tulak sejauh ini belum ditemukan. 


Prasasti tersebut ditemukan pada Tahun 1891 Masehi di Desa Maga. Prasasti Sorikmarapi menggunakan aksara Jawa Kuno yang merupakan salah satu turunan Aksara Pallawa dan menggunakan Bahasa Melayu. Terdapat penanggalan pada prasasti tersebut yaitu 1162 Saka atau 1242 Masehi. Lokasi penemuan Prasasti Sorikmarapi tidaklah dalam kawasan percandian, tidak ditemukan di sekitarnya ada reruntuhan Candi. 


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka pendapat Prof. Uli Kuzok bahwa aksara Batak berawal dari Selatan dan posisinya Mandailing, kurang tepat. Yang lebih tepat  berawal dari peradaban Hindu-Budha di kawasan situs Padang Lawas yang tersebar di Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. 

Wilayah Mandailing menurut Pandapotan Nasution memiliki perbatasan di sebelah Utara dengan Angkola, pesisir di Barat, Minangkabau di Selatan, dan Padang Lawas di sebelah Timur.  Begitu juga Mangaraja Ihutan mengatakan, Mandailing memiliki perbatasan dengan Tanah Rao di Sibadur, Angkola di Simarongit, Natal di Linggabayu, dan Padang Bolak di Rudang Sinabur. 

Menurut Sufrin Efendi Lubis, wilayah Selatan dari Sumatera Utara meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua suku Batak: Batak Mandailing yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal dan Batak Angkola mendiami Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, dan Kota Padang Sidimpuan. 

Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, asal aksara Batak, bukanlah bagian dari Mandailing. Jadi, aksara Batak tidaklah dari Mandailing, tetapi dari Angkola. 

Referensi:

Kozok, Uli. (2009). Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Sisimangaraja XII. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta

Nasoichah, Churmatin dan Andhifani, Wahyu Rizki. (2020). Prasasti-Prasasti Beraksara Pasca-Pallawa: Bukti Keberagaman Di Kawasan Kepurbakalaan Padang Lawas, Sumatera Utara.  Siddhayatra Jurnal Arkeologi. Vol. 25 (1), 1-14.

Nasoichah, Churmatin. (2019). Keberadaan Prasasti Dalam Konteks Kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas, Sumatera Utara. Berkala Arkeologi Sangkhakala. Vol.21 (2), 101-115.

Perret, Daniel dan Surachman, Heddy. (2014). History of Padang Lawas II. Association Archipel.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses melalui https://kbbi.web.id/aksara, 1 September 2020.

Nasution, Pandapotan. (2005). Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. FORKALA.

Ihutan, Mangaraja. (1926). Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing. Pewarta Deli: Medan.

Lubis, Sufrin Efendi. (2022). Agama dan Budaya: Dinamika pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Angkola di Kota Padangsidimpuan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Bandung.


Ali Gusti Siregar  lahir 30 Agustus 1996, tinggal di Kabupaten Mandailing Natal, seorang pemerhati kebudayaan yang memiliki minat terhadap sejarah budaya. Acap melakukan napaktilas ke situs-situs budaya di wilayah Kabupaten Mandailing Natal , dan merangkum perjalanannya dalam catatan-catatan yang sering disampaikan dalam diskusi-diskusi budaya. 

"Istri Sempurna" Gagal sebagai Cerpen Terbaik Kompas

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. 

Oleh: Budi Hatees | Pembaca karya sastra

Selain kontinyu melahirkan cerpen baru yang berkontribusi terhadap dunia cerpen kita, Kompas juga membawa pengaruh terhadap dunia penulisan cerpen--melahirkan banyak generasi baru penulis cerpen sekaligus membuat para penulis menjadikan cerpen sebagai pilihan utama dalam berkreativitas. 

Simpul ini tak perlu saya jelaskan secara statistik, dan pasti Anda akan sulit menerima hal-hal yang tidak punya rujukan objektif dan paradigmatik seperti ini, tapi saya tidak menolak bila Anda bisa membalikkan simpulan saya, bahwa bukan Kompas yang memberi sumbangan terhadap dunia penulisan cerpen, sebaliknya cerpen yang membuat Kompas menjadi media mainstream  atau berkembang sebagai industri pers seperti saat ini. Simpul seperti itu ada benarnya jika kita ikuti fenomena Kompas sebagai  satu-satunya media koran yang masih mempertahankan rubrik sastra sementara koran-koran lain telah gulung tikar, karena rubrik sastra itu membuat Kompas tetap memiliki pembaca.

