Kritik

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Tentang Laki-Laki Muda Berjaket Coklat Tua

Cerpen: Febrie Hastiyanto

Laki-laki  muda berjaket coklat-tua memerlukan beberapa kejap memejamkan mata, sesaat sebelum bus Puspa Sari yang ditumpanginya memasuki Terminal Rajabasa. Angannya membual pada kenangan beberapa tahun lewat, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang gugup: pada mimpi dan cita-cita yang disemainya di kota ini. Setelah turun dari bus, laki-laki muda berjaket coklat-tua bergegas melompat ke dalam bus lain lagi, Damri trayek Terminal Rajabasa-Tanjung Karang. Tadi ia sempat mengedarkan pandang ke sekeliling terminal. Ia menggeleng kepala sendiri, menenangkan batinnya. Katanya kepada batin: menggerutu soal kesemrawutan tak baik bagi kesehatan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memilih menyandarkan kepalanya di kursi bus. Bus sejuk berpendingin udara.

Pelan-pelan Damri tengah menyusuri Jalan Z.A. Pagar Alam. Sebentar lagi Damri akan melintasi perempatan Universitas Lampung, lalu Museum Lampung lalu kampus-kampus Universitas Mitra Lampung, Kampus Darmajaya, Perguruan Teknokra juga Universitas Bandar Lampung. Memasuki bilangan Pasar Koga di Kedaton membuat mata laki-laki muda berjaket coklat-tua lebih awas lagi. Ia ingat dulu, lama sekali pernah bergiat menimba ilmu di satu lembaga bimbingan belajar. Berolah trik-trik menjawab soal UMPTN, dengan rumus-rumus praktis, jawaban tebakan—dengan sejumlah keyword tertentu. Pokoknya raih jawaban benar sebanyak-banyaknya, atur strategi passing grade jurusan yang diinginkan, tambahkan banyak doa, dan jangan lupa restu kedua orang tua. Sambil tersenyum laki-laki muda berjaket coklat-tua mengenang jalan hidupnya.

Senja mulai turun, diselimuti debu dari jalan yang cepat-cepat diperbaiki menjelang bulan puasa. Bandar Lampung cerah sore itu. Laki-laki muda berjaket coklat-tua telah melintasi tempat-tempat yang menggetarkannya. Terminal Tanjung Karang di lantai dasar Ramayana, menengok Pasar Tengah yang berjejal pertokoan, Jalan Radin Intan, masih ada Tugu Gajah, lalu Central Point, tidak ketinggalan Mal Kartini, dan tentu saja melirik Pasar Bambu Kuning dengan bangunan yang lebih segar kini dan Pasar Smep yang semakin doyong dari dalam bus. Kemudian Rumah Makan Padang di gang masuk dekat Hotel Ria.

TELUK Lampung terlihat dari tempat laki-laki muda berjaket coklat-tua duduk. Sambil merapikan kerah jaketnya, mengusir gugup, laki-laki muda berjaket coklat-tua sesungguhnya tak dapat menebak betul, garis pantai yang memisahkan laut dengan daratan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua hanya menandainya dari lampu-lampu yang berpendar dan sedikit imajinasi. Tempat makan minum itu ramai. Agak di depan, membelakangi teluk seorang biduan berambut ikal bersusah payah menarik perhatian orang yang makan minum dengan nyanyiannya. Banyak orang makan minum tak hirau, asyik dengan makan malamnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua itu memberi senyum pada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal itu tak melihatnya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tetap tersenyum. Kali ini kepada dirinya sendiri.

Lampu-lampu di tempat makan minum itu tak terang. Sepertinya memang dibuat temaram. Meskipun puas memandang biduan berambut ikal dari panggung kecil membelakangi teluk, laki-laki muda berjaket coklat-tua merasa seperti orang yang mengintip. Laki-laki muda berjaket coklat-tua berlindung dalam cahaya yang samar. Biduan berambut ikal menyanyikan satu lagu yang sedang populer di radio dan televisi. Gayanya berkelas, tidak merajuk orang untuk menonton dengan syahwat. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak perlu mengernyitkan dahi untuk mengatakan biduan berambut ikal itu menarik, menarik bagi kelaki-lakiannya.

Sambil mengudap roti bakar laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang pada orang-orang yang sedang makan minum. Di depan sana, lima-enam-tujuh orang, dalam hitungan cepat melalui matanya dalam dua kejap, sedang merubung satu meja. Mereka terbahak-bahak bergembira. Seorang diantaranya meniup lilin di atas kue. Tepuk tangan terdengar riuh, lalu terbahak-bahak, kemudian menyanyi koor, kemudian terbahak lagi. Satu-dua orang punggungnya berguncang-guncang dari tempat duduk laki-laki muda berjaket coklat-tua.

Angin laut memberikan kesegaran baru di Bandar Lampung yang malam itu gerah. Laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik ke teluk, mendapati biduan berambut ikal sudah tidak menyanyi lagi. Kali ini ia merokok filter putih. Lubang-lubang asap terbentuk dari bibirnya, kemudian ia meniup kuat-kuat membuat lubang asap kehilangan bentuk menjadi kabut. Laki-laki muda berjaket coklat-tua memberi senyum kepada biduan berambut ikal. Biduan berambut ikal tak melihat sebab temaram lampu tempat makan minum itu tertutup kabut asap rokoknya. Laki-laki muda itu kemudian tersenyum. Pura-pura tersenyum pada seorang wanita karier yang blazer-nya belepotan kue tart. Lima-enam orang di sekelilingnya terbahak-bahak.

“APA sih makna idealisme bagimu?” tanya perempuan muda berambut ikal, kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Laki-laki muda berjaket coklat-tua menjawab dengan senyum. Pandangnya diedarkan ke sekeliling meja. Perempuan muda berambut ikal menunggu dalam desah napas yang tertahan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua sedang larut dalam lelehan susu coklat kental manis di sela-sela roti bakar. Roti bakar tinggal seperempat, remah-remah keju parut terserak di meja. Mata laki-laki muda berjaket coklat-tua melirik keringat pada gelas jus jambu biji. Ia memainkan sedotan, kali ini sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal.

“Apa sebab idealisme pula kau tak pernah singgah di kota ini?” lagi perempuan muda berambut ikal merajuk. Kali ini laki-laki muda berjaket coklat tua menjawab: “Tidak, bukan. Kota ini sungguh magis bagi saya,” katanya sambil membuang pandang kepada lampu-lampu di Teluk Lampung. “Saya hanya ingin tinggal di kota ini, lain tidak. Pekerjaan membuat saya harus bermukim di luar kota.” Laki-laki muda berjaket coklat-tua memainkan remah-remah keju parut di meja. “Saya selalu menghindari kota ini, karena tahu dorongan itu terlalu kuat. Saya tak ingin mengecewakan diri sendiri. Saya tak ingin ke kota ini, untuk kemudian tak mampu pergi ke lain kota. Sedang saya harus bekerja.” Kali ini matanya mengikuti rambut perempuan muda yang mengombak.

Perempuan muda berambut ikal menyeruput jus semangka. Sedikit menyesal, karena pertanyaan ini sudah ditanyakannya bertahun lewat. Tak ada yang berubah dari jawaban laki-laki berjaket coklat-tua. Perempuan muda berambut ikal menghela napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadanya. Ia merasa sedikit nyaman. Baik, baik, katanya dalam hati.

“Lalu kenapa kau sekarang ke kota ini?” tanya perempuan muda berambut ikal. Kali ini tak ada nada merajuk. Tak berguna, pikir perempuan muda berambut ikal. Laki-laki muda berjaket coklat-tua mengangguk-angguk, mengumpulkan keberaniannya. “Karena,” katanya sambil memandang lekat perempuan muda berambut ikal, “Saya tak ingin pergi lagi dari kota ini.” Laki-laki muda benar-benar telah mengumpulkan keberaniannya. Setelah mengatakan kalimat itu, ia tak segera membuang pandang dari mata perempuan muda berambut ikal. Perempuan muda berambut ikal justru menjadi grogi. Ia memerlukan menelan ludah untuk menenangkan diri.

