Kritik

Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Puisi-Puisi Am Rambe



Dongan Magodang 


Molo huingot atia sikola

Di bale-bale Anda ikut campur.

Marcarito  sanga jadi aha.

Marsiarsakan dohot martata.


Hupiltik gitar, hamu marende.

Endettaon bulung botik.

Sakong cuka padao arsak.

Dung tenggen suman marpege pege.


Molo malean, manakko manuk.

Tardapot rap mandangdangi.

Dainang ta pe ro mamotuk.

Hita marsiliginan rap mikim be.


Dao sian ipol ni mata.

Hape taraso hita na marsarak.

Ilu ni mata namarsaburan.

Taringot sude paruttungan


Siabu tu Sigalangan.

Siambirang tu Angkola Julu.

Siamun da dongan marsijalangan.

Siambirang baya pangapus ilu.


Marsarak di Dano Tao


Gogo ni ari, torang ni bulan.

Na paboahon di ari parsarakan.

Na mandok putus namar dongan.

Bahaso hita inda sahata saoloan.


Madung huboto sian na joloan.

Hita nadua songon tor dohot rura.

Donok marsitatapan.

Tai tangis di bagasan roha.


Hujagit surat nadi lehenmu.

Napaboahon nagiot marbagas.

Bia dope hubaen satolap gogoku.

Au halak napogos boti nasuada.


O, anggi boru Harahap!

Boru na kayo boti namalim.

Ilu ni mata namarsaburan.

Mangingot  janji nadung solpu.

.

Dung dilakkahon simanjojakmu.

Nadung salpu ulang diingot.

Holongi si doli pangoli.

Songon najolo  dihaholongi ho au.


Pangomo Nihalak


Madung tarida amang,  bohi nasora loja.

Ngolu-ngolu hosa, lakka-lakka tombom.

Manombo borngin nada giot  modom

Mangarimangi hamu amang  namarsikola.


Mamakkur au amang di saba ni halak.

Goreng pisang sada dilehen dongan.

Sasargut dipangan, sambola nai di hadangan.

I ma hulehen di anakku haholongan.


O ale amang nadua tolu.

Gogo ni tondi tondikku.


Di manyogot ni ari.

Hududa amang simarata.

Hututung harasak .

Pio-pio au sian parapian

Namandok: “Ucok!  Ngot bo hamu le”

“Madung jom saratus, adope!”

“Maridi bo hamu, anso kehe tu sikola!”


Saulakon gabe ma hamu jadi jolma.

Ingot ma hamu marsipoda.

Ulang gabe songon au.

Nador mamakkur saba ni halak


Sian sannari tu pudi ni ari.

Mattakkon nada be tarbuka.

Madung sursur tano parsidegean.

Masopak hayu parsigoloman.

Roma angin naso hadindingan.


Lojakki amang, balos dohot doa!


Am Rambe lahir sebagai Ahmad Mora Rambe. Alumni STKIP Tapanuli Selatan ini tinggal di Kabupaten Padanglawas Utara.

Puisi- Puisi Azhar



Kau Bisa Mengubur Kesombongan


Aku tak bersandar pada kesementaraan. 
Tapi aku bersandar pada Sang Pemilik Keabadian. 

Kau bisa mengubur kesombongan. 
Lalu tanam di atasnya kepatuhan
pada Dia yang telah menyediakan rejeki sepanjang hidupmu. 

Tersenyumlah ke cakrawala biru, 
tanpa abai sujud di tanah leluhurmu. 


Di Bordes Kereta

Di bordes kereta, 
seorang pelacur muda
menghitung uang recehan. 
Sebelum pagi tiba, 
seorang kuli angkut
baru saja memakainya.

Air matanya menitik. 
Ia ingat pada ibunya
yang tinggal di gubuk tua. 
Ia merasa telah kalah, 
karena lapar yang menekannya. 

Ia ingin pulang sebelum senja, 
meninggalkan kota
dan lelaki yang menipunya. 


Perjalanan Cinta

Kemarin adalah kenangan. 
Hari ini adalah perjuangan 
Esok adalah misteri yang berbunga impian. 

Kesementaraan ini tak perlu sia-sia. 
Mesti ditumbuhi pohon-pohon kebaikan
yang menjangkau cakrawala-Nya. 
Sebab warna-warni  di sini akan tumbang semuanya, 
ketika ruh sampai pada tugas terakhirnya. 

"Borobudur" karya Azhar

Perjalanan di Bumi

Jalan ini sudah lama kutempuh. 
Ada duri dan kembang warna-warni. 
Semuanya mengabarkan  pada nurani. 
Betapa perjalanan ini singkat sekali. 
Sebab ada yang datang dan pergi. 
Biarlah cinta tak mati. 
Sekali di bumi, 
Kasih sayang tetap terjaga di sini.