Soal siapa yang memengaruhi antara Kompas dengan cerpen, atau adakah symbiosis mutualisme di antara keduanya,  atau hubungan lain di mana yang satu menjadi semakin buruk sementara lainnya berperilaku seperti benalu yang menjadi parasit pada tanaman inangnya, sudah sering dibicarakan para ahli sebagai fenomena sastra koran.[1] Mahluk bernama sastra koran ini mendapat perhatian khusus dari para ahli sastra di negeri ini, dipuja-puji dengan pilihan diksi yang superlatif sebagai primadona karya sastra, meskipun realitas menunjukkan kehadiran sastra sebagai dunia fiksional di dalam internal dunia media yang mempertaruhkan faktual itu menjadi sebuah paradoks. 


Sastra pada hakikatnya mempertaruhkan pesan. Koran pada hakikatnya medium tempat pesan. Dalam kajian ilmu komunikasi, koran adalah barang poduksi yang dipersiapkan sebagai medium dari pesan berbentuk tulisan dan gambar.  Koran hanya diperuntukkan bagi karya tulisan yang mensyaratkan isinya harus sesuai dengan fakta karena ada regulasi yang mengatur perihal itu. Koran tidak diperkenankan berisi imajinasi apalagi fiksi, tetapi cerpen merupakan karya fiksi. Jadi, kehadiran karya fiksi sebagai bagian dari koran sebuah paradoks. 


Di negeri kita ada anggapan bahwa "koran tanpa sastra sama dengan tidak beradab",  seperti disampaikan Marsus Banjarbarat dalam esainya "Koran Tanpa Sastra: Barbar" (disiarkan di Riau Pos  edisi Minggu, 20 Januari 2013), seolah-olah karya jurnalistik tidak mampu membuat koran menjadi beradab. Bahkan, sastra koran yang fiksional itu didorong sebagai pilihan alternatif untuk mengungkapkan fakta aktual apabila jurnalisme  tidak bisa menjalankan fungsinya di hadapan kekuasaan pemerintah yang kooptatif dan hegemonik.[2]  Orang-orang memang sering terlalu pintar di negeri ini.  

Meskipun begitu, kita tak bisa mengabaikan, bahwa cerpen bagi pengelola koran hanya alat untuk kepentingan profit bisnis dalam rangka menciptakan segmen pembaca yang lebih luas dan lebih beragam sehingga oplag bisa ditingkatkan, selain untuk menciptakan produk baru berupa buku cerpen untuk mendukung unit usaha dalam internal konglomerasi media. Sebagian besar pengelola koran tidak seberhasil Kompas dalam menggapai profit yang diangankan, kemudian mereka menghapuskan rubrik cerpen dan menggantinya dengan iklan yang jelas mendatangkan profit, meskipun kemudian koran yang tanpa rubrik cerpen kehilangan banyak pembaca dan akhirnya gulung tikar. [3]  

Di bulan Desember 2024, Kompas mengumumkan pemenang Anugerah Cerpen Kompas Tahun 2024, dan menetapkan cerpen berjudul “Istri Sempurna” karya Aveus Har sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 dari ratusan cerpen yang pernah dipilih redaktur Kompas dan disiarkan di Kompas selama tahun 2023. Terhadap pilihan Kompas itu, layak diajukan pertanyaan apakah cerpen “Istri Sempurna” jauh lebih bagus dibandingkan cerpen-cerpen yang sebelumnya terpilih dalam ajang yang sama, atau menjadi lebih buruk. Jika jawabannya cerpen karya Aveus Har jauh di bawah standar cerpen “Derabat” karya Budi Darma atau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, maka keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” merupakan penurunan mutu cerpen Kompas yang layak disayangkan.[4] 

Kita diberi tahu, semua juri dalam Sayembara Cerpen Terbaik Kompas 2024 berasal dari lingkungan internal atau “orang dalam” Kompas. Sebelum menjadi juri,  ada di antara para juri ini yang terlibat dalam memilih satu cerpen dari puluhan atau ratusan cerpen yang dikirimkan para penulis ke Kompas untuk disiarkan Kompas setiap pekan.  Mereka adalah para pengelola rubrik cerpen Kompas; redaktur, wakil redaktur, maupun asisten redaktur. 