“Kau akan pindah bekerja?” tanya perempuan muda hati-hati, takut dianggap merajuk. Laki-laki berjaket coklat-tua menggeleng. Katanya: “Tidak, saya akan berhenti, dan mencari kerja, atau membuat kerja di kota ini. Tabungan saya cukup untuk mengontrak rumah selama dua tahun di kota ini, dan biaya hidup satu keluarga kecil selama empat-atau-lima bulan. Kau bisa menyanyi, saya akan menulis puisi.” Perempuan muda berambut ikal cepat memotong: “Kau bisa hidup dari puisi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum. “Tidak,” katanya pelan. “Tetapi saya tidak bisa hidup bukan di kota ini.”

Laki-laki muda berjaket coklat tua memejamkan matanya. Mengumpulkan keberaniannya untuk yang lain lagi. Perempuan muda berambut ikal menunggu sambil menyeruput jus semangka di depannya. Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuka mata dan mengatakan kepada perempuan muda berambut ikal: “Kau sudah menikah?”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum. Ia merasa tidak ada beban. “Sudah,” katanya. “Suami saya bekerja di dealer sepeda motor. Kami belum punya anak.” Perempuan muda berambut ikal memainkan sedotan di jus semangka. “Kau kecewa?” tanyanya pelan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua tak menjawab. Matanya memandang lampu-lampu di Teluk Lampung. “Tidak,” katanya tanpa memandang wajah perempuan muda berambut ikal. “Sedikit,” ralatnya kemudian.

Perempuan muda berambut ikal memandang laki-laki muda berjaket coklat-tua dengan senyum. Dadanya terasa lapang. Bukan sebab dendam, bukan sebab kasihan. Laki-laki muda berjaket coklat-tua kini memandang lekat mata perempuan muda berambut ikal. Mungkin untuk yang terakhir kali, batinnya.

Perempuan muda berambut ikal mengatakan sesuatu kepada laki-laki muda berjaket coklat-tua, pelahan: “Kau akan meninggalkan kota ini lagi?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua tersenyum menghapus kekecewaannya yang sedikit tadi. “Tidak,” katanya mantap. “Saya tak bisa hidup bukan di kota ini.” Perempuan muda berambut ikal memaksakan diri tersenyum. Batinnya koyak, namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah penyebabnya. Perempuan muda berambut ikal itu bertanya lagi pada laki-laki muda berjaket coklat-tua. Tanyanya, “Kau akan sering-sering ke tempat makan minum ini?” Laki-laki muda berjaket coklat-tua membuang pandang lagi, kepada lampu-lampu di Teluk Lampung, kemudian pada remah-remah keju parut, pada keringat di gelas jus jambu biji, pada lantai yang kotor kue tart, pada asbak di pinggir meja. Katanya; “Tidak. Saya tak ingin mengganggu rumah tangga orang.”

Perempuan muda berambut ikal tersenyum sambil memandang Teluk Lampung. Laki-laki muda berjaket coklat-tua juga memandang Teluk Lampung. Mereka sama-sama lega.

Slawi,  Juli 2011.

Kepada: Budi P. Hatees

Cerpen: Rumapea

Semua orang memiliki ketakutan, kan? Gadis itu mengamati ketakutan orang-orang di sekitarnya. Ketakutan sudah seperti barang antik yang wajib ia koleksi. Tidak peduli orang menganggapnya aneh, tapi ia memang menyukainya. Ada banyak jenis ketakutan atau yang biasa dikenal dengan sebutan fobia di muka bumi ini. Ketakutan akan ketinggian, ular, kecoa, lift, dan beberapa lainnya termasuk membosakan. Gadis itu menyukai ketakutan yang bukan sekadar ketakutan.

Oleh: Eva Riyanty Lubis

Ibunya—Sanie—memiliki ketakutan teramat dalam ketika mendengar nama ayahnya—Lokot Lubis. Sebuah nama yang seterusnya mengingatkan ia akan kenangan-kenangan buruk kala mereka bersama. Sanie, perempuan berusia 47 tahun itu bisa menangis histeris dan meraung-raung, berubah 360 derajat dari Sanie sebelumnya. 

Tenggara, sahabat yang selalu ada untuknya. Pemuda berusia 21 tahun berambut gondrong itu merupakan mahasiswa populer di kampus. Memiliki wajah rupawan, hidung bangir, dan bibir tipis yang tidak pernah lelah untuk menampilkan senyum terbaiknya. Terutama bagi kaum hawa. Tenggara seharusnya tidak kuliah di jurusan film. Ia terlalu indah untuk bekerja di balik layar. Ia pantas menjadi bintang dan tidak seorang pun meragukan itu. Namun, pemuda itu terlalu takut. Ia bisa kelihangan kata—bahkan dirinya sendiri, ketika menjadi sorotan banyak orang. Sungguh terlalu! 

Aruni, sahabat kedua sekaligus terakhir yang ia miliki. Gadis bertubuh mungil dengan tinggi tak lebih dari 150cm. Dengan tubuh mungil itu, ia tampil menjadi gadis dengan selera fashion tinggi. Katanya hidup hanya satu kali dan tubuh mungilnya pantas memperoleh service terbaik, khususnya dalam hal fashion. Ia tahu trend fashion yang lagi hit di Korea Selatan, Jepang, New York, dan sebagainya. Tingkat percaya dirinya yang tinggi membuatnya bersinar di tengah gadis-gadis lain di kampus tersebut. Ia indah dengan segala keindahan yang ia miliki. Tapi jangan cerita cinta di hadapannya. Ia bisa lari dan menghilang dari pandanganmu. Ada banyak hal indah di muka bumi ini, tapi cinta bukan salah satunya. Ia terlampau takut untuk yang satu itu. 

Lantas bagaimana dengan gadis bermata elang itu? Tidak. Ia tidak takut pada apapun. Baginya ketidaktahuanlah yang membuat seseorang menjadi takut. Tidak ada ketakutan yang benar-benar nyata di muka bumi ini. Ia tidak mengarangnya, sebab itulah yang ia rasakan. Namun tanpa rasa takut, hidup tak akan indah. Ia butuh rasa takut dari orang-orang sekitarnya untuk membuat karya spektakuler. Kadangkala ia iri pada orang di sekitarnya akan ketakutan yang menyerang mereka. Sayangnya tombol ketakutan di otaknya telah mati. Jika tombol itu kembali bekerja, sungguh akan lebih baik. 

Ada banyak perbedaan yang mereka miliki. Tapi, perbedaan mampu membuat segalanya menjadi indah, kan? Mereka telah berbagi sukacita sejak duduk di awal bangku kuliah. Satu yang pasti, mereka bertiga tergila-gila pada film dan ingin menjadi sineas muda terbaik suatu waktu nanti. 

“Aku akan menjadi penulis skenario dan sutradara film anak-anak terbaik suatu hari nanti,” tukas Aruni mantap. 

“Nggak nyambung, kali! Harus suka anak-anak baru bisa buat film tentang mereka,” ujar Tenggara iseng. 

“Ihhh… tampilan boleh kaya gini. Tapi hatiku benar-benar mencintai bocah-bocah,” jawab Aruni penuh semangat. 

“Udah, ah! Jangan berantem! Lebih baik mikirin film buat tugas akhir. Sudah punya tema belum?” Ruma mengingatkan. 

Universitas Merdeka jurusan film merupakan kampus idaman calon sineas muda. Setiap tahunnya ada banyak siswa yang mendaftar untuk memperebutkan satu kursi. Tapi hal ini tidak mudah, kawan! Kampus ini memiliki ideologi tinggi dan tidak sembarangan dalam menerima mahasiswa. Beruntunglah bagi mereka yang berhasil menjadi bagian dari kampus ini. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk menjadi calon sineas di Universitas Merdeka adalah dengan mengirimkan video pendek buatanmu sendiri. Jadi, karyamulah yang akan berbicara akan pantas tidaknya kamu menjadi seorang sineas.