Lagu untuk Ibu

Hari ini aku ingin menggambar lautan kasih
sayangmu. Tapi penaku buntu
Di kepalaku masih tergambar iringan
perahu doamu untukku

Dalam kegelapan kau beri aku suluh
Topan telah kau tembus tanpa keluh
Angin pantai dari matamu menyapaku
Bersyukur aku dalam cahaya rindu

Ibu, tak sanggup tanganku menjelajahi
lautan kasih sayangmu
Ridhomu terpahat di jantungku
Doamu menurunkan keharuan di mataku


Catatan Hidup

Sunyi berbaring di kalbuku
Gema ayat-Mu yang melintas
Menyalangkan kembali mataku
Melawan ombak yang keras

Kupetik angin dari mata ibuku
Aku simpan di jantungku
Kelak ingin kubagi pada pacarku
yang membawa bulan untukku

Angin dan bulan akan kusimpan
buat bekal keturunan di perjalanan
Memang harus ada yang dipahatkan
sebelum ruh meninggalkan badan


Azhar lahir di Jakarta, 6 Agustus 1966. Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta) kini lebih dikenal sebagai perupa. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Buku puisinya, Lintasan Langit Biru, terbit saat masih SMA, lalu Mata yang Memberi, ditebitkan Penerbit Bukupop, Jakarta, 2005. 

Buku lainnya adalah novel: Anak-anak Perjuangan, Kerja Keras Berbuah Nikmat, Cerita Seorang Pejuang, Ladang Sang Penari, Godain Kita Dong, Gadis Manis Pencuri Cinta, Selamat Datang Cinta. Novelnya juga pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Pagi dengan judul Bercinta dalam Kemelut, novel Perempuan Tergadai dimuat bersambung di Yudha Minggu. Novel saduran yang tulisnya bersama Dr. Syahrial berjudul Ken Tambunan  dan Sang Pangeran

Buku terbarunya, novel saduran, Sidi Ibrahim dan Putri Raja, diterbitkan Perpusnas Press. Dia punya galeri lukis dan bisa diikuti di Youtube 

Puisi-Puisi Eddy Syahrial


EDELWEISS ITU TAK CANTIK LAGI

Edelweiss  dapat tumbuh di tanah yang gersang 
tumbuh kokoh walaupun tanpa penghalang
Di bebatuan keras di pegunungan mekar dengan indahnya
Semerbak harum ciri khasnya
Tetap tersenyum manis walaupun sering diterpa gerimis
Tak mudah layu walau ditimpa terik panas menderu
Berlenggok anggun ke kiri ke kanan
Menari-nari saat angin datang
Berdansa dengan udara kabut lembutpun menepukkan tangannya
katak dan burung ikut riang gembira

Edelweiss cantik yang hidupnya bahagia
Dengan sang kekasih ialah gunung yang selalu menjaganya
Bukannya kondisi alam yang jadi saingannya 
melainkan sosok pria tampan yang disebut manusia
Sesaat tangan seorang pria datang  memetik 
yang akan dibawah ke kota untuk pujaan hatinya
Sang kekasih gunung bersedih, marah, kecewa 
ternyata bukan alam itu yang kejam
Tetapi manusia itu sendiri

PENGEMBARA RASA

Berjalan menapaki daratan
Membuat jejak di tanah dan bebatuan
Dimulai dari langkah pertama
Hingga ke penghujung mata arah
Bertemankan Tuan dan Nyonya

Mengarungi lautan luas
Menyelam ke dunia tanpa batas
berenang bebas sampai puas
Ditemani penghuni laut yang jinak dan buas

Mendaki gunung yang tinggi
Langkah demi langkah kutapaki
Bergelut dengan kejamnya hutan rimba
Tetap terjaga dari penghuni hutan yang ada

Menyusuri bentuk danau yang indah
Mitosnya sang bidadari membasuh lelah
Riak air riuh menelusuri pembulu
Emosi teredam padam

Membasuh diri di air terjun tinggi
Jatuh bersamaan dengan keindahan
Dihiasi pelangi warna warni


TAKDIR MENGUBAH HADIR 

Waktu terus berputar
Membuatku terpukul rasa sadar
Impian yang diukir bersama
Seakan memudar dengan kenangan 
Dengan rasa sadar
Rasa dulu pacar
Sekarang tak ingin mendengar kabar
Sudah lain tempat kepalamu bersandar
Sekelebat kenangan berputar di otakku
Yang endingnya bahagia layaknya 
film di fikiranku
Tentang dua sejoli dimabuk cinta
Menyusun mimpi indah sembari tertawa
Aku tahu ending dari film itu
Tapi tidak dengan takdir cintaku
Aku tahu kau masih mencintaiku
Tapi mungkin kau telah memilih takdirmu