Ketika mereka ditetapkan sebagai juri, mereka harus memilih satu cerpen yang terbaik dari ratusan cerpen yang pernah disiarkan Kompas selama tahun 2023, dan mereka juga terlibat dalam memilih ratusan cerpen yang disiarkan Kompas selama 2023.  Jika mereka memilih satu cerpen saja sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024, laku memilih itu sekaligus menegaskan bahwa tidak semua cerpen yang disiarkan Kompas layak mendapat predikat sebagai cerpen terbaik.[5]  Pasalnya, “orang dalam Kompas” sudah pernah menjadi juri serupa, dan ternyata mereka memilih tanpa kriteria. Dalam prakata buku Cerpen Terbaik Kompas 1993 disebutkan: “Kami percaya bahwa setiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana, karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tetapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.

 

Hakikatnya para juri dalam sayembara sastra,  termasuk juri Cerpen Terbaik Kompas 2024, semestinya dibekali indikator dan variabel penilaian sebelum bekerja sebagai juri. Variabel dengan indikator biasanya hasil kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam kepanitiaan sayembara.  Jauh-jauh hari mereka bekerja merumuskan variabel dengan indikator itu, dan perumusan ini paralel dengan visi dan misi penyelenggara sayembara. 


Penyelenggara pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2024 adalah Kompas.  Kompas adalah media cetak,  produk dari industri pers yang tergabung dalam Grup Kompas.  Anggota-anggota grup perusahaan ini memiliki bisnis yang saling mendukung antara satu dengan lainnya seperti bisnis penerbitan buku.  Isi koran Kompas, termasuk cerpen yang muncul pada edisi hari Minggu, bisa mendongkrak pengembangan sektor bisnis penerbitan buku.

Setiap kali cerpen terbaik sudah dipilih, Kompas akan menerbitkannya menjadi buku.  Buku berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik yang pernah disiarkan Kompas dalam setahun, menjadi buku yang diminati pembaca.  Dengan kata lain, tradisi memilih cerpen terbaik Kompas mempunyai output berupa satu buku kumpulan cerpen terbaik Kompas yang kehadirannya selalu ditunggu pembaca.

Itu salah satu penyebab kenapa tradisi memilih cerpen terbaik tiap tahun, yang dimulai Kompas sejak 1992,  tetap terjaga selama 31 tahun.  Dalam kurun 31 tahun, setiap tahun ada satu buku kumpulan Cerpen Terbaik Kompas, mulai dari Kado Istimewa (yang memposisikan karya Jujur Prananto sebagai cerpen terbaik Kompas).   Dan paling mutakhir, di tahun 2024, terpilih cerpen Aveus Har berjudul "Istri Sempurna".

Sejak 1992 hingga 2004, pemilihan cerpen terbaik dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra.  Mulai 2005, Kompas memberikan otoritas pemilihan kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik.  Tapi tahun 2024, Kompas kembali menunjuk "orang dalam" sebagai juri, yang kemudian memilih cerpen "Istri Sempurna". Bagi Kompas, tradisi pemilihan cerpen terbaik merupakan wujud komitmen Kompas dalam merawat dan memperkuat sastra Indonesia. Sastra, khususnya cerpen, telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Kompas. Kehadiran Cerpen Pilihan Kompas menjadi wujud komitmen merawat sastra Indonesia. 

Jadi, untuk sementara, predikat “terbaik” cerpen “Istri Sempurna” karya Aveus Har kita terima dulu karena pikirkan-pikiran positif  diperlukan untuk mempersiapkan diri melakukan penilaian-penilaian yang tidak dipengaruhi oleh subyektivitas, dan di dunia ini hanya sedikit orang yang akan terus-terang menyatakan penolakan terhadap pikiran positif. Orang-orang sangat menyukai hal-hal positif dan menyebutnya bermoral, tetapi orang-orang tidak akan pernah sanggup menunjukkan jenis kelamin dari moral yang dipahaminya, kecuali ia akan mengulang-ulang hal-hal yang menjadi pendapat umum di lingkungannya, bahwa kata-kata makian itu tidak layak disampaikan di depan umum. 