***

Rumapea Lubis, gadis berusia dua puluh dua tahun sedang duduk manis di depan televisi berukuran 36 inchi seorang diri. Malam telah menunjukkan pukul dua dini hari. Baginya, masih terlalu dini untuk tidur. Queen Woo menjadi pilihannya malam ini. Sebagai calon sineas muda, ia wajib melahap banyak tontonan dengan berbagai genre. Bukan suatu masalah sebab ia mencintai film sejak kecil. Lokot—ia lebih senang memanggilnya dengan sebutan Bapak—yang mengenalkanya pada dunia ini. 

“Ruma… kamu begadang lagi?” terdengar suara Sanie yang berjalan menghampiri anak gadis semata wayangnya. 

“Biasalah, Bu,” jawab gadis berambut sebahu itu, pendek. 

“Jangan terlalu memporsir diri. Tidurlah, ini sudah larut,” ada rasa kesal pada suara wanita paruh baya itu. 

“Sebentar lagi, Bu. Ibu tidur duluan ya. Nanti Ruma nyusul.” 

“Huh! Kamu selalu seperti itu,” rungut Sanie lelah. 

Rumapea hanya seorang gadis biasa. Ia tidak memiliki banyak minat, kecuali dalam membuat film. Meskipun hingga kini belum ada film pendeknya yang berhasil meraih decak kagum dari dosen atau teman-temannya. Bagi mereka ia terlalu idealis namun tidak mampu menyampaikan keidealisan itu dengan benar. Bukan Rumapea namanya bila harus down mendengar apa kata orang di sekitarnya. Ia butuh orang lain dalam hidupnya namun ia tak harus menggantungkan diri pada mereka. Bahkan pada ibunya sekalipun. Ia telah lama belajar cara bertahan hidup dari kerasnya kehidupan. 

Sejak kecil, Rumapea hidup bergelimang harta. Semua keinginannya terpenuhi. Wajar saja, sebab Lokot merupakan sineas terbaik dengan bayaran paling mahal di Indonesia kala itu. Semua film yang ia garap berhasil box office dan memenangkan banyak penghargaan. Lokot sukses dalam karirnya. Ia menjadi sutradara dan penulis skenario populer yang selalu diagungkan namanya dalam dunia perfilman. Fokusnya adalah film tertema cinta dan keluarga. Ia mampu menulis skenario kuat, sudut pandang di luar sutradara kebanyakan, alur tak terduga, dan pemilihan aktor serta aktris terbaik yang mampu memainkan peran dengan sempurna. 

Lokot kecil adalah pemuda desa yang lahir dan dibesarkan di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Keluarganya sangat sederhana, namun ia memiliki mimpi untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. Ia harus sukses dan membuat keluarganya bangga. Sebagai putra sulung dan satu-satunya anak lelaki dari lima bersaudara, ia memikiki tanggung jawab besar untuk memberikan kesuksesan bagi keluarganya. Pertemuan dengan Sanie membuka jalannya dalam meraih mimpi. 

Sukses tidak selamanya membuatmu menjadi manusia seutuhnya. Kesuksesan itu berhasil merenggut Lokot dari istri dan putrinya. Ia lupa siapa dirinya. Ia lupa dari mana ia berasal. Ia lupa dan yang tersisa hanyalah bagaimana cara membuat film box office serta memperoleh pundi-pundi keuangan lebih banyak lagi. 

Rumah mewah, beberapa mobil berjejer rapi diparkiran, perabot yang dibeli dari luar negeri, dan segala kebutuhan duniawi dipenuhi hanya untuk menuntaskan hasratanya. Sanie mencoba mengembalikan suaminya seperti semula—sia-sia. Lokot tak lagi mengenalnya. Ia menganggap Sanie layaknya perempuan yang hanya bertugas menjaga barang-barang mahal yang telah susah payah ia dapatkan. Sanie tak bisa berkomentar apapun, apalagi mengeluarkan segala keluh di hatinya. Ia terpenjara, dikurung dalam gelimangan harta yang tidak membuatnya bahagia.             

Ruma kecil kehilangan rasa. Pertengkaran orang tua membuatnya lupa cara tertawa dan menangis. Ketika tahun terus berganti nama, pertengkaran berubah menjadi senyap. Ia antara ada dan tiada di tengah mereka. Bapak sibuk dengan karirnya, ibu sibuk dengan hatinya. Ruma membenci keduanya dan berharap ia dapat hidup normal seperti gadis seusianya—meski ia tak tahu kapan itu akan terjadi. 

Aku ingin salah satu dari mereka menghilang dari pandanganku… selamanya. 

Kalimat yang sering ia lontarkan dalam hati itu berubah nyata. Tepat pada usia Ruma yang ke-15, Lokot menghilang. Pembuatan film terbaru di salah satu pelosok di Papua berhasil membuat raga Lokot tak lagi ada. Puluhan orang telah dikerahkan, namun Lokot tak jua ditemukan. Ia hilang ditelan bumi. 

Sanie menangis sejadi-jadinya. Bukan karena ia sedih ditinggal pergi, bukan. Ia sedih karena tidak bisa mengeluarkan isi hatinya kepada lelaki itu. Ia tidak seharusnya menyimpan kesedihan seorang diri. Ia seharusnya marah, membela diri, menunjukkan kekecewaan, dan segala emosi pada Lokot. 

Sanie menangis setiap mendengar nama Lokot, bahkan ketika memikirkannya. Tentu tidak mudah menghilangkan kenangan demi kenangan di antara mereka. Ruma tahu itu. Tapi ia membenci ibunya. Mengapa harus sekarang? Mengapa ketika sosok itu telah lenyap dari pandangan? 

Menghilangnya Lokot membuat Ruma mencari tahu segala tentang ayahnya. Ia tidak mencintai lelaki itu—seperti gadis lain yang menjadikan ayahnya sebagai cinta pertama. Ia hanya ingin tahu mengapa ayahnya berubah. Mengapa film membuat ayahnya lupa pada dirinya sendiri? Adakah yang membuat ayahnya takut? Ia harus menemukan jawaban. Salah satunya dengan menjadi penerus sang ayah. Menjadi seorang sineas. 

“Tidak, Ruma! Kamu tidak boleh kuliah di sana!” pekik Sanie ketika tahu Ruma mendaftar kuliah jurusan film di Universitas Merdeka. 

“Aku ingin buat film, Bu,” jawab Ruma cepat. 

“Kamu bercanda, kan?” tanya perempuan itu sabil menyilangkan tangan di dada. Ia menatap Ruma lekat. 

“Sama sekali tidak!” 

“Oh, ayolah,” perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Wajahnya pucat seketika. 

Ruma menaikkan aslinya, “Aku tidak akan berubah seperti Bapak, kalau itu yang Ibu takutkan.” 

“Rumaa…” Sanie mulai terlihat kacau. 

“Aku akan melakukan apa yang kuinginkan, Bu. Aku tidak ingin seperti ibu yang memilih untuk berhenti acting hanya karena permintaan bapak. Itu tidak keren sama sekali. Tentu ibu juga menyesal berhenti dari dunia yang telah membesarkan nama ibu, kan?” jelas Ruma cepat lalu berlalu meninggalkan ibunya. 

Sanie histeris. Ia berteriak sekencang yang ia mampu. Kemudian dua orang perempuan berbaju putih berlari cepat menghampirinya. Salah satu dari mereka menyuntikkan cairan yang berhasil membuat Sanie lemah hingga tertidur seketika.

Padangsidimpuan, 22 Februari 2024


Eva Riyanty Lubis lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, pada 13 Mei 1992. Saat ini, ia merupakan mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di UIN Syahada Padangsidimpuan, sekaligus ibu dari dua anak, Az Zuhrah Ramadhani dan Azira Henna Fatimah.  Aktif menulis sejak tahun 2012. Eva telah menghasilkan lebih dari 50 karya, baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Eva dapat dihubungi melalui Instagram @evariyantylubis.

 

Cerpen: Ahmad Dhani Tahu Ia akan Mati

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia harus berontak, harus bisa melarikan diri dari ruang isolasi.

Bagaimana cara keluar?!  Ia telah mencoba, usahanya gagal meyakinkan orang-orang bahwa ia tidak layak berada di tempat itu. Dan orang-orang itu, para petugas yang menjemput ke rumahnya, mengakui kalau ia memang tak layak diisolasi. Cuma, kata para petugas, ia memenuhi semua syarat untuk diisolasi. 