UNTUK PEREMPUAN BERMATA API

Cantikmu bijaksana.
Senyummu bersahajaa.
Tutur katamu bernada rendah
Dibarengi tawa riang gembira
Belum kutemukan darimu apa itu salah
Jika itu ada aku akan memelukmu 
tanpa berkata

Memang benar cinta datang dari mata
dan aku terperangkap di dalamnya
Terjerumus jatuh ditarik senyummu
Nona manis dengan ramuan kopi pahitnya
Alat dan kopi seakan teman bermain 
Tak perlu resah
Senyumannya sudah berdampingan dengan kopinya
Aku mendapatkan keduanya dalam satu seduhan rasa
Leburan biji kopi pahit dipadu perasaan 
Sedikit, jadilah penawar rasa sakit
Pengubah gunda jadi bahagia.
Wahai nona dengan hujannya
Membasahi tubuh dengan airnya
Meneteskan deras bahagiaa.
Wahai nona dengan bunga mataharinya
Memancarkan ceria dengan kemilau bahagianya
Semoga tetap mekar dengan indahnya
Ada api dalam matanya, membara kecil
Sangat hangat 
Ada air pada senyumnya, sejuk dingin terasa
Jika api menyengat, air sebagai pereda nyala
dan aku ingin menjadi air itu.


Eddy Syahrial tinggal di Padangsidimpuan, suka naik gunung, dan mencintai embun pagi. 







Puisi-Puisi Budi Hatees



PETANI CABAI

Seperti tahun-tahun yang berkarat 
sebagai ingatan, rasa cabai kembali tawar
saat pecah di lidah. Tanganmu jatuh
saat menerima hasil penjualan
yang disodorkan si pengepul.  Matamu
lungsur,  tanpa menghitung uang itu, kau
kantongkan lalu pergi. Kakimu berat
melangkah di jalan setapak menuju rumah
dan wajah istrimu membayang, sedih
bertahan di matanya,  sambil menanak
ubi sebab beras tidak akan terbeli.

Menjelang tiba rumah, seluruh bau keringat
selama tiga bulan menggaru tanah, 
merebak di udara serupa bau bangkai. 
Harapan telah mati untuk beli kebahagiaan
buat istri dan anak-anak.  Seperti piring
jatuh ke lantai, mimpi-mimpimu
berkeping jadi beling. Telapak kakimu
tertusuk,  luka,  tapi perihnya kau rasakan
menusuk di dada.  Dan langit siang itu,
gelap seperti kutukan yang  menguntit
nasibmu.  Kau bayangkan keluargamu
di dalam kegelapan itu hanya bisa meraba
saat berjalan,  selebihnya menggigil lapar.


RUMAH

Sebuah rumah adalah stasiun
dari mana anak-anak akan pergi
dan ke mana mereka akan kembali.

Sering, setelah anak-anak pergi
tak ada yang kembali. Bertahun-tahun
rumah tak diurus:  rumpun perdu

mengubah  halaman jadi sarang
ular,  jendela kaca pecah, cat dinding
mengelupak. Dan sepasang suami-istri

yang renta,  menatap potret keluarga
yang berdebu. Di jam-jam rindu,
kenangan bangkit dari timbunan

masa lalu  yang  diasuh sunyi.  Ruang tamu,
dapur, kamar tidur anak-anak, serambi,
dipenuhi debu. Berjalinan sawang

dari zaman yang memaksa air mata
mengucur.  Mengalir di gurat-gurat
usia yang memenuhi muka, lembab

oleh karat kesedihan diseduh rindu
bertemu anak-anak. Si suami
di kursi roda, duduk melengkung

dengan ingatan yang kabur, dan kata-kata
yang tak tepat untuk telinga. Alzimer
membunuh keinginan untuk pergi

ke rumah anak-anaknya.  Si perempuan
berulang mengigau kedatangan cucu
yang tak pernah ditemui.  Di dalam mimpi

sebuah rumah adalah duka lara
sepasang suami-istri yang renta
dirundung rindu hingga akhir hanyatnya.


SIBOLGA

Bulan merah di langit Sibolga
mengambang di laut berombak
Laut menyala, cahaya sampai

ke pelabuhan. Kapal-kapal  
adalah sihluet kesunyian,  jam
dipenuhi dengkur pelaut  

di geladak. Puntung rokok,
kartu domino berserak,  botol-botol
kosong, dan mimpi nelayan

menangkap ikan.  Bulan hilang
ditimbun awan. Tak tercium
amis ikan menyeruak  

ke jantung udara. Sibolga
tanpa buruh dengan ember-ember biru  
penuh ikan. Tak ada perempuan

menuliskan jumlah hasil tangkapan
di pelelangan. Bulan hilang
dari langit.