Jelang magrib, ketika semua terburu-buru hendak meninggalkan dapur, tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Aku terlonjak karena nyaris mau menabraknya. Dia tersenyum, lalu menatapku dengan mata yang membuat aku salah tingkah.
Aku tak suka mata yang seakan-akan sedang melucuti seluruh tubuhku, tapi aku tidak mungkin mengatakan padanya bahwa caranya menatap membuat aku risih. Aku justru menunduk, tak ingin melihat matanya. Cara itu efektif agar aku tidak merasa ditelanjanginya. Sambil menunduk, aku coba berjalan melewatinya, tapi tiba-tiba….
“Dadamu sudah besar ya!” Dia menyentuh dadaku, dan perbuatannya membuat aku menjerit sambil berusaha menepis tangannya. Penolakanku justru membuat dia tertawa. “Mulai berani melawan ya!”
Aku langsung berlari meninggalkannya. Dia memanggilku. Aku tidak memperdulikannya.
Tiba di asrama putri, masih ada Hani dan Jerni, bersiap-siap hendak berangkat ke masjid. Kami, bertiga--aku dan mereka-- sama-sama mendapat giliran memasak hari itu. Semua pekerjaan di dapur sudah kami selesai. Aku menyuruh mereka agar meninggalkanku sendirian di dapur. Tidak ada lagi pekerjaan memasak, hanya urusan kecil memastikan semua sudah beres dan dapur layak ditinggalkan.
Tapi, kini aku menyesali keputusanku menyuruh Hani dan Jerni pergi lebih dahulu. Seandainya kami tetap bersama, dia tidak akan berani menampakkan batang hidungnya di dapur, dan dia tidak akan pernah menyentuh dadaku seperti tadi.
“Ada apa?” Jerni memandangiku, mungkin merasa ada yang berbeda pada diriku, tapi aku menggeleng. “Kau terlihat pucat?”
“Aku pikir Kalian meninggalkanku.”
“Aku pikir bukan karena itu,” tebak Hani, “kau pasti baru saja melihat hantu di dapur itu kan.” Hani tertawa. “Makanya, jangan pernah mengingkari bahwa ada mahluk halus di sekitar kita seperti di dapur itu.”
Mahluk halus!? Dalam hati aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku justru baru bertemu dengan mahluk kasar dan jorok. Tapi, aku tidak akan pernah menceritakan soal dia kepada siapa pun.
Aku kemudian tersenyum sambil bergegas ke kamar mandi setelah aku minta mereka agar menungguku. Di dalam kamar mandi, aku ingat cerita para santri yang mendapat giliran memasak, bahwa mereka sering bertemu mahluk halus berwujud perempuan, seorang santri putri sama seperti mereka.
Hantu itu ada di dapur, tiba-tiba muncul dan tiba-tiba pula hilang. Kadang dia menyaru seperti santri putri lain, ikut memasak. Kadang dia berkelebat dan hanya terlihat semacam bayang hitam di dinding. Tapi, sebetulnya, belum pernah ada seorang santri putri pun yang benar- benar telah melihat mahluk halus itu. Aku yakin, mereka sengaja menyebarkan cerita tentang hantu itu hanya untuk menakut-nakuti.
Tapi, hantu yang baru kujumpai…. Aku tak akan menceritakan hantu yang baru saja kujumpai di dapur, dan hantu itu menyentuh dadaku dengan tangannya.
*
KAMI, para santri putri, memuja dia karena wajahnya yang tampan. Jenggot tipis menghiasi dagunya, kumis yang juga tipis begitu rapi berbaris di atas bibirnya. Jenggot dan kumis itu membuat senyumannya begitu menawan.
Dia masih muda, lebih tua sekitar empat atau lima tahun dari usia kami. Dengan segera dia menjadi buah bibir ketika Kiyai Zaman memperkenalkan putra tunggalnya itu sebagai satu-satunya ahli waris yang akan menggantikan kedudukannya sebagai pengurus pondok pesantren.