Ia baru datang dari Jakarta, kota yang terkontaminasi virus, dan tak melaporkan kedatangannya. Ia pun tak punya surat-surat yang menyatakan dirinya sudah mendapat vaksin, sehinga kepulangannya dicurigai kalau ia salah satu pasien yang berhasil melarikan diri dari Jakarta.  

Selain itu, dan ini yang sangat penting, para petugas akan mendapat banyak keuntungan dengan menetap seseorang sebagai pasien terpapar virus Covid-19. Negara mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk mengatasi bertambahnya korban, dan negara akan memberi dana kepada daerah yang warganya banyak terpapar virus. 

"Kau akan bebas asal kau sediakan uang!" kata salah seorang petugas, "kau punya keluarga yang bisa dihubungi?"

Ia menatap petugas itu. Geliginya gemeletuk menahan geram. Kalau saja tangannya tak terikat... ah, betapa konyolnya,  kedua tangannya terikat ke sisi sisi ranjang rumah sakit. Tapi ia tetap membayangkan meninju petugas itu. tepat di hidungnya, dan ia tertawa melihat darah segar mengucur dari hidung itu. 

"Sinting!" kata petugas, "malah tertawa."

*

Uang!? pikirnya.  Itulah yang tidak dimilikinya. Hidup di Tangerang Selatan mendadak begitu mahal. Tabungan selama tiga tahun bekerja di pabrik, terkuras dengan cepat, tak sampai hitungan sebulan. Semua karena harga segala sesuatu melonjak tinggi,  naik berkali-kali lipat. 

Papi Liong, satu-satunya warung yang tetap bersedia buka dari puluhan warung di komleks tempat tinggal Ahmad Dhani, mengatakan harga naik sesuai hukum ekonomi; supplay berkurang akibat banyak pabrik yang tutup sementara perminta tinggi.  

Ahmad Dhani sudah mencoba berutang, tapi Papi Liong menolak. "Elu siapa?!" ketus Papi Liong, "kalau elu mau, ambil. Kalau gak, elu bisa pergi!"

Papi Liong, laki-laki 54 tahun, tak pernah seketus itu menghadapi pembeli. Jangankan minta harga dikurangi, bayar nyicil pun ia ladeni. Ia, bahkan, suka mencandai pembeli dengan humor-humor yang terdengar lucu hanya karena lidahnya cadel saat bicara.

Ia berubah 380 derajat setelah istrinya  yang menderita diabetes, divonis dokter terpapar virus Covid-19. Perempuan yang selalu duduk di kursi roda dan setiap hari menemani Papi Liong menjaga warung, dibawa paksa pakai ambulance dan diisolasi di sebuah gedung yang tak boleh dikunjungi siapa pun.  Beberapa hari berselang, istrinya dikabarkan telah meninggal.

Papi Liong meraung-raung, minta tolong kepada setiap orang agar bersedia membantunya meminta jenazah istrinya. Ia bilang, arwah istrinya tidak akan bisa bereinkarnasi jika tidak diperlakukan sebagaimana seharusnya.  Leluhurnya di Tionghoa juga tak akan menerima perlakuan itu. 

Tapi, jangankan menolong, orang-orang lebih memilih mengunci pintu dan jendela. Orang-orang mendengar ketika petugas datang dan mengancam akan membawa Papi Liong kalau masih saja protes. 

Papi Liong akhirnya menyerah. Sejak itu, hampir tiap hari ia terdengar meraung-raung. Rauangannya menandai periode menyedihkan di perkampungan tempat Ahmad Dhani mengontrak. Para petugas datang dan mewajibkan siapa saja di perkampungan itu agar mengikuti uji laboratorium. Jika menolak, petugas akan memberi hukuman di tempat, menggeret yang bersangkutan dengan perlakuan sebagai pasien Covid-19.

Situasi semakin parah ketika koran memberitakan, setelah semua warga menjalani swap dan uji laboratorium, tujuh di antara warga ternyata terpapar virus Covid-19. Dua di antara warga itu tinggal di rumah petak, sekitar dua rumah petak dari tempat Ahmad Dhani mengontrak.  Akibatnya, semua penghuni komplek rumah petak itu dilarang keluar rumah, dan ini membuat Ahmad Dhani sangat tersiksa. Tambah sengsara ketika Ahmad Dhani dapat kabar kalau perusahaan tempat ia bekerja sebagai buruh dipksa tutup setelah salah seorang buruh divonis terpapar virus Covid-19.  

*

Suatu malam Ahmad Dhani kabur dari rumah kontrakannya.  Jalanan sepi. Kota seperti baru ditinggalkan penghuninya. Sekali-sekali melintas ambulance, meraung-raung memecahkan kesunyian. Sekali-sekali mobil patroli polisi, berjalan lambat.  

Semua orang tidak bebas keluar rumah. Hubungan sosial dibatasi. Tak ada yang boleh melawan, polisi dan kekuatan militer akan datang. Mereka bisa mendakwa siapa pun telah terpapar virus. Tak akan ada pengacara di dunia ini yang mau membela.  Hukumnya jelas, diisolasi, terputus dari segala kehidupan sosialnya.

Bertahan tanpa bisa melakukan apa pun sama saja dengan hidup dalam isolasi.  Ahmad Dhani putuskan meninggalkan Tangerang Selatan, kota tempat ia tinggal selama tiga tahun terakhir.  Ia pulang ke kampungnya di Padangsidimpuan, kota kecil di Provinsi Sumatra Utara. 

Menumpangi  bus yang berjalan selama dua hari satu malam dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra adalah siksaan dalam hidupnya. Lima belas penumpang di dalam bus, semua menjadi orang asing antara satu dengan lainnya. Tidak ada tegur sapa. Hening. Kaku. Setiap orang berusaha menghindar untuk bersitatap dengan orang lain.

Ia merasa seperti berada di dalam sebuah dunia asing yang bergerak dengan orang-orang di sekitarnya yang dapat berubah menjadi menakutkan. Seperti situasi dalam dunia fiksi, hidup di tengah-tengah zombi dan tidak diketahui zombi yang mana yang akan menyengsarakannya.

Salah seorang penumpang, seorang perempuan muda, duduk di belakangnya, menjelma mimpi buruk. Sejak awal perempuan muda itu memakai masker, sama seperti penumpang lainnya, tapi ia berbeda,  menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Begitu naik, perempuan muda itu langsung berlipat di kursinya. 

Ketika bus menyeberangi Selat Sunda, lalu berada di sebuah kapal rool on rool of,  perempuan muda itu mendadak histeris. Lantai bus dipenuhi darah, juga jari jemarinya. Ia baru saja menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya. 

Orang-orang panik, menghambur keluar bus. Ahmad Dhani sedang tertidur, sontak bangun, dan melihat perempuan muda itu menggelupur. Darah menggenangi lantai bus.  

Ia meloncat dari bangkunya. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba sudah berada di luar bus.  Bus dikosongkan. 

Perempuan muda itu tiba-tiba keluar dari pintu belakang. Seluruh tubuhnya merah darah. Pakaiannya, tangannya.... Langkahnya gemetar. Ia minta tolong. Orang-orang panik, berhamburan menjauh. 

Seseorang, laki-laki  bertubuh tegap, tiba-tiba maju dan menerjang perempuan muda itu.  Perempuan muda itu terhempas dan menghantam sebuah mobil. Alarm mobil itu meraung, menyita perhatian orang-orang. Perempuan muda itu masih bergerak, terlihat sangat kesakitan.

Laki-laki yang menerjangnya memasang kuda-kuda, siapa menghantam kali kedua. Ketika perempuan muda itu mencoba bangkit, laki-laki bertubuh tegap itu meloncat. Kakinya yang kokoh menghantam perempuan muda, tubuh perempuan muda itu terjungkal dan berguling-guling sampai ke pagar pembatas kapal. 

Seorang perempuan gendut dekat pagar pembatas, menyepakkan perempuan muda itu keluar dari kapal. 

Kepanikan berhenti. Orang-orang menatap ke laut. Perempuan muda itu mengapung-apung dipermainkan ombak. 