Di lingkungan kita, orang-orang yang sudah belajar ilmu pengetahuan maupun yang belum pernah bersekolah, lebih menyukai  apa yang sudah menjadi pendapat umum sebagai pengetahuan umum tanpa mengujinya lebih dahulu – karena tidak punya kapasitas dan kecakapan untuk melakukan pengujian-- apalagi bila pendapat umum itu sudah diturunkan dari leluhurnya, dan itu menjadi kebenaran mutlak baginya. Konsepsi mereka tentang mentalitas, termasuk mentalitas budaya,  berasal bukan dari akses langsung ke cara kerja batin pikiran sendiri, tetapi dari kerangka teori primitif yang kita warisi dari budaya kita.

Mereka akan menolak segala gagasan yang menyebut pendapat umum itu sebagai kekeliruan, dan menuduh orang-orang yang memiliki gagasan itu sebagai tidak menghormati leluhur, dan karenanya harus dikecam apalagi bila cara penyampaiannya cenderung vulgar dan terbuka. Kebenaran di lingkungan masyarakat kita tidak boleh disampaikan secara vulgar dan terbuka, harus dikemas dalam eufemisme demi menjaga harmoni, dan hal seperti ini terjadi juga di dunia politik sehingga demokrasi di Indonesia menolak oposisi atas nama menjaga harmoni. Padahal, seperti disampaikan Hume, bahwa tidak ada yang pernah hadir dalam pikiran kecuali persepsinya; dan bahwa semua tindakan melihat, mendengar, menilai, mencintai, membenci, dan berpikir, termasuk dalam denominasi ini.[6] 

Seandainya orang-orang di lingkungan kita selalu mempertanyakan segala sesuatu agar tidak membeku menjadi batu dan karenanya menjadi “dewa’ dalam kehidupan, tetapi kita hidup di dalam masyarakat budaya yang tidak pernah mengkaji kebudayaannya sendiri secara esensial karena terlanjur bangga terhadap kebudayaan Eropa yang didukung para intelektual budaya seperti Sutan Takdir Alisjahbana,[7] sehingga masyarakat kita pasti akan tersentak bila membaca Paradise Lost  dari John Milton yang bicara tentang setan akan menaklukkan Tuhan, atau menemukan fakta dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri yang menyebut surga akan berada di bawah lantai neraka.  


Hidup di tengah-tengah manusia seperti itu, kritik tidak akan pernah tumbuh sebagaimana seharusnya, termasuk kritik terhadap karya seni (sastra)  karena orang-orang menganggap kritik itu akan meruntuhkan harmoni sementara harmoni  sangat dipercayai oleh para elite di negeri ini sebagai modal dasar dan esensial untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang memiliki beragam-ragam kultur. Bangsa kita dipasung oleh harmoni. Bangsa kita dijajah oleh harmoni. Kita menikmati situasi itu, karena hanya dalam situasi seperti itu kita bisa melakukan puja-puji, dan kita bisa hidup di dalam kondisi yang dipenuhi puja-puji. 


Saya tidak ada dalam kelompok orang-orang yang hidup dalam samudra puja-puji, dan saya tidak suka memuja-puji, maka saya pilih membaca ulang cerpen “Istri Sempurna” sambil membayangkan keutamaan sastra adalah bahwa ia dapat memperdalam kesadaran kita dan memperluas persepsi kita tentang kehidupan. 

Di dalam kehidupan ini, peran terbesar ada di tangan manusia. Dari sekian banyak mahluk ciptaan Tuhan, manusia itu paling sempurna di mana mahluk lain harus tunduk kepada manusia dan hal ini membuat setan dan meludahi adonan manusia yang sedang dibuat Tuhan. Setiap masyarakat agama mengakui manusia sebagai mahluk sempurna jika dibandingkan dengan mahluk lain, sehingga manusia dibekali kemampuan untuk memanfaatkan mahluk lain di sekitarnya bagi keberlangungan hidupnya. 