Namanya Hanafi Zamzami, sejak lama sudah tinggal di Kairo untuk belajar agama Islam. Selesai dari Kairo, dia menghabiskan tiga tahun belajar agama Islam dari guru yang berbeda di Yaman. Setelah itu, dia sempat tinggal di Rusia untuk belajar tentang sejarah agama Islam. Dia juga mempelajari teologi Eropa, dan dia menguasai kitab-kitab samawi yang dia baca langsung dari bahasa aslinya.
Kiyai Zaman memuji-puji putra tunggalnya sebagai generasi muda yang faseh masalah-masalah agama, juga menguasai pemikiran-pemikiran filsafat teologi Eropa, dan semua itu sengaja dipelajarinya agar pengetahuanya tentang agama Islam lebih kompleks. Puja-puji Kiyai Zaman itu membuat kami semakin mengaguminya.
Tapi, aku tidak pernah menyukai dia. Aku tak tahu apa alasannya. Rasa tidak suka itu muncul begitu saja.
Tentu saja aku tidak pernah menunjukkan bahwa aku tidak menyukainya. Aku berusaha menghormatinya sebagai anak dari Kiyai Zaman, orang yang telah membawaku ke pondok pesantren ini. Seandainya tiga tahu lalu Kiyai Zaman tidak pernah datang untuk memberikan tausyiyah di masjid yang ada di kampungku, aku tidak akan pernah bertemu kiyai yang punya qaromah ini, dan dia tidak akan pernah tahu betapa menyedihkannya keadaanku. Sangat mungkin, aku tidak akan pernah jadi santri di pondok pesantren ini, tetapi justru akan hidup di kota mengikuti jejak ibuku yang sejak lama hidup sebagai pelacur.
Aku lahir tanpa ayah yang jelas. Ibuku mengandung seorang anak dari hasil hubungannya dengan seorang laki-laki yang menolak mengakui menghamilinya. Laki-laki bajingan itu kemudian pergi dan tidak pernah lagi diketahui keberadaannya. Ibu memilih merawat anaknya, yang kemudian lahir. Ibu kemudian membawaku ke kampung, menitipkanku kepada Mbah, lalu ibu kembali ke kota dengan alasan ingin mencari laki-laki brengsek yang telah menghamilinya.
Sejak itu ibu tidak pernah kembali. Dia rutin mengirimi uang belanja. Tapi, setahun lalu, sesuatu menimpa Mbah. Sebuah sepeda motor menabrak Mbak saat pergi ke pasar dan Mbah tidak tertolong karena luka di kepalanya begitu parah. Sejak itu pula ibu tidak pernah lagi mengirimi uang. Aku hidup seorang diri. Orang-orang membenciku, menyebutku anak haram. Mereka menghinakanku seakan-akan tubuhku hanya tumpukan kotoran.
Hidupku tak menentu sampai pada hari aku bertemu Kiyai Zaman tanpa sengaja. Selesai memberikan tausyiyah di masjid, Kiyai Zaman pulang menaiki mobil yang dikendarai salah seorang santrinya. Saat Kiyai Zaman hendak masuk ke mobil, saat itulah aku sedang bergegas hendak masuk ke masjid. Aku berharap ada sisah jedah yang bisa dibagi untukku. Melihatku masuk ke masjid, para jemaah pengajian mengusirku, menyeretku keluar dari kawasan masjid. Mereka melemparkanku ke halaman masjid sambil mengancam akan memukuliku kalau masih saja ingin masuk masjid.
Entah karena mendengar ancaman mereka, atau entah karena sebab lain, Kiyai Zaman batal masuk ke mobilnya. Dia memanggil salah seorang pengurus masjid, menyuruh orang itu membawaku ke hadapannya.
*
DINI hari aku terbangun karena mendengar suara seseorang seperti sedang menangis. Suara itu datang dari arah luar asrama. Aku bangkit dan mendekati arah suara. Tiba di luar asrama, aku mendapati Yulia, salah seorang santri putri, sedang duduk di bawah pohon mangga di samping asrama. Aku mengkhawatirkan sesuatu yang buruk telah menimpanya.
“Ada apa denganmu, Yulia?” Aku menyentuh pundaknya.