Ahmad Dhani menoleh ke penumpang bus yang berdiri di sampingnya. Mereka saling pandang.  Mata mereka berbicara tentang hal-hal yang mereka khawatirkan. 

*

Ahmad Dhani tiba di rumahnya di Padangsidimpuan.  Azan Magrib baru selesai. Rumah sunyi. Bau debu menyeruak. Ayah dan ibunya tak bangkit dari kursi, hanya menatap dingin ke arahnya. Tidak ada pelukan. Sorot mata mereka jelas mencurigainya.  

Ia tidak perduli, membawa tasnya, masuk ke kamar.  Di kamar itu, ada adiknya, Sultoni, sedang rebahan. Anak 15 tahun itu bangkit begitu melihatnya. Ketika adiknya hendak memeluk, ia memberi isyarat agar menjauh.  

Sultoni terduduk lesuh di pinggir tempat tidur. "Kenapa semua orang saling memusuhi," kata adiknya, lalu menatapnya, tampak serius. "Kita ini saudara kandung... Kenapa seperti orang asing."

Ia merasa dadanya dihantam.  Tapi ucapan itu tidak mengubah situasi. Ia menatap adiknya. "Mana Husin dan Yanti?" ia sebut nama dua adiknya yang lain. 

Sultoni meraung. "Husin meninggal karena Covid, ia dibawa petugas dan dikubur entah di mana. Yanti sedang diisolasi. Kita juga dilarang keluar rumah."

"Kenapa tidak ada yang mengabari aku?" Ahmad Dhani kesal. Ia membayangkan dirinya akan ikut diisolasi di dalam rumah. Ia tidak akan bisa keluar, dan hal ini membuatnya marah. "Kalau tahu begini, aku tak akan masuk ke rumah ini."

"Bagaimana mau mengabari, kami tidak bisa ke mana-mana."

Ahmad Dhani mengangkat tasnya, keluar kamar, dan mencoba keluar rumah.  Ayah memberi isyarat agar ia jangan keluar. Ibu menangis.  Ia bergeming, membuka pintu. 

Begitu pintu terbuka, di luar sudah ramai. Lima petugas, masing-masing memakai seragam pelindung berwarna putih, sudah menunggunya. Ia diseret ke mobil ambulance. Ia berteriak-teriak. Ia berusaha melawan. 

Seorang petugas menghantam kepalanya. Ia pingsan dan tubuhnya dileparkan ke dalam mobil ambulance. 

Ketika ia sadar, ia sudah berada di dalam ruangan isolasi: sebuah ruang berbentuk kubus berdinding transparan. Ia mencoba bangkit, memijiti  tengkuknya yang terasa nyeri. 

Ia tebar tatapan, tak ada siapa pun. Ia menyentuh dinding. Aliran listrik menyengatnya. Ia berteriak-teriak memanggil orang-orang. 

Ia dengar suara pintu dibuka. Dua orang memakai perlengkapan pelindung muncul di sampingnya. Melihat kedua orang itu, ia bertanya kenapa mereka membawanya. 

"Kami menjalankan aturan," kata salah seorang. "Kau baru saja datang dari daerah yang terpapar Covid."

"Aku tak terpapar."

"Semua orang yang datang dari daerah pandemi Covid  selalu berkata hal yang sama seperti yang kau ucapkan," kata petugas yang satunya. "Kalian melarikan diri dan bermaksud menyebarkan virus itu ke daerah ini."

"Itu tidak benar."

"Kami yang menentukan sesuatu itu benar atau tidak," kata petugas. "Cara kami ilmiah. Kami punya laboratorium."

"Saya sudah disuntik anti virus."

"Kami tak percaya begitu saja," petugas bersikap tegas. "Kami tahu semua serum anti-virus yang dipakai di daerah pandemi itu palsu karena para pejabatnya ingin mendapat keuntungan. Itu yang menyebabkan banyak yang terpapar virus."

"Kalian bisa periksa saya! Saya sehat. "

"Itu butuh proses."

"Berapa lama?!"

"Jangan mendikte kami. Kami paham dengan apa yang kami kerjakan."

Dua petugas lagi masuk, membawa nampan berisi peralatan medis. Dua petugas pertama membuka kotak isolasi, menyuruh Ahmad Dhani tenang. "Jangan konyol! Kami hanya mau memberimu vaksin," kata salah seorang petugas.

"Tidak!" Ahmad Dhani berteriak. "Aku tak mau. Aku tak percaya."

"Kami tak membutuhkan apapun darimu," ketus petugas. "Kami hanya perlu memastikan semua orang yang dibawa ke mari sudah divaksin."

*

Ahmad Dhani tahu ia akan segera mati, dan itu sangat mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, tapi ia yakin hal itu akan menimpa dirinya. ia harus bisa meloloskan diri. Harus....!?




Budi Hatees
lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, dengan nama Budi Hutasuhut. Menulis sejak masih SMP berupa cerpen dan puisi di sejumlah media terbitan Medan dan Jakarta. Tahun 1990 menjadi mahasiswa di Jakarta, tapi lebih banyak terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan kesenian ketimbang berkuliah. Telah menjadi jurnalis sejak 1991, bekerja lepas di Suara Pembaruan, Jayakarta, Mutiara, dan lain sebagainya. Telah menulis banyak buku, terutama biografi para tokoh, hasil kajian budaya dan sejarah, kumpulan esai, dan lain sebagainya.


Cerpen: Ruang Syalala

Bulan purnama terang benderang di atas Jakarta. Cahaya itu tak berarti apa-apa di mulut sebuah gang kecil; itu satu-satunya jalan menuju perkampungan kumuh di dalam gang kecil itu, kampung yang menyempil di antara gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi sebagai sisi gelap kehidupan dari gemerlap metropolitan.

Ke mulut gang itulah Lala masuk, melangkah pelan dan pasti. Gadis itu mengenakan gamis hitam, sewarna dengan kerudungnya, tas bermerek di bahu kirinya. Ia memakai masker warna hijau pupus.

Suara langkahnya bergema, dipantulkan tembok-tembok tinggi di kiri dan kanan gang. Tembok-tembok itu memisahkan kehidupan manusia secara kontras antara mereka yang tinggal di gedung-gedung bertingkat di balik tembok dengan perkampungan kumuh. 

Bau pesing menyeruak dari tembok-tembok itu, masker menyelamatkan hidungnya dari hantaman aroma asam amoniak itu. Ia terus melangkah, melewati tembok-tembok yang dipenuhi coretan kata-kata kotor, makian-makian dalam Bahasa Inggris, dan gambar-gambar yang memperkuat kesan bahwa perkampungan di dalam gang kecil itu bukan tempat yang bagus untuk dikunjungi.

Ya, sudah santer ke mana-mana di Jakarta, kampung kumuh itu lebih tepat sebagai sarang ketimbang sebagai perkampungan. Di dalamnya, hidup orang-orang yang hanya bisa bernafas pada malam hari, hidup dari kehidupan yang justru kematian bagi orang lain. Mulai dari pencopet, penipu, pemabuk, pedagang narkoba, dan para pelacur. 

Semua membentuk komunitas, sebuah masyarakat dengan sistem sosial yang khas, tetapi menjadi hantu yang menakut bagi orang-orang di luar komunitas. Dan, pernah, beberapa tahun lalu, puluhan polisi menyerbu perkampungan itu, menyisiri tiap sudut dari 15 rumah yang ada di dalamnya untuk mencari narkoba.

Tentu saja polisi tak menemukan apapun, dan polisi merasa intel yang dikirim sudah dikadali, maka secara membabibuta tujuh orang ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba di Jakarta.  Tuduhan itu tak berhasil karena tak ada barang bukti. Ketujuh orang itu seharusnya dibebaskan tanpa syarat, tapi polisi hanya bersedia mengeluarkan jika ada uang tebusan. Laku rampok polisi, peristiwa yang teramat biasa, hal konyol yang selalu menyasar orang-orang miskin Jakarta.