Kita melihat manusia menunggangi kuda, manusia membongkar bumi hingga ke dasar paling dalam hanya untuk mengumpulkan mineral, manusia menciptakan robot dari mineral yang dikumpulkan itu untuk memudahkan pekerjaan-pekerjaan manusia. Lantaran semua kelebihan itu, manusia menjadi pardoks, menyakiti dirinya sendiri (dalam bekerja) hanya untuk menggapai kebahagiaannya. Hakikat manusia adalah paradoks. 

Salah satu robot yang diciptakan manusia itulah yang dikisahkan sebagai tokoh dalam cerpen “Istri Sempurna”. Cerpen adalah karya seni, prosa yang paling diminati para penulis di Indonesia. Menerima karya seni atau suatu bentuk seni tidak akan bermanfaat bagi pengetahuan manusia, sebaliknya segala bentuk penerimaan terhadap karya seni itu justru menyesatkan bagi pengetahuan manusia. Penerimaan kita terhadap karya seni tidak selalu menerima karya seni itu apa adanya, melainkan mengandaikan bahwa karya seni itu representasi dari kehidupan manusia atau produk manusia yang memimesis kehidupan manusia. Kita menerima cerpen “Istri Sempurna” karena mengandaikan keberadaan dan hakikat manusia di dalamnya. Dengan kata lain, cerpen “Istri Sempurna”  mengandaikan keberadaan fisik dan mental manusia. 

Sebelum memutuskan menerima atau menolak cerpen “Istri Sempurna”, saya mengucapkan kepada Aveus Har bahwa tahun 2024 adalah tahun keberuntungan bagi kreativitasnya dalam menghasilkan karya sastra, dan siapa pun tidak salah jika ingin mengangkat gelas untuknya. Aveus Har sendiri dalam media sosial bicara tentang keberuntungannya: 

“Aku tidak ingin merasa menang. Aku tidak ingin merasa telah mengalahkan. Aku hanya beruntung. Aku mensyukuri keberuntungan sebagai sebuah anugerah. Pada akhirnya, aku adalah aku. Orang yang membaca karena rasa ingin tahu. Orang yang membaca karena menyukai kegiatan itu. Dan, menulis hanya efek mengalirkan kegelisahan dan gema dalam pikiran.“ [8] 

Cerpen "Istri Sempurna" mencoba mengikuti tradisi fiksi distopia,  fiksi tentang masa depan manusia, yang dikenal luas di Indonesia lewat karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four, meskipun penulis novel ini ternyata banyak belajar dari Aldous Huxley, penulis novel distopia, Brave New World (1932). 

Pada tahun 1949, Huxley menyurati Orwell yang baru saja menerbitkan Nineteen Eighty-Four dan karya itu mendapat ulasan positif dari berbagai negara. Huxley adalah mantan guru Orwell dalam bahasa Prancis saat di sekolah menengah atas di Eton. Saat itu, Hukley dikenal sebagai pengarang dengan mahakarya, Brave New World.

Brave New World  bercerita tentang masa depan manusia ketika teknologi berkembang pesat. Saat itu, manusia dibiakkan secara genetis, diindoktrinasi secara sosial, dan dibius secara farmasi untuk secara pasif menegakkan tatanan penguasa yang otoriter. Untuk itu, manusia mengorbankan kebebasan, kemanusiaan, dan hidup dalam tekanan.

Huxley mengawali suratnya dengan memuji buku Orwell, dan menggambarkannya sebagai "sangat penting." Ia melanjutkan, "Filsafat kaum minoritas yang berkuasa dalam Nineteen Eighty-Four adalah sadisme yang telah dibawa ke kesimpulan logisnya dengan melampaui seks dan menyangkalnya."

Kemudian Huxley mengubah topik dan mengkritik buku tersebut, dengan menulis, "Apakah kebijakan menjepit muka dapat terus berlanjut tampaknya diragukan. Keyakinan saya sendiri adalah bahwa oligarki yang berkuasa akan menemukan cara-cara yang tidak terlalu sulit dan boros untuk memerintah dan memuaskan nafsunya akan kekuasaan, dan cara-cara ini akan menyerupai cara-cara yang saya uraikan dalam Brave New World ."