Yulia kaget dan langsung berdiri. Begitu menoleh dan melihatku. Yulia memelukku dan menangis sesegukan.
“Ada apa?”
“Apakah aku akan masuk neraka?” Suara Yulia bergetar, dadaku lebih bergetar. Pertanyaan seperti itu belum pernah diajukan orang kepadaku. “Kenapa kau tanyakan soal itu?” Aku berbisik di telinga Yulia.
“Aku tak suci lagi. “ Yulia kemudian meraung.
Aku menyuruhnya diam, karena suara raungannya yang keras akan membangunkan semua penghuni asrama. Bahkan, seluruh penghuni pondok pesantren akan terbangun. Jika semua orang terbangun, lalu aku dan Yulia ditemukan sedang di luar asrama saat yang lainnya sedang tidur, maka kami akan mendapat hukuman sangat berat. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Aku ajak Yulia masuk ke dalam asrama. Dia masih tetap menangis sesegukan meskipun suaranya lebih pelan.
Gerakan kami saat membuka pintu asrama dan masuk, membuat beberapa santri putri terbangun. Mereka bertanya ada apa dan apa yang telah terjadi. Aku mengatakan baru menemukan Yulia di luar asrama, dan kubilang bahwa Yulia sedang ada masalah besar yang tak mampu dia tanggung sendiri.
Beberapa santri putri turun dari tempat tidur, mendekati Yulia, lalu bertanya tentang apa yang telah menimpanya. Tapi, Yulia memilih diam, lalu melangkah ke tempat tidurnya dan membungkus tubuhnya dengan selimut.
Kami saling pandang, tak paham apa yang telah menimpa Yulia.
*
SUATU hari, saat keluar dari kamar mandi, tanpa sengaja aku melihat Hanafi Zamzami sedang berbicara kepada Yulia. Tepatnya, dia seperti sedang memarahi Yulia karena telunjuknya diarahkan kepada Yulia. Yulia sendiri menunduk. Aku tidak bisa menguping isi pembicaraan mereka. Boro-boro mau mendekat, aku justru memilih meninggalkan mereka sambil berharap tidak seorang pun di antara keduanya yang melihatku.
Beberapa hari setelah itu, pada suatu pagi sepulang sholat subuh berjamaan di masjid, kami mendapati Yulia mengantung diri di batang pohon mangga di samping asrama. Pemandangan itu membuat kami histeris. Peristiwa itu menggemparkan penghuni pondok pesantren.
Kami, para santri putri, tidak henti-henti menangis. Saat itulah, Siti Badiah, salah seorang satri putri, menyeletuk bahwa dia baru saja bicara dengan Yulia. Kata Siti Badiah, Yulia mengeluhkan bahwa dia hamil.
Hamil!? Dengan segera penjelasan Siti Badiah itu membuat kami tersentak. Kami menatap Siti Badiah, ramai-ramai mengingatkannya agar jangan bicara sembarangan. Siti Badiah bersikeras bahwa dia mendengarkan hal itu langsung dari Yulia. “Aku juga sudah mengingatkannya agar jangan bicara sembarangan,” katanya. “Yulia malah marah karena merasa tidak seorang pun yang mau mempercayainya.”
Aku menatap Siti Badiah. “Kau tidak main-main?”
Siti Badiah mengangguk. Para santri putri memekik. Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaimana bisa Yulia hamil.
“Ya,” kata Jerni, “Yulia pernah cerita soal itu, tapi aku tidak percaya.”
Beberapa santri putri lainnya mengakui hal yang sama, bahwa Yulia menceritakan kondisinya yang sebenarnya. Tidak seorang pun mempercayai pengakuannya. Bagaimana mungkin mempercayai hal seperti itu terjadi di pondok pesantren yang hanya dihuni santri putri.
Tapi, tiba-tiba berkelebat pemandangan ketika aku melihat Hanafi Zamzami memarahi Yulia. Apakah…. Ah, hantu itu telah memakan korbannya. Tubuhku bergidik membayangkan jika hal itu benar.***
Posting Komentar