Lala hanya dengar cerita itu dari orang-orang perkampungan, dan dampak penggerebakan itu membuat perkampungan senyap selama dua hari. Tidak ada kehidupan, mirip perkampungan hantu yang ditinggal penghuninya lantaran teror wabah penyakit. Memasuki hari ketiga, segalanya kembali pada kondisi semula. Kehidupan menggeliat lebih ramai dari pasar malam. Selalu, seusai jam Isya, perkampungan itu bergaira dengan orang-orang yang keluar masuk gang untuk menikmati kehidupan malam.

Kehidupan malam dengan para pemabuk yang marah karena pemilik warung menolak mengutangkan sebotol minuman, pelacur yang merepet kepada laki-laki hidung belang yang terlalu rendah menawar harga, sekelompok preman yang memata-matai seseorang yang diduga sebagai intel, atau anak-anak remaja yang berlari-lari di gang untuk menghindari mucikari yang memergoki mereka mengintip dari cecelah dinding ke dalam sebuah kamar pelacuran.

Anak-anak yang malang?! Generasi muda bangsa yang perkembangannya mengkhawatirkan? Itu kesan pertama Lala begitu tahu kondisi mereka. Tak bisa tidak, kesan itu streotife. Tapi kesan itu buyar begitu ia dekat dengan anak-anak itu, bermain bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, dan…

Minimal sekali dalam sepekan, selalu malam hari, Lala datang untuk menemui anak-anak itu. Pernah ia dating siang, tapi perkampungan itu seperti tanpa penghuni. Semua orang keluar, juga anak-anak remaja itu, entah ke mana. Belakangan Lala tahu, ada dari mereka yang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan ada yang terjerembab lebih dalam ke ceruk kehidupan sebagai bagian pencopet yang acap beraksi di angkutan kota. Begitu tahu sisi lain dari anak-anak remaja itu, Lala tak memarahi mereka.

Lala  hanya tersenyum. Dan malam ini, ia melangkah dengan niat yang sama; menemui anak-anak itu. Ia lihat bayangan kelam menggeliat di kejauhan,  seseorang dalam gelap berlipat di tengah-tengah gang, menceracau dengan suara serak, dan botol minuman keras menggelinding di sampingnya. Lala mengenal pemabuk itu sebagai Kapto, pengangguran yang menganggap hidup hanya untuk meminum alkohol, dan ia menyapanya sambil terus melangkah. Tergeragap, Kapto menyahut, lalu muntah.

Seekor tikus got menyeberang di hadapan Lala, gesit dan tampak ketakutan, menghilang di tumpukan sampah.  Lala mempercepat langkah, mulai memasuki perkampungan, lalu mengedarkan tatapan ke setiap sudut. Rumah-rumah kayu berdiri tumpang-tindih dan kumuh,  remang dan suram. Orang-orang meriung di depan rumah,  suara mereka tertawa lepas. Ada anak kecil merengek, ibu-ibu berteriak-teriak, musik remix, lagu dangdut. Semua biasa dan teramat biasa.

Lala berhenti sebentar di bawah sinar lampu gang yang redup, tak jauh dari tiga laki-laki yang sedang berjoget di depan rumah. Nazhar menyanyi di Youtube yang dibuka di telepon genggam. Lala memperbaiki letak tali tasnya yang mau jatuh, lalu kembali melangkah.

"Cewek...!" Seseorang dari balkon sebuah rumah menyuitinya.

Lala hanya tersenyum. Seperti sudah ia duga, detik berikutnya ia dengar suara lain, seseorang membentak orang yang baru menyuitinya. "Sinting kau Barno! Itu Lala. Jangan kau ganggu dia!"

Lala kenal pemilik suara itu, Rahman Picak, salah seorang yang paling ditakuti di perkampungan itu.  Pertama kali bertemu Rahman Picak, itu hampir setahun lalu, hari pertama ia harus mengunjungi perkampungan.  Saat ia sedang mengamati anak-anak di perkampungan, Rahman Picak menghampirinya dan menggertaknya.

"Kau siapa? Mau memata-matai kami ya!?" Rahman Picak mengancam akan menyakitinya, dan ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. 

Lala menatap Rahman Picak, lalu mencoba tersenyum.  Ia merasa pernah lihat wajah Rahman Picak, entah di mana, tapi mungkin di televisi, atau di koran, tapi entahlah.  Dan mata itu...ya..ya..... Ia ingat mata itu terkena lemparan batu ketika polisi menyerbu perkampungan untuk menangkapi para bandar narkoba.  Ia mencoba tersenyum. "Pak Rahman...?" sapanya.

"Bilang saja Rahman Picak... Kenapa?!"

"Rahman Picak!" Ia tersenyum. "Bapak yang dulu kena batu saat polisi menggerebek perkampungan ini."

"Kau menontonnya...?" Tiba-tiba suara Rahman Picak melembut. "Bagaimana.... Bagaimana penampilan aku?"

Lala cepat menjadi akrab dengan siapa pun. Itu kelebihannya. Ia baru tahu kelebihannya setelah Bambang Suranto, direktur di perusahaan, memanggilnya untuk mengerjakan project CSR (corporate social responsibility) perusahan di kampung kumuh.  "Kami tahu kau mampu mengerjakannya," kata Bambang Suranto.

Lala tak percaya dirinya mendapat kepercayaan begitu besar dari direktur perusahaan.  Baru dua tahun ia bekerja sebagai staff di bagian CSR, dan hampir tak pernah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan perusahaan di luar. Ia hanya karyawan administrasi, berkutat dengan tumpukan berkas yang sebagian besar proposal permintaan sumbangan dari pihak luar. Pernah terpikir olehnya untuk keluar, mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dengan karakternya. Tapi pikirkan itu segera disingkirkannya mengingat betapa sulit mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta sementara ia sudah memilikinya.

Mendapat tanggung jawab baru, Lala berjanji kepada dirinya tak akan mengecewakan direktur.  Tapi rekan-rekan di kantor mewanti-wanti agar ia lebih hati-hati. Mereka mencoba menakut-nakuti agar menolak project itu, tapi Lala tak bergeming. Ia tahu, rekan-rekan hanya iri karena proyek yang ditanganinya, dan mereka mendambakan memegang proyek itu.

Langkah Lala berhenti di depan sebuah warung, rumah kecil yang remang-remang, dengan sepotong papan bertuliskan "Mekmeah" terpampang di depannya.  Melihat Lala muncul, seseorang bertubuh gemuk, keluar menyambut. "Aihh, ibu Lala sudah datang. Masuk, Bu!” kata Uti.

Lala hanya senyum. Ia hafal betul siapa Uti, pemilik warung yang menguasai laci tempat uang, seseorang yang tahu persis bahwa senyum ramah membuat siapa  saja akan dengan senang hati untuk singgah. Warung yang menjual minuman dan rokok hanya kedok bagi Uti untuk menyembunyikan bisnis lendir yang dikelolanya bertahan-tahun. 

Di dalam warung, ada kamar-kamar ukuran 2x3 meter, hanya muat selembar kasus dengan dua bantal lapuk dan bau apak, tempat di mana pelacur dan laki-laki hidung belang melayang-layang. Kamar-kamar itu disewakan Uti untuk short time, tak lebih 30 menit. Jika dalam 30 menit penyewanya tak keluar, karakter asli Uti akan muncul dengan mulut kasar yang jorok, lebih jorok  dari tempat pembuangan sampah.

Saat Lala berjalan mengikuti Uti memasuki sebuah lorong kecil antara kamar-kamar short time di dalam rumah, mereka berpapasan dengan seorang laki-laki betubuh kurus yang baru keluar dari salah satu kamar. Matanya liar dan genit mengikuti Lala, lalu berbisik pada Uti. “Barang baru ya! Bagus juga!”

Refleks, tangan Uti  yang gempal mendarat di pipi laki-laki itu. “Kurang hajar! Jaga mulut kau ya.”

Lala kaget.

Laki-laki kurus itu merasa telah dihinakan dengan tamparan itu. Emosinya hendak meledak, tapi ia urungkan ketika Rahman Picak muncul di depan warung. Laki-laki kurus itu tahu Rahman Picak, dan nama itu santer sebagai centeng yang memegang semua perkampungan karena punya ilmu kebal.