Pada dasarnya, sambil memuji  Nineteen Eighty-Four, Huxley berpendapat bahwa versinya di dalam Brave New World tentang masa depan lebih mungkin terjadi. Di dalam novel ini, manusia dikendalikan dengan cara memaksa mereka terhibur dengan obat bius yang disebut soma dan pesta seks bebas yang tak ada habisnya. Dengan begitu, manusia akan terus-menerus mencari kesenangan, ketergantungan terhadap soma,  dan tak menyadari dirinya dalam pengendalian.

Masa depan seperti itu ada dalam kehidupan kita di negeri ini ketika narkoba terus-menerus diproduksi dan tiba-tiba seorang Kapolda di Provinsi Sumatra Barat tertangkap karena menikmati uang hasil narkoba. Uang itu diperoleh dari para pedagang narkoba, dan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menghapuskan peredaran narkoba karena dapat merusak generasi muda.

Di sisi lain, manusia dalam Nineteen Eighty-Four karya Orwell, tetap terkendali dengan rasa takut berkat perang yang tak berkesudahan dan negara pengawas yang sangat kompeten.  Namun, kedua pengarang ini sama-sama memposisikan negara (pemerintah) sebagai pihak yang menakutkan.

Sementara cerpen "Istri Sempurna" bercerita tentang aku, seorang karyawan di Departemen Talenta yang bekerja sebagai analis data.  Pembaca tidak dikasih tahu di mana si aku tinggal dan apa kewarganegaraannya.  Si aku ini pergi ke sebuah institusi yang mengurusi masalah perceraian dan bermaksud mendaftarkan gugatan perceraian atas istrinya yang sudah tiga tahun dinikahinya. 

Si aku beralasan, perceraian itu disebabkan istrinya terlalu sempurna,  meskipun sesungguhnya karena ia bangkrut secara ekonomi selama tiga tahun menikahi istrinya. Kebangkrutannya disebabkan oleh istrinya, yang ternyata hanya sebuah alat bagi vendor untuk menguras isi tabungan para pelanggannya.

Istrinya ternyata bukan hanya seorang robot, melainkan juga Sebuah teknologi yang dipakai produsennya untuk mengurus harta konsumen. Tapi si aku sendiri yang memilih robot itu menjadi istrinya setelah melihat sebuah katalog. Ia menikahi robot itu, dan hidupnya menjadi lebih baik setelah itu. Ia bercinta ribuan kali dengan robot itu. Ia berbahagia, tapi kemudian ia memutuskan menceraikannya. Pabrik yang memproduksi robot yang menjadi istrinya itu akhirnya menjemput barang produksi mereka.


Hidup dan kehidupan seperti apa yang dijalani si aku? Kenapa ia harus memilih robot untuk dinikahi? Kenapa bukan memilih manusia (perempuan) sebagaimana seharusnya?


Cerpen yang berhasrat distopia ini tidak memiliki dasar-dasar esensial untuk menampilkan karakter si aku yang lebih memilih menikah dengan robot ketimbang manusia. Pembaca dipaksa membayangkan, mungkin si aku tak punya cukup waktu mencari perempuan untuk dinikahi karena kesibukannya dalam bekerja?

Semua bayangan itu sia-sia, karena hanya si aku yang memilih robot sebagai istri. Orang lain, kawan sekantornya atau orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya, tidak diceritakan sebagai orang yang memilih robot sebagai istri.  Apakah si aku ini memiliki kelainan seks?

Cerpen "Istri Sempurna" tidak bisa disebut fiksi distopia sebagaimana seharusnya fiksi distopia ditulis.  Ia tidak menceritakan realitas dunia masa depan dan perjuangan manusia di dalamnya sebagaimana kita menemukan dunia yang penuh pertarungan dalam The Hunger Games karya Suzanne Collins, Battle Royale  karya Koushun Takami, atau The Running Man karya Stephen King (yang menulis sebagai Richard Bachman).

The Hunger Games bercerita tentang orang-orang (sekelompok pemuda) dimasukkan ke dalam labirin yang dipenuhi mahluk mengerikan dan mereka harus bertarung demi memperebutkan makanan, dan pertarungan mereka disiarkan secara langsung di televisi sebagai tontonan atau hiburan yang bertujuan menenangkan orang-orang.  Mereka bagian dari eksperimen dalam menguji bagaimana manusia bertahan dalam tekanan karena semesta sedang hancur akibat wabah penyakit.