Uti membawa Lala masuk lebih ke dalam Lorong, lalu mereka keluar dan sudah berada di bagian belakang rumah, di hadapan sebuah bangunan. Ke dalam bangunan itulah Lala masuk, tempat yang selalu ia kunjungi, ruang 4x12 cm yang pengab tanpa ventilasi. Itu Ruang Syalala. Di dalamnya sudah ada puluhan anak-anak remajadan mereka sontak berdiri begitu Lala masuk.

Riuh suara mereka, riang dan penuh semangat. Dua belas jumlah mereka, anak-anak yang lahir dan tumbuh di perkampungan kumuh. Mereka tak pernah sempat menjadi anak-anak, dipaksa oleh keadaan untuk cepat dewasa. Hidup sebagai tulang panggung keluar, menjadi pengamen, pedagang asongan,  dan apa saja yang membuat mereka bisa pulang membawa uang. Seluruh waktu mereka lunas bukan sebagai anak-anak, tetapi orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Lala mengumpulkan mereka sebagai bagian dari proyek CSR dari perusahaan, membuka wawasan mereka dengan memberi bacaan, pendidikan, mengajarkan mereka tentang makna hidup. Sekali-sekali, Lala membawa mereka ke Dupan, Taman Mini Indonesia Indah, atau ke mal.   

Awalnya Lala hanya ingin berbagi sesuatu yang bisa jadi spirit bagi anak-anak, tapi segalanya kemudian berbalik, sebab ia yang justru mendapatkan hal yang luar biasa dari anak-anak itu.

Sekalipun orang-orang di Jakarta memandang mereka secara streotif sebagai sisi gelap dari kehidupan metropolitan yang harus dijauhi bila bertemu,  ternyata mereka sangat memanusiakan manusia. Tak ada seorang pun yang ingin mereka jauhi, sebaliknya mereka ingin dekat dengan siapa pun, tapi penampilan fisik mereka yang jauh dari predikat higenis, membuat orang-orang menghindar.

Pernah, seseorang yang mengaku konglomerat dan memiliki gedung apartemen di balik tembok, mengirim empat anak buahnya untuk menyingkirkan perkampungan kumuh karena di atas lahannya akan dibangun gedung apartemen 50 lantai.  Mereka membawa koper berisi uang dan setumpuk surat, meminta siapa saja yang punya rumah untuk menandatangi surat dan mereka akan mendapatkan ganti rugi. Tapi, tidak ada yang mempercayai empat suruhan itu,dan orang-orang memaksa mereka angkat kaki.

Jalan yang ditawarkan tak diperdulikan, konglomerat itu merasa diremehkan. Ia cari alternatif lain, dan tumpukan uangnya bicara di kantor pemerintah dan kantor polisi, mengubah isi kepala dan isi hati semua elite agar berpihak kepadanya dengan alasan Jakarta harus tertata rapih. 

Selang sepekan, puluhan orang yang mengaku rekanan dari konglomerat, dating membawa alat-alat berat dan siap meratakan lahan. Puluhan petugas dengan petungan dan tameng, mengawal para pekerja. Mimpi buruk warga perkampungan kumuh segera tiba,  tapi segalanya berhenti ketika anak-anak dari Rumah Syalala maju ke depan dan menantang. 

Lala ada bersama mereka, berpidato tentang hak asasi manusia, masa depan generasi bangsa, dan nilai-nilai kemanusiaan. Adegan yang heroic itu, disiarkan secara langsung oleh stasiun-stasiun televisi, dan Bambang Suranto menonton aksi itu lewat layer televisi di ruang rapat pemegang saham.

“Anak buah siapa yang mau merubuhkan kampung kumuh itu?” teriak Bambang Suranto.

Seseorang angkat tangan, bicara dengan nada suara yang lemah. “Maaf, Pak, itu proyek baru kita.”

“Kita!?” Bambang Suranto mengernyitkan kening. “Kenapa saya tidak diberi tahu?”

“Ini kebijakan anak perusahaan kita.”

“Batalkah!” teriak Bambang Suranto. “Perempuan yang aksi itu anakku. Jangan ada yang mengganggunya. Aku sengaja mengirimnya ke sana untuk mengubah perkampungan itu….” 

Bambang Surantyo tersenyum. Licik.

 *

 

Mad Giawa akronim dari Muhamad Anwar Dani Giawa lahir di Kota Padangsidimpuan, 7 Juli 1998. 

Anak pertama dari 3 bersaudara ini mengenyam pendidikan dari SD hingga SMK di kota kelahirannya. Merantau ke Tangerang sejak tahun 2017. Pernah menjadi kuli bangunan, buruh pabrik, barista, ojek daring, dan menjadi sales produk rokok. 

Saat ini menjadi mahasiswa semester akhir jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan.

Ia merupakan salah seorang penggerak Festival Sastra Sanusi Pane 2024 yang digelar di Kota Padangsidimpuan.

Cerpen: Masa Lalu

Erisha mengunci diri  di kamar. Ayah dan ibu kembali perang mulut. Ia sudah bisa menebak, perang ini akan diakhiri dengan teriakan-teriakan, menyusul suara barang-barang pecah.

Sejak dulu, ayah dan ibu acap perang mulut, tapi selalu berakhir dengan kehangatan. Beberapa bulan terakhir, perang mulut telah menjelma medan pertempuran yang dasyat. Akhirnya selalu sama: ibu menangis.

“Dulu ayah gak seperti itu,” kata ibu kepada Erisha.

Erisha hanya diam.

Sejak rumah menjelma medan pertempuran, Erisha banyak berubah. Teman-teman kehilangan Erisha yang dulu. Mereka menanyakan Kenapa Erisha berubah, tapi gadis 14 tahun itu tak menjawab apapun.

Erisha bukan tipe orang yang suka bercerita. Ia lebih suka menyimpan masalah, menanggungnya sendiri, dan menangis. Hampi tiap malam sebelum tidur air matanya tumpah.

*

Sepulang sekolah, Erisha mendengar suara tangisan dari arah dapur. Mengira telah terjadi sesuatu dan mengkhawatirkan hal itu, ia berlari ke arah asal suara. Ibu sedang menangis sambil memegang selembar kertas.

“Ada apa, Bu?” tanya Erisha, “apa yang terjadi?”.

“Ayahmu…!” Ibu mengisak. “Ayah menceraikan ibu.” Ibu menatap Erisha, matanya basah.  “Ibu harus baggimana Erisha?”

Erisha memeluk ibu. Gadis remaja itu menangis.

Terdengar suara pintu dibuka, menyusul suara langkah kaki. Ayah muncul, langsung menghampiri ibu.

“Kamu mau cerai kan? Tanda tangani surat ini!.” Ayah ketus sambil menyodorkan pulpen.

“Sampai kapanpun kamu tetap akan menjadi pembunuh ayahku, Adrian.” Ibu mengambil pulpen dari tangan ayah, langsung menanda tangani surat di hadapannya.

“Ayah! Ibu! Ada apa?” Erisha buka mulut. “Setidaknya aku harus tahu apa yang terjadi.” Erisha menangis.

“Ibu  enggak mau hidup sama pembunuh yang tak tahu diri.”

“Diam kamu, Anjani!” Ayah menampar ibu.

Erisha berteriak. Ibu hanya diam memegangi pipinya yang baru saja ditampar.

“Erisha!” Ayah membentak dia menamparnya.

Ayah yang selalu lembut, tiba-tiba menamparnya. Erisha menangis, langsung memeluk ibunya.

“Kamu mau iku Ayah atau Ibu?” teriak ayah.

“Erisha sama aku. Kamu ga akan bisa ngurus dia.” Ibu semakin kuat memeluk Erisha.

“Aku enggak bertanya sama kamu, Anjani. Aku bertanya ke Erisha.”

“Aku… Aku mau sama mama.” Erisha menjawab, tapi ayah langsung pergi.

*

Setelah kejadian itu, Erisha memutuskan tidak bersekolah selama beberapa hari. Ia ingin menenangkan diri, juga harus menjaga ibunya akan pergi ke Pengadilan Agama untuk menjalankan sidang perceraian.

Ibu menangis setiap hari. Saat Erisha ikut menangis, ibunya panik dan langsung menenangkan Erisha.

Saat hari sidang perceraian tiba, Erisha memilih berada di rumah. Ibu tampak baik-baik saja. Saat Ibu melangkah keluar rumah, telepon ibu meandering. Salah seorang teman ayah menelepon ibu.

Saat bicara, tiba-tiba ibu berteriak dan mulai menangis. Erisha panik. Ia menanyakan apa yang terjadi.

“Ayah! Ayah kecelakaan.”

Erisha terhenyak.

Telepon ibu kembali mendering. Erisha merebutnya dari tangan ibu. Orang yang menghubungi ini memastikan kalau ayah meninggal karena kecelakaan saat ingin pergi ke pengadilan. Mereka meminta Erisha dan ibu ke rumah sakit untuk melihat jenazah ayah.

Dunia Erisha serasa runtuh. Ia dan ibu menangis. Beberapa saudara dating, memeluk Erisha dan ibu. Erisha menangis sesegukan. Tubuhnya melemah. Pandangannya mengabur. Segala sesuatu tiba-tiba gelap. Ia merasakan dunia berputar-putar.

Entah berapa lama, Erisha bangun dan mendapati dirinya sedang berada di sebuah restoran. Ia memperhatikan sekeliling. Ada banyak orang di sekitarnya, sedang menikmati makanan. Seorang pelayan menghampirinya, menghidangkan makanan di hadapannya. Erisha tidak mengerti apa yang terjadi. Ia bermaksud hendak bertanya kepada pelayan itu, tapi laki-laki itu pergi.

Erisha mengernyitkan dahinya. Ia tatap pesanan yang baru dihidangkan pelayan.

*

Selesai makan, Erisha meninggalkan restoran. Di luar gedung restoran, ia berpikir untuk pulang. Ia bermaksud ke pangkalan ojek. Saat ia melangkah, tiba-tiba  seorang laki-laki menabraknya.

“Maaf, Mbak!” kata laki-laki itu, “aku terburu-buru mau bertemu Anjani.” Setelah meminta maaf, laki-laki itu kembali berlari seperti mengejar sesuatu.

Erisha tertawa kecil, menduga laki-laki itu terlambat dan pacarnya yang bernama Anjani sudah menunggu. Ia memperhatikan laki-laki itu berlari dan tiba-tiba Erisha merasa bahwa wajah laki-laki tersebut familiar. Tapi ia tidak terlalu memikirkannya.

Tiba di pangkalan ojek, ia minta tukang ojek mengantarkannya ke rumah sambil memberikan alamat. Tukang ojek sigap. Sepeda motor digeber. Dalam hitungan menit, mereka sampai di depan sebuah rumah.

Erisha kenal posisi rumah, tapi ia tak pernah tahu penampakan rumah begitu berbeda. Rumah yang ada di hadapannya seperti rumah mereka dulu sebelum direnovasi. Tiba-tiba Erisha tersadar akan sesuatu, lalu bertanya kepada tukang ojeknya.

“Maaf, Bang,  ini tahun berapa?”

“2008…” Tukang ojek menatap heran kepada Erisha. “Hari ini  tanggal 10 bulan November.”

“2008!” teriak Erisha.

“Kenapa, Neng?”

Erisha menggeleng. Ia menebar tatapan, lalu menatap tukang ojek. “Berapa, Bang?”

“Delapan ribu rupiah.”

Erisha mencari uangnya. Tidak. Ia tidak membawa uang. Erisha pucat. Ia pandangi tukang ojek, lalu menatap rumah di hadapannya. “Sebentar ya, Bang, ternyata aku gak bawa uang.” Erisha mengetuk pintu rumah.

Beberapa detik berselang, pintu rumah dibuka. Seorang laki-laki tua muncul. “Ada apa?!” tanya laki-laki tua itu. “Mau cari siapa?”

Ditanya seperti itu, Erisha tergeragap. Ia baru menyadari, laki-laki tua adalah kakeknya, ayah dari ibu. Erisha tidak pernah bertemu kakek, karena kakek meninggal sebelum Erisha dilahirkan. Tapi, tentu, ia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah Erisha, putri dari Anjani. Itu jelas tidak masuk akal. Dan, tiba-tiba, Erisha menangis.

“Pak!” teriak tukang ojek. “Ia belum membayar ongkos ojeknya. Apakah Bapak yang akan membayar?”

Laki-laki tua itu menatap Erisha, lalu menatap tukang ojek: “Ya! Berapa?”

“Delapan ribu, Pak.”

Laki-laki tua itu memberikan uang kepada tukang ojek. Setelah tukang ojek pergi, laki-laki trua itu menghampiri Erisha.  “Kamu siapa? Ada apa ke sini? Kenapa menangis?”

“Anu….” Erisha berusaha mengarang cerita. “Begini, Pak, aku kawan Anjani. Aku mau bertemu dia.”

“O, kawan Anjani. Kenapa gak bilang dari tadi.” Laki-laki tua itu mengajak Erisha masuk. “Tapi Anjani sedang di luar.”

“Maaf, Pak, aku sudah merepotkan. Aku sudah lama enggak ketemu Anjani. Waktu aku sampai, aku baru sadar ternyata dompetku jatuh entah di mana, jadi aku nangis, Pak.”

“Enggak apa-apa. Tapi Anjani gak ada di rumah. Dia lagi pergi sama pacarnya.”

“Pacarnya?! Apakah Adrian?” Erisha menyebut nama ayah.

“Iya . Nak Adrian itu orangnya baik sekali.”

Erisha tersenyum mendengar ucapan itu.

“Apa Bapak mau pergi?” tanya Erisha. “Kalau tidak keberatan, aku akan menunggu Anjani di sini.”

“Rencananya saya memang mau keluar, tapi … karena kau ada, mana mungkin saya membiarkanmyu sendirian di sini.”

“Saya bisa menunggu Anjani di luar.”

“Ah, tidak. Saya tidak jadi pergi. Tidak lama lagi Anjani akan kembali. Kita sama-sama menunggunya.”

Dan benar, beberapa menit kemudian telepon lakiu-laki tua itu meandering.

“Tuh kan, Anjani menelepon,” katanya.

Laki-laki tua menjawab telepon, ternyata dari Andrian. Ia menanyakan apakah laki-laki tua itu berencana hendak pergi dengan mobilnya. “Kalau bisa, jangan dulu pakai mobil itu, Pak,” kata Andrian, “saya lupa memberi tahu kalau rem mobil Bapak rusak.”

“Rusak!?”

“Ya. Saya akan ke sana bersama Anjani untuk memperbaiki mobil itu.”

Mobil!? pikir Erisha. Ia ingat, ibu pernah cerita tentang kecelakaan yang merengut nyawa kakek karena rem mobil yang rusak. Tiba-tiba kepala Erisha terasa pusing. Dunia berputar-putar. Segala sesuatu kemudian gelap. Erisha tidak tahu apa yang terjadi.

Beberapa menit kemudian, Erisha membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Ia bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar di sisi tempat tidur.

Erisha mendengar suara riuh di luar kamar seperti ada orang yang menggelar pesta. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.

“Hei, cucuku!” teriak laki-laki tua. “Bangunnya kok kesiangan?”

Erisha kaget. Ia melihat kakek, ayah, dan ibu.  Ayah bangkit dan menghampiri Erisha ke pintu kamarnya, lalu membawa Erisha menghampiri kakek.

“Sudah dari tadi kakek dating untuk bertemu Erisha. Kakek melarang ayah membangunkan Erisha,” kata ayah.

“Apa yang terjadi?” tanya Erisha.

Ditanya Seperti itu, ayah dan ibu saling pandang. Kakek bangkit dari kursi, memeluk Erisha. “Kakek kangen, itu yang terjadi,” kata kakek.

Erisha menatap  ayah dan ibu, lalu memmpererat pelukannya pada tubuh kakek.

“Erisha juga kangen sama kakek,” kata Erisha. 


Qhesyila Eina Davinadzra lahir di Padangsidimpuan, 26 September 2010. Siswi kelas IX di SMP Negeri 1 Padangsidimpuan. Hobi membaca. Cita-cita adalah menjadi seorang dokter.