Logika yang dipakai dalam karya ini seperti ucapan Juvenal: "cara termudah untuk memenangkan hati orang dalam politik adalah melalui cara yang agak kasar: makanan murah dan banyak permainan."  Ini seperti kondisi negeri kita, di mana rakyat merasa tenang dan memilih presiden yang menjanjikan makanan bergizi gratis, serta judi online dibebaskan agar rakyat merasa terhibur.  Tapi kita tidak menemukan fakta apapaun dalam cerpen "Istri Sempurna",  yang justru terkesan sebagai fiksi yang tanpa dasar pijakan. 

Keterpilihan cerpen “Istri Sempurna” sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2024 menunjukkan kejatuhan dari mitos antologi cerpen terbaik Kompas yang dikembangkan Kompas selama ini. Cerpen-cerpen yang pernah mendapat predikat terbaik dan menjadi judul buku-buku antologi Cerpen Terbaik Kompas sejak 1992, menjadi sejajar dengan cerpen “Istri Sempurna” sekalipun fiksi karya Aveus Har ini gagal sebagai karya sastra.  

Nilai sastra dalam cerpen ini tidak mendekati nilai sastra “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarman, “Derabat” karya Budi Darma, “Jejak Tanah” karya Danarto, “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar Panca Dahana, “Ripin” karya Ugoran Prasad, “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo, “Kado Istimewa” karya Jujur Prananto, atau “Lampor” karya Joni Ariadinata. 


Referensi


[1] Saut Situmorang dalam esainya “Cerpeni(s) Pilihan Kompas, Siapa Takut?” membicarakan perihal relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran. Adakah hubungan dialektis saling mempengaruhi-mempengaruhi antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang menguntungkan keduanya, ataukah hubungan intertekstual itu hanya merupakan sebuah hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Lihat majalah Horison edisi November 2002.  

[2] Seno Gumira Ajidarma, seorang jurnalis yang juga penulis cerpen,  membela proses kreatifnya dalam menulis buku Saksi Mata menulis “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran”. Lihat “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah, Sebuah Koreksi Diri” dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra harus Bicara (2005). Jakarta: Bentang Budaya. Hal:389

[3] Beberapa koran yang pernah menjadi bacaan masyarakat karena memiliki rubrik cerpen seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Jayakarta, Republika, Seputar Indonesia, Media Indonesia, dan lain sebagainya, mengalami kemunduran setelah menghapus rubrik sastra dan ada yang akhirnya harus gulung tikar.

[4] Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan Cerpen Pilihan Kompas 1993, dan cerpen “Derabat” karya Budi Darma terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1999. Keterpilihan cerpen “Derabat” sebagai cerpen terbaik Kompas menunjukkan bahwa Kompas menjaga kualitas cerpen-cerpen pilihannya untuk tidak lebih buruk setiap tahun.

[5] Bagi banyak ahli, cerpen yang disiarkan Kompas dipuja-puji sebagai cerpen terbaik. Nirwan Dewanto dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 1993, menulis: “Harus kita akui, cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison.” Penilai itu berkaitan dengan kegagalan Nirwan Dewanto bersama gank menjadi pengelola majalah Horison.

[6] Dalam esainya, “Moral Distinctions not derived from Reason” David  Hume menyebut persepsi terbagi menjadi dua jenis: kesan dan ide. Dua hal ini dipergunakan Hume untuk mempertanyakan apakah melalui ide atau kesan kita membedakan antara kejahatan dan kebaikan, dan menyatakan suatu tindakan tercela atau terpuji? Lihat  The Philosophical Work of David Hume Volumen II dan bisa diakses di Gutenberg.org https://www.gutenberg.org/cache/epub/53792/pg53792-images.html#SECTION_I_aIII.

[7]  Lihat polemik kebudayaan antara Sutan takdir Alisjahbana versus Sanusi Pane yang terjadi pada decade 1930-an.

[8] Aveus Har dalam status Facebook tanggal 23 Desember 2024.